Sandra seketika syok saat mendengar pengakuan dari Anindita tentang apa yang menimpa wanita itu semalam.
" Ya Tuhan ..." Sandra langsung memeluk tubuh Anindita membuat tangis Anindita pecah.
" Nin, Cici ..." Sandra seakan tak sanggup meneruskan ucapannya. Dia pun kini ikut terisak masih memeluk tubuh Anindita.
" Ada apa, Mi? Kenapa Mami jadi ikutan menangis? Koh Leo yang mendengar suara tangis istrinya langsung menghampiri mereka di kamar Anindita.
Sandra langsung mengurai pelukannya dan kemudian dia menyeka air matanya.
" Pi ..." Sandra mengulurkan tangannya meminta suaminya itu agar menggenggam tangannya.
" Ya, kenapa, Mi? Kenapa Mami nangis juga?" selidik Koh Leo semakin cemas. Sedangkan kini dia melihat Anindita menarik dan memeluk kedua kakinya seraya menelungkupkan wajahnya di atas kedua lututnya.
" Anin semalam diper*kosa, Pi." Sandra berkata lirih.
" Apa??" Koh Leo kembali menoleh ke arah Anindita. Dia melihat bahu wanita itu terguncang karena menangis.
" Ya Tuhan ..." Koh Leo mengusap kasar wajahnya. Ternyata ini jawaban kecemasannya saat melihat Anindita pulang sendirian semalam.
" Siapa pelakunya, Nin? Siapa ba*jingan itu? Bilang sama Koko, biar Koko seret orang itu dan suruh bertanggung jawab atas perbuatannya," geram Koh Leo.
Anindita hanya sanggup menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Koh Leo, karena dia sendiri tidak mengetahui siapa pria yang sudah secara paksa merenggut kesuciannya. Walaupun dia masih bisa mengingat ukiran wajah tampan pria itu tapi dia benar-benat tidak mengenalnya.
Melihat Anindita yang menggelengkan kepala dan tak bersuara selain isak tangis yang keluar dari mulutnya Sandra pun segera menuntun suaminya ke ruangan tamu yang hanya beralaskan karpet tanpa ada kursi tamu.
" Jadi gimana ini, Pi? Sepertinya Anin tidak mengenali pelakunya, bagaimana kita bisa meminta pertanggung jawaban orang itu? Oh, Anin yang malang." Sandra menutup wajah dengan telapak tangannya mengetahui permasalahan yang dihadapi salah satu pegawainya.
" Nanti jika Anin sudah tenang kita tanyakan lagi, mungkin dia tahu ciri-ciri orang itu," sahut Koh Leo dengan nada berat.
" Apa kita perlu lapor polisi, Pi?" tanya Sandra.
Koh Leo menoleh ke arah istrinya. " Jangan dulu, kita mesti minta persetujuan Anin sebagai korban. Apa dia bersedia melaporkan ini atau tidak?"
" Tapi kasihan Anin, Pi."
Koh Leo menghela nafas panjang yang terasa sesak saat dihirupnya.
" Ini yang Papi cemaskan semalam," lirihnya kemudian.
" Kenapa semalam Papi tidak antar Anin pulang saja? Kalau Papi antar pulang pasti tidak akan terjadi hal seperti ini." Sandra terlihat menyalahkan suaminya.
" Papi sudah menawarkan diri untuk mengantar pulang naik mobil, biar sepedanya ditinggal di toko, tapi Anin terus menolak." Koh Leo berusaha membela diri.
Setelah itu hening, tak ada percakapan di antara mereka beberapa saat. Mereka tenggelam dengan pikiran masing-masing.
" Pi, bagaimana kalau kita bawa Anin ke rumah kita sementara waktu."
Ucapan Sandra membuat Koh Leo kembali menoleh ke istrinya.
" Orang yang mengalami peristiwa seperti Anin butuh orang yang bisa diajak bicara yang mensupport dia. Kondisi psikis Anin sekarang ini sedang terguncang dengan peristiwa semalam. Tidak baik jika dia sendirian di tempat ini. Mami takut ... dia bisa berbuat nekat. Apalagi belum tentu Anin bisa kembali kerja untuk beberapa hari ini." Sandra memberikan alasan kenapa meminta Anindita untuk tinggal di rumahnya. " Di kamar bawah paling belakang 'kan kosong, dia bisa pakai kamar itu."
Koh Leo berpikir sejenak sebelum akhirnya menyetujui rencana istrinya itu. Setelah didapati keputusan tentang apa tindakan yang akan mereka lakukan untuk menolong Anindita, Koh Leo dan Sandra pun kembali ke kamar Anindita yang kini terlihat sedang menyandarkan tubuhnya di dinding dengan kepala menengadah ke atas dan mata terpejam.
" Nin ...."
Anindita membuka matanya saat mendengar suara Sandra.
" Nin, Koko dan Cici sudah memutuskan akan membawa kamu tinggal di rumah kami," ucap Sandra kemudian.
Anindita mengeryitkan keningnya. Dia tahu kedua bosnya itu sangat baik terhadapnya dan dia sangatlah beruntung untuk itu. Tapi untuk ikut tinggal di rumah mereka, rasanya Anindita tidak bisa melakukan itu.
" Ng-nggak usah, Ci. Biar saya tinggal di sini saja. Saya sudah bayar kontrakan sampai bulan depan kok, Ci." Anindita berusaha menolak. Dia memang tidak ingin merepotkan majikannya itu.
" Nin, dengan keadaan kamu sekarang ini, Cici rasa nggak baik kamu tinggal di sini sendirian. Kamu butuh teman bicara. Ikutlah dengan kami." Sandra berusaha membujuk.
" Saya nggak Ingin merepotkan Cici sama Koko." Anindita beralasan.
" Jangan merasa sungkan seperti itu, Nin. Apa yang terjadi dengan kamu adalah tanggung jawab Koko, karena peristiwa yang kamu alami terjadi saat kamu pulang bekerja dari tempat Koko. Apa yang ingin kami perbuat mungkin tidak sebanding dengan rasa sakit yang kamu alami tapi setidak bisa meringankannya. Karena itu terimalah niat baik kami ini, Nin. Kami berdua ingin membantu kamu." Tak kalah dengan istrinya, Koh Leo pun ikut membujuk Anindita.
" Kami ingin kamu tahu, kalau kami ada buat kamu. Kamu nggak akan sendiri menghadapi ini, Nin." Sandra menepuk halus pundak Anindita membuat Anindita kembali terisak dan langsung berhambur memeluk tubuh istri dari bosnya itu.
" Terima kasih, Ci. Cici dan Koh Leo sudah terlalu baik terhadap saya, saya tidak tahu bagaimana harus membalasnya." Air mata Anindita terus berurai hingga membasahi baju Sandra.
***
Dua Minggu sebelumnya ...
Ricky menatap gundukan tanah merah yang kini telah tertutup kelopak mawar dan melati di atasnya. Di bawah tanah itu kini telah terbujur kaku seorang pria yang selama ini sangat berjasa untuknya. Seseorang yang telah menjadikannya menjadi dia yang sekarang ini.
Ricky memandang wanita paruh baya yang terus tersedu di depan makam suaminya itu. Sementara di depannya dua orang pemuda duduk dengan wajah tertunduk memandangi makam dari ayah mereka.
Ricky menatap nanar nama di pusara itu.
Poetra Laksmana bin Surya Laksmana
Lahir : Jakarta, 04 Februari 1965
Wafat : Jakarta, 15 Mei 2016
Ricky menghela nafas dalam-dalam. Ingatannya kembali saat dua hari lalu ketika dia berbincang untuk terakhir kalinya dengan pria yang sudah mengangkatnya sebagai anak angkat dari keluarga Poetra Laksmana.
" Rick, kemarilah ..." suara lemah Pak Poetra yang kini sedang berbaring lemah di atas brankar salah satu kamar VVIP di rumah sakit ternama di Jakarta ini.
" Saya, Pak." Ricky, pria berusia tiga puluh tahun pun mendekat ke arah Pak Poetra berbaring.
" Rick, kenapa kamu tidak pernah mau menyebut kata Papa? Apa kamu malu menjadi anak angkat Papa?" tanya Pak Poetra.
" Tidak, Pak. Tidak mungkin saya punya pikiran seperti itu. Saya sangat menghormati Bapak. Bapak adalah orang yang sangat berjasa untuk saya selama ini. Separuh hidup saya, saya habiskan bersama Pak Poetra dan saya sangat menyayangi Bapak seperti orang tua saya sendiri. Jadi bagaimana mungkin saya bisa merasa malu menjadi anak angkat seorang laki-laki hebat seperti Pak Poetra?" Ricky menampik anggapan Pak Poetra yang mengira dia tak pernah memanggilnya dengan sebutan 'Papa' karena dia malu. Dia hanya merasa dia belum pantas memakai sebutan itu selain dia juga merasa tak enak hati dengan kedua anak Pak Poetra, yaitu Bimantara dan Dirgantara.
Pak Poetra tersenyum mendengar penjelasan dari Ricky. Dia memang menilai Ricky adalah pemuda yang sangat istimewa yang dia temukan lima belas tahun lalu. Anak dari pekerja yang mengalami kecelakaan kerja hingga menyebabkan ayah dari Ricky itu tewas.
" Rick, Papa titip Dirga dan Bima ... dampingi Dirga dan bimbinglah Bima agar dia mau ikut mengurus Angkasa Raya Group. Buat mereka mempunyai tanggung jawab terhadap perusahaan di bawah naungan Angkasa Raya Group."
" Saya pasti akan melakukan itu, Pak." Ricky bertekad.
" Syukurlah ... kalau begitu Papa bisa tenang jika harus pergi menghadap Sang Illahi saat ini juga."
" Pak, Bapak jangan bicara seperti itu. Bapak pasti akan sembuh. Bapak harus semangat." Ricky langsung menggenggam tangan Pak Poetra.
" Sepertinya waktu saya tinggal sebentar lagi, Rick ..." Dengan nafas tersengal Pak Poetra berucap.
" Pak, Bapak harus sembuh. Kami semua masih membutuhkan Bapak." Ricky terus menggenggam tangan Pak Poetra berusaha memberikan kekuatan kepada bos sekaligus ayah angkatnya itu agar semangat untuk melanjutkan hidup.
Pak Poetra tersenyum samar. " Papa bangga bisa menemukanmu, Rick. Papa bangga bisa melatihmu menjadi pribadi yang kuat dan penuh tanggung jawab."
" Bapak jangan banyak bicara dulu. Sebaiknya Bapak beristirahat saja, agar kondisi Bapak cepat pulih." Ricky meminta agar Pak Poetra beristirahat. Siapa sangka ucapannya menyuruhnya beristirahat benar-benar didengar oleh Malaikat. Karena setelah dia mengucapkan hal itu, Pak Poetra langsung mengangguk pelan menyetujui sarannya kemudian memejamkan matanya. Itu terakhir kalinya Ricky berinteraksi dengan Pak Poetra sebelum akhirnya kondisi Pak Poetra drop dan tak sadarkan diri hingga akhirnya dinyatakan dokter meninggal dua hari kemudian.
Suatu kehilangan yang sangat besar bukan saja untuk keluarga Poetra Laksmana dan dirinya tapi juga kehilangan untuk seluruh karyawan dalam naungan PT. Angkasa Raya Group. Karena selama ini Bapak Poetra Laksmana dikenal sebagai sosok pimpinan yang sangat humble, baik dan bijak terhadap karyawannya. Tidaklah heran jika beliau sangat disegani kawan juga lawannya.
*
*
*
Bersambung ...
Happy Reading ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
gia nasgia
Next
2023-07-13
0
Alyn azzis
aquh terharru ma bos anin🤧
2021-11-29
0
Alyn azzis
masih d part awal kok sudah mehuwek aquuh🤧🤧🤧
2021-11-29
0