Takdir Si Gadis Bisu
...🍁🍁🍁...
"Wulan bisu... Wulan bisu... Wulan bisu!!!"
"Wulan tuli... Wulan tuli... Wulan tuli!!!"
"Wulan cacat... Wulan cacat... Wulan cacat!!!"
Sahutan suara ejekan demi ejekan yang selalu kudapatkan saat berada di sekolah. Semua teman-temanku mengejek, menghina bahkan sering melempariku dengan makanan bekas. Aku hanya berdiam, duduk meringkuk di sudut ruang kelas di mana aku menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis dan menutupi wajahku di antara kedua lututku.
Suara mereka terus bergema dan menyisir langit-langit ruang kelas. Mereka berdiri mengitariku seperti sedang menertawakan orang gila yang ada di jalanan dan terus bersorak-sorai untuk menghinaku habis-habisan. Sementara aku yang terpojok hanya bisa meringkuk tubuhku sendiri, seakan mencari perlindungan walaupun hanya sedikit.
"Ayo kita lempar gadis tuli dan bisu ini dengan makanan bekas!!!" seru salah satu teman kelasku kepada semua teman-teman lainnya.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Kurasakan bagian punggungku yang terasa basah karena cairan berwarna putih bening. Mereka menyiramku dengan air setelah puas melempariku dengan makanan bekas yang mereka ambil dari tempat sampah. Seburuk dan sehina itu kah aku di mata mereka?
Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku tetap berada di posisiku yang meringkuk, menangis sesegukan di sudut kelas. Baju seragamku yang tadinya masih bersih kini sudah kotor, sama seperti hinanya diriku di mata mereka. Kini tinggal lah aku sendiri di dalam kelas. Tiada siapa pun yang datang menolongku.
"Hiks... hiks... hiks..."
Sunyi dan senyap, semua orang telah pergi, pulang ke rumah masing-masing setelah puas mengejek dan mengotori pakaianku. Tangisku semakin pecah ketika teringat dengan takdir hidupku yang terlahir tidak sempurna hingga semua orang menganggapku hina dan kotor, tidak pantas berada di dunia ini. Tapi apakah salah jika aku harus tetap hidup walaupun kondisiku tidak sesempurna orang lain di luar sana? Apakah aku tidak pantas untuk hidup selayaknya seperti orang normal? Memiliki teman dan bergaul dengan banyak orang? Sepertinya jawaban dari semua pertanyaan itu adalah, mustahil!!!
Aku Wulan, Wulan Prasetya Nandala. Gadis kecil yang berusia 13 tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Gadis kecil yang baru menginjak masa remaja namun masa remaja itu seakan pupus, seperti takdir hidupku yang tidak sempurna karena terlahir bisu dan tidak mampu untuk mengatakan satu kata pun dari mulutku.
Biasanya anak yang terlahir bisu juga tidak mampu mendengar dengan baik, ya benar. Selain bisu aku juga tidak bisa mendengar dengan baik sehingga aku harus memakai sesuatu di telingaku sebagai alat bantu.
"Adek... ayo kita pulang dan......"
Suara bariton seorang anak lelaki tiba-tiba terdengar sangat lantang menghampiriku. Kuangkat kepala dan menoleh ke arahnya yang masih berdiri terpaku menatapku di ambang pintu. Bulir kristal bening masih senantiasa jatuh dari pelupuk mataku saat melihatnya. Anak lelaki yang seumuran denganku itu pun melangkah lebar, berlari ke arahku. Matanya pun memerah hingga terlihat tumpukan air di dalam sana seraya menatapku nanar dan iba.
Anak lelaki itu langsung memeluk tubuhku dengan sangat erat. Tangisku kembali pecah saat kudengar sayup-sayup suara isak tangis anak lelaki itu. Dia juga menangis sesegukan melihat kondisiku yang seperti gelandangan. Kusut, kotor, kacau dan berantakan tak terurus.
"Adek tidak apa-apa? Maaf, Dek. Mas datang terlambat menjemput Adek ke kelas. Maaf..."
Anak lelaki itu kembali meraih tubuhku dan memelukku dengan erat. Aku hanya bisa menganggukan kepala karena tak mampu mengatakan satu patah kata pun padanya. Dielusnya pucuk kepalaku dengan lembut berusaha menenangkan dan memberikan kekuatan yang dia miliki untukku. Aku hanya bisa membalas pelukannya tak kalah erat, mencari kenyamanan di dalam pelukan itu.
"Kita pulang sekarang ya, Sayang. Besok akan Mas pastikan, kalau mereka semua mendapat pelajaran yang setimpal atas perbuatan kasar mereka pada Adek. Mas janji!!!" ujarnya yang melepaskan pelukan lalu menangkup wajahku.
Mendengar hal itu sontak membuatku sangat terkejut, aku tidak ingin anak lelaki seumuran denganku ini juga mendapat masalah karena aku. Dengan cepat aku menggelengkan kepala seraya meraih note kecil yang tergantung di leherku dan menulis sesuatu untuknya.
'Tidak perlu, Mas. Mas jangan melaporkan hal ini pada guru ya. Adek tidak ingin Mas terkena masalah karena hal ini'
Note yang berisikan tulisan kalimat singkat itu pun langsung kuberikan pada anak lelaki yang sering kupanggil dengan panggilan sayang dari seorang adik pada kakak laki-lakinya. Ya, dia adalah masku, kakakku satu-satunya, sahabat dan juga pathnerku dalam segala hal. Dengan cepat pula, dia meraih note itu dan membaca apa yang kutuliskan. Wajahnya berubah pias dan bulir kristalnya langsung jatuh seketika.
"Kenapa Dek? Bukan hanya sekali Adek mendapatkan perlakuan seperti ini, tapi berulang kali. Mas tidak bisa membiarkan kejadian seperti ini terulang lagi." ujarnya seraya memegang kedua bahuku.
Melihat kasih sayang dan kepedulian dari matanya, membuatku merasakan ketenangan yang abadi. Aku berusaha mengulas senyum andalanku untuk meluluhkan hatinya agar dia tidak melakukan hal yang tidak penting untuk diriku yang selalu saja menjadi bahan bullying. Kuelus tangannya yang masih berpegangan di bahuku yang tak sekuat baja, berusaha untuk menenangkannya. Anak lelaki seumuran dan sangat mirip denganku itu akhirnya menghela nafas panjang, menandakan bahwa emosinya perlahan menguap saat melihat netraku.
"Baiklah kalau itu yang Adek inginkan. Tapi kalau kejadian seperti ini terulang lagi, Mas tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja!" ujarnya yang penuh penekanan seraya menatapku, seakan memberitahuku bahwa keputusannya sudah final.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum seraya menyeka air mataku yang membasahi wajahku. Sebelum beranjak, dengan telaten anak lelaki itu berusaha membersihkan bajuku yang kotor, basah dan sudah tidak bisa dikatakan rapih lagi. Setelah itu, anak lelaki yang tak lain adalah kakakku beranjak dan membantuku untuk berdiri. Tidak hanya itu, dia juga membawakan tasku dan mengalungkan tanganku ke tangan kekarnya. Walaupun dia masih siswa SMP, tapi menurutku postur tubuhnya sangatlah bagus. Dia tinggi, tampan dan putih. Tidak sepertiku yang pendek, tapi tetap cantik kalau kata Oma.
Kami berjalan menyusuri lapangan basket yang terbentang luas di dalam pekarangan sekolah. Sesekali anak lelaki yang masih menggandeng tanganku itu tampak melirik ke arahku. Namun sesekali pula lirikan itu bersiborok dengan lirikan mataku.
"Damar..."
Sahutan suara lembut yang tidak asing itu seakan membuyarkan lamunan anak lelaki yang masih setia menggandeng tanganku.
Damar, Damar Prasetya Nandala. Kakakku satu-satunya yang sangat menyayangi aku. Kakakku yang selalu melindungiku. Kakak kesayanganku yang selalu berdiri di depan untukku. Dia adalah masku, Mas Damar.
Sang pemilik suara lembut itu tampak melangkah lebar seraya membuka kaca mata hitam andalannya, mendekati Mas Damar yang masih menggandeng tanganku berjalan. Mas Damar pun terlihat gelisah saat melihat sosok itu seraya menoleh ke arahku. Namun dengan senyum manis andalanku pun aku mampu menenangkan Mas Damar.
"Mami... kenapa Mami datang ke sini? Damar 'kan sudah bilang, Mami tidak perlu datang ke sini untuk menjemput Damar. Damar bisa kok pulang sendiri bersama Adek." ujar Mas Damar yang semakin kuat menggandeng tanganku.
"Mami khawatir sama kamu, Sayang. Ayo, kita pulang. Mami sudah memasak makan siang kesukaan kamu." jawab wanita cantik itu seraya mengelus kepala bagian belakang Mas Damar.
Wanita cantik yang berdiri di depanku itu adalah mami Mas Damar dan itu artinya dia juga mamiku. Dia sangat cantik dan selalu berpenampilan fashionable karena menjadi seorang istri dari pemilik Cafe terbesar di ibu kota menuntut Mami untuk tampil seperti itu.
"Ayo, Sayang. Kamu harus ikut dengan Mami." ujar Mami seraya bergelayut manja di lengan Mas Damar di sisi lainnya.
Mas Damar tidak bisa menolak permintaan Mami yang sudah bergelayut manja di sana. Kami pun berjalan mendekati mobil Mami yang berdiri di depan gerbang sekolah. Mas Damar masih setia menggandeng tanganku menuju mobil Mami dan membukakan pintu mobil itu untukku.
"Stop!!! Kamu mau apa Sayang?" serkas Mami yang memergoki gerak-gerik Mas Damar.
"Mami ingin mengajak kami pulang, bukan? Jadi sebagai kakak, Damar mempersilakan adik Damar masuk ke dalam mobil terlebih dahulu." jawab Mas Damar seraya memegangi pintu.
Raut wajah wanita cantik yang sering Mas Damar panggil mami itu pun memerah. Matanya yang tertutup kaca mata hitam kini terbuka lebar, menatap tajam ke arahku.
"No!!! Mami hanya mengajak kamu, bukan si gadis bisu itu!!! Jadi jangan pernah berharap kalau Mami akan satu mobil dengan anak itu. Tidak akan pernah!!!" tandas Mami menunjuk wajahku yang terlanjur ketakutan dan hanya bisa terdiam.
Di dunia ini, selain teman-temanku, Mami adalah salah satu orang terdekatku yang sangat membenci kehadiranku. Mami yang selalu kudambakan kasih dan sayangnya, Mami yang selalu kubanggakan kehadirannya di dalam hidupku, Mami yang selalu kudo'akan di sepanjang salatku. Namun Mami tidak pernah mencium bahkan memelukku sekalipun. Dia membenci kondisiku yang terlahir tidak sempurna dan kedua telingaku sudah terlalu tebal untuk menerima semua hinaan orang, termasuk hinaan mamiku sendiri.
"Kalau begitu Damar tidak mau ikut dengan Mami. Lebih baik Mami pulang saja tanpa Damar. Damar tidak bisa meninggalkan Adek sendirian di sini." serkas Mas Damar seraya merangkul bahuku, seakan tanda kalau dia memang tidak ingin meninggalkan aku.
"Kalau Mami bilang masuk, masuk Damar!!! Mami hitung sampai tiga kalau kamu tidak masuk juga, maka jangan harap kamu akan bertemu dengan Mami lagi!!!" serkas Mami yang semakin keras dan menekan Mas Damar.
Tanpa sadar, mataku mulai memanas ketika melihat pertengkaran di antara Mas Damar dan Mami seperti ini hanya karena aku. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Lalu dengan cepat aku meraih note kecil milikku yang tergantung dan menulis sesuatu.
'Mas pulang saja ya. Jangan bertengkar dengan Mami seperti ini. Adek tidak bisa melihat kalian bertengkar hanya karena Adek. Pulang ya, Mas. Biar Adek pulang naik taksi atau angkutan umum saja nanti'
Note kecil itu langsung kusodorkan pada Mas Damar yang masih kekeuh dengan pendiriannya, menolak ajakan Mami dan tetap bersamaku. Tapi aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Melihat note kecilku, Mas Damar langsung meraihnya.
Matanya membulat sempurna ketika membaca kalimat singkat yang kukatakan. Mas Damar tampak menggeleng, namun dengan cepat aku menganggukan kepala berusaha meyakinkan Mas Damar kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Satu... dua... tiga!!! Ayo cepat masuk ke dalam mobil Damar!!!" serkas Mami yang berdiri di depan sana, menatapku dengan tajamnya.
Mas Damar terlihat sangat marah melihat ke arah Mami yang memilih masuk ke dalam mobil. Melihat itu, aku pun berusaha untuk menenangkan Mas Damar dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil dengan gerakan isyarat yang biasa digunakan oleh anak penyandang disabilitas tuna rungu seperti diriku.
"Tapi Adek bagaimana? Mas tidak bisa membiarkan Adek pulang sendirian. Nanti Papi bisa memarahi Mas karena membiarkan Adek pulang sendiri." ujar Mas Damar yang meraih kedua bahuku.
Aku hanya menggelengkan kepala, memberi pengertian sebisa dan semampuku padanya. Untung saja Mas Damar sangat mengerti dengan semua bahasa isyarat yang ingin kukatakan padanya sehingga tidak terlalu sulit untukku berkomunikasi dengannya. Dan akhirnya Mas Damar luluh dan mengikuti permintaanku untuk tetap ikut dengan Mami.
"Adek hati-hati ya, Sayang. Kalau ada apa-apa cepat hubungi Mas. Ponselnya jangan mati ya. Biar Mas bisa melacak keberadaan Adek." ujarnya yang berbisik seraya menangkup wajahku.
Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum untuk menuruti perkataan masku itu.
"Damar!!! Ayo cepat naik!!!" sahut Mami.
Dengan cepat aku mendorong tubuh Mas Damar untuk masuk ke dalam mobil Mami. Mas Damar terlihat pasrah, wajahnya sendu menatapku yang berdiri di sisi mobil sambil tersenyum dan melambaikan tanganku.
Mobil Mami pun akhirnya melaju cepat, membawa Mas Damar dan meninggalkan aku di keheningan siang yang sangat terik. Sinar matahari yang berada tepat di atas kepala, sangat menyengat bagi siapa saja yang berada di luar rumah. Aku pun mulai menyusuri trotoar, melihat sekitar jalan yang terlihat lengang. Tidak ada satu pun mobil, taksi, angkutan umum atau ojek yang lewat. Menuntutku untuk tetap berjalan hingga ke jalan besar karena posisi sekolahku yang berada di dalam jalan kecil satu arah.
Kakiku terus melangkah, menyusuri trotoar jalan yang sepi. Suasana hening menyelimuti hatiku yang tiba-tiba teringat dengan semua perkataan Mami tadi. Tanpa kusadari, bulir kristal dari mataku lolos begitu saja. Nasib hidupku sangat malang, bahkan lebih malang dari pada nasib hidup putri omaku yang sudah meninggal 20 tahun yang lalu.
Kenapa takdir hidupku harus seperti ini? Kenapa aku terlahir cacat dan berbeda dari anak-anak yang lain pada umumnya? Gumamku dalam hati yang teramat perih.
Hatiku sedih, menangis pilu dalam diam di sepanjang langkah kaki yang kuayunkan menyusuri trotoar jalan sejak tadi. Tiada satu pun orang yang dapat kutemui saat ini. Sunyi, sepi dan hening, bahkan tangisku yang jatuh ke dalam pun dapat terdengar oleh langit terik.
"Wulan..."
.
.
.
.
.
Happy Reading All 😇😇😇
Gimana? Udah tau 'kan siapa gadis bisu itu? Dia lah Wulan, lalu siapa Wulan sebenarnya? Dan siapa wanita cantik yang dipanggil mami oleh Damar? Hmmmm, ada yang penasaran?
Ikutin terus kisah Wulan yang InsyaAllah akan menyentuh hati kalian semuanya 😘😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
Aksa Ra
akhirnya ada season 2nya Thor
2024-05-09
0
Oma Umi
kalau ejekan terlalu ekstrem nggak tega aku bacanya...
2023-08-08
2
Maya●●●
halo salam kenal. aku mampir nih kak.
mampir juga di karyaku ya🙏😊
2022-08-29
0