Jen melenguh, kelopak matanya terasa memberat, efek menangis tadi pasti akan meninggalkan bekas membengkak di sana. Kamar ini gelap, hanya cahaya remang dari luar jendela yang tak tertutup tirainya. Cahaya bulan, mungkin. Jen berniat meregangkan tangannya, mengiringi uap yang biasa ia keluarkan saat bangun tidur. Namun, tangannya terasa berat bertaut pada sebatang tangan yang begitu kokoh dan hangat. Jen membeliak tanpa berani mengeluarkan suara. Meraba dirinya sendiri.
Aman! Pikirnya usai mendapati busananya masih utuh. Meski begitu, ia tetap berdebar tak karuan dengan posisi seperti ini, dan bersama pria. Jen tiba-tiba mengingat semua masalahnya hingga berakhir seperti ini. Ia ingat untuk pulang, tapi ia juga ingat untuk takut menghadapi amarah mamanya. Jen mendesis ngeri, setidaknya ia harus menyiapkan telinganya sebelum hatinya yang tertusuk-tusuk kemarahan mamanya. Ya, mau tak mau Jen akan menghadapi itu. Meski marah, mamanya pasti tidak akan bertahan lama dengan kemarahannya.
Manik mata Jen bermuara di wajah Darren yang begitu teduh. Dibanding Diego, Darren sungguh hanya pria biasa. Tak ada yang istimewa, menyebalkan malah. Tapi saat Jen butuh, malah Darren yang ada, hanya seorang Darren. Sedih dan merasa ditinggalkan.
Bel terdengar nyaring, membuat Darren tersentak bangun. Ia terlonjak hingga duduk. Namun, Jen sudah memejamkan mata kembali, berpura-pura masih tertidur. Darren segera menarik tangannya dengan lembut, mengusap wajahnya perlahan dan berjalan ke pintu. Ia luangkan waktu untuk memindai suasana, lalu ia mendesah dalam.
Bel kembali berbunyi, menyeret langkah Darren semakin cepat, tak sabaran sekali orang itu. Tanpa melihat siapa yang datang, Darren begitu saja membuka pintu. Hingga pandangannya terbentur sesosok pria yang menatapnya penuh kemarahan.
"Om-e ... Pak ...!" Darren bingung menjelaskan, jelas ini bukan tempatnya, tapi Darren membuka pintu.
"Bawa dia kemari atau aku yang masuk?" Riko menegaskan setiap pernyataannya.
"O-Pak ... saya ngga ngapa-ngapain dia, kok. Tadi kami tidak sengaja bertemu di sini. Aku-aku—"
Ucapan Darren langsung disambar Riko tak sabaran. "Jangan menjelaskan apapun yang malah akan membuatmu semakin terlihat bersalah!"
Darren mengatupkan bibirnya, ia mengangguk ragu. Lalu beringsut masuk ke dalam, membiarkan Riko menunggunya diambang pintu.
"Jen ... ada Om Riko!" Darren tetap bersikap lembut dan perlahan menggugah Jen yang sebenarnya hatinya saat ini jumpalitan. Jika Riko yang datang artinya ...? Seumur hidup belum pernah, ia ingin memejam lebih lama dari pada hari ini. Ia ketakutan sampai menggigil.
"Jen, ayolah ... jangan sampai Om Riko nyamperin kamu di sini! Malu tauk!" Darren sungguh terpaksa mengguncang tubuh Jen dengan kuat, hingga wanita itu berdecak seraya bangun.
"Iya-iya ... aku ngerti, kok!" Jen memberengut. Lalu menyibak rambutnya, membenahi sedikit. Tapi bisakah ia cuci muka dulu? Setidaknya itu membantu penglihatannya jernih.
Jen beranjak ke arah kamar mandi, tetapi Darren menarik tangannya dengan panik. Pria itu malah sudah menyematkan tasnya di bahu, menyeretnya dengan lembut ke depan Riko. Seakan ingin membuktikan bahwa Jen sangat baik-baik saja.
"Anda sudah ditunggu, Nona!" Jen menghela napas, ia tahu waktunya sudah tiba. Pikirnya, jika Riko sudah menggunakan bahasa formal, artinya dia dalam mode tak bisa diajak bicara damai. Di rumah, pasti sudah dalam keadaan siaga.
"Aku pulang dengan Darren!" cetus Jen sambil mengamit lengan pria yang tiba-tiba kaku dan menegang. Jangan cari masalah, Jen! pinta Darren dalam hati. Menilik tatapan Riko, saat ini dia sedang menyelidik, menguraikan prasangka.
"Jen, ikutlah Om Riko ... sudah malam udara pasti dingin!" kilah Darren tak enak hati. Serba salah.
"Aku maunya pulang sama kamu, karena kamu yang bawa aku ke sini!"
Ucapan Jen seketika menelan semua suara, hingga hening meraja diantar tiga manusia yang kini tatapannya bertumpu pada Darren. Sementara Darren, ia menelan dalam-dalam suaranya sendiri. Mengatakan sangkalan pun juga percuma.
Riko akhirnya membuka dirinya yang semula menghalangi pintu, membiarkan dua orang itu berjalan terlebih dahulu, ia memutuskan mengawasi, dari pada ia berdebat dengan Jen. Pikiran dua orang di depannya itu tidak bisa dimengerti sama sekali, jadi Riko juga tidak mau ambil risiko, buruannya kabur.
Sekali lagi, Darren menembus sembilan malam tanpa jaket dan helm. Selain itu dia harus melaju dengan kecepatan besar sebab Riko masih menyoroti mereka dari belakang. Darren mengumpat dalam hati. Sial sekali!
***
"Sabar, Mbak ... jangan marah begitu! Jen pasti ketemu kok!"
Jen terkesiap mendengar suara dari ruang tengah, terdengar suara Nina, dan beberapa orang di dalam sana saling berbicara hingga terdengar riuh.
"Bagaimana aku bisa sabar? Jen membohongiku setiap kali bilang menginap di rumah teman, pasti dia sama pria kurang ajar itu! Bayangkan apa yang mereka lakukan saat hanya berdua, Nin ... lihat video itu! Apa aku terlalu bodoh untuk berpikir semua baik-baik saja, ha?"
Langkah Jen membeku, ia menggigil sendiri. Bisa ia bayangkan kemarahan yang keluar dari wanita yang telah melahirkannya ini. Ia sungguh tak mengira bila mamanya berpikir sejauh itu padanya. Meski memang ia beberapa kali tidak pulang karena mabuk, tapi ia bersama Naja yang tak pernah sekalipun terlena. Naja yang mengamankannya, Diego tak pernah lebih jauh mengantarkan Jen hingga di depan pintu kamar, entah itu hotel, entah itu hunian milik Tanna.
"Ayo, Jen! Hadapi saja, katakan semua yang sebenarnya terjadi!" Darren menoleh ketika Jen yang masih bergelayut pada lengannya berhenti dan mematung dengan wajah memutih.
Jen memutar kepalanya dengan kaku, ia ingat ada Riko di belakangnya, sehingga ia memilih keluar rumah sambil menyeret Darren.
"Jen ...!"
"Darren ...!" Jen menatap wajah pria itu penuh kesungguhan. "Kamu harus menolongku! Kamu harus bilang kalau kita pacaran, dan bilang kalau Diego membuat video itu karena dia tidak terima kalau dia sudah kuputuskan!"
"Aku harus apa?" seru Darren hampir gila mendengar ucapan Jen. Ya, Tuhan, Jen ...!
Darren memutar kepalanya dengan rasa tidak percaya jika Jen meminta hal yang sungguh di luar nalar. "Jen, dengar! Orang yang tidak mengenal kita saja bisa tahu kalau kita itu tidak pernah akur, bagaimana bisa aku mengatakan itu di depan keluargamu, orang yang mengenal kita sampai ke tulang belulang kita?"
"Tapi, Ren ... semua tidak ada yang tidak mungkin 'kan? Alasan kita cukup logis kok, bilang saja selama ini kita hanya berpura-pura atau ...." Jen sejenak ragu, ia berusaha mencari-cari ingatan di mana dia dan Darren tampak seperti pasangan. Tidak ada dan tidak pernah! Mereka adalah kucing dan tikus!
Wajah Jen terangkat naik, menghadapi Darren yang seolah bilang "see" dengan alis terangkat. Fine! Jen kalah, sepertinya dia harus menelan amarah dari mamanya seorang diri.
Riko yang sedikit lelah menunggu, akhirnya keluar dari ruang depan menuju teras di mana dua orang itu sedang berdiskusi.
"Sebaiknya segeralah masuk! Berlama-lama di sini tidak akan menghindarkan anda dari semua ini, Nona. Lebih baik segera masuk dan selesaikan, setelah itu anda bisa beristirahat dan tenang."
Jen mendelik sebal kepada Riko, pria yang biasa santai kepadanya ini, tiba-tiba menjadi pria yang sangat menjengkelkan.
Namun, ia memilih menuruti ucapan Riko. Segera ia melangkah mendahului Riko, setelah menatap Darren sejenak. Ia berharap, Darren berubah pikiran di detik terakhir.
Tetapi harapannya sia-sia, Darren bergeming, hanya ekor matanya setia mengerling kepergian Jen.
"Ini dia, biangnya sudah datang!" seru Kira sambil membuka sikap siaga yang terlipat di depan dadanya. Segenap amarah menyertai, ia menghampiri anak perempuannya yang berdiri kaku di ujung ruangan.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
y_res
si jen sifatx mgk dominan gen dri bpkx,,, seingatku yg keras kepala dn bermulut super pedas it makx rian deh
2023-04-17
0
Maryani Sundawa
Mama Kira laksana singa yg akan menerkam mangsanya...Papa Harris si santuy nan penyayang🤭
2022-10-14
0
Fe☕
Jangan bantuin
biar Jen belajar hadapi smuaa
2022-03-13
0