Darren menggeber senyumnya, ia bagaikan menang lotre milyaran rupiah. Mati-matian ia menahan tangan kirinya untuk tidak menimpa tangan Jen yang melingkar di perutnya. Rasanya belasan tahun yang teramat menyiksa tidak lagi terasa saat ini. Terbayar sudah seluruh sakit dengan pelukan ketat seperti ini. Meski ini hanyalah hal yang seharusnya dilakukan untuk keselamatan Jen.
Tapi ngga harus seketat dan sedekat ini, 'kan?
Tidak apa jika dia harus tertampar angin dan merasakan matanya pedih karena jaket dan helmnya di pakai Jen. Sungguh tidak apa-apa. Ia lebih dari rela melakukan ini semua. Satu hari yang manis. Sebahagia ini hati Darren hanya karena pelukan dari Jen.
Kendati demikian, Darren tidak berani melambat-lambatkan laju motornya, takut jika Jen akan tidak nyaman dan kapok jika diantarkan lagi olehnya. Sebisa mungkin ia membuat Jen nyaman dalam boncengannya. Jika dipikir-pikir, mungkin Jen tidak lagi merasakan naik motor sejak menjadi bagian keluarga Dirgantara.
"Makasih!" Jen turun dan menyerahkan helm kepada Darren saat mereka telah sampai di halaman studio milik Jen. Studio mini berlantai dua ini dibeli Jen dengan uangnya sendiri. Ia merasa perlu bekerja dan menghasilkan uang karena ia sadar, meski dia kini anak sambung dari Harris Dirgantara, tetapi ia bukan ahli waris. Sehingga ia memilih usaha sendiri meski masih terbilang kecil.
Darren tersenyum, "Tidak perlu berterimakasih. Ini bukan apa-apa." Ia menerima helm dari Jen dan memakainya. Ingin berlama-lama tapi Darren tiba-tiba kehilangan alasan untuk tetap di sini bersama Jen. Yang ada nanti malah Jen kesal dan akan merusak awal yang cukup baik ini. Lagi pula dia harus segera bekerja juga.
"Aku pergi, ya ...," pamit Darren sebelum helm itu menutupi wajahnya dengan sempurna. Tak mengharapkan respons apapun dari Jen, ia segera memutar kemudi motornya meninggalkan halaman studio Jen. Menembus jalanan yang ramai sekali lagi.
Jen masih termangu, tetapi ia segera berjalan dengan cepat memasuki studionya. Ia menenggelamkan pikiran akan Darren yang tampak tidak peduli, padahal biasanya dia mati-matian cari kesempatan berdekatan dengannya. Lagipula bukankah ini bagus? Tapi kenapa malah ada rasa kecewa?
"Jen—"
"Aku sudah lihat!" ketusnya pada Vaya yang berdiri dengan ekspresi beku dan tidak percaya.
"Aku hanya tidak menyangka dia tega melakukan ini pada kita. Apa kurang cukup kita terpuruk seperti ini?" isak Vaya yang cukup syok melihat trending di sebuah laman penyiaran. Rasanya sudah hancur saja apa yang telah mereka rintis dengan susah payah selama ini.
Jen ikut merembeng. "Tenanglah, aku akan coba hubungi D." Ia masih berjarak cukup jauh dari Vaya, ia bahkan tidak berniat memberi Vaya sebuah pelukan. Hatinya sangat panas dan ingin melabrak Diego. Bibir wanita itu mengatakan untuk bertenang, tetapi hatinya saat ini sedang bergemuruh.
"Mana bisa, Jen ... kamu tahu 'kan kita telah berbuat banyak untuk dia, tapi kenapa malah balasannya begini?" ucap Vaya lirih.
"Sudahlah, jangan cengeng begitu! Nanti biar aku yang mengurusnya!" ketus Jen. Ia segera masuk ke sebuah ruangan. Ruangan yang cukup besar dengan meja besar kaca besar di tengah-tengah. Rak buku besar bertengger di salah satu dinding, jendela besar dengan kerai horisontal berwarna krem membuat ruangan ini sedikit remang jika lampu tidak dinyalakan. Di depan jendela, bertengger meja kerjanya yang sederhana dan tidak terlalu besar.
Jen sejenak menyapu ruangan ini dengan perasaan sedih dan tertekan. Beberapa bulan ini, usahanya tergolong sepi. Banyak yang mengcancel mendadak pesanan yang sudah setengah jalan diproduksi, dan tak sedikit juga yang batal memakai brand dari Jen. Entahlah, kepalanya mau meledak jika memikirkan hal ini.
Ketika ia sudah menggoyang kursi kerjanya dan menarik kerai hingga setengah terbuka hingga membuat matanya silau, Jen mengambil ponselnya kembali. Ia dengan sangat sedih melihat pria yang begitu disayangi mengatakan omong kosong yang menyakitkan.
***
"Pagi, Pak Darren," sapa Tamy, kasir yang bekerja di galery sport milik Jeje. Ia mengawasi atasannya yang tampak tersenyum cerah pagi ini. "Something happen?"
Darren melebarkan senyumnya. "Ke ... po!" jawab Darren sambil berlalu pergi ke ruangannya. Meninggalkan Tamy yang mencebik kesal.
Darren meletakkan helm di depannya, seolah wajah Jen masih tertinggal di sana. Ia bahkan tertawa seperti sedang bercanda dengan Jen. Its crazy, right? Love always made someone going mad.
Darren baru beranjak dari helm itu saat mendengar dering ponselnya berbunyi.
"Baca pesan gue, Bro. Bener ngga sih video itu?" Yang menelpon adalah Jabir, sahabat dekat Darren.
Darren mencipta kerutan di keningnya, lalu mengarahkan ponselnya ke depan wajahnya. Satu sentuhan pelan dan muncullah Diego sedang mengoceh di chanel penyiaran miliknya. Don't care, pikir Darren.
"Kenapa dia?" tanya Darren cuek saat ponsel kembali menempel di telinganya. Tak perlu dijelaskan perasaan Darren pada Diego. Tentu dia sangat cemburu pada pria itu. Hingga apa pun tentang dia begitu menyebalkan rasanya.
"Lihat aja dulu sampai akhir, setelah itu hubungin gue lagi."
Darren mendengkus kesal. Baginya tidak ada yang lebih penting daripada berlama-lama memikirkan Jen. Namun, Darren tetap mengikuti apa yang di minta Jabir, meski dengan perasaan dongkol.
"Beberapa waktu lalu, ada yang bertanya tentang hubungan gue dan Jen. Disini, gue mau klarifikasi bahwa gue dan Jen tidak terlibat hubungan apapun sebenarnya. Tetapi, kalian bisa menilai sendiri siapa yang heboh dengan kedekatan kami. Gue selalu profesional dalam bekerja sama dengan siapapun, termasuk Jen. Gue murni hanya anggap dia rekan kerja, ngga lebih. Oke, jadi gue tekanin sekali lagi, gue dan Jen ngga ada hubungan apa-apa, nothing special! Setelah ini, gue harap jangan ada yang nanya-nanya lagi hubungan gue sama dia! Cape gue jawabnya!" ujar Diego sambil terkekeh, tampak sekali dia mengejek dan merendahkan Jen.
Darren menghentikan sejenak video tersebut. Meradang. Mata yang biasa teduh itu tiba-tiba menatap tajam. Detik berikutnya, ia langsung menyambar helmnya lagi. Ini tidak bisa dibiarkan. Tetapi ia tahu harus pergi kemana dulu. Jenny kesayangannya pasti sedang terluka sekarang. Pria brengsek itu akan mendapatkan gilirannya nanti setelah ia melihat dampak dari ucapan yang menjijikkan itu.
Darren setengah berlari menuruni tangga, hingga ia hampir menabrak Tamy yang sedang sepertinya akan ke ruangannya. Keduanya sama-sama terperangah dan mengerem langkahnya. Bahkan Tamy, langsung menutup matanya saat dada Darren hampir menyentuh ujung hidungnya.
"Ya Tuhan, Darren!" Tamy memegangi dadanya.
"Sorry, Tam ... gue buru-buru! Urus semua kerjaan gue hari ini!" Darren menggeser tubuhnya menjauhi Tamy, lalu beranjak begitu saja mengabaikan Tamy yang nyaris terjungkal karenanya.
"Hei ... mau kemana? Nih, laporan yang kamu minta gimana?" Tamy menatap kepergian Darren dengan hembusan kasar. Ia menarik lagi lembaran kertas yang ia ulurkan ke arah Darren yang sudah lenyap dari pandangannya. Wanita itu hanya bisa meluruhkan bahu dengan pasrah.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
Maryani Sundawa
semoga ya Darren...it's ur turn😎
2022-10-13
0
Fe☕
Darren ayo show time
2022-03-13
1
𓂸ᶦᶰᵈ᭄🇪🇱❃ꨄ𝓪𝓢𝓲𝓪𝓱࿐
salken neg
2022-02-22
3