...☘️☘️☘️...
Tidak terasa, mesin waktu seakan berhenti tepat di angka satu tengah hari. Itu artinya jam pulang sekolah akan tiba. Dan benar saja, tidak berselang lama bel tanda pulang pun terdengar begitu nyaring, membuat para siswa dan siswi berhamburan keluar kelas.
Hal yang sama dilakukan oleh Damar dan Rainar. Kedua pria tampan dan tinggi itu tampak memancarkan wajah kebahagiaan karena pelajaran hari ini telah usai.
"Ternyata seru juga bisa sekolah di sini. Papa memang tidak pernah salah dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya." ujar Rainar yang berjalan di samping Damar.
"Pasti dong!!! Mungkin saja Om Ronald mendapatkan informasi tentang sekolah ini dari papiku atau Pakde Ammar. Karena itu kamu bisa sekolah di sini." jawab Damar.
"Bisa jadi sih tapi aku khawatir loh, Mar. Senin depan kita sudah mau ujian naik kelas saja, padahal aku 'kan baru saja masuk. Lalu bagaimana caranya aku bisa mengejar semua materi yang tertinggal agar bisa menjawab pertanyaan saat ujian?" ujar Rainar seraya menggarut kepalanya yang tidak gatal.
"Ah itu bukan masalah besar, adikku 'kan ada." jawab Damar seraya menghentikan langkahnya.
"Tapi aku tidak enak sama Wulan. Nanti dia malah kesulitan membantu aku mengejar materi." ujar Rainar yang mendadak sendu.
"Hei sejak kapan seorang Rainar menyerah tanpa sebab seperti ini? Ayolah, Bro! Wulan tidak seperti itu. Dia anaknya optimis dan penuh semangat kalau masalah pelajaran. Nanti biar aku yang bicara sama adikku dan kita akan membuat kelompok belajar." jawab Damar seraya merangkul bahu sahabatnya.
Rainar yang dirangkul bahunya oleh Damar pun menghela nafas pasrah. Tidak bisa menolak jika seorang Damar sudah kekeuh dengan keputusannya.
"Adek..."
Melihat sang adik yang baru saja keluar dari kelasnya, membuat suara bariton khas sang mas kembar bergema begitu lantang. Hingga membuat yang dipanggil namanya, langsung menoleh tatkala suara lantang itu terdengar.
Seraya mengulas senyum dengan ginsulnya yang super manis itu, Wulan pun berlari kecil mendekati Damar dan Rainar.
"Bagaimana sekolah hari ini? Lancar 'kan Dek?" tanya Damar yang mengacak rambut sang adik.
Wulan mendengus geli tatkala tangan sang mas kembar mengacak rambut panjangnya hingga berantakan. Lalu dengan cepatnya, Wulan menepis tangan Damar yang semakin betah di atas kepalanya itu dan mengangguk cepat. Memberikan respon atas jawaban tadi kalau kegiatan di dalam kelas hari ini lancar.
Melihat anggukan sang adik membuat hati Damar damai dan tenang. Paling tidak, hari ini tidak ada lagi aksi bullying pada sang adik seperti hari-hari sebelumnya.
"Loh, note kecil Adek mana? Kenapa tidak ada tergantung di leher Adek?" tanya Damar.
Seketika pandangan mata Damar tertuju ke arah tali gantungan note kecil sang adik yang biasa digunakan olehnya untuk menjawab setiap pertanyaan orang. Namun kali ini, gantungan cantik itu tampak sendiri tanpa kehadiran note kecil berwarna-warni sebagai temannya bergelayut di leher Wulan.
Wulan yang baru menyadari itu pun menunduk dan melihat note kecilnya. Dan benar saja kalau note kecilnya itu ternyata sudah habis. Bukan hilang atau pun dicuri orang lain. Lalu Wulan yang menunduk pun mendongakkan kepalanya, melihat Damar.
'Note Adek habis, Mas. Adek baru ingat dan saat kita makan siang tadi, itu note lembar terakhir Adek. Adek lupa membawa note itu padahal di dalam laci nakas Adek masih ada kok, Mas'
Dengan bahasa isyarat khusus untuk penyandang tuna rungu-wicara yang pernah ia pelajari di masa kecil, Wulan berusaha memberikan jawaban pada Damar. Sementara Damar yang melihat bahasa isyarat itu hanya mengulas senyum seraya mengelus pucuk kepala sang adik dengan penuh kasih sayang. Damar yang mengerti, namun lain hal dengan Rainar yang tampak bingung dengan bahasa isyarat Wulan.
"Ya sudah, kalau masih ada di dalam nakas Adek itu artinya kita tidak perlu membelinya lagi 'kan? Kalau begitu kita pulang sekarang ya. Siapa tau saja Papi sudah datang." tutur Damar seraya mengelus kepala Wulan lagi.
Wulan pun mengangguk dan tersenyum lagi. Selain menggunakan bahasa isyarat hanya mengangguk dan menggeleng lah yang bisa ia lakukan untuk menjawab iya atau tidaknya pertanyaan seseorang padanya. Di luar itu, ia menggunakan note agar lebih memudahkan dirinya berkomunikasi dengan orang lain.
Dengan merangkul posesif bahu sang adik, Damar pun berjalan dan diikuti oleh Rainar.
"Damar... Kamu mengerti dengan bahasa isyarat yang Wulan katakan tadi? Jujur nih, aku bingung dan tidak mengerti. Kalau ada waktu, kamu ajarkan aku ya. Biar komunikasi aku dengan Wulan bisa berjalan lancar." ujar Rainar yang berbisik di sisi kiri Damar.
"Boleh tapi ada syaratnya!" jawab Damar yang ikut berbisik seraya merangkul bahu sang adik dan terus berjalan di koridor.
"Apa syaratnya?" tanya Rainar yang heran dan perasaannya mulai tidak enak melihat ekspresi sahabatnya itu.
"Traktir aku dan Wulan makan siang di sekolah selama satu tahun. Syarat itu berlaku setelah kita naik kelas tiga nanti. Bagaimana? Setuju?" jawab Damar yang tersenyum miring menoleh ke arah Rainar.
Rainar mendengus kesal saat mendengar jawaban sahabat tengilnya itu. Bagaimana mungkin mentraktir orang makan selama satu tahun lamanya? Bisa-bisa uang sang papa hanya habis olehnya saja. Jawaban Damar sukses membuat Rainar frustasi sesaat.
"Yang benar saja kamu ini, Mar. Masa satu tahun, bisa bangkrut aku nanti!!!" sungut Rainar yang masih berbisik di telinga Damar.
"Aku hanya bercanda, Nar. Iya, iya, kalau ada waktu aku akan mengajari kamu bahasa itu." jawab Damar yang terkikik geli melihat raut wajah pias sang sahabat.
Rainar mendengus geli lagi seraya merotasi penuh matanya karena jengah pada Damar. Sementara Damar yang masih setia dengan rangkulan tangannya di atas bahu sang adik, hanya mencibir sahabatnya itu.
"Hei anak kembar..."
Langkah Damar, Wulan dan Rainar terhenti seketika saat suara bariton yang tidak asing itu tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
"Mau apa lo? tanya Damar dengan tatapan dinginnya melihat lawan bicaranya di depan.
"Santai saja dong, Bro. Gue cuma mau menyapa sahabat karib gue saja kok." jawab sosok pemilik suara bariton itu.
Damar berdecak sinis seraya memalingkan wajahnya, muak melihat lawan bicaranya di depan itu. Sementara Wulan yang melihat sosok yang tidak asing itu terlihat ketakutan. Perlahan, Wulan beranjak dan bersembunyi di belakang tubuh tinggi sang mas kembar. Lalu Rainar yang melihat raut wajah Wulan pun tampak heran. Sesekali ia menoleh ke Wulan dan ke sosok pria di hadapannya itu.
"Gue bilang minggir ya minggir!!! Lo tuli ya? Jangan mengganggu ketenangan orang lain yang sedang berjalan!" tandas Damar yang menatap tajam rivalnya itu.
"Apa lo bilang barusan? Gue tuli? Lo tidak salah bicara 'kan Damar Prasetya Nandala? Atau lo sengaja menyinggung adik lo yang ketakutan itu? Bukannya adik lo yang tuli?" jawab sosok pria itu yang tersenyum miring.
Seketika raut wajah Damar yang tadinya berusaha bersikap santai dan tenang, berubah menjadi tegang dan memerah. Amarahnya mulai memuncak tatkala pria yang ada di hadapannya saat ini menghina sang adik. Bagi seorang Damar, menghina dan menyinggung keterbatasan sang adik adalah mencari masalah besar dengannya. Tidak terkecuali orang itu keluarganya atau bukan, yang penting tidak ada seorang pun yang boleh menghina keterbatasan sang adik apalagi di depannya secara langsung.
Sosok pria itu tampak menyeringai tajam seraya melempar tasnya ke sembarang arah. Lalu berjalan maju hendak mendekati Damar.
"Kenapa lo diam? Yang gue bilang barusan benar 'kan? Yang tuli itu adik lo, bukan gue!" ujar pria itu seraya membenarkan kerah baju Damar.
Mata Damar yang merah semakin menatap tajam lawan bicaranya itu. Sementara Rainar yang sejak tadi berdiri di samping Damar, berusaha untuk memberikan jarak di antara kedua pria itu. Lalu Wulan, gadis kecil yang masih ketakutan itu tetap berada di belakang tubuh sang mas kembar.
Damar yang mengerti dengan gelagat sang adik pun juga berusaha melindunginya dari sosok pria bangor itu.
Bugh!
Srek!
Dengan gerakan secepat angin, Damar mendorong pria itu dan mencekam kerah bajunya dengan kuat. Tatapan membunuh setajam elang pun tak luput dari keduanya. Suasana lapangan yang hening seketika menjadi tegang, panas dan mencekam.
"Jangan berani-beraninya lo bicara buruk seperti itu tentang adik gue, Bimantara!!! Gue tidak akan segan-segan untuk menghabisi lo detik ini juga kalau lokasi kita sekarang ini bukan di sekolah!!! Enyah dari hadapan gue dan adik gue, atau lo akan menyesal seumur hidup!!!" tandas Damar yang sangat pelan tapi penuh penekanan.
"Hohoho... Gue jadi takut melihat keganasan sosok Damar yang tampan sekaligus Damar yang suka tebar pesona di sekolah ini. Tapi sayang, keganasan seorang Damar tidak ada artinya karena sebentar lagi gue yang akan menjadi satu-satunya pria yang tampan di sekolah ini. Tidak hanya itu, ketampanan yang gue punya ini akan semakin lengkap saat gue berhasil menjadi ketua osis selanjutnya." jawab sosok pria yang bernama Bimantara.
"Ck!!! Orang tengil dan bangor seperti lo itu tidak pantas menjadi pemimpin rapat osis. Yang ada bendahara osis mengadu terus ke pembina, kalau ketuanya korupsi, memakai uang osis seenak jidatnya di luar kegiatan sekolah. Ya biasa, ketuanya 'kan pemabuk dan gila judi seperti lo!!!" ujar Damar yang menertawakan Bima seraya melihat ke arah Rainar.
Pria yang bernama Bimantara itu tampak mendengus kesal melihat Damar tertawa. Sementara Wulan dan Rainar yang masih setia di sisi Damar, hanya bisa menyaksikan perdebatan kedua anak muda yang sedang memperebutkan posisi sebagai calon ketua osis periode selanjutnya.
"Lo bilang apa? Lo dengar ya, Damar!!! Gue tidak akan membiarkan lo jadi ketua osis!!! Gue akan melakukan apa saja agar lo gagal jadi ketua osis!!! Lo ingat itu!!!" tandas Bima.
"Gue tidak peduli!!! Mau lo jungkir balik buat menggagalkan rencana gue, mau lo ketabrak truk, atau mau lo dimakan gorila sekalipun, gue tidak peduli!!! Terserah lo mau berbuat apa saja yang lo mau!!! Asalkan jangan malu di akhir acara saja nanti." jawab Damar yang sudah terlihat tenang melawan Bima dan tertawa lagi.
Tangan Bima tampak mengepal dengan kuat saat mendengar perkataan Damar. Bima terlihat marah seraya menatap tajam Damar.
"Wah... sepertinya sedang ada pertunjukkan yang menyenangkan ya di lapangan!!!"
Di saat suasana lapangan semakin tegang, tiba-tiba saja muncul lah sosok wanita yang tidak asing lagi bagi seluruh penghuni SMP Jaya Mandiri. Damar, Rainar dan Wulan pun menggiring mata mereka ke arah suara itu. Sementara Bima tampak tersenyum tatkala sosok wanita itu datang menghampirinya dan langsung bergelayut posesif di tangannya.
"Hei Zivana sayang..."
"Hei juga Bima sayang..."
Ew, seakan ingin muntah saat menyaksikan pertunjukkan yang menjijikkan di depan sana. Sepasang kekasih yang sudah lama menjalin hubungan sejak mereka masuk sekolah itu. Mereka adalah Zivana dan Bima, sepasang kekasih budak cinta yang menjadi sorotan penghuni sekolah. Menjadi anak seorang pemilik sekolah tidak pernah menyurutkan niat seorang gadis yang bernama Zivana untuk berpacaran. Apalagi dengan Bima, sosok pria yang terkenal dengan hartanya atau yang lebih tepatnya harta orang tuanya, membuat Zivana jatuh hati pada pria tengil dan bangor itu.
Sesaat Zivana memang sempat menyukai Damar yang terkenal dingin tapi penyayang, bahkan gadis itu juga pernah menyampaikan perasaannya pada Damar di saat ia masih berpacaran dengan Bima. Namun rasa suka yang datang sesaat itu tidak bertahan lama karena Damar menolaknya mentah-mentah. Bukan hanya karena tidak suka, tapi karena Damar sudah mengetahui semua tentang Zivana yang selalu menjadi biang kerok dari pembulian sang adik selama ini.
Damar dan Rainar yang melihat adegan menjijikkan itu pun mempraktekkan teknik muntahnya karena merasa jijik melihat kedua insan di depan mereka saat ini. Sementara Wulan yang melihat Damar hendak muntah dan sangking polosnya malah mengurut tengkuk Damar dan Rainar secara bergantian, seakan membantu mereka untuk muntah sungguhan.
"Adek... Mas bukan mau muntah sungguhan." sungut Damar seraya melirik tajam sang adik yang masih mengurut tengkuk lehernya.
Wulan hanya tersenyum lebar, menampakan deretan gigi putih beserta ginsul manisnya seraya menggarut kepalanya yang tidak gatal karena malu dengan tingkahnya yang kurang peka. Sementara Rainar yang melihat tingkah Wulan yang lucu itu dibuat terkikik gemas.
Seketika gelak tawa sepasang kekasih bucin di depan sana menggelegar, memenuhi seisi alam semesta bahkan angin saja bisa kalah karena tawa mereka yang begitu kerasnya. Sementara Damar yang melihat gelak tawa itu mendengus kesal seraya menatap tajam ke arah dua manusia bangor itu. Lalu Damar menoleh ke arah Wulan dan Rainar, seakan memberi isyarat untuk segera pergi dari sini. Rainar yang mengerti pun mengangguk dan Wulan langsung meraih tangan Damar yang sudah terulur menjangkau tangannya. Lalu...
"Mau pergi ke mana lo? Urusan kita belum selesai, Damar!!!"
.
.
.
.
.
Happy Reading All 😇😇😇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Nona Bucin 18294
Next semangat updatenya kak 💜😊
2021-12-26
0
Yeni Eka
Ampun Damar, masa mau ngajarin Rainar, syaratnya hrs traktir setahun. Bokek dong si Rainar
2021-12-08
0
Yeni Eka
Namanya bagus, Bimantara tapi kelakuan kek gitu.
2021-12-08
0