Di dalam ruangan mewah ini, membaur empat orang dewasa, tetapi Jen seperti menganggap Darren tidak terlihat. Baginya selalu seperti itu. Ia sibuk berbincang dengan Naja tetapi ketika Darren menyahuti, Jen akan segera membisu seperti kena sihir. Jangankan menyahuti, menatap saja Jen enggan sekali melakukannya.
Bagi Jen, itu semua sepadan dengan tindakan Darren di masa kecil yang sering menjahilinya, hingga acap kali dia tak bisa berkata-kata lagi selain menangis. Menangis pun percuma, karena Darren and the gank, malah akan semakin senang dan tidak akan berhenti menjahilinya.
Jen berdehem ketika ponselnya berbunyi. Sejak beberapa saat lalu, Darren mengawasinya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, membuat wanita itu risih dan kesal. Seakan dia berharap untuk memperlakukannya manusiawi, tetapi Jen tidak ingin membiarkan empatinya timbul hanya karena dipandangi seperti itu.
"Aku pamit ya, kau tahulah, aku agak sibuk setelah hanya berdua dengan Devaya." Jen menggoyangkan ponselnya, lagaknya dibuat seangkuh mungkin. Padahal Devaya biasanya hanya mengingatkan jadwalnya yang hanya satu dua saja. Entah apa sebabnya, Jean's Collection sepi beberapa bulan terakhir.
"Baiklah ... aku juga lelah meladeni ocehanmu!" seru Naja sedikit kecewa, ia masih ingin bersama Jen tetapi sebentar lagi Cio bangun dan dia belum memejamkan mata sejak subuh, sejak Cio bangun dan menangis.
"Aku akan datang nanti siang dan akan menemanimu hingga malam. Cio pasti akan tenang saat aku bersamanya nanti." Jen mengangkat tubuhnya dari ujung ranjang tempatnya duduk sejak tadi. Mengulurkan pipi ke arah iparnya.
"Oh tentu saja ... dia akan tidur semalaman dengan suaramu yang menyakitkan itu," cibir Excel yang belum beralih dari sisi anaknya.
"Suara merdu begini, dibilang menyakitkan ... Cio akan merindukan suara Onty yang sangat indah ini, ya 'kan, Cio?" Ia merambat ke arah Cio yang sangat pulas. Tanpa berani menyematkan kecupan karena Excel terus melemparkan tatapan mengancam, Jen mengusap pelan kepala Cio, lalu mengepalkan tangannya di depan dagu, saking gemas dengan Cio. Ia sampai menghentakkan kakinya.
"Kita searah, Jen ... bareng sama aku saja!" Darren pun berdiri menatap punggung Jen yang tampak selalu indah. Bahkan gerak rambut Jen seperti sepoi angin yang membelai wajah Darren. Ah, ketika melindungi bergeser menjadi mengingini. Darren menyerahkan seluruh keberuntungannya hari ini.
"Tidak, terima kasih! Takut ketularan penyakitnya!" jawab Jen tak acuh. Ia segera melambaikan tangannya, menghindari omelan kakaknya atas ketidaksopanan ucapannya. Juga suasana yang berubah menjadi dingin dan canggung. Ia tahu telah membuat suasana tidak mengenakkan.
"Em ...," Darren menipiskan bibir hingga berkerut. Lalu mengulumnya perlahan. Ia tahu, Excel dan Naja tidak enak hati dengan tindakan Jen, jadi begitu Jen lenyap dari pintu, ia segera berniat pamit. Tidak apa-apa, ini sudah sangat terbiasa. Meski jujur saja hatinya semakin kebas.
"Sudah waktunya buka gym, aku pamit dulu." Ibu jari Darren menunjuk pintu dengan canggung, manik matanya bergerak diantara dua orang yang menatapnya penuh permohonan maaf.
"Aku-aku tidak apa, jangan menatapku begitu." ucap Darren akhirnya. Sesaknya berangsur pulih saat ini. Hingga tepukan dari Excel yang mendarat di pundaknya, membuat Darren mengusap kepala Cio dan melambai pada Naja. Lalu berjanji akan kembali lagi secepatnya.
***
Jaket denim hitam dengan benang jahit putih timbul dipermukaan, membalut tubuh Darren. Sejenak ia melirik matahari yang sudah meninggi, pikirnya terlalu lama di dalam bersama Excel karena ada Jen. Bibir sensual itu tersenyum hingga pipinya cekung dengan jelas.
Helm full face berwarna hitam segera menutupi wajahnya. Ia menaiki tunggangannya yang berwarna hitam doff, Darren dengan gagah dan elegan memacu motor pabrikan Italia tersebut. Tetap keren sebab ia menaiki limited edition yang army look nan perkasa dan tangguh.
Dikejauhan, ia melambatkan laju motor tersebut. Bayangan Jen memasuki sudut pandangnya dengan begitu mudah. Ia sedikit gelisah, berpikir, dan berusaha berani. Sekali lagi tidak apa-apa, bahkan seribu kali juga tidak masalah. Darren menghampiri Jen yang sepertinya sedang terdesak.
"Ada apa?" Belum turun, hanya membuka helmnya agar ia sedikit lebih terlihat di mata Jen.
Wanita itu mendengkus, melirik dengan sebal. Seolah bukan Darren yang diharapkan hadir. Selalu seperti itu, 'kan? Tidak kurang lima belas tahun, dan semakin terasa kali ini.
Darren memperhatikan sekeliling. Tidak ada yang perlu ditakutkan memang, tapi kenapa dia tampak takut dan gelisah?
"Aku antar kamu ke studio. Taksi akan lama datang jika kamu ada di dalam sini!" Darren bergeming, meski rasanya ia ingin menyambar gadis itu dan dengan tidak sabar menaikkannya di jok belakangnya. Tetapi ia sabar dan menunggu.
Jen menghindari tatapan Darren, tetapi keadaannya sangat tidak memungkinkan untuk berlama-lama di sini. Tidak akan baik untuknya.
"Aku tidak memaksa, jika kamu tidak mau bersamaku, aku akan mencari taksi untukmu."
Kebencian Jen memuncak, ia tidak suka jika orang yang dulu begitu melukainya kini malah berbaik hati dan seolah dirinya yang buruk karena memendam dendam. Jen ingin mengumpati pria itu, tetapi ucapannya tertelan oleh penglihatannya pada segerombolan orang dengan kamera menyelidik di halaman rumah sakit.
Sumpah demi apapun, ia sangat terpaksa.
"Tidak perlu, kamu antarkan aku saja!" Nada suaranya masih ketus dan tidak bersahabat tetapi bagi Darren, itu adalah suara terindah yang pernah ia dengar.
Darren dengan sigap berbalik arah yang semula menjauh hendak keluar memanggil taksi, kini dengan lari kecil ia mendekati motornya.
Darren begitu gugup dalam senang. Ia ingin membantu Jen naik motornya, tetapi tentu Darren berhati-hati agar tidak menyinggung wanita itu dengan sentuhannya. Tetapi ia ingat bahwa Jen hanya memakai kaos rajut dan memperlihatkan sedikit kulit perutnya yang putih, Darren bergegas melepas jaketnya.
Ingin memakaikannya tetapi apa Jen bersedia? Lalu dengan ragu, ia mengulurkan jaketnya dan berkata. "Pakailah ... angin bertiup kencang saat naik motor." Ingin tersenyum tapi wajah masam itu mampu merapatkan kembali senyum Darren. Gantinya, ia buru-buru mengambil helm dan meletakkan dengan hati-hati di kepala Jen.
Jen mengelak, helm hanya satu dan Darren pasti membutuhkannya. Namun, gerakan tak ingin dibantah bergegas menghampirinya. Ia mematung dengan jaket masih terpegang erat ditangannya. "Rambutmu akan berantakan nanti." ucapan Darren membuat Jen mengembuskan napas malas.
Aroma shampo Darren begitu kuat menusuk indra penciuman Jen. Menenangkan dan rasanya sudah dirancang secara khusus agar mampu memadamkan kegelisahan dan amarah Jen. Apa dia sengaja menaruh shampo banyak-banyak di sini, agar aku ingat dia terus? pikir Jen. Manik mata gadis cantik itu memutari seluruh ruang di dalam helm.
"Pegangan Jen ...!" perintah Darren yang langsung di sanggupi Jen dengan memeluk pinggang kokoh Darren. Menempel padahal motor belum melaju. Lagi-lagi, Jen berprasangka, tubuh Darren seakan di setting pas dengan tubuhnya. Jen membeku saat menyadari ia terlalu dekat dengan Darren. Ia mengedip dengan perasaan berdebar yang sangat aneh. Meneguk ludahnya dengan kasar, Jen berniat mundur. Tetapi Darren bergegas menarik tuas gasnya, hingga Jen urung melanjutkan niatnya.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
Larius Situmorang
sumpah demi apapun ,dia tidak sangat menyukainya.
2023-04-06
0
imas sukarsih
awas Jen, jatuh cinta 🤣
2023-03-06
0
Lusia Wulandari
dari Excel & Naja otw Darren & Jen
2023-02-23
0