"Tenangkan dirimu, Jen ... istirahatlah! Besok semua akan lebih baik, percayalah!" Ucapan Darren memancing bibir Jen untuk meliuk sinis. Lebih baik katanya? Darren pasti sedang bermimpi.
"Pulanglah ... terima kasih untuk hari ini." ucapnya lemah. Setelah Darren pergi, ia ingin sendiri dan menekuri kesalahannya. Ia akan membuka matanya sampai pagi, menangis, dan meratap. Satu hal yang baru sekali ia lakukan, seumur hidupnya.
"Aku ganti dulu perban di tanganmu, Jen!" Mata pria itu menangkap luka di lengan Jen merembeskan darah. Darren beranjak dari depan Jen yang mengambil posisi duduk di tepian ranjang, dimana Darren memosisikannya.
"Tidak usah! Sebaiknya kau cepat pulang, agar kau tidak terkontaminasi oleh cewek ngga bener kaya aku!" sarkas Jen sambil menunduk, jejak bening kembali tampil ketika bibirnya kembali mengingatkan akan ucapan mamanya.
Darren urung, ia lebih memilih memiringkan tubuhnya. "Bukannya aku sudah terinfeksi olehmu, hingga aku mau-mau saja mengiyakan kebohonganmu?"
"Tapi itu tidak bekerja! Salah jika kita membohongi Mama! Aku selalu lupa kalau Mama itu hanya pura-pura tidak mengerti!" Jen meringis mendapati fakta bahwa mamanya adalah wanita yang teramat kuat dan teliti. Meski Excel termasuk pengecualian. "Aku memang bodoh!"
Darren menghadap Jen dengan sempurna. "Apa yang akan kau lakukan jika bertemu Diego?"
"Entahlah ...," Jen menatap Darren sejenak, lalu mengalihkan matanya ke lantai. Ia tak kuasa melihat Darren yang berharap jawaban kalau sebaiknya ia menghapus jejak Diego di hatinya. "Jika ada satu alasan saja aku bisa membencinya, maka akan aku lakukan. Juga sebaliknya ...." Jen menggoyangkan kakinya, lalu dipandangi dengan asyik sebab senyuman miris kembali muncul.
Darren tertawa sedikit tak nyaman. "Aku jadi ingin menjadi Diego yang breng sek ...."
Jen menyurutkan senyum, kembali menatap Darren tak percaya.
"Ya ... dia membuatmu jadi kacau seperti ini, membuat keluargamu terekspos semua, membuatmu pontang-panting sendirian, sementara dia entah dimana, sedang hangout, ketawa-ketawa, tapi kau akan memaafkannya. Haah ...!" Darren mengangkat wajahnya, senyumnya mengembang frustrasi. "... sepertinya aku benar-benar tidak mengenalmu dengan baik, Jen!"
"Apa maksudmu?" Kulit mulus di dahi Jen mengerut.
"Ya, setahuku, kau tidak akan mudah memaafkan siapapun yang salah kepadamu. Tetapi kepada Diego, kau men-spesialkan pria itu. Sepertinya dia sangat berarti bagimu, hingga kau sudah seperti ini saja, masih berpikir untuk memaafkan dia." Darren melirik Jen sekilas. Ia sangat kecewa. Apa dia harus mati dulu agar Jen mau memaafkannya? Apa kurang ia merendah di depan wanita itu? Hati Darren begitu tercubit oleh rasa sakit. Cubitan dengan kuku yang sangat panjang.
Jen membeku, membiarkan tatapannya mengikuti Darren yang mencari kotak obatnya. Ajaib, Darren menemukannya dengan mudah. Tanpa kontak mata, Darren segera membalut luka Jen lagi. Tanpa suara, ia melakukan pekerjaannya yang terasa ringan sebab Jen begitu patuh padanya.
"Da—"
Darren keluar dan menutup pintu, tanpa menghiraukan panggilan Jen untuknya. Hatinya terlalu sakit.
Jen sekali lagi dibuat membisu oleh keadaan. Kejamkah dia selama ini?
***
Kira telah duduk dengan tangan bersikap di dada. Malam telah larut, tapi mata Kira selalu ingin terbuka. Kecamuk pikiran buruk terlampau banyak menimpa otaknya hari ini.
Harris sejak tadi mengamati istrinya yang memunggunginya. Piama satin itu tampak lembut di pandangan mata Harris.
"Yang ... ngga ingin jadi cangkir malam ini? Cangkir dengan air hangat di dalamnya." godanya mencairkan kebekuan malam. Dingin, hanya cahaya lampu kuning temaram menyeribak masuk diantara keduanya.
Kira masih bersikap, ia menoleh ke udara di sisinya. "Cangkirnya berisi air mendidih malam ini!" ketusnya mengundang kekehan panjang dari Harris.
"Duh, ngga ngeteh dong malam ini. Dingin, Yang—"
"Jangan meracau yang aneh-aneh, Bang. Kenapa Abang tidak memikirkan saja anak perempuanmu yang nakal itu? Kenapa masih santai sementara anakku sedang membuat keluargamu malu? Dia bukan anakmu, Bang ... tapi telah membuat Papamu di alam sana, menutupi wajahnya dari kita!" Kira berdiri seraya berucap.
"Jen sudah membuat keributan hingga Abang tak punya muka di depan orang-orang, tapi lihat ... Abang bahkan masih sempat bercanda seperti ini?"
Harris berdiri dengan helaan napas panjang dan berat. Ia mengambil tubuh istrinya agar mau duduk kembali. Tapi bukan Kira jika tidak memberontak dan mengeras.
"Akira ... jika kamu tidak patuh padaku, separuh malammu akan dikutuk malaikat!" Tinggi nada suara Harris yang langsung membuat Kira duduk dengan wajah merengut. Tangannya kembali terlipat. Gertakan sambal itu selalu membuat Kira tunduk dengan mudah.
"Berapa lama kita menikah?" tanya Harris menarik kening Kira berkerut. "Hampir duapuluh tahun, Sayang! Tapi kau seolah baru mengenalku!"
Harris mengambil posisi di depan Kira, memaksa bahu yang melemah itu, menghadapnya. "Kamu seharusnya sudah tahu, jika aku sudah bersikap santai seperti ini, maka aku telah melakukan semua yang terbaik untuk kita dan anak-anak kita. Sekalipun aku sedang berada di ujung peluru yang akan menembus kepalaku, aku harus tetap tenang dan jernih, kau seharusnya sudah hafal mengenai hal itu. Tentang video itu, bagiku itu hanya sebuah mainan anak-anak. Excel sudah menyelesaikannya, tinggal aku mengakhirinya. Untuk apa kita cape-cape mengejar kakinya berlari, sementara kita bisa mencekal kepalanya?"
"Sayang ... Jen adalah anakku sejak kamu menikah denganku. Aku merasa sakit jika kau mengatakan Jen hanya anakmu. Apa kau tidak ingat saat Jen sakit, tapi aku yang panik? Mereka anak-anakku sekalipun mereka tak berasal dariku. Karena kamu mamanya, wanita yang melahirkan mereka, dan karena aku sudah terlanjur mencintai kamu, jadi mereka adalah bagian hidupku juga!"
Hati wanita mana yang tidak tersentuh? Suami yang memiliki segalanya. Bahkan kini Kira sering merasa malu, hanya usia bertambah tapi kedewasaannya malah hilang, ia sering manja dan kekanakan, sering meluap-luap karena kekhawatiran yang berlebihan.
"Tapi, Bang ... Jen sudah keterlaluan kali ini. Aku mau dia menghargai kamu, menjaga nama baik kamu, dan keluarga ini. Dan kamu, selalu membelanya, hingga dia jadi manja dan egois, lalu kapan dewasanya?" protes Kira melembut.
"Lihatlah diri kamu sebelum menanyakan dewasanya Jen kapan datang? Kamu dewasa setelah kamu bercerai dari Rian, 'kan? Tidak apa-apa menjadi dewasa setelah sebuah peristiwa buruk menimpa, tidak apa-apa jika orang lain tidak butuh musibah untuk membuatnya lebih baik, tapi kita harus melalui musibah dulu baru bisa berpikir dewasa dan rasional. Biarkan Jen dewasa dengan prosesnya, kamu hanya perlu mendukungnya. Ini hanya memerlukan kesabaran dan sedikit waktu saja!"
"Entahlah, Bang ... aku pusing dengan anak itu!" Kira menghempas tubuhnya ke atas bantal. Ia terlalu terkejut mendapat serangan frontal secara langsung dan menyeluruh seperti ini. Hari ini terlalu banyak yang menudingnya gara-gara video itu. Bahkan Kira melakukan aksi walkout saat arisan karena gerah dengan ucapan teman-temannya.
"Menjadi orang tua itu seumur hidup, Yang. Setelah dewasa malah makin banyak masalah yang timbul. Malah masa kecil mereka yang terasa merepotkan lebih baik seribu kali daripada saat mereka dewasa. Sabarlah dan percayakan semua padaku. Kau sudah cukup banyak berbuat baik padaku, jadi biar aku yang menyenangkanmu." Harris menyusul Kira di atas bantal. Ia mengangsurkan hidungnya lebih dekat ke pipi Kira yang lembab.
"Tidurlah, esok kau akan lebih baik. Ambil waktumu, bicara lagi esok pagi." Harris mengecup kening Kira dengan lembut.
"Aku ngga bisa tidur, Bang ...." lirih Kira sebab ia memang tak bisa tidur karena matanya tak terasa memberat.
"Mau Abang tidurkan?" Alis Harris mengangkat begitu saja.
"Ngga! Aku mau tidur sendiri!" Kira berguling miring, membelakangi suaminya.
"Yah, bungkus tehnya ngga jadi dibuka donk? Yakin, Yang? Ngga sayang tuh, kalau cangkirnya kosong dan dingin!" goda Harris lagi. Ia memeluk Kira dari belakang, bibirnya bersarang di belakang leher Kira. Menggoda dengan sensual.
"Dikutuk malaikat, loh, Yang!" bisiknya parau.
"Aku sudah minta dispensasi untuk malam ini!" ucap Kira seraya memejam.
Harris terkekeh lagi, "Malam Sayangku. Tidur yang nyenyak. Besok dispensasi sudah dicabut, ya. Setelah subuh."
Kira berbalik, ia melebarkan matanya. Menimbang sejenak. "Aku batalkan dispensasi." Kira mulai membuka pembungkus teh yang akan mencelup di dalam cangkirnya yang berisi air hangat. Merobeknya. Pikirnya, setelah subuh, ia malah tidak akan bisa mengistirahatkan tubuhnya. Hanya dengan suaminya ini, bermain pesta teh sangat melelahkan.
Harris merebah dengan pasrah membiarkan Kira menguasai dirinya. "Apa airnya akan tumpah bila cangkirnya diatas?"
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
Royani Arofat
tentu saja.cangkir d bawah aja airnya busa tumpah kl ngaduknya terlalu kencang apalagi cangkirnya diatas....
2023-02-25
0
Maryani Sundawa
dan drama hari ini berakhir dengan part mama Kira dan papa Harris yg sibuk nge teh🙈🙈
2022-10-14
0
Fe☕
Tradisi minum teh ala apa papa haris 😍
2022-03-13
0