...🍁🍁🍁...
POV Dhana : 13 tahun yang lalu
Bruk!
"Ahhhhhh... Mas.... Mas tolong!!!"
Suara benda jatuh itu sukses membuyarkan lamunanku saat aku sedang berada di dalam kamar. Ditambah lagi dengan suara teriakan yang tak asing bagiku, membuat langkahku langsung menghambur keluar dari kamar. Pandangan mataku mengedar, mencari asal suara teriakan itu.
Betapa terkejutnya aku saat melihat istriku, Mala yang tergeletak di dekat tangga dengan bersimbah darah di bagian kakinya. Bergegas, aku langsung berlari mendekati istriku yang terlihat sangat kesakitan.
"Sayang... kamu kenapa? Kamu berdarah, kamu pendarahan, Sayang." ujarku panik.
"Tolong, Mas. Sakit..." pekik Mala yang menjerit kesakitan seraya memegangi perutnya.
Panik, takut dan tubuhku gemetar hebat saat melihat darah yang mengalir deras di balik piyama tidur istriku. Mataku nanar menatap lekat wajahnya yang meringis kesakitan dan terus memegangi perutnya.
"Dhana... Mala kenapa Nak?"
Kepanikan diriku yang terlalu hebat membuatku terdiam dan menerawang, tanpa sadar Ibu datang menghampiriku bersama Ayah, Kak Ibel dan Kak Vanny.
"Ya ampun Mala pendarahan, Dhana. Kita harus membawanya ke rumah sakit!!!" seru Kak Ibel yang lebih banyak tau tentang hal ini karena profesinya sebagai dokter kandungan.
"Ayo, Dhana!!! Cepat kamu gendong Mala." timpal Kak Vanny yang tak kalah panik.
Aku pun langsung mengangkat tubuh istriku yang dibantu oleh Ayah. Kami semua berlari ke arah depan hingga masuk ke dalam mobil dan Ayah membawa kami semua ke rumah sakit.
Kulihat wajah istriku yang semakin pucat, darahnya semakin banyak di bawah sana, dan itu membuatku semakin gelisah. Aku takut terjadi sesuatu pada istriku dan kedua anakku yang berada di dalam kandungannya.
"Kamu yang tenang ya, Mala. Jangan panik, tarik nafas yang dalam lalu hembuskan secara perlahan. Lakukan itu berulang kali agar kamu bisa tenang. Ingat! Jangan panik. Kalau kamu panik, darahmu akan semakin deras keluarnya dan itu akan berbahaya."
Kulihat Kak Ibel yang duduk di samping Mala, berusaha menenangkan istriku dengan berbagai macam teori yang Kak Ibel miliki. Sementara Kak Vanny juga ikut berusaha menenangkan Mala seraya mengelus kepalanya dengan lembut. Aku yang panik hanya bisa menggenggam erat tangan istriku, berusaha memberikan kekuatan yang aku miliki saat ini, walaupun kekuatanku sepenuhnya tidak lah kuat sejak melihatnya tergeletak di dekat tangga.
Perjalanan panjang namun singkat karena Ayah melaju dengan kecepatan angin pun berakhir. Kami sampai di rumah sakit dan aku langsung membawa Mala.
"Kamu tunggu di sini ya. Biar Kakak yang masuk untuk menangani istri kamu." ujar kakak ipar sulungku itu dan menenangkan aku yang gelisah.
"Dhana mohon, Kak. Selamatkan Mala dan anak-anak Dhana. Dhana mohon." ucapku seraya memohon pada Kak Ibel.
"Kakak akan berusaha sekuat tenaga untuk kamu, Mala dan keponakan kembar Kakak. Kamu berdo'a ya." ujar Kak Ibel yang penuh kelembutan dan membuatku sedikit tenang.
Aku hanya bisa mengangguk dan berusaha untuk mengulas senyum. Setelah itu Kak Ibel masuk ke dalam UGD dan Kak Vanny masih setia berdiri di sisiku, seraya memegangiku.
"Kita berdo'a untuk Mala ya, Nak. Semoga Mala dan kedua cucu Ayah tidak apa-apa." ujar Ayah yang merangkul bahuku seraya mengusapnya dengan lembut.
"Kak Ibel pasti bisa menyelamatkan Mala, Dhana. Kamu harus percaya sama Kak Ibel." timpal Kak Vanny yang masih memegangi tanganku seraya mengusapnya lembut.
"Istrimu pasti kuat, Sayang. Ibu yakin itu." timpal Ibu yang kata-katanya selalu menjadi pengobat ampuh kegelisahan hatiku.
Aku hanya bisa mengangguk walaupun rasanya sangat berat, tapi aku harus kuat demi Mala dan anak-anakku. Akhirnya kami semua duduk dan menunggu kabar dari Kak Ibel yang masih berada di dalam UGD. Seketika pandangan mataku menerawang, teringat kenangan yang sama saat duduk di depan ruang UGD seperti ini. Namun dengan situasi yang tentunya sangat berbeda. Tiba-tiba aku teringat adikku yang sudah meninggal, tanpa sadar air mataku mengalir begitu saja. Aku takut Mala akan pergi, seperti Dhina yang pergi meninggalkan aku untuk selamanya.
"Dhana, Ayah, Ibu, Vanny... Mala bagaimana? Dia baik-baik saja 'kan?"
Suara bariton itu berhasil menyadarkan aku dari lamunan panjang. Mendengar suara itu, aku langsung menoleh dan melihat Mas Ammar dan Mas Sadha datang menghampiri kami. Sepertinya Kak Vanny yang memberitahu mereka kalau Mala jatuh dan masuk rumah sakit. Padahal aku tau sekali kalau hari ini Mas Sadha maupun Mas Ammar sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, tapi mereka tetap datang untuk menguatkan aku.
"Mala masih di dalam UGD, Kak. Kak Ibel sedang berusaha menangani Mala." jawab Kak Vanny yang beranjak dan mendekati Mas Sadha.
"Lalu anak-anak bagaimana Sayang?" tanya Mas Sadha yang sepertinya teringat dengan anak-anak.
"Anak-anak masih di rumah Ibu, Mas. Bi Iyah yang menjaga mereka. Kamu tenang saja ya, karena yang paling penting saat ini adalah kondisi Mala." jawab Kak Vanny yang berusaha menenangkan Mas Sadha.
"Baiklah kalau begitu, semoga Mala tidak apa-apa ya. Kamu harus kuat, Dhana." ujar Mas Sadha seraya mengusap punggungku.
Hanya anggukan yang bisa kuberikan sebagai tanda mengiyakan perkataan Mas Sadha. Hatiku benar-benar tidak tenang karena Kak Ibel yang tak kunjung keluar dari ruang UGD.
Ceklek!
Baru saja aku membicarakan kakak iparku itu di dalam hati, tiba-tiba saja dia keluar dengan tampang panik dan gusar seraya berlari kecil menghampiriku dan keluarga.
"Ada apa Kak? Bagaimana dengan kondisi Mala? Lalu anak-anak Dhana bagaimana?" tanyaku yang bertubi-tubi pada Kak Ibel seakan menuntut jawaban dan enggan memberikan Kak Ibel peluang untuk mengambil nafas terlebih dahulu.
"Bagaimana Sayang? Kondisi Mala dan kedua bayinya baik-baik saja, bukan?" timpal Mas Ammar yang terdengar panik dan tidak sabar mendengar jawaban istrinya.
Kulihat guratan kecemasan di wajah Kak Ibel yang menandakan bahwa ada sesuatu yang tidak baik terjadi pada istri dan anak-anakku di dalam sana. Kak Ibel pun menghela nafas berat seraya meraih bahuku.
"Mala harus segera dioperasi, Dhana. Karena pendarahan hebat yang Mala alami sehingga kami sebagai dokter harus mengambil tindakan operasi secepatnya. Kalau tidak..."
Suara Kak Ibel seperti tertahan, raut wajahnya semakin menyatakan kalau kondisi Mala dan anak-anakku di dalam sana tidak baik.
"Kalau tidak apa Nak? Ayo cepat katakan pada kami semua?" timpal Ibu yang tidak sabar dan semakin khawatir.
"Kalau tidak Mala atau pun anak-anak Dhana tidak bisa selamat, Bu." jawab Kak Ibel yang sukses menambah kegelisahan hatiku.
Jatuh sudah bulir bening dari sudut mataku, kata-kata yang sangat menakutkan itu seakan menghantuiku setelah lama tidak terdengar. Tubuhku mematung, lidahku terasa kelu dan tidak tau harus mengatakan apa lagi. Namun kurasakan tangan lembut Kak Ibel meraih dan menggenggam erat tanganku, berusaha untuk membuatku kuat agar aku bisa mengambil keputusan secepatnya.
"Lakukan saja yang terbaik menurut Kakak. Dhana hanya bisa mengikuti dan berdo'a agar mereka selamat. Tolong, Kak. Tolong selamatkan istri Dhana. Dhana mohon Kak." ujarku yang menggenggam tangan Kak Ibel.
"Baiklah, Kakak akan berusaha untuk kalian. Tolong bantu Kakak dengan do'a ya, Dhana." jawab Kak Ibel seraya mengusap kepalaku.
Aku hanya mengangguk dan Mas Ammar yang berdiri di sampingku berusaha untuk menenangkanku. Kak Ibel pun kembali masuk ke ruang UGD dan tidak berselang lama, kakak iparku itu keluar lagi seraya mendorong hospital bed yang istriku pakai.
Air mataku lolos lagi saat melihat kondisinya yang sangat lemah tak sadarkan diri di atas bed. Kami semua mengantar istriku sampai ke ruang operasi dan kami semua hanya bisa menunggu di luar.
***
Dua jam berlalu, tapi Kak Ibel tak kunjung keluar dari ruang operasi dan membuatku semakin gelisah. Tapi aku sangat bersyukur karena aku mempunyai keluarga yang selalu mendukungku, apa pun yang terjadi. Setelah Dhina pergi, keluarga kami seperti dihujani berbagai macam kebahagiaan. Bukan tidak bersyukur, tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku kalau aku sangat merindukan dirinya. Kebahagiaan yang berlimpah seakan menjadi pengganti dan pengobat luka hati kami semua karena kehilangan Dhina.
Sejak menikah dengan Mala, hidupku terasa sangat lengkap dan sempurna. Ditambah lagi dengan kehamilan Mala yang pertama, dan yang menjadi bonusnya adalah, aku dan Mala mendapatkan sepasang anak kembar. Sepertinya kedua anakku kelak akan menjadi titisanku dan juga Dhina.
Ceklek!
Lamunanku buyar lagi saat terdengar suara pegangan pintu yang berbunyi. Mataku langsung menoleh ke arah pintu dan tampak Kak Ibel keluar dengan raut wajah yang pias. Aku tidak mengerti dengan maksud raut wajah Kak Ibel, tapi hatiku berkata kalau sesuatu yang kutakutkan sejak tadi akan terjadi.
"Kak... bagaimana keadaan Mala? Dia baik-baik saja, bukan? Anak-anak Dhana selamat 'kan Kak?" tanyaku yang berusaha menepis rasa takut di hatiku.
Kak Ibel tampak menghela nafas panjang seraya membuka masker yang ia gunakan ketika melangsungkan operasi di dalam sana. Raut wajahnya terlihat berbeda dari yang tadi.
"Sebelumnya Kakak ingin bertanya satu hal sama kamu, Dhana. Apakah kamu dan Mala selalu check up rutin ke rumah sakit untuk melihat perkembangan kedua anak kalian?"
Pertanyaan Kak Ibel membuat hatiku semakin gelisah dan kacau. Kenapa Kak Ibel menanyakan hal yang selama ini memang aku lakukan bersama Mala setiap bulan.
"Tentu saja, Kak. Kenapa Kakak bertanya seperti itu? Anak-anak Dhana tidak apa-apa 'kan Kak?" jawabku yang memberikan pertanyaan balik pada kakak iparku itu.
"Sepertinya ada sesuatu yang belum kamu ketahui tentang kondisi anak-anak kamu, Dhana. Perkembangan mereka tidak stabil dan hal itu menyebabkan salah satu di antara mereka mempunyai berat badan yang kurang dari berat badan bayi normal. Selama dua jam di dalam ruang operasi, Kakak sudah berusaha untuk mengeluarkan kedua anak kamu. Alhamdulillah, mereka selamat walaupun..."
"Walaupun apa Kak?" tanyaku yang semakin gusar dan kacau.
"Karena perkembangan keduanya yang tidak stabil, salah satu anak kamu saat ini harus dimasukkan ke dalam incubator karena berat badannya yang jauh di bawah normal. Sedangkan anak kamu yang satunya lagi, dia sangat sehat dan berat badannya normal." tutur Kak Ibel yang mengulas senyum lega.
Rasa takut dan gelisah yang menghantuiku sejak tadi menguap begitu saja. Anak kembarku telah lahir ke dunia dengan selamat, walaupun ada sedikit masalah dengan kondisi salah satu dari anakku. Namun hal itu tidak terlalu mengganggu pikiranku karena yang terpenting mereka sudah lahir dengan selamat.
"Lalu bagaimana dengan Mala, Sayang?" timpal Mas Ammar yang menanyakan kondisi istriku.
Seharusnya aku yang menanyakan hal itu pada Kak Ibel, tapi karena terlalu lega dan bahagia dengan kehadiran anak-anakku, aku malah melupakan istriku. Lalu kulihat Kak Ibel yang sepertinya berat untuk mengatakan sesuatu seraya menatap Mas Ammar.
Perasaan gelisah kembali datang dan sukses mengusik ketenangan hatiku yang baru saja merasa lega setelah anak-anakku lahir.
"Mala... Mala koma, Mas!!!"
Kak Ibel hanya menatap lekat wajah Mas Ammar dan enggan untuk menoleh ke arahku. Jawaban Kak Ibel sukses menghujam hatiku dengan pisau yang tak kasat mata. Sakit tapi tidak berdarah.
"Tidak, Kak. Kakak pasti bohong 'kan? Mala tidak mungkin koma, Kak." jawabku seraya berjalan menghampirinya.
"Kakak minta maaf, Dhana. Kakak sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan istri kamu. Awalnya, operasi berjalan dengan sangat lancar dan sesuai dengan ekspektasi, tapi setelah Kakak berhasil mengeluarkan anak kembar kamu yang laki-laki, tiba-tiba saja kondisi Mala drop. Dan akhirnya Mala koma setelah Kakak mengeluarkan anak kamu yang perempuan. Pendarahan yang Mala alami, ditambah lagi dengan perkembangan bayi yang tidak stabil membuat mental Mala drop. Kakak minta maaf, Dhana. Semua ini berada di luar dugaan Kakak. Kakak benar-benar minta maaf."
Runtuh sudah pertahanan air mata dan sisa kekuatan yang aku miliki. Tubuhku terhuyung ke belakang, lemah tak berdaya dan terduduk di kursi tunggu. Ibu memeluk tubuhku dari samping, berusaha menenangkanku.
"Apakah Mala akan sadar Sayang? Maksudku, apakah Mala bisa selamat?" tanya Mas Ammar yang sayup-sayup terdengar di telingaku.
"Aku hanya dokter dan manusia biasa, Mas. Mala bisa selamat atau tidak, aku tidak bisa menjamin itu. Aku tidak ingin memberikan harapan palsu pada Dhana. Kondisi Mala sangat lemah saat dioperasi karena pendarahan hebat. Tapi kalau kita tidak mengambil keputusan untuk mengoperasi Mala, maka nyawa kedua anak Dhana yang akan menjadi taruhannya." tutur Kak Ibel.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain berdo'a untuk saat ini. Aku benar-benar takut, bahkan sangat takut untuk kehilangan orang teramat aku cintai untuk yang kedua kalinya. Air mata pun tak bisa kuajak berkompromi, bulir demi bulir terus berjatuhan, membasahi wajahku.
"Jangan ambil istriku, Ya Allah. Jangan Kau ambil istriku seperti Kau mengambil adikku."
.
.
.
.
.
Happy Reading All 😇😇😇
Mari kita flashback sebentar ya, untuk melihat kenapa Mala membenci Wulan padahal Wulan adalah anak kandungnya sendiri.
Ikutin terus ya kisah Wulan 😘 semangat dan salam sayang dari author
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Maya●●●
udah aku masukin fav kak..
semangattt
2022-08-29
0
Senajudifa
aku kok ikut sedih
2022-06-14
0
ZasNov
Memang Mala menderita saat melahirkan dan koma setelahnya..
Tapi itu bukan kesalahan Wulan, kenapa Wulan dibenci karena sesuatu yang bukan kesalahannya..😩
Wulan bahkan sudah menderita sejak dalam kandungan..Kasian banget nasibnya Wulan..😭
Untung saja Papi & Damar sayang sama Wulan...
2021-11-24
0