Nella baru bisa bernapas lega ketika melihat ayahnya telah melewati masa kritis. Menurut dokter, jika sampai mereka terlambat sedikit saja, ayah Nella tidak akan tertolong.
"Buk, apa ibu memercayai Nella kalau bukan Nella yang melakukannya?" Nella menggenggam tangan Sri yang tampak begitu syok hingga wanita itu duduk bersimpuh di luar ruang perawatan.
Bibir Sri bergetar hebat, perlahan dialihkan perhatian yang semula memandang kosong udara di depannya ke wajah putri semata wayangnya. "Bagaimana ibuk tidak percaya sama anak ibuk sendiri? Jika itu jus buatan kamu tadi pagi, pasti ibu juga keracunan 'kan?"
Nella melemaskan tubuhnya yang semula menegang bersamaan dengan hembusan napas penuh kelegaan keluar dari bibirnya. "Aku lega ibu percaya padaku, aku sempat takut ibuk lebih percaya sama Tanna." Sudut mata Nella mengalirkan air mata lalu memeluk ibunya.
"Kita pergi dari rumah itu, Nella, Ibuk sudah tak peduli lagi bagaimana nasib anak manja itu, dia masih punya orang tua dan kakak, biar saja dia ikut mereka. Lagipula pembantunya banyak, kenapa harus kita yang menderita sampai seperti ini?" isak Sri terdengar geram.
Nella memikirkan hal yang sama, tetapi pertama Nella ingin memberi pelajaran wanita gila itu. Nella bisa tahan jika hanya dia yang dilukai Tanna, tapi jika sampai orang tuanya harus sampai seperti ini, dia tidak akan pernah terima.
"Buk, aku pulang dulu ya, mengambil beberapa barang milik kita. Setelah dari rumah sakit, kita langsung pulang kampung!" kilah Nella yang tak ingin ibunya berpikir macam-macam.
"Hati-hati, Nell ... pura-pura saja ibuk memercayai ucapan Non Tanna. Katakan kalau ibuk mengusir kamu, agar dia merasa menang."
Mereka lalu melerai pelukan, Nella mengangguk mengerti, lalu ia bergegas menuju rumah Tanna. Nella sangat paham sifat Tanna yang tak pernah mau dikalahkan bahkan oleh bayangannya sendiri.
***
Langkah Nella seakan mengambang ketika ia berlari cepat melintasi halaman menuju kamarnya. Ia mengambil barang-barang yang penting saja dan muat di tasnya yang berukuran sedang. Ia tak mau terang-terangan terlihat oleh Tanna. Ia ingin membiarkan wanita itu kebingungan saat tak ada lagi yang bisa diandalkan. Nella kembali ke rumah sakit setelah tak menjumpai Tanna di dalam rumah itu.
Rupanya, Tanna sudah berada di rumah sakit yang sama dengan ayah Nella. Ia memeriksakan tangannya yang dikilir oleh Jen. Sekali lagi, ia dengan mudah menemukan orang tua Nella.
"Bagaimana, Bu?" Tanna berdiri diambang pintu, dengan sebelah bahunya bersandar di kusen pintu, sementara tangan yang terkilir digendong pada seutas kain. Ia menatap Sri yang sedang meratapi suaminya sambil memainkan bibirnya.
Sri memendam geram, ingin rasanya ia mencabik wajah di depannya itu. Kesabaran Sri selama ini rupanya telah mencapai ambang batas. Ia tak bisa lagi menahannya lebih lama. Tetapi Sri lebih memilih cara halus agar rencana melarikan dirinya nanti tidak sampai diendus Tanna.
"Non ... maaf, suami ibuk sakit, jadi Non Tanna sama pembantu yang lain, ya?" ucap Sri lirih dan lembut seperti biasa. Sri memang pengasuh Tanna sejak kecil, jadi kelangsungan hidup Tanna bergantung pada Sri sekalipun hanya untuk mengambil sendok yang jatuh.
Tanna tersenyum meremehkan, ia menggerakkan kepalanya seolah berkata, "dasar bodoh"
"Ibuk ... ibuk ... ibuk! Heeeuuh ...." Tanna melengguh panjang sambil berjalan dengan angkuh menuju ranjang ayah Nella. "Baik-baik disini ya, jagain ayah dengan baik. Oh ya ... aku membawakan sisa jus tadi agar kalian bisa menghabiskannya berdua," ujar Tanna sambil menggoyangkan botol yang baru saja ia tarik dari tas yang ia bawa berisi jus di depan wajah Sri yang bergidik ngeri.
"Tanna ...," seru Nella yang baru saja tiba. Ia khawatir jika Tanna kembali berulah apalagi ketika melihat botol jus itu. Seluruh hati Nella serasa beku dan menggigil.
"Wah ... kamu berniat kabur?" Tanna langsung menajam, memudarkan senyum bengis yang barusan menghiasi bibirnya. Tas punggung yang di belakang tubuh Nella menjadi perhatian Tanna kini.
Nella membulatkan matanya, terkejut. "Aku hanya mengambil keperluan ayah dan uang untuk biaya pengobatan ayah!" kilah Nella
Tanna sejenak mengamati wajah Nella yang tampak memutih. Namun, rupanya Tanna lebih senang untuk percaya saja.
"Ikut aku ke kantor polisi dan hubungi wartawan, bilang kalau ada perkembangan baru mengenai video Diego itu!" Tanna menyerahkan hasil pemeriksaan lengannya ke arah Nella dengan hempasan kasar, membuat kertas laporan itu mengenai wajah Nella lalu turun ke lantai.
"Tan ... ayahku bahkan belum sadar akibat ulahmu, kini kau sudah memintaku melakukan kejahatan lain," ucap Nella keberatan.
Tanna yang sudah mengangkat kakinya, bersiap meninggalkan ruangan ini, sejenak mundur dan menatap wajah Nella dengan pandangan mengancam. "Jadi ngga mau?"
Tanna mengambil botolnya tadi lalu, dengan kasar menarik Sri hingga leher Sri berada dibawah jepitan lengan Tanna. "Apa isi dari botol ini harus melewati leher ibumu baru kau mau menurutiku, he?"
Sri memucat dan bergidik, tubuh wanita itu berkeringat dingin dan gemetar. Sementara Nella, hanya bisa mengibaskan tangannya dengan takut.
"Jangan Tan ... baik, baik, aku akan melakukan apa yang kamu mau! Sekarang lepaskan ibuku. Kita ke kantor polisi sekarang!" Nella menekan udara di depan Tanna, berusaha menenangkan wanita yang sudah membulatkan matanya.
Perlahan Tanna melonggarkan jepitannya, hingga Sri bisa bernapas lebih panjang. Sungguh Tanna adalah teror yang mengecam hidup ketiga orang itu.
"Bagus ...! Lain kali jangan membuat tenagaku yang berharga terbuang hanya untuk memperjelas siapa kalian dalam hidupku!"
Nella mengekori Tanna setelah menyerahkan tas punggungnya kepada Sri. Pikir Nella, ibunya bisa mencari cara agar bisa pergi dari rumah sakit ini.
***
Darren membawa Jen ke unit yang ditempati Diego untuk mengobati luka yang ada di lengan Jen. Meski banyak darah, tapi Darren yakin, pertolongan pertama dan seadanya sudah bisa membantu menyembuhkan luka itu.
Perlahan, dibasuhnya luka Jen dengan air dan handuk yang ia ambil dari lemari Diego. Dari kelihatannya, Diego adalah orang yang cukup rapi, mengingat bagusnya ia menyusun pakaian dan tatanan ruangan ini bisa dibilang apik. Bahkan kotak P3K dengan mudah ditemukan oleh Darren.
Darren semakin melambatkan gerakannya, bahkan berhenti saat Jen mendesis keperihan.
"Ssshh ... pelan-pelan, Ren! Sakit banget." Jen menggigit bibir setelahnya.
Darren yang mengambil posisi duduk berjongkok di depan Jen, mengangkat wajahnya. Ia tersenyum melihat Jen meringis hingga matanya memejam. Mata yang selalu memandangnya sinis itu bisa juga memancarkan ketakutan. Bibir yang selalu galak mengatakan sejuta kebencian itu bisa juga mendesiskan kesakitan.
Jen yang merasa diperhatikan oleh Darren segera melebarkan kembali matanya, menormalkan ekspresi wajahnya menjadi galak dan tegas dengan deheman samar. Manik matanya sesekali mencuri lirikan ke arah Darren yang tersenyum-senyum.
"Apanya yang lucu?" tanyanya tanpa meninggalkan kesan sinis dan judes ala Jen.
Darren sejenak menatap Jen, lalu menunduk dan menyimpulkan senyum. "Tidak ada ...!"
Jen mengeluarkan decakan, ekor matanya semakin menajam sebab melihat senyum Darren. Ingin bibirnya melontarkan cacian pada pria itu, tetapi sakit yang datang membuatnya kembali menegangkan lengannya. Menyembunyikan rasa sakit yang menurut Jen adalah sebuah kelemahan.
Keduanya berhadapan dalam diam, tetapi manik mata Jen tiba-tiba memiliki banyak waktu dan alasan untuk meneliti setiap inci wajah Darren yang mendadak sangat menarik. Jen bahkan tanpa sadar mengikuti gerak kepala Darren.
"Lumayan juga ...," batin Jen melantur dan tak terkendali.
.
.
.
.
review lama gays🥺😢
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
imas sukarsih
awas jatuh cinta Jen
2023-03-07
0
Maryani Sundawa
Tanna si psikopat
2022-10-14
0
Fe☕
Pengen nya Darren dengan Ranu
tp settingan nya Darren dengan Jen 🤔
2022-03-13
1