"Aku dulu yang nengok Kakak, Pa, Ma ... baru Ranu dan mereka berdua." Jen tengah memegang pisau roti untuk mengoles selai di atas rotinya, ia menatap kedua orang tuanya. Lalu disegerakan pisau itu menyiduk selai coklat yang melimpah. Sedikit kesusahan, Jen menarik botol selai itu mendekat dengan ujung pisau tumpul tersebut. Sarapan selalu riuh seperti biasa. Penuh dan bergairah. Jiwa-jiwa muda terasa menyembulkan semangatnya di meja ini. Masa yang suatu hari nanti akan dirindukan.
"Kak Jen 'kan ngga sekolah, lebih baik kita dulu yang jenguk. Masa iya masih nunggu sampai siang nanti!" Agiel langsung tidak terima, ia menghempas roti yang dipegangnya ke atas piring lagi. Memilih memprotes kakaknya yang sepertinya sengaja menjahilinya. Kembar sudah kelas 3 SMA, sementara Ranu sudah mulai kuliah di salah satu universitas terkemuka.
"Emang kamu mau mandiin Cio-ups."
"Jadi namanya Cio?" Azziel langsung menyambar kalimat kakaknya. Agiel bergegas mengulurkan tangan di samping tubuhnya, lalu di timpali telapak tangan Azziel hingga terdengar bunyi "tos" lirih saat keduanya beradu. Berhasil. Ia yakin kakaknya akan kelepasan bicara, bibir kakaknya memang tidak pernah bisa menyimpan rahasia.
Jen mendesis dengan mata terpejam. Mulut ini memang mengerikan, pikirnya. Ia menurunkan ujung jemari lentiknya dari bibir yang berpoles lip-glaze. Menudingkan telunjuk penuh peringatan pada kedua adiknya.
"Awas kalau sampai kalian memberitahu kakak!" kecam Jen dengan nada menekan namun tetap ditahan-tahan. Dia masih di depan kedua orangtuanya. Oh My ... Jen kesal sekali jika harus menahan kekesalan akibat ulah adiknya itu. Terlebih dua orang itu tampak menyematkan senyuman penuh kemenangan.
"Kalian barengan saja, paling cuma diizinin nengok Cio sebentar. Seperti tidak tahu sifat kakak kalian saja!" Kira yang masih berdiri di sebelah suaminya, sibuk mengambilkan beberapa menu yang diingini Harris.
"Tapi Ma, aku mau yang pertama ngunjungi Cio."
Rengekan yang berhasil membuat Harris menghentikan sesapan pada tepian cangkir yang berisi cairan hitam nan kental. Uap tipis itu menyerbak wangi khas di udara sekitar Harris.
"Kak Jen benar, kalian nanti hanya akan terburu-buru dan tidak puas bermain dengan Cio. Kalian tidak tahu betapa menggemaskannya bayi kakak kalian itu. Tetapi, kak Excel memang melarang siapa pun datang agar Naja bisa beristirahat dengan tenang. Kalian juga harus menghormati itu, 'kan? Kakak melakukan semua itu demi kebaikan istrinya. Waktu kalian akan sangat banyak setelah pulang sekolah, jadi sebaiknya Kak Jen saja yang ke sana terlebih dahulu, mengerti?"
"Mengerti, Pa!" jawab ketiga anak remaja itu serempak. Lalu bergegas menyelesaikan sarapan tanpa mengeluarkan suara lagi, bahkan mereka bertiga menunduk tanpa berani memandang papanya. Suara papanya terdengar tegas dan tak bisa dibantah. Lagi pula semua itu benar.
Kira mengambil posisi duduk di sebelah suaminya. Ia menautkan pandangannya bergantian dari Ranu lalu kepada anak kembarnya. Yang selalu Kira tidak setuju adalah Harris selalu membenarkan Jen—meski memang benar, sih—dan membiarkan adik-adiknya mengalah. Sebenarnya, Kira takut itu akan menjadi satu hal yang menyebabkan mereka saling mencemburui dan merasa diperlakukan berbeda. Ia sungguh-sungguh takut.
Sehingga ketika ke empat anaknya beranjak dari duduknya—setelah hanya mengambil separuh roti isi—dan berpamitan, Kira mengambil napas untuk mengatur tatanan kata-katanya agar tidak terdengar ketus dan kesal. Sekian kalinya ia ingin memperingati suaminya agar tidak selalu membenarkan Jen di depan anak-anak lain.
"Pa, Mama mohon, jangan selalu membenarkan Jen. Itu akan membuat Jen besar kepala dan semena-mena pada adik-adiknya. Papa sudah kelewatan memanjakan Jen, melonggarkan semua peraturan padanya, kini apa-apa Jen selalu benar. Apa Papa ngga mikir bagaimana perasaan Ranu dan kembar?" Kira menyisihkan piringnya menjauh. Selera sarapan paginya amblas, ditelan rasa tak habis pikirnya akan tindakan suaminya. Kini yang lebih menggugah perasaan adalah menghakimi suaminya dengan telak. Ia sungguh tak habis pikir, bagaimana Harris bisa dengan mudah lunak.
Harris menyesap lagi kopinya hingga terdengar suara khasnya saat menikmati kopi. Sembari meletakkan cangkirnya, ia menoleh dan mengulas senyum.
"Mereka anak-anakku, Yang. Aku yakin mereka bisa dengan jernih mengerti maksudku, dan memang perkataan Jen benar, 'kan? Mungkin mereka kesal tadi, tapi aku yakin anak-anakku cukup dewasa berpikir." Harris menggenggam erat telapak tangan istrinya. Meyakinkan wanita yang selalu berlebihan terhadap kenyamanan perasaan anak mereka. Harris bisa mengerti tapi kebetulan saja, Jen selalu benar.
"Mama hanya minta agar Papa tidak membenarkan Jen di depan yang lain. Kenapa Papa ngga bilang gini ... menurut Papa, atau saran Papa, atau yang lain, gitu, Pa!" mimik wajah Kira sangat serius saat ini. Ia tak mau mendengar pembelaan suaminya, yang ia mau Harris menurutinya.
Harris terkekeh, "Ujung-ujungnya sama 'kan, membenarkan Jen?" Harris mengusap kepala istrinya. "Anak-anakku semua pintar dan tidak akan mempermasalahkan hal kecil seperti ini. Pikiran mereka terlalu sibuk jika hanya untuk saling mencemburui, banyak hal yang akan mereka lewatkan jika itu terjadi."
"Terserah Papa! Nanti jika Jen sampai melunjak, Papa orang pertama yang akan mama salahkan. Ingat itu, Pa!" kesal Kira sambil bangkit dan mendorong kursinya kebelakang. Berlalu pergi meninggalkan Harris yang masih menggelengkan kepala dan terkekeh geli.
"Istri kurang diajar!" senyumnya mengembang sebelum ia juga menyusul Kira. Paginya tidak terlalu sibuk, hari ini. Jadi mengajar wanita itu satu jam rasanya tidaklah terlalu lama.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
Larius Situmorang
meyakinkan wanita yang selalu berlebihan terhadap perasaan anak mereka.
2023-04-06
0
Maryani Sundawa
papah Harris termodussss😎😎
2022-10-13
0
Christy Oeki
trus sukses
2022-08-20
0