Happy Reading ;)
.
.
Kemana dia akan membawa wanita di punggungnya ini?
Dengung tanya terus saja menggema di dalam pikiran Darren. Satu per satu telah ia pertimbangkan lebih dan kurangnya. Rumahnya, juga pasti ada ibunya yang selalu bergelut dengan bunga di depan rumahnya. Apartemen dia tidak punya. Hotel? No ... Itu malah akan memperburuk keadaan.
Debu jalanan tipis menyapu mata Darren, membuat matanya semakin perih. Kulitnya yang bersih kini berubah coklat dan mengembunkan keringat. Lapar bukan lagi masalah berat sekarang, pun dengan tenggorokannya yang mengering juga ia abaikan sekarang. Manik gelap milik Darren menyapu sekeliling, kawasan ini tak jauh dari tempatnya bekerja, sehingga ia segera mengarahkan kemudinya kesana.
Tamy menatap Jen penuh tanya, wanita itu sangat anti datang ke tempat ini, saat hanya dia dan Jeje saja, wanita itu enggan sekali kemari, apalagi sejak Darren di sini. Menoleh saja rasanya tak sudi. Ketika Jen dengan patuh mengikuti Darren, bibir Tamy jatuh tanpa permisi.
"Apa aku ngga salah lihat?" gumam Tamy. Ia mengikuti langkah dua orang yang biasanya adu urat itu dengan pandangannya. "Apa dunia akan kiamat?"
"Istirahatlah, aku hanya punya tempat ini." Jen mengangguk dan berjalan pelan menapaki tangga. Darren sendiri segera mengambil air mineral yang berada di show case sebuah merk minuman bersoda, menenggaknya tak bersisa. Lalu ia mengambil satu lagi untuk Jen.
"Kenapa dia?" Tamy muncul di belakang Darren, menatap ujung tangga, memastikan Jen telah lenyap dari sana.
Darren pun mengarahkan matanya ke tangga, ia menutup pintu show case dan berkata. "Lagi ada masalah sama cowoknya."
Ucapan Darren membuat Tamy tergelak. "Pas dia ada masalah sama cowoknya, elu yang nadahin tangisnya. Ada ya, cowok yang terima dibeginiin sama cewek?" Tamy menggeleng, tak habis pikir olehnya apa yang ada di otak Darren.
"Kamu ngga tahu masalahnya, Tam ... dia kaya lagi di fitnah gitu."
"Ya, terus? Kalau dia difitnah terus dia seenaknya gitu sama kamu. Ngga inget dia kasar sama kamu? Aku aja yang bukan mama kamu, ngga terima kok kamu dikasarin begitu! Apa kamu ngga mikir, bagaimana jika sampai mamamu tahu perlakuan dia ke kamu?" Tamy masih lekat menatap pria didepannya ini.
"Dia begitu karena kesalahanku di masa lalu, Tam. Jadi aku ngga bisa nyalahin dia jika dia benci aku, 'kan?"
Tamy mengesah dalam dan menggeleng, "Sudah seperti ini, kau masih membela dia, Ren. Semua orang pernah kecil, Ren. Semua anak juga begitu, 'kan? Itu masa lalu, dia saja yang kepala batu!"
Tamy berbalik dengan kesal, meninggalkan Darren yang pastinya tidak akan terima jika Jen di jelek-jelekkan olehnya.
Darren menatap punggung Tamy yang menjauh menuju meja kasir. Ia juga tak mengharapkan orang lain mengertikan dirinya dan prinsipnya.
***
Jen masih berusaha meredakan tangis sesalnya, setelah kesekian kalinya nomor Diego tidak bisa dihubungi. Ia kini sedikit paham, bahwa Diego memang bukan pria yang baik, tetapi perasaan ini sungguh ia tak bisa menerima. Dia sudah begitu tinggi menggantungkan asanya pada Diego, berharap ada masa Diego melamarnya.
"Minumlah ...," Darren mengulurkan botol air mineral dingin di depan Jen.
Wanita itu mengusap matanya dengan punggung tangan secara brutal. Lantas ia menerima dengan ragu botol itu, dan meminumnya di bawah tatapan Darren.
"Tidurlah, buat dirimu nyaman, sementara aku bekerja. Aku dibawah jika kau membutuhkanku. Kamar mandi di sebelah sana." Darren menunjuk ruangan kecil diseberangnya. Lalu ia berbalik saat Jen hanya membisu sambil sesekali melirik hampa ke arahnya.
Dia benar-benar mencintai pria itu rupanya.
"Makasih ...," lirih Jen sekilas melirik Darren. Tetapi ketika Darren menoleh, Jen buru-buru menunduk. Entahlah, ada sekelip malu tiba-tiba menghampirinya. Setelah perlakuan buruknya pada Darren, kini malah ia berlindung di balik punggungnya.
"Sama-sama." Darren tersenyum miris. Ucapan yang terlihat tidak ikhlas keluar dari bibir Jen, bahkan dia enggan menatap Darren atau sekadar memberikan senyum padanya.
Darren mendesah dalam, bergegas ia melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan ini.
***
Darren kembali bekerja seperti biasa, ia memeriksa gym yang bersebelahan dengan ruangan yang di sebut Jeje sebagai kantor. Lalu memeriksa toko kebutuhan olahraga, yang sebenarnya di bawah tanggung jawab Tamy. Namun, Darren tetap mengawasinya sesuai perintah Jeje.
"Tam, aku cari makan siang dulu, ya ...," pamitnya pada Tamy yang sibuk dengan pelanggan. Sementara Tamy hanya mengibaskan tangan seakan Darren hanya mengganggu pekerjaannya.
Darren setengah berlari menuju motornya, ia berniat membelikan Jen makanan kesukaannya yaitu olahan cumi dan sup ikan. Namun ketika tangannya menyentuh stang motor, ponselnya berbunyi. Buru-buru ia menarik ponsel dari saku celananya—lagi-lagi ia lupa dengan jaketnya.
Ranu.
"Ya, Ran ... ada apa?" sapa Darren begitu melihat Ranulah yang menelepon.
"Kak, bisa jemput Ranu di kampus? Mas Agus belum jemput ini, Kak ... mana di luar kampus banyak wartawan!" kesah Ranu.
"Oke, Ran ... kamu tunggu ya, kebetulan aku mau jalan," jawab Darren tanpa keberatan sedikitpun. Ranu sudah seperti adik bagi Darren, jadi apapun yang diminta Ranu akan diturutinya selama ia bisa. Ia bergerak turun lalu menuju motor Tamy dan mengambil helm milik rekannya tersebut.
"Kalau sudah sampai kak Darren telpon aku, ya!" Ranu segera menyudahi panggilannya, tanpa menunggu Darren menjawab.
Darren menghela napas, meraup wajahnya sejenak, menghempas lelah yang menghinggapinya. Lantas ia kembali menembus jalanan dengan motor gedenya.
***
"Ranu ...," panggil Darren pada gadis berperawakan tinggi dan singset, yang sedang bersembunyi di balik tembok dekat area parkir. Ranu memang masih sembilan belas tahun, tapi wajah dan pembawaannya dewasa. Garis wajahnya tegas membuat orang sering menyalahpahami Ranu sebagai gadis yang galak dan sombong. Kacamata besar juga menyembunyikan keindahan mata yang cukup gelap dan jernih. Perpaduan Harris dan Kira yang benar-benar sempurna.
"Lama nunggunya?" Darren menyerahkan helm yang sengaja ia bawa untuk Ranu.
"Belum Kak ...," jawab Ranu sambil tersenyum manis. Ia segera mengenakan helm dan tanpa basa-basi langsung naik ke atas motor Darren.
"Kakakmu ada di galeri, dia abis nangis-nangis tadi," cerita Darren pada Ranu.
"Kak Jen kena batunya, Kak ... sudah aku bilang kalau D itu ngga baik, dan kak Excel juga sudah melarang ketemu D, tapi dia masih nekat. Biarkan saja Kak, nanti di marahin mama, baru tahu rasa." Ranu mencak-mencak di balik punggung Darren.
"Kamu juga dikatain gendut sama D ... dan cupu." Terkekeh, Darren menoleh agar bisa melihat Ranu yang mengerucutkan bibirnya. "Tapi sangat manis." sambungnya.
"Dasar gombal ...." Ranu menampik bahu Darren pelan, susah payah ia menepiskan rona yang bertumbuh dengan cepat di pipinya.
Darren terkekeh lagi, "Kamu ngga marah?"
"Enggak! Buat apa marah sama orang ngga jelas kaya dia. Dari dulu aku ngga suka sama dia, mungkin lewat video itu, dia bisa mengatakan kebenciannya padaku, Kak. Tapi ngga papalah, emang aku gendut dan cupu, jadi biarin aja!" jawab Ranu santai. Ia bahkan tersenyum secerah matahari pagi.
Darren tersenyum bingung, gadis ini mudah sekali memaafkan orang lain yang nyata-nyata menyakitinya. Atau Darren saja yang tidak mengerti kalau Ranu paling bisa menyembunyikan perasaannya.
.
.
.
.
.
Banyak Cinta dari Misshel❤❤❤
Thankyou🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
y_res
sepakat sih sm tami,,, kadang jen kelewatan ngomongx,,, sadis
2023-04-17
0
sri hasan basri, S.Pd.
tamu bisa berkata begitu karena dia bukan jen, dan tak berada diposisi jen. jgn pernah menghakimi org lain jika tdk pernah ada dan tau posisi org lain
2023-04-07
0
imas sukarsih
Ranu jangan cinta sama Derren ya
2023-03-06
0