Celina membuka matanya pelan, kepalanya terasa sakit. Lalu menatap plafon rumah yang sangat tinggi itu, Celina merasa tidak mengenali pemandangan yang ada dihadapannya. Perlahan gadis itu bergerak duduk, semua tubuhnya terasa sakit.
Celina menoleh ke seluruh ruangan, gadis itu sungguh-sungguh tak mengenali ruangan itu. Sebuah kamar yang sangat luas dengan interior yang modern dan mewah. Matanya terhenti pada secarik kertas yang tersandar di lampu meja.
Gadis itu menyipitkan matanya, memperjelas pandangan matanya
'AKU AKAN KEMBALI '
Siapa yang menulis itu? batin Celina.
Gadis itu mengingat kembali semua yang terjadi, berhenti dari club, berlari di lorong gelap, jalan buntu dan laki-laki itu. Celina reflek memeriksa tubuhnya, yang hanya ditutupi selembar kain putih.
Gadis itu tidak mengenakan apapun.
"Tidak.., tidak.., tidak.., tidak...," Celina menggelengkan kepalanya kuat, pikiran buruk langsung merasuki otaknya.
Teriakan pilu gadis itu memecah sunyi, hal yang ditakutkannya telah terjadi. Kehormatan yang dijaganya dengan sekuat hati, telah terenggut tanpa dia sadari.
Bersimbah air mata, Celina memukul ranjang dan melempar selimut yang tergeletak berantakan. Gadis itu frustrasi, kepalanya terasa sakit, gadis itu tidak bisa menerima kenyataan.
Celina segera mencari pakaiannya namun tidak ditemukan. Celina menarik kain putih lembut pelapis selimut itu dan melilitkannya ke seluruh tubuh.
Gadis itu ingin keluar dari kamar itu, tanpa sadar menoleh pada selembar cek di atas meja. Gadis itu terhuyung, jatuh terduduk di lantai, tubuhnya lunglai.
Sudah terjadi, semuanya sudah terjadi, semuanya sudah terjadi, jerit hatinya berulang kali, Celina masih berharap hal yang ditakutkannya itu masih belum terjadi.
Namun selembar cek itu sudah membuktikannya, laki-laki itu telah membayar perbuatannya dengan lembaran kertas itu.
Celina menoleh ke arah pintu, menatapnya nanar, lalu mencoba berdiri dengan tubuh letihnya, berjalan ke arah pintu dan mencoba membukanya Namun, pintu itu terkunci, gadis itu berteriak sambil menggedor pintu.
"Buka pintu..., buka pintunya..., buka pintunya," jerit gadis itu tak henti-henti, nafasnya sesak, tubuhnya terasa sangat letih.
Namun tak ada tanda-tanda pintu dibuka.
Bagaimana ini? Kenapa harus terjadi? Aku tak menjual diriku, aku tidak mau menjual diriku, aku tidak menjual diri, jerit hati Celina sambil terus memukul daun pintu.
"AKU TIDAK AKAN MENJUAL DIRIKU!" teriakan yang keras akhirnya keluar dari mulutnya.
Gadis itu terus memukul daun pintu, semakin lama semakin pelan, gadis depresi itu semakin lelah. Kakinya terasa lunglai tak mampu lagi menopang tubuhnya.
Gadis itu jatuh di lantai pandangannya kabur. Terngiang pesan ibu angkatnya sehari menjelang mereka berpisah.
~ Jangan pernah dekati tempat seperti itu, tempat itu laksana pusaran air, sekali mendekat, kamu akan terseret arus dan tenggelam didalamnya ~
Maafkan aku ibu, maafkan aku, maafkan aku, jerit hati Celina berulang-ulang.
Perlahan memejamkan mata, buliran bening jatuh di sudut matanya. Gadis itu kembali jatuh pingsan.
Menjelang malam Raffa Saltano, memasuki gerbang villa di pinggir pantai miliknya. Membawa paper bag yang berisi bermacam-macam makanan. Memasuki villa mewah itu dan menghidupkan seluruh penerangan.
Menatap ke lantai atas, dengan langkah cepat laki-laki itu bergegas membuka pintu. Pandangannya tertumpu pada gadis yang tak sadarkan diri di lantai. Meletakkan paper bagnya di meja, menghampiri dan menatap gadis yang tergeletak tak berkutik itu.
Sudah bangun tapi pingsan lagi, pikir laki-laki itu tersenyum simpul.
Menggendong Celina dan menaruh pelan gadis itu di ranjang. Menatapnya lekat-lekat lalu menoleh ke lembaran cek yang ditaruhnya tadi pagi.
Masih di sana, gadis ini belum mengambilnya, bisik hati Raffa.
Lalu kembali mengamati wajah gadis itu, rambut yang acak-acakan, wajah dan bibir yang pucat. Raffa tersenyum sinis.
Teringat kembali kehebohan teman-temannya sesama pengusaha muda. Saat membicarakan seorang pelayan club malam yang melelang keperawanannya.
Harga yang disebut, sama sekali tak ada artinya bagi mereka namun kenyataan belum ada seorangpun yang berhasil mendapatkannya. Itulah yang menjadi pembicaraan seru bagi mereka.
Pelayan club masih perawan, tidak masuk akal, bisik hati Raffa.
Tidak percaya namun Raffa tetap mendengarkan perbincangan mereka, lingkungan seperti itu tidak memungkinkan seorang gadis bisa mempertahankan keperawanannya. Itu yang dipikirkan Raffa, laki-laki itu hanya tersenyum sinis.
Mungkin saja, tapi berapa persen kemungkinannya? Mungkin satu di antara seribu, beruntunglah orang yang satu itu, pikirnya tertawa sendiri
Cerita itu sudah berlalu baginya, namun pertengkaran dengan Jessica membuat laki-laki itu kesal. Setelah membanting ponsel, laki-laki tampan itu memanggil personal assistant-nya.
"Tunjukkan padaku di mana club gadis itu," ucap Raffa dengan wajah kesal.
Orang kepercayaan itu mengangguk dan langsung membukakan pintu ruangan, Raffa berjalan melewatinya. David --sang personal assistant-- berjalan mengikuti. Dengan langkah cepat dan pasti.
Berjalan seperti itu membuat mereka seperti model catwalk yang sedang memperagakan design jas terbaru. Itu yang terbayang oleh para karyawati-karyawati muda di perusahaan itu.
Berhenti sejenak dari kesibukan mereka demi menikmati wajah-wajah tampan yang sedang melintas di hadapan mereka.
David adalah sahabat Raffa semasa kuliah di Amerika, seorang laki-laki dari keluarga sederhana yang mendapat beasiswa di universitas yang sama dengan Raffa karena kecerdasannya. Pulang ke tanah air dan ditampung bekerja di perusahaan milik keluarga Raffa.
David sangat tau kebiasaan atasan sekaligus sahabatnya itu. Wajah tak peduli Raffa saat mendengar rumor itu sama sekali tak membuatnya lengah. Laki-laki itu langsung menyelidiki perihal gadis itu, meskipun tak di minta, karena dia yakin suatu saat Raffa pasti akan menanyakannya.
Setiap kali merasa kesal terhadap kekasihnya, CEO muda itu akan langsung membanting ponsel dan segera memanggilnya, pergi mencari pelampiasan kekesalannya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, laki-laki tampan itu akan mencari sesuatu yang baru, yang bisa membuatnya melupakan kekesalannya pada kekasih yang sangat dicintainya itu.
Namun saat berhadapan dengan Celina, Raffa justru mendapatkan sebuah penolakan. Gadis itu melangkah meninggalkannya pergi begitu saja. Ini sebuah penghinaan baginya, laki-laki itu mengejar hingga akhirnya berhasil menempatkan gadis itu di atas ranjangnya.
Laki-laki itu membuktikan apa yang dikatakannya, dia tidak pernah gagal mendapatkan apa yang diinginkannya. Raffa menatap gadis itu lekat-lekat.
Rasa perawan memang beda, batin Raffa.
Kagum dengan apa yang dirasakannya pada Celina, yang bahkan belum pernah dirasakannya pada kekasihnya, Jessica.
Raffa mendekati gadis yang kembali jatuh pingsan itu, perlahan menempelkan bibirnya, menyesap bibir lembut gadis itu. Nafasnya semakin memburu, Raffa ingin menikmati kembali apa yang dirasakannya kemarin malam.
Di tengah malam, Celina kembali terbangun. Merasakan dadanya yang terasa sesak. Gadis itu ingin berdiri namun mendapati dirinya dalam pelukan seorang laki-laki.
Gadis itu langsung menutup mulutnya takut teriakannya akan membangunkan laki-laki yang tertidur lelap disampingnya. Tubuh gadis itu langsung gemetar.
Gadis itu tidak ingin berlama-lama dalam posisi itu, Celina merasakan sesak yang sangat menekan, gadis itu tidak bisa bernafas. Menoleh perlahan pada wajah laki-laki yang hanya beberapa inchi disampingnya.
Apa yang harus kulakukan padamu? Aku ingin membunuhmu, rasanya aku sangat ingin membunuhmu, jerit hati Celina.
Perlahan gadis itu mengangkat tangan yang melingkar didadanya. Perlahan Celina turun dari ranjang, menarik kain putih untuk menutupi tubuhnya. Gadis itu memalingkan wajahnya saat melihat laki-laki itu tak mengenakan apapun. Buru-buru gadis itu menutupinya dengan selimut.
Air matanya mengalir, tanpa sengaja melihat noda merah di seprai putih ranjang itu. Gadis itu terduduk di lantai, tubuhnya berguncang menahan tangis.
Aku harus pergi, tidak, aku harus melakukan sesuatu padanya, batin Celina berdiri perlahan di depan laki-laki yang masih tertidur itu.
Mencekiknya apakah bisa? Tidak, gadis itu menggelengkan kepala, sebelum laki-laki itu tercekik dia akan lebih dulu melempar gadis itu ke dinding.
Membekapnya dengan bantal? Gadis itu tertawa kecil, sebelum kehabisan nafas laki itu akan menghempaskan tubuh mungil gadis itu ke lantai.
Apa yang harus dilakukannya? Celina berpikir harus segera keluar dari ruangan itu, gadis itu tidak mau di sekap di kamar itu lebih lama lagi.
Celina berlari menuju pintu, badannya sempoyongan namun gadis itu tidak peduli. Gadis itu kembali mencoba membuka pintu namun pintu itu masih terkunci.
Celina mencari-cari di mana laki-laki itu menyimpan kunci. Gadis itu memeriksa di saku celana yang tergeletak di lantai namun tak ditemukannya, di baju, di dompet, di lantai.
"Mencari apa?" tanya laki-laki itu ringan, duduk di ranjang dengan tatapan remeh pada Celina.
Celina berdiri perlahan, langsung menatap tajam pada laki-laki itu. Raffa tersenyum sinis, menilai gadis itu sedang berpura-pura tegar dengan tatapan matanya yang tajam.
"Makanlah, aku membawakan makanan untukmu, seharian kamu belum makan apa-apa," ucapnya ringan seperti tidak terjadi sesuatu.
Celina terbelalak, gadis itu memalingkan wajah saat melihat laki-laki itu berdiri dan meraih celananya dengan santai dan memakainya di depan gadis itu.
"Aku panaskan untukmu," ucapan lagi.
"Aku tidak mau," ucap Celina dengan suara tegas namun bergetar.
Celina tidak menyangka laki-laki itu bersikap begitu santai setelah apa yang dilakukannya. Laki-laki itu menoleh lalu melangkah mendekati gadis itu.
Celina ketakutan, melangkah mundur. Laki-laki itu terus berjalan mendekatinya, menatap dengan pandangan yang meremehkan. Celina mundur hingga membentur dinding.
Laki-laki itu mencengkeram dagu Celina.
"Baguslah, kalau kamu tidak makan maka kamu akan semakin lemah. Kamu tidak akan bisa melawan, aku juga ingin merasakanmu saat kamu masih sadar, seberapa kuat kamu meronta," ucapnya langsung membekap bibir Celina dengan bibirnya.
Celina meronta, melawan tapi tubuhnya tak cukup kuat melawan tubuh kekar dihadapannya. Dalam waktu singkat gadis itu sudah berada di bawah laki-laki itu, Celina kembali meronta, semakin meronta gadis itu semakin bernafsu laki-laki itu.
Celina berteriak, laki-laki itu tertawa. Lalu kembali membekap bibir gadis itu dengan bibirnya. Air mata Celina mengalir deras namun itu tidak menghentikan perbuatan laki-laki itu.
Laki-laki itu kembali melakukan perbuatan itu dalam keadaan Celina masih sadar. Laki-laki itu merasa sangat puas, merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Celina menangis sejadi-jadinya, dalam waktu singkat laki-laki itu telah melakukannya berulang kali. Celina merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Menatap benci pada laki-laki yang kembali tertidur disampingnya. Tidak ingin sedetikpun gadis itu berada di dekat laki-laki itu.
Celina bergerak meninggalkan ranjang namun kepalanya kembali terasa sangat sakit. Sejak disekap di villa, Celina belum mengisi perutnya sama sekali. Celina tidak ingin menerima apapun dari laki-laki itu.
Baru beberapa langkah gadis itu jatuh tertelungkup, gadis itu kembali jatuh pingsan.
Di pagi hari Raffa terbangun, menemukan Celina yang kembali pingsan di lantai. Laki-laki itu kembali menggendong Celina ke ranjang, sangat enteng bagi laki-laki bertubuh atletis itu mengangkat tubuh mungil Celina.
Tubuh mungil kurang gizi, tapi keras kepalanya luar biasa, bisik hati Raffa setelah melihat paper bag berisi makanan tak tersentuh sedikit pun.
Laki-laki itu ingin segera kembali ke apartemennya, menjalani harinya sebagai pucuk pimpinan di sebuah perusahaan besar milik keluarganya.
Raffa mengambil paper bag berisi makanan di meja dan membuangnya ke tong sampah kemudian berlalu mengendarai sedan sport seharga 4.4 milyar bertenaga listrik itu.
Raffa tak bisa mengalihkan pikirannya dari gadis yang belum diketahui namanya itu. Entah mengapa, selama di kantor laki-laki itu lebih memilih melamun daripada menyelesaikan pekerjaannya.
Bahkan beberapa janji dibatalkannya, tanpa dikehendaki, bayangan gadis biasa itu selau terlintas dibenaknya. Membuat laki-laki itu selalu ingin segera kembali ke villa.
Bagaimana ini? Sejak awal aku tidak memakai pengaman, bagaimana kalau nanti gadis itu hamil? Ya ampun kenapa aku begitu lengah? Aku bahkan melakukannya hingga berkali-kali, bisik hati Raffa mulai galau.
Karena ingin membuktikan keperawanan gadis itu, Raffa sengaja tidak menggunakan pengaman seperti yang biasa dilakukannya. Dan sekarang laki-laki itu justru merasa kecanduan.
Raffa memukul keningnya beberapa kali, bayangan Jessica tiba-tiba muncul.
Bagaimana jika benar-benar hamil, Jessica akan meninggalkanku? Jessica tidak akan terima jika aku memiliki anak dari wanita lain. Tidak, aku tidak mau kehilangan Jessica gara-gara gadis itu, tapi di jaman sekarang ini tidak mudah memiliki seorang anak. Mudah-mudahan gadis itu sulit memiliki anak, pikir Raffa dalam hati.
Laki-laki itu mencari pembenaran diri di mana memang banyak orang yang sulit memiliki anak di jaman sekarang ini.
Raffa sendiri adalah anak tunggal, orang tuanya harus bersabar menanti kehadirannya setelah menikah selama delapan tahun. Hal itu membuatnya sedikit lega, bergegas laki-laki itu meninggalkan kantor dan berniat menuju villanya.
David, sang assisten merasa heran melihat laki-laki itu meninggalkan kantor sebelum waktunya. Bukan kebiasaan laki-laki itu pulang lebih cepat, sepenting apapun urusannya.
David berpikir, selagi tidak diperlukan, dia tidak perlu mencampuri urusan atasannya. Sementara itu, Raffa telah melaju kencang mengendarai mobil sportnya menuju villa.
Berapa lama orang bisa mati karena kelaparan?
Apa gadis itu ingin bunuh diri? bisik hati Raffa.
Melirik makanan-makanan dalam kemasan yang baru saja dibelinya. Hari ini laki-laki itu bertekad memaksa gadis itu menghabiskan makanannya. Laki-laki itu tidak ingin bercinta dengan mayat.
Gadis itu akan dijadikan tempat pelampiasan nafsunya selama Jessica berlibur di Paris.
Apa yang terjadi denganku? Dua kali dalam semalam? Gila..!!! Apa aku ini maniak? Sial, jerit hati laki-laki itu setelah menyadari kelakuannya.
Ke Villa..., ke Villa..., ke Villa, hanya itu yang terbersit di otaknya.
Sepeninggalan Raffa, Celina duduk termenung di depan jendela. Air matanya mengalir tak berhenti, melirik ke arah lembaran cek di atas meja. Tidak hanya selembar lagi, laki-laki itu menambahkan selembar demi selembar setiap kali melakukannya.
Celina meraih lembaran-lembaran cek itu tanpa melihat nominal yang tertulis di sana. Gadis itu merobek lembaran cek itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Air matanya mengalir deras saat melakukan itu.
Aku tidak menjual diriku, aku tidak mau menerima apapun darimu, jerit hati Celina dengan mata penuh kebencian.
Raffa muncul di balik pintu, menatap serpihan kertas yang berhamburan di karpet mewah itu. Laki-laki itu tersenyum sinis.
"Apa kamu sadar, berapa nilainya itu? Kamu tidak akan menyesal?" tanya Raffa mendekati Celina.
Gadis itu tidak menjawab, hanya matanya yang menatap tajam pada laki-laki itu.
"Sudahlah, sekarang kamu harus makan," ucapnya mengeluarkan makanan-makanan itu dan menyusunnya di meja.
Celina masih tetap diam.
"Kenapa? Masih tidak mau makan? Kamu mau mati kelaparan? Apa kamu mau bunuh diri?" tanya laki-laki itu bertubi-tubi.
Ide bagus, mati kelaparan, bunuh diri, aku lebih memilih itu daripada jadi budak nafsumu, batin Celina masih dengan tatapan mata yang tajam.
"Aku tidak mengizinkanmu mati sekarang, jadi makanlah," ucapan sadis laki-laki itu memaksa Celina untuk makan.
Gadis itu masih tetap diam. Raffa kesal, mengeluarkan ponselnya dan mengancam.
"Kalau kamu tidak makan, aku akan menyebarkan foto-fotomu," ancam Raffa.
Sikap yang kekanak-kanakan tapi dia tidak peduli. Tujuan laki-laki itu hanya ingin membuat Celina tetap hidup untuk melayaninya. Celina diam menatap foto di ponsel itu, tubuhnya bergetar, hati gadis itu telah dipenuhi rasa dendam.
Celina melirik pintu yang terbuka, laki-laki itu lupa menguncinya atau memang di sengaja. Celina langsung berlari keluar, kemana saja yang penting tidak berada di ruangan itu lagi
Raffa menghembuskan nafas kesal.
"Mau kemana? Pintu Villa ini terkunci, kamu tidak akan bisa keluar dari sini," ucapnya santai sambil menuruni tangga.
Tiba-tiba sebuah benda melayang kearahnya, Raffa mengelak namun tak cukup jauh. Celina menancapkan benda itu di bahunya, Raffa menjerit. Sebuah besi pemecah es, Celina mencabut benda ditangannya itu, hendak menusukkannya kembali.
Raffa menghindar, darah mengucur dari luka tusuk itu. Laki-laki itu merasa kesakitan namun amarahnya lebih besar hingga dia memilih mengejar gadis itu untuk membalas perbuatannya.
Celina panik, reflek meletakkan ujung pemecah es itu di lehernya.
Ya... lebih baik begini, lebih baik aku mati, batinnya.
Gadis itu hanya diam menatap tajam, hanya air mata yang mengucur deras dari situ dan tubuh yang bergetar hebat.
Aku pasrah, jika sampai di sini ajalku, batinnya lagi.
Raffa mengalah, akhirnya memilih pergi dari villa itu. Celina lebih nekat dari yang dia duga. Laki-laki itu memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Darah segar tak berhenti mengalir dari luka tusuknya.
...~ Bersambung ~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Wirda Lubis
rasain dafa
2023-10-10
0
Sering Halu
❤❤❤❤❤
2023-09-16
0
Sering Halu
❤❤
2023-09-16
0