...🍁🍁🍁...
"Mas... Mas Ronald kenapa menatap Mala seperti itu?"
Seketika semua mata pun tertuju ke arah Mala yang hanya diam dan tersenyum sejak tadi. Tak terkecuali, Dhana. Namun Dhana yang masih dirundung rasa kesal dan kecewa dengan sikap sang istri memilih untuk memalingkan wajah.
"Ah tidak apa-apa, Am. Mas hanya teringat kenangan kita bersama almarhumah Adek." jawab Dokter Ronald yang mengulas senyum.
Ammar yang mendengar itu pun tersenyum getir seraya mengusap lengan Dokter Ronald. Sementara Pak Aidi, Bu Aini, Sadha, Dhana, Vanny, Ibel, Mala dan Aiziel yang mendengar ikut tersenyum getir.
Suasana hening pun tak terelakkan di dalam ruang UGD itu. Mengenang masa lalu yang sangat rumit membuat mereka lupa kalau Ammar sudah boleh pulang. Lalu...
"Mas Ammar... ayo kita keluar dulu dari sini. Kasihan pasien lain terganggu karena kita." timpal Sadha yang menyikut lengan Ammar.
"Ah, Mas sampai lupa kalau sudah dibolehkan pulang oleh Dokter. Tolong bantu Mas, Sadha." jawab Ammar yang mengerti dengan maksud sang adik tengah.
Sadha pun menghela nafas panjang. Lalu ia tampak melirik Dhana untuk membantunya memapa Ammar sampai keluar dari ruangan UGD. Dhana yang mengerti pun mendekati Ammar lalu mereka memapanya sampai keluar.
"Setelah sampai di rumah kamu harus banyak istirahat, Am. Ibel sudah cerita kok sama Mas. Jangan kamu pikir Mas tidak tau kenapa kamu masuk rumah sakit." ujar Dokter Ronald seraya berjalan di samping Sadha.
"Iya, Mas. Terima kasih atas perhatian Mas. Ammar akan istirahat yang cukup biar bisa dinas lagi bersama Mas Ronald." jawab Ammar.
Dokter Ronald pun mengangguk dan menepuk kecil bahu Ammar yang berjalan.
"Mas... sebaiknya Mas menginap di rumah Ibu saja dulu untuk sementara waktu. Biar Kak Ibel bisa istirahat juga. Kasihan Kak Ibel begadang semalaman di sini karena menjaga Mas." ujar Dhana yang menggandeng tangan Ammar.
"Kenapa kamu mencuri ide Ibu, Dhana? Baru saja Ibu ingin menawarkan itu pada masmu. Tapi kamu sudah bicara lebih dulu." timpal Bu Aini yang menoleh ke arah Dhana.
Dhana pun terkekeh mendengar perkataan sang ibu. Bukan bermaksud lain, Dhana menawarkan itu hanya untuk meramaikan suasana rumah yang sedang tidak nyaman baginya. Pertengkaran dengan sang istri yang tidak pernah habis benar-benar membuatnya frustasi. Namun demi kedua anaknya, Dhana berusaha untuk bertahan, walaupun hatinya menolak.
"Bagaimana kalau Ayah dan Ibu menginap di rumah Kak Ammar saja? Lebih praktis, efisen dan pastinya lebih baik." timpal Vanny seraya mengerlingkan matanya pada Ibel.
Ibel yang melihat gerlingan mata Vanny pun mengerti dengan maksud adik iparnya itu. Sementara Vanny hanya tersenyum lebar, seraya memainkan kedua alisnya pada Ibel.
"Saran Vanny lebih baik, Bu. Ayah sama Ibu menginap di rumah saja. Apalagi besok Ibel harus dinas pagi jadi tidak ada yang menjaga Mas Ammar." timpal Ibel yang tersenyum.
"Kalau Dhana dan Mala mengizinkan, Ibu mau saja menginap di rumah kalian." jawab Bu Aini seraya menoleh ke arah Dhana dan Mala.
"Kenapa harus bertanya pada Mala, Bu? Tentu saja Mala mengizinkan Ibu dan Ayah menginap di rumah Mas Ammar." ujar Mala yang kikuk.
Dhana yang mendengar jawaban istrinya itu pun menghela nafas panjang. Sebenarnya ia merasa keberatan dengan saran Vanny karena dengan begitu, hanya dirinya, Mala, Damar dan Wulan yang akan tinggal di rumah. Sungguh, membuatnya tidak nyaman di saat seperti itu.
"Dhana... kenapa kamu diam Nak? Ayah dan Ibu boleh menginap di rumah masmu 'kan? Paling tidak sampai masmu kembali pulih total." tanya Pak Aidi seraya merangkul bahu sang putra.
"I-iya, Yah. Ayah dan Ibu boleh menginap di rumah Mas Ammar." jawab Dhana yang kikuk.
Melihat raut wajah Dhana yang kikuk dan pias seperti itu membuat Bu Aini tidak tega. Bu Aini yang mengerti dengan gelagat sang putra pun dibuat dilema. Namun Pak Aidi yang melihat perubahan di wajah sang istri pun berusaha menenangkannya. Sementara Mala yang ikut sadar dengan sikap sang suami semakin dibuat jengah dan kesal. Pasalnya saat ini ia dan Dhana tidak saling menyapa, bahkan untuk saling menatap saja enggan karena Dhana yang selalu menghindar.
"Ayah, Ibu... kalau begitu Ronald dinas dulu ya. Ada beberapa orang pasien yang harus Ronald periksa sekarang." ujar Dokter Ronald.
"Iya Nak..." jawab Pak Aidi dan Bu Aini.
Setelah mendapat izin untuk kembali bekerja, Dokter Ronald pun beranjak seraya melihat ke arah Ammar, Sadha dan Dhana. Sepeninggal Dokter Ronald, mereka semua pun berjalan ke arah pintu keluar rumah sakit.
"Al, Syahil..."
Seketika langkah mereka semua yang hendak keluar pun terhenti tatkala berpapasan dengan dua sosok anak muda itu.
"Syahil... dari mana saja kamu, hah?! Kenapa tadi malam kamu tidak pulang?" serkas Vanny yang bergerak maju mendekati putranya itu.
"Syahil menginap di apartment Mas Al, Ma." jawab Syahil yang masih bersikap santai.
"Apa? Lalu kenapa kamu tidak memberitahu Mama atau Papa kalau kamu menginap dan tidak pulang? Kamu tidak memikirkan Mama? Mama cemas memikirkan kamu, Syahil." ujar Vanny seraya memukul dada bidang putranya.
Syahil menyeringai saat mendengar perkataan sang mama. Entah apa yang dipikirkan pria itu saat ini. Dengan penampilannya yang terlihat berantakan, sama seperti Aifa'al membuat pria itu seperti anak yang tidak terurus.
"Ternyata Mama bisa mencemaskan Syahil juga ya, Ma. Syahil kira Mama hanya cemas dengan anak gadis Uncle Dhana yang tidak bisa bicara itu." jawab Syahil yang tersenyum miring.
Perkataan tajam yang keluar dari bibir putra kembar Vanny dan Sadha itu sukses membuat Dhana terperangah tidak menyangka. Lain hal dengan Mala yang hanya mendengus kasar, seakan tidak memperdulikan perkataan Syahil.
"Syahil..."
Suara bariton Sadha yang marah bergema kuat seketika dan memenuhi langit-langit halaman rumah sakit. Dengan penuh emosi, Sadha pun berjalan mendekati istri dan anaknya itu.
"Kamu keterlaluan, Syahil! Apakah kamu tidak punya sopan santun bicara seperti itu tepat di depan uncle kamu sendiri? Papa tidak pernah mengajarkan kamu kurang ajar seperti ini, Nak. Sekarang, ayo minta maaf sama uncle kamu!!!" tandas Sadha seraya menunjuk wajah Syahil.
"Tapi yang dikatakan Syahil benar, Paklik!!!" timpal Aifa'al yang tersenyum miring seraya menoleh ke arah Sadha.
Sadha dan Vanny terperangah saat mendengar perkataan Aifa'al yang seenaknya mendukung Syahil. Sementara Aifa'al yang tersenyum sinis menggiring matanya ke arah Ammar, Ibel, Mala, Dhana dan Aiziel yang berdiri di depan sana.
"Cukup, Al!!! Daddy baru saja keluar dari rumah sakit. Kalau niatmu datang ke sini hanya untuk membuat keributan, lebih baik kamu pergi saja." serkas Aiziel yang terbawa emosi melihat sikap sang adik.
"Ck!!! Seharusnya yang Mas Ziel suruh pergi itu Uncle Dhana dan Anty Mala, bukan Al!!! Karena anak mereka yang cacat itu kita jadi berkelahi, dan karena anak itu juga Daddy jadi anfal lalu masuk ke rumah sakit!!!" tandas Aifa'al seraya menunjuk ke arah Dhana dan Mala.
Sakit, bahkan sangat sakit. Hati Dhana seperti tersayat pisau sembilu saat mendengar Aifa'al berkata seperti itu tentang putrinya. Sementara Pak Aidi, Bu Aini, Ammar dan Ibel pun juga tak kalah terperangah mendengar pengakuan itu.
Plak!
Satu tamparan keras dari sang paklik sukses mendarat di pipi mulus Aifa'al dan membuat semua mata yang tadinya terbelalak, semakin terbuka lebar dengan mulut yang terbuka pula membentuk huruf O besar efek terkejut dengan tindakan spontan Sadha. Melihat itu, Dhana pun bergegas menghampiri sang mas tengah yang sepertinya sudah terbawa emosi karena tidak ingin terjadi sesuatu di luar kendali Sadha.
"Dasar anak kurang ajar!!! Berani sekali kamu bicara seperti itu di depan kami semua, hah!!! Apa ini hasil yang kamu dapatkan selama di sekolah? Apa seperti ini sikap yang daddy-mu ajarkan pada orang yang lebih tua? Apa kamu tidak bisa menjaga perasaan uncle-mu? Apa kamu tidak melihat di sana ada Opa dan Oma? Kamu tidak memikirkan itu, Al!!! Paklik sangat kecewa sama kamu, Al!!!" tandas Sadha yang berusaha mengontrol perasaannya.
Aifa'al tetap bergeming seraya memegang pipinya yang menjadi sasaran tamparan sang paklik siang ini. Sementara Syahil yang berdiri di samping Aifa'al, berusaha menyisakan jarak di antara sang papa dan sepupunya itu.
Dhana yang berdiri di samping kanan Sadha dan memegangi tangannya pun berkaca-kaca. Sementara Vanny yang berdiri di samping kiri Sadha hanya mematung. Matanya basah saat mendengar perkataan pedas yang keluar dari mulut Aifa'al dan juga Syahil tentang Wulan di depan keluarganya seperti ini.
"Dan kamu, Syahil!!! Papa benar-benar kecewa dengan sikap kamu seperti ini. Sekarang juga, cepat kamu minta maaf pada Uncle Dhana!!!" tandas Sadha yang menatap tajam putranya.
"Untuk apa minta maaf, Pa? Uncle Dhana pun tau 'kan dengan kondisi putrinya sendiri yang memang tidak bisa bicara. Papa terlalu egois! Terlalu mementingkan keperluan anak orang lain dibandingkan anak sendiri!!!" jawab Syahil seraya tersenyum miring menatap sang papa.
Emosi Sadha seketika memuncak sampai ke ubun-ubun mendengar perkataan sang putra. Tangannya mengepal kuat dengan mata yang memerah, menatap tajam sang putra kembar yang semakin lama semakin tidak tahu malu.
"Ayo, Mas! Lebih baik kita pergi saja dari sini. Kedatangan kita ke sini tidak diinginkan oleh mereka semua." timpal Syahil seraya menarik tangan Aifa'al yang masih bergeming.
Aifa'al yang masih terdiam pun ditarik oleh Syahil. Matanya yang tajam terus ia tujukan pada sang paklik. Pipinya yang putih sukses memperlihatkan bekas kemerahan akibat dari tamparan keras sang paklik.
"Syahil... kamu mau pergi ke mana lagi Nak? Syahil... pulang, Syahil!!! Syahil..." seru Vanny yang berusaha memanggil putranya.
Vanny yang tadinya terdiam pun tersadar saat melihat putra kembarnya pergi bersama Aifa'al. Sementara Sadha yang melihat itu, melepaskan dirinya dari pegangan Dhana dan menenangkan sang istri.
"Sudahlah, Sayang. Biarkan saja dia pergi." ujar Sadha yang berusaha menenangkan sang istri.
Pak Aidi, Bu Aini, Ammar, Ibel, Aiziel dan Mala yang sejak tadi berdiri di teras rumah sakit pun berjalan mendekati Sadha, Vanny dan Dhana.
"Maaf, Mas. Maaf karena Sadha lepas kendali dan menampar Al di depan Mas dan Kak Ibel." ujar Sadha yang melihat ke arah Ammar, Ibel.
"Seharusnya Mas berterima kasih sama kamu, Sadha. Semoga saja dengan tamparan kamu, Al bisa sadar dengan perkataannya. Jadi tidak perlu minta maaf karena Al itu anak kamu juga." jawab Ammar seraya menepuk bahu Sadha.
Rasa bersalah pun menyelimuti hati Sadha. Ia benar-benar terbawa emosi karena perkataan kasar Aifa'al dan Syahil tentang Wulan. Bahkan tidak terlihat rasa bersalah di wajah kedua pria yang masih remaja itu. Tanpa mereka sadari, kalau perkataan mereka itu sudah melukai hati seseorang.
"Dhana, Mala... kalian jangan memikirkan perkataan Al dan Syahil tadi ya, Nak." ujar Bu Aini seraya mengusap lembut lengan Dhana.
"Iya, Bu. Mala tidak terlalu mengambil pusing dengan perkataan Al dan Syahil. Mereka 'kan masih remaja, jadi emosi mereka masih labil." jawab Mala yang tersenyum pada sang ibu.
Di saat seperti ini, Mala masih bisa bersikap santai bahkan tidak ada kesedihan di wajah cantiknya karena perkataan Aifa'al dan Syahil. Sementara Dhana tetap bergeming. Seperti ingin marah tapi tidak mungkin, ingin memukul itu semakin tidak mungkin. Semua ini membuat Dhana semakin frustasi.
"Ayah, Ibu, Mas, Kak... Dhana pamit pergi lebih dulu ya. Dhana ingin menjemput anak-anak di sekolah. Assalamualaikum." tutur Dhana yang melihat ke semuanya lalu beranjak pergi.
Tanpa menunggu jawaban salam dari semua keluarganya, Dhana bergegas pergi ke tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Sementara yang lainnya masih bergeming melihat Dhana.
"Mala... lebih baik kamu ikuti Dhana. Bahaya kalau dia mengemudi dalam keadaan emosi seperti itu. Dhana pasti kesal karena Al dan Syahil. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa!!!" seru Ibel yang menoleh ke arah Mala.
Mala tetap bergeming di posisinya. Walaupun matanya masih mengekori ke mana suaminya itu pergi, tapi egonya yang tinggi mengalahkan segalanya.
"Sudahlah, Kak. Mas Dhana tidak apa-apa. Dia butuh waktu untuk sendiri. Setelah emosinya reda, Mas Dhana pasti kembali pulang." jawab Mala yang berusaha menenangkan Ibel.
"Tapi Mala..."
Perkataan Ibel terpangkas cepat saat tangan Ammar menyentuh bahunya dari belakang. Karena terkejut, Ibel pun memutar kepalanya dan melihat sang suami yang menggeleng. Seakan memintanya untuk tidak memaksa Mala karena situasi saat ini di antara Dhana dan Mala pun sedang kurang baik. Mengerti dengan maksud tatapan sang suami, Ibel pun melunak dan mengalah.
"Ya sudah, kalau begitusekarang kita pulang ya. Sadha... kamu bawa Vanny pulang lalu istirahat dan Ayah sama Ibu akan ikut masmu pulang ke rumahnya." ujar Pak Aidi yang memecah hening di antara mereka.
"Lalu Mala pulang dengan siapa?" tanya Sadha yang melihat adik iparnya itu.
"Mala naik taksi saja, Mas. Kebetulan Mala ingin singgah di minimarket sebelum pulang." jawab Mala yang entah jujur atau berbohong.
"Ya sudah kalau begitu kami pulang duluan ya, Mala. Kamu hati-hati di jalan!!!" timpal Ammar.
"Iya Mas..."
Ammar pun mengulas senyum sebelum akhirnya mereka semua beranjak dan pulang. Sementara Mala yang masih berdiri di depan halaman rumah sakit tampak mengepalkan tangannya dengan kuat.
"Jadi anak cacat itu yang menjadi penyebab semua ini!!! Dasar anak pembawa sial!!! Anak itu tidak hanya membawa kesialan untukku, tapi juga keluarga besar suamiku!!! Awas saja nanti, akan aku beri pelajaran pada anak sialan itu!!!"
.
.
.
.
.
Happy Reading All 😇😇😇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Yeni Eka
Al, kamu kena tampar kan, makanya jgn ngomong sembarangan knp kamu menghina Wulan.
Syahil malah km ikut dukung juga, SUNG GUH TER LA LU kata Bang Haji
2021-12-08
0
triana 13
lanjut kak
2021-11-25
0
Machan
yang jahat ma yang jahat harusnya
2021-11-23
0