Takdir Si Gadis Bisu

Takdir Si Gadis Bisu

Episode 1 ~ Aku, Wulan...

...🍁🍁🍁...

"Wulan bisu... Wulan bisu... Wulan bisu!!!"

"Wulan tuli... Wulan tuli... Wulan tuli!!!"

"Wulan cacat... Wulan cacat... Wulan cacat!!!"

Sahutan suara ejekan demi ejekan yang selalu kudapatkan saat berada di sekolah. Semua teman-temanku mengejek, menghina bahkan sering melempariku dengan makanan bekas. Aku hanya berdiam, duduk meringkuk di sudut ruang kelas di mana aku menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis dan menutupi wajahku di antara kedua lututku.

Suara mereka terus bergema dan menyisir langit-langit ruang kelas. Mereka berdiri mengitariku seperti sedang menertawakan orang gila yang ada di jalanan dan terus bersorak-sorai untuk menghinaku habis-habisan. Sementara aku yang terpojok hanya bisa meringkuk tubuhku sendiri, seakan mencari perlindungan walaupun hanya sedikit.

"Ayo kita lempar gadis tuli dan bisu ini dengan makanan bekas!!!" seru salah satu teman kelasku kepada semua teman-teman lainnya.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Kurasakan bagian punggungku yang terasa basah karena cairan berwarna putih bening. Mereka menyiramku dengan air setelah puas melempariku dengan makanan bekas yang mereka ambil dari tempat sampah. Seburuk dan sehina itu kah aku di mata mereka?

Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku tetap berada di posisiku yang meringkuk, menangis sesegukan di sudut kelas. Baju seragamku yang tadinya masih bersih kini sudah kotor, sama seperti hinanya diriku di mata mereka. Kini tinggal lah aku sendiri di dalam kelas. Tiada siapa pun yang datang menolongku.

"Hiks... hiks... hiks..."

Sunyi dan senyap, semua orang telah pergi, pulang ke rumah masing-masing setelah puas mengejek dan mengotori pakaianku. Tangisku semakin pecah ketika teringat dengan takdir hidupku yang terlahir tidak sempurna hingga semua orang menganggapku hina dan kotor, tidak pantas berada di dunia ini. Tapi apakah salah jika aku harus tetap hidup walaupun kondisiku tidak sesempurna orang lain di luar sana? Apakah aku tidak pantas untuk hidup selayaknya seperti orang normal? Memiliki teman dan bergaul dengan banyak orang? Sepertinya jawaban dari semua pertanyaan itu adalah, mustahil!!!

Aku Wulan, Wulan Prasetya Nandala. Gadis kecil yang berusia 13 tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Gadis kecil yang baru menginjak masa remaja namun masa remaja itu seakan pupus, seperti takdir hidupku yang tidak sempurna karena terlahir bisu dan tidak mampu untuk mengatakan satu kata pun dari mulutku.

Biasanya anak yang terlahir bisu juga tidak mampu mendengar dengan baik, ya benar. Selain bisu aku juga tidak bisa mendengar dengan baik sehingga aku harus memakai sesuatu di telingaku sebagai alat bantu.

"Adek... ayo kita pulang dan......"

Suara bariton seorang anak lelaki tiba-tiba terdengar sangat lantang menghampiriku. Kuangkat kepala dan menoleh ke arahnya yang masih berdiri terpaku menatapku di ambang pintu. Bulir kristal bening masih senantiasa jatuh dari pelupuk mataku saat melihatnya. Anak lelaki yang seumuran denganku itu pun melangkah lebar, berlari ke arahku. Matanya pun memerah hingga terlihat tumpukan air di dalam sana seraya menatapku nanar dan iba.

Anak lelaki itu langsung memeluk tubuhku dengan sangat erat. Tangisku kembali pecah saat kudengar sayup-sayup suara isak tangis anak lelaki itu. Dia juga menangis sesegukan melihat kondisiku yang seperti gelandangan. Kusut, kotor, kacau dan berantakan tak terurus.

"Adek tidak apa-apa? Maaf, Dek. Mas datang terlambat menjemput Adek ke kelas. Maaf..."

Anak lelaki itu kembali meraih tubuhku dan memelukku dengan erat. Aku hanya bisa menganggukan kepala karena tak mampu mengatakan satu patah kata pun padanya. Dielusnya pucuk kepalaku dengan lembut berusaha menenangkan dan memberikan kekuatan yang dia miliki untukku. Aku hanya bisa membalas pelukannya tak kalah erat, mencari kenyamanan di dalam pelukan itu.

"Kita pulang sekarang ya, Sayang. Besok akan Mas pastikan, kalau mereka semua mendapat pelajaran yang setimpal atas perbuatan kasar mereka pada Adek. Mas janji!!!" ujarnya yang melepaskan pelukan lalu menangkup wajahku.

Mendengar hal itu sontak membuatku sangat terkejut, aku tidak ingin anak lelaki seumuran denganku ini juga mendapat masalah karena aku. Dengan cepat aku menggelengkan kepala seraya meraih note kecil yang tergantung di leherku dan menulis sesuatu untuknya.

'Tidak perlu, Mas. Mas jangan melaporkan hal ini pada guru ya. Adek tidak ingin Mas terkena masalah karena hal ini'

Note yang berisikan tulisan kalimat singkat itu pun langsung kuberikan pada anak lelaki yang sering kupanggil dengan panggilan sayang dari seorang adik pada kakak laki-lakinya. Ya, dia adalah masku, kakakku satu-satunya, sahabat dan juga pathnerku dalam segala hal. Dengan cepat pula, dia meraih note itu dan membaca apa yang kutuliskan. Wajahnya berubah pias dan bulir kristalnya langsung jatuh seketika.

"Kenapa Dek? Bukan hanya sekali Adek mendapatkan perlakuan seperti ini, tapi berulang kali. Mas tidak bisa membiarkan kejadian seperti ini terulang lagi." ujarnya seraya memegang kedua bahuku.

Melihat kasih sayang dan kepedulian dari matanya, membuatku merasakan ketenangan yang abadi. Aku berusaha mengulas senyum andalanku untuk meluluhkan hatinya agar dia tidak melakukan hal yang tidak penting untuk diriku yang selalu saja menjadi bahan bullying. Kuelus tangannya yang masih berpegangan di bahuku yang tak sekuat baja, berusaha untuk menenangkannya. Anak lelaki seumuran dan sangat mirip denganku itu akhirnya menghela nafas panjang, menandakan bahwa emosinya perlahan menguap saat melihat netraku.

"Baiklah kalau itu yang Adek inginkan. Tapi kalau kejadian seperti ini terulang lagi, Mas tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja!" ujarnya yang penuh penekanan seraya menatapku, seakan memberitahuku bahwa keputusannya sudah final.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum seraya menyeka air mataku yang membasahi wajahku. Sebelum beranjak, dengan telaten anak lelaki itu berusaha membersihkan bajuku yang kotor, basah dan sudah tidak bisa dikatakan rapih lagi. Setelah itu, anak lelaki yang tak lain adalah kakakku beranjak dan membantuku untuk berdiri. Tidak hanya itu, dia juga membawakan tasku dan mengalungkan tanganku ke tangan kekarnya. Walaupun dia masih siswa SMP, tapi menurutku postur tubuhnya sangatlah bagus. Dia tinggi, tampan dan putih. Tidak sepertiku yang pendek, tapi tetap cantik kalau kata Oma.

Kami berjalan menyusuri lapangan basket yang terbentang luas di dalam pekarangan sekolah. Sesekali anak lelaki yang masih menggandeng tanganku itu tampak melirik ke arahku. Namun sesekali pula lirikan itu bersiborok dengan lirikan mataku.

"Damar..."

Sahutan suara lembut yang tidak asing itu seakan membuyarkan lamunan anak lelaki yang masih setia menggandeng tanganku.

Damar, Damar Prasetya Nandala. Kakakku satu-satunya yang sangat menyayangi aku. Kakakku yang selalu melindungiku. Kakak kesayanganku yang selalu berdiri di depan untukku. Dia adalah masku, Mas Damar.

Sang pemilik suara lembut itu tampak melangkah lebar seraya membuka kaca mata hitam andalannya, mendekati Mas Damar yang masih menggandeng tanganku berjalan. Mas Damar pun terlihat gelisah saat melihat sosok itu seraya menoleh ke arahku. Namun dengan senyum manis andalanku pun aku mampu menenangkan Mas Damar.

"Mami... kenapa Mami datang ke sini? Damar 'kan sudah bilang, Mami tidak perlu datang ke sini untuk menjemput Damar. Damar bisa kok pulang sendiri bersama Adek." ujar Mas Damar yang semakin kuat menggandeng tanganku.

"Mami khawatir sama kamu, Sayang. Ayo, kita pulang. Mami sudah memasak makan siang kesukaan kamu." jawab wanita cantik itu seraya mengelus kepala bagian belakang Mas Damar.

Wanita cantik yang berdiri di depanku itu adalah mami Mas Damar dan itu artinya dia juga mamiku. Dia sangat cantik dan selalu berpenampilan fashionable karena menjadi seorang istri dari pemilik Cafe terbesar di ibu kota menuntut Mami untuk tampil seperti itu.

"Ayo, Sayang. Kamu harus ikut dengan Mami." ujar Mami seraya bergelayut manja di lengan Mas Damar di sisi lainnya.

Mas Damar tidak bisa menolak permintaan Mami yang sudah bergelayut manja di sana. Kami pun berjalan mendekati mobil Mami yang berdiri di depan gerbang sekolah. Mas Damar masih setia menggandeng tanganku menuju mobil Mami dan membukakan pintu mobil itu untukku.

"Stop!!! Kamu mau apa Sayang?" serkas Mami yang memergoki gerak-gerik Mas Damar.

"Mami ingin mengajak kami pulang, bukan? Jadi sebagai kakak, Damar mempersilakan adik Damar masuk ke dalam mobil terlebih dahulu." jawab Mas Damar seraya memegangi pintu.

Raut wajah wanita cantik yang sering Mas Damar panggil mami itu pun memerah. Matanya yang tertutup kaca mata hitam kini terbuka lebar, menatap tajam ke arahku.

"No!!! Mami hanya mengajak kamu, bukan si gadis bisu itu!!! Jadi jangan pernah berharap kalau Mami akan satu mobil dengan anak itu. Tidak akan pernah!!!" tandas Mami menunjuk wajahku yang terlanjur ketakutan dan hanya bisa terdiam.

Di dunia ini, selain teman-temanku, Mami adalah salah satu orang terdekatku yang sangat membenci kehadiranku. Mami yang selalu kudambakan kasih dan sayangnya, Mami yang selalu kubanggakan kehadirannya di dalam hidupku, Mami yang selalu kudo'akan di sepanjang salatku. Namun Mami tidak pernah mencium bahkan memelukku sekalipun. Dia membenci kondisiku yang terlahir tidak sempurna dan kedua telingaku sudah terlalu tebal untuk menerima semua hinaan orang, termasuk hinaan mamiku sendiri.

"Kalau begitu Damar tidak mau ikut dengan Mami. Lebih baik Mami pulang saja tanpa Damar. Damar tidak bisa meninggalkan Adek sendirian di sini." serkas Mas Damar seraya merangkul bahuku, seakan tanda kalau dia memang tidak ingin meninggalkan aku.

"Kalau Mami bilang masuk, masuk Damar!!! Mami hitung sampai tiga kalau kamu tidak masuk juga, maka jangan harap kamu akan bertemu dengan Mami lagi!!!" serkas Mami yang semakin keras dan menekan Mas Damar.

Tanpa sadar, mataku mulai memanas ketika melihat pertengkaran di antara Mas Damar dan Mami seperti ini hanya karena aku. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Lalu dengan cepat aku meraih note kecil milikku yang tergantung dan menulis sesuatu.

'Mas pulang saja ya. Jangan bertengkar dengan Mami seperti ini. Adek tidak bisa melihat kalian bertengkar hanya karena Adek. Pulang ya, Mas. Biar Adek pulang naik taksi atau angkutan umum saja nanti'

Note kecil itu langsung kusodorkan pada Mas Damar yang masih kekeuh dengan pendiriannya, menolak ajakan Mami dan tetap bersamaku. Tapi aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Melihat note kecilku, Mas Damar langsung meraihnya.

Matanya membulat sempurna ketika membaca kalimat singkat yang kukatakan. Mas Damar tampak menggeleng, namun dengan cepat aku menganggukan kepala berusaha meyakinkan Mas Damar kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Satu... dua... tiga!!! Ayo cepat masuk ke dalam mobil Damar!!!" serkas Mami yang berdiri di depan sana, menatapku dengan tajamnya.

Mas Damar terlihat sangat marah melihat ke arah Mami yang memilih masuk ke dalam mobil. Melihat itu, aku pun berusaha untuk menenangkan Mas Damar dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil dengan gerakan isyarat yang biasa digunakan oleh anak penyandang disabilitas tuna rungu seperti diriku.

"Tapi Adek bagaimana? Mas tidak bisa membiarkan Adek pulang sendirian. Nanti Papi bisa memarahi Mas karena membiarkan Adek pulang sendiri." ujar Mas Damar yang meraih kedua bahuku.

Aku hanya menggelengkan kepala, memberi pengertian sebisa dan semampuku padanya. Untung saja Mas Damar sangat mengerti dengan semua bahasa isyarat yang ingin kukatakan padanya sehingga tidak terlalu sulit untukku berkomunikasi dengannya. Dan akhirnya Mas Damar luluh dan mengikuti permintaanku untuk tetap ikut dengan Mami.

"Adek hati-hati ya, Sayang. Kalau ada apa-apa cepat hubungi Mas. Ponselnya jangan mati ya. Biar Mas bisa melacak keberadaan Adek." ujarnya yang berbisik seraya menangkup wajahku.

Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum untuk menuruti perkataan masku itu.

"Damar!!! Ayo cepat naik!!!" sahut Mami.

Dengan cepat aku mendorong tubuh Mas Damar untuk masuk ke dalam mobil Mami. Mas Damar terlihat pasrah, wajahnya sendu menatapku yang berdiri di sisi mobil sambil tersenyum dan melambaikan tanganku.

Mobil Mami pun akhirnya melaju cepat, membawa Mas Damar dan meninggalkan aku di keheningan siang yang sangat terik. Sinar matahari yang berada tepat di atas kepala, sangat menyengat bagi siapa saja yang berada di luar rumah. Aku pun mulai menyusuri trotoar, melihat sekitar jalan yang terlihat lengang. Tidak ada satu pun mobil, taksi, angkutan umum atau ojek yang lewat. Menuntutku untuk tetap berjalan hingga ke jalan besar karena posisi sekolahku yang berada di dalam jalan kecil satu arah.

Kakiku terus melangkah, menyusuri trotoar jalan yang sepi. Suasana hening menyelimuti hatiku yang tiba-tiba teringat dengan semua perkataan Mami tadi. Tanpa kusadari, bulir kristal dari mataku lolos begitu saja. Nasib hidupku sangat malang, bahkan lebih malang dari pada nasib hidup putri omaku yang sudah meninggal 20 tahun yang lalu.

Kenapa takdir hidupku harus seperti ini? Kenapa aku terlahir cacat dan berbeda dari anak-anak yang lain pada umumnya? Gumamku dalam hati yang teramat perih.

Hatiku sedih, menangis pilu dalam diam di sepanjang langkah kaki yang kuayunkan menyusuri trotoar jalan sejak tadi. Tiada satu pun orang yang dapat kutemui saat ini. Sunyi, sepi dan hening, bahkan tangisku yang jatuh ke dalam pun dapat terdengar oleh langit terik.

"Wulan..."

.

.

.

.

.

Happy Reading All 😇😇😇

Gimana? Udah tau 'kan siapa gadis bisu itu? Dia lah Wulan, lalu siapa Wulan sebenarnya? Dan siapa wanita cantik yang dipanggil mami oleh Damar? Hmmmm, ada yang penasaran?

Ikutin terus kisah Wulan yang InsyaAllah akan menyentuh hati kalian semuanya 😘😘😘😘

Terpopuler

Comments

Aksa Ra

Aksa Ra

akhirnya ada season 2nya Thor

2024-05-09

0

Oma Umi

Oma Umi

kalau ejekan terlalu ekstrem nggak tega aku bacanya...

2023-08-08

2

Maya●●●

Maya●●●

halo salam kenal. aku mampir nih kak.
mampir juga di karyaku ya🙏😊

2022-08-29

0

lihat semua
Episodes
1 Episode 1 ~ Aku, Wulan...
2 Episode 2 ~ Bukan Salah Papi
3 Episode 3 ~ Flashback
4 Episode 4 ~ Flashback (2)
5 Episode 5 ~ Flashback (3)
6 Episode 6 ~ Flashback (4)
7 Episode 7 ~ Keluh Kesah Damar
8 Episode 8 ~ Tamu Spesial
9 Episode 9 ~ Lembut, Seperti Sutra
10 Episode 10 ~ Amarah Aiziel
11 Episode 11 ~ Masih Kecewa
12 Episode 12 ~ Andaikan saja...
13 Episode 13 ~ Habis Kesabaran
14 Episode 14 ~ Nilai Ulangan Harian
15 Episode 15 ~ Darah Tinggi
16 Episode 16 ~ Niat Damar
17 Episode 17 ~ Bakat Terpendam Wulan
18 Episode 18 ~ Teringat Seseorang
19 Episode 19 ~ Aifa'al dan Syahil
20 Episode 20 ~ Aksi Budak Cinta
21 Episode 21 ~ Kebenaran Baru
22 Episode 22 ~ Siapa Zivana Sebenarnya
23 Episode 23 ~ Rewards Fantastis
24 Episode 24 ~ Lupa Waktu
25 Episode 25 ~ Hilang
26 Episode 26 ~ Lilitan Kain di Balkon
27 Episode 27 ~ Tersesat
28 Episode 28 ~ Naluri
29 Episode 29 ~ Ketoprak Yang Hilang
30 Episode 30 ~ Kesempatan
31 Episode 31 ~ Empat Mata
32 Episode 32 ~ Pulang
33 Episode 33 ~ One Step Closer
34 Episode 34 ~ Firasat
35 Episode 35 ~ Tabrak Lari
36 Episode 36 ~ Bertemu
37 Episode 37 ~ Hukum Cambuk
38 Episode 38 ~ Akhirnya Sadar
39 Episode 39 ~ Geram
40 Episode 40 ~ Kapten Oleng
41 Episode 41 ~ Salah Memilih Orang
42 Episode 42 ~ Apakah Ini Pertanda?
43 Episode 43 ~ Mabuk
44 Episode 44 ~ Partai Pelindung
45 Episode 45 ~ Kotak Buku Lama
46 Episode 46 ~ Kepingan Masa Lalu
47 Episode 47 ~ Memberitahu Papi
48 Episode 48 ~ Gelagat Aneh
49 Episode 49 ~ Brownies Coklat
50 Episode 50 ~ Gelap Mata Lagi
51 Episode 51 ~ Ayah dan Ibu Harus Tau!
52 Episode 52 ~ Dekapan Oma
53 Episode 53 ~ Yang Dirindukan, Datang!
54 Episode 54 ~ Keputusan Dhana
55 Episode 55 ~ Pembagian Raport
56 Episode 56 ~ Bertindak Adil
57 Episode 57 ~ Terkepung
58 Episode 58 ~ Kedatangan Orang Jauh
59 Episode 59 ~ Ide Yang Brilliant
60 Episode 60 ~ Si Kembar Belum Pulang
61 Episode 61 ~ Petunjuk Alat Pelacak
62 Episode 62 ~ Do'a Bapak Paruh Baya
63 Episode 63 ~ Rekaman CCTV
64 Episode 64 ~ Dituduh
65 Episode 65 ~ Kecurigaan Syahil
66 Episode 66 ~ Mempercayai Aifa'al
67 Episode 67 ~ Balada Wanita Dewasa
68 Episode 68 ~ Mata-mata
69 Episode 69 ~ Sakit Parah
70 Episode 70 ~ Kabar Dari Aifa'al
71 Episode 71 ~ Ikut Tertangkap
72 Episode 72 ~ Rencana Penyelamatan
73 Episode 73 ~ Jepitan Rambut
74 Visual dan Sedikit Kabar
75 Episode 74 ~ Terus Mengingkari
76 Episode 75 ~ Teringat Rencana Gibran
77 Episode 76 ~ Pria Asing di Basecamp
78 Episode 77 ~ Misi Berikutnya
79 Episode 78 ~ Kekejaman Bima
80 Episode 79 ~ Pikiran Buruk
81 Episode 80 ~ Nama Lainnya
82 Episode 81 ~ Pertumpahan Darah
83 Episode 82 ~ Licik dan Jahat
84 Episode 83 ~ Ada Bom!!!
85 Episode 84 ~ Rel Kereta Api
86 Episode 85 ~ Posisi Sulit
87 Episode 86 ~ Membentuk Grup
88 Episode 87 ~ Huufff...
89 Episode 88 ~ Tertembak
90 Episode 89 ~ Rasa Bersalah
91 Episode 90 ~ Peringatan Keras
92 Episode 91 ~ Sindrom PTSD
93 Episode 92 ~ Sketsa Rahasia
94 Episode 93 ~ Bram CS Zivana
95 Episode 94 ~ Butuh Waktu
96 Episode 95 ~ Ingin Menyusul Dhina
97 Episode 96 ~ Tidak Ditutupi Lagi
98 Episode 97 ~ Tingkah Pasutri Absurd
99 Episode 98 ~ Terselip Kisah Pilu
100 Episode 99 ~ Harus Berpencar
101 Episode 100 ~ Hancur!!!
102 Episode 101 ~ Memohon
103 Episode 102 ~ Berita Pagi
104 Episode 103 ~ Masih Sama
105 Episode 104 ~ Psikoterapi
106 Episode 105 ~ Tegarlah!!!
107 Episode 106 ~ Imam dan Dhina
108 Episode 107 ~ Video Terakhir
109 Episode 108 ~ Imam Pamit
110 Episode 109 ~ Kunjungan Dimas
111 Episode 110 ~ Kecanggihan Teknologi
112 Episode 111 ~ Luka Tak Kasat Mata
113 Episode 112 ~ Ingin Ke Makam
114 Episode 113 ~ Mimpi kah?
115 Episode 114 ~ Tiger VC Black Moon
116 Episode 115 ~ Yasinan dan Teror (Spesial)
117 Episode 116 ~ Isi Kotak Teror
118 Episode 117 ~ Masuk Sekolah Lagi
119 Episode 118 ~ Kekecewaan Hati
120 Episode 119 ~ Keluhan Black Moon
121 Episode 120 ~ Menolong Wanita Asing
122 Episode 121 ~ Air Mata Penyesalan
123 Episode 122 ~ Namanya Rumi
124 Episode 123 ~ Kalah Cepat
125 Episode 124 ~ Ketulusan Sosok Ibu
126 Episode 125 ~ Berusaha Menyadarkan
127 Episode 126 ~ Pelukan Terhangat
128 Episode 127 ~ Suapan Mami
129 Episode 128 ~ Makan Malam Spesial
130 Episode 129 ~ Anak Muda vc Orang Tua
131 Episode 130 ~ Pencarian
132 Episode 131 ~ Cara Bersyukur
133 Episode 132 ~ Sensitive
134 Episode 133 ~ Jebakan
135 Episode 134 ~ Pukulan Dendam
136 Episode 135 ~ Terluka
137 Episode 136 ~ Mobil di Depan Gerbang
138 Episode 137 ~ Penjelasan
139 Episode 138 ~ Terjebak Sendiri
140 Episode 139 ~ Kertas Kuning
141 Episode 140 ~ Permohonan Rumi
142 Episode 141 ~ Tekad Bram
143 Episode 142 ~ Menyampaikan Pesan
144 Episode 143 ~ Cip
145 Episode 144 ~ Bagi Tugas
146 Episode 145 ~ Iblis Berwujud Manusia
147 Episode 146 ~ Aksi Diam-diam
148 Episode 147 ~ Gedung Kosong
149 Episode 148 ~ Takdir Gadis Bisu
150 Episode 149 ~ Headshot
151 Episode 150 ~ Niat Baik Dhana
152 Episode 151 ~ Acara Perpisahan
153 Episode 152 ~ Acara Perpisahan 2
154 Surat Cinta Author
155 Season 2 {Episode 1 ~ Perjalanan Baru}
156 Season 2 {Episode 2 ~ Trauma Damar}
157 Season 2 {Episode 3 ~ Datang Kembali}
158 Season 2 {Episode 4 ~ Hari yang Baru}
159 Season 2 {Episode 5 ~ Tak Terkendali}
160 Season 2 {Episode 6 ~ Ancaman Lagi}
161 Season 2 {Episode 7 ~ Toko Buku}
162 Season 2 {Episode 8 ~ Arahan Hati}
163 Season 2 {Episode 9 ~ Kacau}
164 Season 2 {Episode 10 ~ Berebut Salah}
165 Season 2 {Episode 11 ~ Sumpah Bima}
166 Season 2 {Episode 12 ~ Masih Berusaha}
167 Season 2 {Episode 13 ~ Berita Baru}
168 Season 2 {Episode 14 ~ CCTV Tersembunyi}
169 Season 2 {Episode 15 ~ Pagi-pagi}
170 Season 2 {Episode 16 ~ Bimbingan}
171 Season 2 {Episode 17 ~ Bertemu}
172 Seaaon 2 {Episode 18 ~ Gejala Aneh}
173 Visual Tokoh Season 2
174 Season 2 {Episode 19 ~ Drop}
175 Season 2 {Episode 20 ~ Takut Terulang}
176 Season 2 {Episode 21 ~ Penyakit Langka}
177 Season 2 {Episode 22 ~ Frustasi}
178 Season 2 {Episode 23 ~ Ujian}
Episodes

Updated 178 Episodes

1
Episode 1 ~ Aku, Wulan...
2
Episode 2 ~ Bukan Salah Papi
3
Episode 3 ~ Flashback
4
Episode 4 ~ Flashback (2)
5
Episode 5 ~ Flashback (3)
6
Episode 6 ~ Flashback (4)
7
Episode 7 ~ Keluh Kesah Damar
8
Episode 8 ~ Tamu Spesial
9
Episode 9 ~ Lembut, Seperti Sutra
10
Episode 10 ~ Amarah Aiziel
11
Episode 11 ~ Masih Kecewa
12
Episode 12 ~ Andaikan saja...
13
Episode 13 ~ Habis Kesabaran
14
Episode 14 ~ Nilai Ulangan Harian
15
Episode 15 ~ Darah Tinggi
16
Episode 16 ~ Niat Damar
17
Episode 17 ~ Bakat Terpendam Wulan
18
Episode 18 ~ Teringat Seseorang
19
Episode 19 ~ Aifa'al dan Syahil
20
Episode 20 ~ Aksi Budak Cinta
21
Episode 21 ~ Kebenaran Baru
22
Episode 22 ~ Siapa Zivana Sebenarnya
23
Episode 23 ~ Rewards Fantastis
24
Episode 24 ~ Lupa Waktu
25
Episode 25 ~ Hilang
26
Episode 26 ~ Lilitan Kain di Balkon
27
Episode 27 ~ Tersesat
28
Episode 28 ~ Naluri
29
Episode 29 ~ Ketoprak Yang Hilang
30
Episode 30 ~ Kesempatan
31
Episode 31 ~ Empat Mata
32
Episode 32 ~ Pulang
33
Episode 33 ~ One Step Closer
34
Episode 34 ~ Firasat
35
Episode 35 ~ Tabrak Lari
36
Episode 36 ~ Bertemu
37
Episode 37 ~ Hukum Cambuk
38
Episode 38 ~ Akhirnya Sadar
39
Episode 39 ~ Geram
40
Episode 40 ~ Kapten Oleng
41
Episode 41 ~ Salah Memilih Orang
42
Episode 42 ~ Apakah Ini Pertanda?
43
Episode 43 ~ Mabuk
44
Episode 44 ~ Partai Pelindung
45
Episode 45 ~ Kotak Buku Lama
46
Episode 46 ~ Kepingan Masa Lalu
47
Episode 47 ~ Memberitahu Papi
48
Episode 48 ~ Gelagat Aneh
49
Episode 49 ~ Brownies Coklat
50
Episode 50 ~ Gelap Mata Lagi
51
Episode 51 ~ Ayah dan Ibu Harus Tau!
52
Episode 52 ~ Dekapan Oma
53
Episode 53 ~ Yang Dirindukan, Datang!
54
Episode 54 ~ Keputusan Dhana
55
Episode 55 ~ Pembagian Raport
56
Episode 56 ~ Bertindak Adil
57
Episode 57 ~ Terkepung
58
Episode 58 ~ Kedatangan Orang Jauh
59
Episode 59 ~ Ide Yang Brilliant
60
Episode 60 ~ Si Kembar Belum Pulang
61
Episode 61 ~ Petunjuk Alat Pelacak
62
Episode 62 ~ Do'a Bapak Paruh Baya
63
Episode 63 ~ Rekaman CCTV
64
Episode 64 ~ Dituduh
65
Episode 65 ~ Kecurigaan Syahil
66
Episode 66 ~ Mempercayai Aifa'al
67
Episode 67 ~ Balada Wanita Dewasa
68
Episode 68 ~ Mata-mata
69
Episode 69 ~ Sakit Parah
70
Episode 70 ~ Kabar Dari Aifa'al
71
Episode 71 ~ Ikut Tertangkap
72
Episode 72 ~ Rencana Penyelamatan
73
Episode 73 ~ Jepitan Rambut
74
Visual dan Sedikit Kabar
75
Episode 74 ~ Terus Mengingkari
76
Episode 75 ~ Teringat Rencana Gibran
77
Episode 76 ~ Pria Asing di Basecamp
78
Episode 77 ~ Misi Berikutnya
79
Episode 78 ~ Kekejaman Bima
80
Episode 79 ~ Pikiran Buruk
81
Episode 80 ~ Nama Lainnya
82
Episode 81 ~ Pertumpahan Darah
83
Episode 82 ~ Licik dan Jahat
84
Episode 83 ~ Ada Bom!!!
85
Episode 84 ~ Rel Kereta Api
86
Episode 85 ~ Posisi Sulit
87
Episode 86 ~ Membentuk Grup
88
Episode 87 ~ Huufff...
89
Episode 88 ~ Tertembak
90
Episode 89 ~ Rasa Bersalah
91
Episode 90 ~ Peringatan Keras
92
Episode 91 ~ Sindrom PTSD
93
Episode 92 ~ Sketsa Rahasia
94
Episode 93 ~ Bram CS Zivana
95
Episode 94 ~ Butuh Waktu
96
Episode 95 ~ Ingin Menyusul Dhina
97
Episode 96 ~ Tidak Ditutupi Lagi
98
Episode 97 ~ Tingkah Pasutri Absurd
99
Episode 98 ~ Terselip Kisah Pilu
100
Episode 99 ~ Harus Berpencar
101
Episode 100 ~ Hancur!!!
102
Episode 101 ~ Memohon
103
Episode 102 ~ Berita Pagi
104
Episode 103 ~ Masih Sama
105
Episode 104 ~ Psikoterapi
106
Episode 105 ~ Tegarlah!!!
107
Episode 106 ~ Imam dan Dhina
108
Episode 107 ~ Video Terakhir
109
Episode 108 ~ Imam Pamit
110
Episode 109 ~ Kunjungan Dimas
111
Episode 110 ~ Kecanggihan Teknologi
112
Episode 111 ~ Luka Tak Kasat Mata
113
Episode 112 ~ Ingin Ke Makam
114
Episode 113 ~ Mimpi kah?
115
Episode 114 ~ Tiger VC Black Moon
116
Episode 115 ~ Yasinan dan Teror (Spesial)
117
Episode 116 ~ Isi Kotak Teror
118
Episode 117 ~ Masuk Sekolah Lagi
119
Episode 118 ~ Kekecewaan Hati
120
Episode 119 ~ Keluhan Black Moon
121
Episode 120 ~ Menolong Wanita Asing
122
Episode 121 ~ Air Mata Penyesalan
123
Episode 122 ~ Namanya Rumi
124
Episode 123 ~ Kalah Cepat
125
Episode 124 ~ Ketulusan Sosok Ibu
126
Episode 125 ~ Berusaha Menyadarkan
127
Episode 126 ~ Pelukan Terhangat
128
Episode 127 ~ Suapan Mami
129
Episode 128 ~ Makan Malam Spesial
130
Episode 129 ~ Anak Muda vc Orang Tua
131
Episode 130 ~ Pencarian
132
Episode 131 ~ Cara Bersyukur
133
Episode 132 ~ Sensitive
134
Episode 133 ~ Jebakan
135
Episode 134 ~ Pukulan Dendam
136
Episode 135 ~ Terluka
137
Episode 136 ~ Mobil di Depan Gerbang
138
Episode 137 ~ Penjelasan
139
Episode 138 ~ Terjebak Sendiri
140
Episode 139 ~ Kertas Kuning
141
Episode 140 ~ Permohonan Rumi
142
Episode 141 ~ Tekad Bram
143
Episode 142 ~ Menyampaikan Pesan
144
Episode 143 ~ Cip
145
Episode 144 ~ Bagi Tugas
146
Episode 145 ~ Iblis Berwujud Manusia
147
Episode 146 ~ Aksi Diam-diam
148
Episode 147 ~ Gedung Kosong
149
Episode 148 ~ Takdir Gadis Bisu
150
Episode 149 ~ Headshot
151
Episode 150 ~ Niat Baik Dhana
152
Episode 151 ~ Acara Perpisahan
153
Episode 152 ~ Acara Perpisahan 2
154
Surat Cinta Author
155
Season 2 {Episode 1 ~ Perjalanan Baru}
156
Season 2 {Episode 2 ~ Trauma Damar}
157
Season 2 {Episode 3 ~ Datang Kembali}
158
Season 2 {Episode 4 ~ Hari yang Baru}
159
Season 2 {Episode 5 ~ Tak Terkendali}
160
Season 2 {Episode 6 ~ Ancaman Lagi}
161
Season 2 {Episode 7 ~ Toko Buku}
162
Season 2 {Episode 8 ~ Arahan Hati}
163
Season 2 {Episode 9 ~ Kacau}
164
Season 2 {Episode 10 ~ Berebut Salah}
165
Season 2 {Episode 11 ~ Sumpah Bima}
166
Season 2 {Episode 12 ~ Masih Berusaha}
167
Season 2 {Episode 13 ~ Berita Baru}
168
Season 2 {Episode 14 ~ CCTV Tersembunyi}
169
Season 2 {Episode 15 ~ Pagi-pagi}
170
Season 2 {Episode 16 ~ Bimbingan}
171
Season 2 {Episode 17 ~ Bertemu}
172
Seaaon 2 {Episode 18 ~ Gejala Aneh}
173
Visual Tokoh Season 2
174
Season 2 {Episode 19 ~ Drop}
175
Season 2 {Episode 20 ~ Takut Terulang}
176
Season 2 {Episode 21 ~ Penyakit Langka}
177
Season 2 {Episode 22 ~ Frustasi}
178
Season 2 {Episode 23 ~ Ujian}

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!