...☘️☘️☘️...
"Wa'alaikumsalam..."
Wajah Ibel mendadak sendu saat mengakhiri percakapan dirinya dengan Damar. Karena ia terpaksa harus berbohong pada Damar kalau Aiziel sedang baik-baik saja. Padahal saat ini pria itu tengah bersedih dan menyesali sikap kasarnya pada Aifa'al tadi malam sehingga membuat sang daddy masuk rumah sakit.
"Sudahlah, Kak. Memang lebih baik seperti ini, bukan? Lebih baik Damar dan Wulan tidak tau kalau Kak Ammar masuk UGD karena melihat Ziel dan Al berkelahi. Apalagi kalau Wulan tau siapa penyebab perkelahian di antara Ziel dan Al. Pasti dia akan sedih dan merasa bersalah, Kak." tutur Vanny yang masih setia duduk di samping Ibel di kursi tunggu UGD.
Ibel terdiam seraya membenarkan posisi duduk yang tadinya bersandar kini bertopang dagu. Sementara Vanny berusaha menenangkan Ibel yang masih khawatir dengan kedua putranya. Ia takut kalau keduanya akan bertengkar lagi dan membuat Ammar anfal lagi seperti sekarang.
"Kakak jangan khawatir lagi ya. Kondisi Kak Ammar sudah membaik dan mungkin hari ini dia sudah bisa pulang. Kalau masalah Al, itu kita pikirkan nanti. Vanny yakin kalau Ziel bisa menyelesaikan masalahnya dengan Al." ujar Vanny lagi seraya mengusap lengan Ibel.
"Kakak khawatir sama Al, Van. Dia semakin keras dan sulit diatur. Mas Ammar sering mengeluh sakit kepala karena melihatnya. Kakak takut Al akan semakin keras dan berani menentang daddy-nya, Van." jawab Ibel seraya menoleh ke arah Vanny.
"Kak... Al itu anak yang baik. Dia hanya terpengaruh dengan gaya hidup dan lingkungan yang semakin luas di luar sana. Vanny yakin, suatu saat dia akan berubah. Kakak seperti tidak tau saja, Al tidak jauh berbeda dengan Syahil. Mereka sama-sama bangor dan sulit diatur akhir-akhir ini." ujar Vanny yang masih menenangkan Ibel.
Ibel pun terhenyak saat mendengar perkataan Vanny. Pikirannya yang kalut karena khawatir membuatnya lupa akan satu hal, yaitu Syahil.
"Oh iya, Kakak sampai lupa. Syahil baik-baik saja, bukan? Apakah sikapnya masih seperti dulu? Kamu tau sendiri 'kan kalau Syahil juga tidak menyukai keberadaan Wulan, seperti Al." ujar Ibel yang bergeser dan menghadap Vanny.
Vanny menghela nafas berat jika mengingat kelakuan salah satu putra kembarnya. Tidak berbeda jauh dengan Aifa'al, Syahil pun juga sama. Sama-sama tidak menerima Wulan di tengah-tengah keluarga mereka karena gadis itu cacat. Aifa'al dan Syahil yang masih muda dan sulit mengontrol perasaan, menganggap Wulan sebagai aib di keluarga besar mereka.
Karena di antara mereka hanya Wulan yang berbeda dan tidak bisa bicara. Namun sifat Syahil berbanding terbalik dengan kakaknya yaitu Syahal. Sama seperti Aiziel, Syahal pun juga sangat menyayangi Wulan. Tidak heran apabila Syahal dan Syahil juga sama seperti Aiziel dan Aifa'al, sering bertengkar karena perbedaan pendapat di antara mereka.
"Sudahlah, Kak. Vanny malas sekali jika harus membahas Syahil di saat seperti ini. Semalam saja dia tidak pulang ke rumah. Entah di mana anak itu sekarang. Bahkan sampai saat ini, dia belum menghubungi Vanny. Syahal juga sudah mencarinya tapi belum ketemu juga, Kak." ujar Vanny seraya meremas kuat tangannya sendiri.
Ibel menghela nafas panjang seraya mengelus lengan Vanny. Berusaha menguatkan sang adik ipar yang juga mempunyai masalah. Suasana hening pun tak terelakkan. Ibel dan Vanny yang duduk berdua di depan ruang tunggu terdiam. Sementara Pak Aidi dan Bu Aini memilih untuk masuk ke dalam ruang UGD melihat Ammar.
"Kak Ibel, Kak Vanny..."
Ibel dan Vanny terperanjat di saat seseorang, tiba-tiba datang menghampiri. Mereka pun mendongakkan kepala serentak dan melihat siapa yang datang secara tiba-tiba itu.
"Mala... kamu di sini?" tanya Ibel yang berdiri dari tempat duduknya dan mengedar matanya.
Ternyata sosok yang datang itu adalah Mala. Wanita itu tampak terengah-engah dan tengah berusaha mengontrol pernafasannya. Ibel pun menoleh ke arah Vanny yang masih duduk dan juga melihat ke arahnya. Mereka heran dengan sikap Mala yang terengah-engah seperti ini.
"Iya, Kak. Ibu menelepon dan memberitahu Mala kalau Mas Ammar masuk rumah sakit. Karena itu Mala langsung ke sini." ujar Mala yang masih terengah-engah karena berlari.
Ibel dan Vanny saling pandang lagi. Sejurus kemudian, Vanny memalingkan wajahnya ke arah lain karena enggan melihat iparnya itu. Melihat itu, Ibel menghela nafas berat seraya menenangkan Mala yang terengah-engah.
"Mas Ammar baik-baik saja, Mala. Dia sudah sadar sejak tadi. Kamu masuk saja ke dalam. Ada Ayah, Ibu, Sadha, Ziel dan Dhana di sana. Mas Ammar pasti senang melihat kamu." ujar Ibel seraya mengusap lembut bahunya.
"Mas Dhana di sini Kak?" tanya Mala yang terkejut dan nafasnya sudah mulai teratur.
"Iya... Dhana ada di dalam. Lebih baik kamu masuk." jawab Ibel yang mengulas senyum.
Mala pun terdiam. Rasa kesal terhadap Dhana kembali menjalar memenuhi hatinya. Pasalnya Dhana tidak memberitahunya tentang Ammar yang masuk rumah sakit, hingga membuatnya tidak enak hati dengan Ibel karena baru datang mengunjungi kakak iparnya itu.
"Kalau begitu Mala masuk dulu ya, Kak." ujar Mala yang mengulas senyum seraya melihat Ibel dan Vanny bergantian.
Ibel yang tersenyum pun mengangguk, berbeda dengan Vanny. Istri Sadha itu sepertinya dingin sekali pada iparnya itu hingga enggan bersikap manis dengan Mala. Melihat anggukan Ibel dan dinginnya sikap Vanny membuat Mala beranjak pergi lalu masuk ke dalam UGD.
"Kak Ibel kenapa sih masih bersikap baik saja pada Mala? Kalau Vanny ada di posisi Kakak, Vanny akan memaki anak itu! Karena sikap dia semua ini terjadi. Keluarga kita yang sejak dulu damai, kini berubah karena kebenciannya pada Wulan. Al dan Syahil juga ikut-ikut meniru sifat buruknya itu. Seharusnya Kakak marah dong!!!" sungut Vanny yang beranjak dari duduknya.
"Sstttt!!! Kamu kok bicara seperti itu? Mala itu juga keluarga kita. Tidak baik menghakimi dan menghujat saudara sendiri. Kalau perkataanmu itu terdengar oleh Dhana, dia bisa sedih. Kamu mau melihat Dhana sedih dan terpuruk lagi?" jawab Ibel seraya meletakkan jari telunjuknya pada bibir Vanny yang bar-bar.
"Kalau tidak memikirkan Dhana, sudah Vanny cincang-cincang anak itu, Kak!!! Adek di sana pasti sedih melihat keluarga kita yang seperti sekarang ini. Anak-anak tidak akur, Dhana dan Mala bertengkar terus. Kita harus bagaimana Kak? Vanny kasihan sama Wulan, terutama Ibu dan Ayah. Mereka pasti stress karena melihat pertengkaran Dhana dan Mala di rumah." tutur Vanny yang terduduk lalu menutupi wajahnya.
Melihat Vanny yang mendadak frustasi seperti ini membuat Ibel tidak tega. Ibel pun ikut duduk kembali seraya menenangkan Vanny.
***
"Bagaimana dengan kondisi Mas Ammar?"
Mala yang sudah berada di dalam pun memilih untuk tetap berdiri di samping bed Ammar. Sementara itu, ia membiarkan sang ibu mertua tetap duduk di kursi yang ada di sisinya. Lalu Pak Aidi, Sadha, Dhana dan Aiziel juga masih berdiri di sisi bed Ammar yang satunya.
"Mas sudah baik-baik saja, Mala. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan." jawab Ammar yang mengulas senyum pada adik ipar bungsunya.
"Syukurlah kalau begitu. Mala terkejut sekali mendengar kabar dari Ibu. Karena itu Mala langsung tancap gas ke sini." ujar Mala yang menoleh sesekali ke arah Bu Aini.
"Tidak hanya kamu, Ayah, Ibu dan Dhana juga. Karena musibah ini pun mendadak. Jadi tidak ada yang tau." jawab Ammar yang menoleh ke arah Dhana.
Mala hanya mengangguk. Sesekali matanya melirik ke arah Dhana yang masih berdiri dan enggan untuk melihatnya balik. Dhana hanya terdiam, menyilangkan kedua tangan di dada seraya mengalihkan pandangan ke arah lain. Melihat sikap Dhana membuat kekesalan di dalam hati Mala semakin membuncah. Tapi karena ia masih waras dan mengerti dengan peraturan rumah sakit, membuatnya terdiam.
Ammar, Sadha, Pak Aidi dan Bu Aini yang menyadari kecanggungan di antara kedua insan itu pun saling pandang. Mereka tidak merasa heran lagi jika melihat pemandangan yang kurang baik dari pasangan satu itu.
"Permisi semuanya..."
Suara bariton sang dokter yang menangani Ammar pun datang menghampiri bersama seorang suster yang akan membantu proses pemeriksaan lebih lanjut, membuat Pak Aidi, Sadha, Dhana dan Aiziel bergeser ke sisi lain agar sang dokter lebih leluasa memeriksa kondisi pasiennya.
Dokter pun memeriksa kondisi Ammar dengan teliti agar tidak terjadi kesalahan yang akan berakibat tidak baik di kemudian waktu. Namun sejurus kemudian, dokter itu mengulas senyum yang dibalas senyuman pula oleh semuanya.
"Kondisi Dokter Ammar sudah stabil dan saya juga sudah sempat bicara dengan Dokter Ibel di luar. Kalau Dokter Ammar sudah dibolehkan untuk kembali ke rumah dan beristirahat yang cukup. Untuk beberapa hari ke depan ini, saya sarankan agar Dokter Ammar tidak melakukan dinas dulu. Istirahat yang cukup, jangan emosi dan dijaga pola makannya. Darah tinggi Dokter Ammar cukup tinggi di saat pingsan tadi. Jadi jangan stress dan jangan banyak pikiran." ujar sang dokter yang menjelaskan dengan details.
"Baiklah, Dok. Terima kasih atas bantuannya." jawab Ammar yang tersenyum lega karena ia tidak perlu menginap di rumah sakit.
"Sama-sama, Dokter Ammar. Resep obat anda sudah saya berikan pada Dokter Ibel dan saat ini beliau sedang menebus obat itu." ujar sang dokter yang tersenyum ramah.
"Baiklah, terima kasih..." ucap Ammar lagi.
Dokter itu pun hanya mengangguk. Setelah itu ia pergi bersama dengan sang suster. Namun sepeninggal dokter itu, Ibel dan Vanny masuk bersama dengan seseorang. Melihat sosok itu, membuat mata semuanya berbinar seketika.
"Mas Ronald..."
Sosok itu adalah Dokter Ronald. Dokter tampan yang merupakan sahabat sekaligus mas angkat bagi Ammar, Sadha dan Dhana. Dokter yang selama ini banyak membantu keluarga Ammar. Dokter yang sudah menjadi bagian dari mereka semua. Dokter yang selama beberapa tahun ini menetap di kota lain dan akhirnya kembali lagi ke kota besar di mana keluarganya berada.
"Assalamualaikum..."
Dokter Ronald yang tersenyum bahagia pun berjalan menghampiri Pak Aidi dan Bu Aini. Kedua paruh baya yang hampir berusia senja itu semakin berbinar saat Dokter Ronald berdiri di hadapan keduanya.
"Wa'alaikumsalam, Nak. MasyaAllah... kamu sudah kembali ke Jakarta dengan sehat dan selamat. Kamu apa kabar Nak? Sejak kapan kamu sampai di Jakarta? Kenapa kamu tidak memberitahu Ayah atau Ibu?" tutur Pak Aidi yang memeluk erat Dokter Ronald.
Dokter Ronald pun melerai pelukan. Senyum manis pun mengembang di wajahnya seraya melihat kedua orang tua angkatnya itu. Sejak Dhina tiada, Dokter Ronald semakin menjalin hubungan dekat dengan keluarga Ammar dan membuat Pak Aidi serta Bu Aini memintanya untuk tidak memanggil dengan embel-embel om dan tante lagi. Karena mendapat paksaan dan sudah terlalu nyaman dengan keluarga itu, membuat Dokter Ronald tidak punya pilihan.
"Maaf ya, Yah. Baru tiga hari ini Ronald sampai di Jakarta. Jadi belum sempat main ke rumah." jawab Dokter Ronald seraya mengusap lembut bahu sang ayah angkat.
"Paling tidak kamu memberitahu adik-adikmu, Sayang." timpal Bu Aini yang melirik tajam anak angkatnya itu.
"Biar jadi kejutan, Bu." jawab Dokter Ronald yang terkikik geli melihat ekspresi sang ibu.
Pak Aidi dan Bu Aini pun tertawa mendengar jawaban Dokter Ronald yang sudah mereka anggap seperti anak kandung mereka sendiri.
"Ekhheemm... sepertinya Ayah dan Ibu sudah melupakan kita ya, Mas. Mereka hanya sibuk bercengkrama dengan anak angkatnya saja!!!"
Seketika gelak tawa Pak Aidi, Bu Aini dan Dokter Ronald terhenti saat mendapat protes dari sang anak bungsu yang tak lain adalah Dhana. Sementara Ammar, Sadha, Mala, Ibel, Vanny dan Aiziel hanya terkikik geli melihatnya.
"Haduh, ternyata adik bungsu Mas yang sudah tua ini masih bisa cemburu ya. Sini peluk Mas!"
Dhana mendengus geli saat mendengar perkataan Dokter Ronald yang menyebutnya sudah tua. Namun sejurus kemudian, Dhana yang mendapatkan isyarat dari sang mas angkat pun tersenyum dan menghambur ke dalam pelukan Dokter Ronald. Begitu pula dengan Sadha. Rasa rindu yang mendalam setelah sekian tahun tidak bertemu akhirnya terbayar hari ini. Setelah berpelukan dengan Sadha dan Dhana, Dokter Ronald bergerak mendekati Ammar lalu berpelukan erat.
"Kenapa kamu bisa masuk rumah sakit Am?" tanya Dokter Ronald seraya melerai pelukan.
"Biasa, Mas. Terlalu banyak pikiran dan pasien yang harus ditangani akhir-akhir ini. Jadi inilah hasilnya. Untuk kedua kalinya masuk ke rumah sakit dan dirawat." jawab Ammar yang melas.
Dokter Ronald pun menggelengkan kepalanya karena merasa tidak heran lagi dengan sikap sang adik angkat. Sementara yang lain hanya menikmati pemandangan yang menenangkan di antara Ammar dan Dokter Ronald. Seketika mata Dokter tampan itu teralih ke arah Mala yang masih setia berdiri di sisi Ammar. Seutas senyum pun terbit tatkala melihat wajah wanita itu. Rasa rindu pada mending adik angkat yang sudah meninggal rasanya ikut terbayarkan.
Sesekali Dokter Ronald juga menoleh ke arah Sadha dan Dhana. Rasanya benar-benar utuh, seperti di saat mending Dhina masih hidup. Mata Dokter Ronald pun mulai berkaca-kaca. Kepingan demi kepingan kenangan manis dan pahit Dhina yang ikut ia saksikan dengan jelas, seakan berputar kembali tatkala melihat Mala.
"Mas... Mas Ronald kenapa menatap Mala seperti itu?"
.
.
.
.
.
Happy Reading All 😇😇😇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
ZasNov
Ternyata keluarga yang benci sama Wulan, bukan cuma Mala dan Al..Tapi juga Syahil salah satu anak kembarnya Shada dan Vanny..😣 Asli greget banget..
Kenapa bisa Mala baik sama semua orang, tapi sama anak sendiri bisa jahat kayak gitu..😩
Hmm, Ronald melihat Mala begitu mirip sama Dhina..Tapi tidak dengan sikap Mala yang buruk..😫
2021-12-19
0
triana 13
like
2021-11-25
0
Machan
wajah boleh sama, tapi kelakuan luar biasa beda.
kenapa mala gak bisa baik ma putrinya
2021-11-23
0