...🍁🍁🍁...
"Putri anda mengalami kelainan di bagian syaraf telinganya sehingga membuat putri anda tidak mampu untuk berkomunikasi dengan orang yang ada di sekitarnya. Hal yang seperti ini sering disebut dengan tuna rungu-wicara, Pak."
Air mataku lolos begitu saja saat dokter yang berada di hadapanku dan Mas Sadha saat ini tengah menjelaskan kondisi Wulan, putriku. Ternyata feeling-ku dan Mas Sadha benar, Wulan mempunyai ketebelakangan khusus yang membuatnya tidak bisa mendengar, bahkan berbicara dengan orang di sekitar.
Cobaan apa lagi ini? Hatiku terasa sakit saat mendengar perkataan dokter itu. Kenapa hal ini menimpa putriku? Kenapa bukan aku saja yang mengalaminya? Aku benar-benar kacau dengan semua ini, istriku belum sadar dari koma setelah empat tahun berlalu dan sekarang aku diberi cobaan separah ini dengan kenyataan kondisi putriku. Baru saja aku merasakan hidup bahagia setelah lama aku terpuruk karena kepergian adikku, tapi kenapa ujian berat kembali menimpaku? Bahkan ujian itu menimpa langsung putriku yang masih kecil.
Aku hanya terdiam namun air mataku terus saja menetes tanpa seizin dariku. Melihatku yang terdiam dan meneteskan air mata, Mas Sadha yang masih menggendong Damar pun meraih tanganku. Mas Sadha menggenggam tanganku dengan erat, seakan memberikan kekuatan agar aku bisa menerima kenyataan pahit ini.
"Bisakah Dokter jelaskan lagi tentang tuna rungu-wicara pada kami?"
Dengan antusias, Mas Sadha yang sebenarnya belum memahami betul apa tuna rungu-wicara itu sendiri pun meminta dokter itu menjelaskan semuanya agar kami mendengarnya dan bisa mengambil keputusan selanjutnya.
"Baiklah, Pak..."
Dokter itu tampak mengambil nafas dalam-dalam seraya melihat berkas kondisi kesehatan putriku. Lalu melihat ke arah kami.
"Tuna rungu itu adalah kondisi fisik yang dialami oleh seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendengarkan suara dalam bentuk apa pun, biasanya seorang tuna rungu juga menderita tuna wicara atau ketidakmampuan untuk berbicara. Biasanya seorang anak tuna rungu-wicara memiliki kesulitan belajar untuk mengenali suara, terutama suara ibunya sehingga respon yang dimilikinya lambat dibandingkan dengan anak tuna netra."
Kulihat Mas Sadha yang dengan cermat mendengar penjelasan dokter itu, sementara aku sudah tidak fokus lagi sejak mengetahui kebenaran tentang kondisi putriku.
"Ketidakmampuan belajar ini yang menjadi salah satu faktor anak tuna rungu-wicara memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata anak pada umumnya. Ketidakmampuan belajar pada anak tuna rungu-wicara juga dapat mempengaruhi psikologis anak tuna rungu-wicara. Menurut hasil pemeriksaan saya, putri anda mengalami tuna rungu-wicara yang tingkat sedang. Hal itu masih bisa dibantu dengan memasang sebuah alat bantu pendengaran di telinganya. Sementara untuk saling berkomunikasi, putri anda bisa berlatih dengan menggunakan bahasa isyarat yang dikhususkan untuk anak tuna rungu-wicara."
Mas Sadha terdengar menghela nafas berat dan terus menggenggam tanganku. Sementara aku masih terdiam, duduk membatu di depan dokter yang saat ini masih menjelaskan semua tentang kelainan yang dialami putriku.
"Sebenarnya apa yang menyebabkan putri saya ini terkena kelainan seperti itu Dok?"
Ternyata rasa ingin tau Mas Sadha tentang kelainan putriku lebih besar dibandingkan dengan diriku. Bukan tidak ingin tau, atau berusaha untuk tidak peduli, melainkan aku sudah tidak cukup kuat untuk mendengarkan semua penjelasan dan kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. Aku benar-benar tidak sanggup!
"Sebelum menjawab pertanyaan Bapak, saya ingin bertanya terlebih dahulu. Apakah putri anda lahir prematur? Atau ada kelainan lain yang terjadi saat putri anda berada di dalam kandungan?" tanya balik dokter itu pada Mas Sadha.
Aku yang sejak tadi tertunduk pun langsung mengangkat kepala dan menatap dokter itu. Ingin rasanya aku ikut menjelaskan semua yang pernah terjadi pada dokter itu tentang kondisi kehamilan istriku saat persalinan. Namun lagi-lagi kekuatanku sudah tidak ada dan membuatku tetap diam.
"Putri saya sebenarnya kembar, Dok. Saat di dalam kandungan istri saya, perkembangan salah satu di antara mereka tidak stabil dan mengakibatkan putri saya ini lahir dengan berat badan seperti anak yang lahir secara prematur. Apakah itu yang menjadi penyebab kondisinya seperti ini Dok?" timpal Mas Sadha yang sesekali menoleh ke arahku.
"Tentu saja, Pak. Itu artinya ada penyakit yang menyerang salah satu bayi kembar anda saat mereka masih berada di dalam kandungan ibunya. Karena penyakit itulah yang menyebabkan tumbuh kembang salah satu anak kembar anda terganggu dan berakibat fatal pada organ penting di dalam dirinya." jawab dokter itu yang menjelaskan.
Aku benar-benar tidak kuat lagi mendengar semua penjelasan dokter. Tapi Mas Sadha tetap tenang dan berusaha menguatkan aku dengan menggenggam erat tanganku.
"Apakah tidak ada terapi atau pengobatan jenis lainnya yang bisa menyembuhkan kelainan pada putri saya, Dok?" tanya Mas Sadha lagi yang mewakiliku karena aku syok dan tidak mampu untuk mengatakan apa-apa lagi.
"Sampai saat ini belum ada pengobatan untuk penyandang tuna rungu-wicara, Pak. Tapi Bapak jangan khawatir karena zaman yang sudah semakin canggih, penyandang tuna rungu-wicara bisa menggunakan alat bantu berupa implant koklea untuk bisa mendengar suara yang ada di sekitarnya."
"Apakah putri saya bisa sembuh Dok?" tanya Mas Sadha lagi untuk memastikan.
"Kemungkinan untuk sembuh sangat kecil, Pak. Apalagi mengingat kelainan yang dialami putri anda ini terjadi karena perkembangan kondisinya saat berada di dalam kandungan sang ibu dan baru diketahui saat ini. Saya tidak bisa menjanjikan hal sebesar itu, Pak." jawab dokter itu dengan nada rendah dan hampir tak terdengar.
Aku tetap bergeming, tanganku yang satunya lagi kugunakan untuk memeluk erat putriku yang masih bertengger di atas pahaku. Pandanganku menerawang, membayangkan masa depan putriku yang mungkin akan menjadi kelam karena keterbatasannya. Air mataku masih saja lolos, bibirku kelu tak mampu untuk mengatakan apa pun. Suara nafas kasar Mas Sadha kembali terdengar. Lalu Mas Sadha menggiring matanya ke arahku yang masih membisu. Aku hanya menatap Mas Sadha dengan tatapan sendu karena tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk saat ini.
"Baiklah, Dok. Saya setuju dengan usulan Dokter untuk memasang alat bantu pada telinga putri saya. Tolong lakukan apa saja yang terbaik untuk putri saya, Dok."
Lagi-lagi Mas Sadha yang berbicara setelah sepersekian menit, ia menatapku yang masih membisu. Kali ini aku benar-benar menyerahkan semua keputusan pada mas tengahku itu untuk putriku, Wulan. Apa pun itu aku sangat mempercayai Mas Sadha.
Akhirnya, pemeriksaan selesai dan kini Wulan telah memakai alat bantu di salah satu telinganya. Aku dan Mas Sadha pun memilih pulang untuk membicarakan hal ini pada Ayah, Ibu dan juga Mas Ammar. Aku dan Mas Sadha menceritakan semuanya pada mereka tentang kondisi Wulan. Mereka sangat syok dan terkejut. Mereka tidak pernah menyangka kalau hal separah ini akan menimpa putriku.
Yang paling terpukul setelah aku adalah Ibu. Kenangan masa lalu pun kembali teringat di memori otaknya. Di mana putri satu-satunya juga mengalami nasib buruk karena sakit keras dan hal ini kembali terulang pada cucu perempuannya.
"Kenapa? Kenapa nasib yang hampir serupa juga terjadi pada cucu Ibu? Kenapa Wulan harus mengalami kelainan seperti ini? Ibu tidak bisa membayangkan bagaimana masa depannya nanti. Semua orang pasti akan mengucilkan cucu Ibu. Ya Allah... kenapa nasib buruk yang menimpa putriku juga Kau berikan pada cucuku? Dia masih kecil dan bahkan dia belum mengetahui suara ibunya."
Ibu terus meracau, air matanya tampak jelas berjatuhan di wajahnya yang tak lagi muda. Sementara aku hanya tertunduk, duduk di antara Mas Ammar dan Mas Sadha seraya menyilangkan kedua tanganku di depan dada.
"Semua ini sudah takdir, Bu. Wulan juga tidak ingin terlahir seperti ini. Kalau Wulan bisa memilih, mungkin dia akan memilih untuk tidak dilahirkan dari pada harus mengalami kelainan seperti ini. Tapi apa lah daya kita yang hanya manusia biasa ini, Bu. Semua yang terjadi di dalam keluarga kita, itu sudah menjadi Qada dan Qadar Allah. Kita tidak bisa mengubahnya. Tugas kita sekarang adalah menjaga Wulan dan memberikan dukungan agar dia bisa tumbuh menjadi anak yang kuat."
Kata-kata yang terlontar dari bibir Mas Ammar sontak menerobos relung hatiku yang paling dalam. Hatiku benar-benar tercubit karena perkataannya. Mas Ammar benar, kalau semua ini sudah menjadi takdir hidup keluarga kami. Ujian demi ujian kembali datang setelah ribuan kebahagiaan menghampiri. Itu artinya Allah menyayangi keluarga kami dan memilih kami untuk menjalani ujian ini.
Setelah pembicaraan malam itu, aku dan keluargaku sepakat untuk terus mendukung pertumbuhan Wulan. Aku memutuskan untuk memberikan pelatihan-pelatihan khusus agar perkembangan putriku meningkat. Lagi-lagi aku mengatakan kalau aku sangat beruntung karena memiliki Ayah, Ibu, Mas Ammar dan Mas Sadha yang selalu ada di belakangku. Kalau Adek masih hidup, mungkin dia akan berdiri di sampingku saat ini. Menggandeng tanganku untuk melewati ujian berat ini dari Sang Pencipta. Tapi itu tak kan pernah terjadi karena adikku itu sudah tenang di alam sana.
***
Satu tahun berlalu dengan cepat. Namun kondisi Mala belum juga memberikan tanda-tanda kehidupan. Usia anak-anak pun sudah masuk 5 tahun dan mereka belum pernah mendengar suara ibunya. Awalnya aku sempat berpikiran untuk merelakan dan membiarkan Mala pergi menyusul adikku. Tapi di saat aku mulai menyerah, di alam mimpi Dhina datang menghampiriku.
"Mas Dhana jangan menyerah. Kak Mala pasti akan sadar walaupun Adek tidak tau kapan waktu itu akan datang. Mas harus tetap kuat dan sabar, karena sabar adalah kunci dari keikhlasan yang hakiki. Adek sangat yakin, tidak lama lagi Kak Mala akan bangun dari tidur panjangnya. Mas harus tetap menunggunya. Demi Damar dan juga Wulan, Mas. Mas Dhana yang Adek kenal adalah Mas Dhana yang kuat dan pendirian. Bukan Mas Dhana yang mudah menyerah. Mas harus kuat melebihi apa pun. Adek akan selalu ada di hati Mas Dhana dan berdo'a agar Mas bisa melewati semua ini. Adek sayang Mas Dhana. Adek pamit dulu ya, Mas."
Setiap mengingat kata-kata yang keluar dari bibir adikku, walaupun itu hanya sebuah mimpi, aku selalu merasakan kenyamanan. Tutur katanya membangkitkan semangatku yang mulai redup. Setelah mendapatkan pertanda dari mimpi itu, aku memutuskan untuk tetap menunggu istriku yang masih koma seraya memberikan yang terbaik untuk anak-anakku.
Damar dan Wulan kini sudah masuk ke sekolah Taman Kanak-kanak. Aku memasukkan mereka ke dalam sekolah yang sama. Ya, Wulan bisa diterima di sekolah Taman Kanak-kanak pada umumnya dan hal itu merupakan anugerah terbesar yang kusyukuri hingga saat ini.
Putriku memang tidak bisa bicara dan untuk mendengar saja harus menggunakan alat bantu berupa implant di telinganya. Tapi satu hal yang sangat membuatku dan keluarga besar tercengang bukan main, saat Wulan mengikuti salah satu tes IQ yang di adakan sekolahnya untuk tahap pertama memasuki Taman Kanak-kanak.
Aku tidak pernah menyangka kalau nilai tertinggi berhasil dicapai oleh putriku yang tidak sempurna ini, bahkan Damar yang lebih sempurna saja tertinggal jauh di bawahnya. Ini benar-benar mukjizat dari Allah untuk putriku. Dibalik keterbatasan, Wulan mempunyai tingkat IQ di atas rata-rata. Entah dari mana Wulan bisa memiliki IQ setinggi itu, bahkan karena tidak puas, aku melakukan tes IQ lanjutan di tempat yang berbeda untuk memastikan kalau putriku benar-benar cerdas.
"Saya benar-benar tercengang dengan putri anda, Pak Dhana. Walaupun dia memiliki keterbatasan, tapi putri anda sangat cerdas. Bahkan kecerdasannya melebihi anak-anak normal yang ada di luar sana. Saya sarankan agar Wulan dimasukkan ke sekolah umum saja, Pak. Agar kerja otaknya semakin terasah dan potensinya semakin keluar. Coba Pak Dhana lihat!!! Hasil tes IQ Wulan yang ketiga kalinya ini sangat memuaskan. Nilai Wulan nyaris sempurna dan hampir mencapai angka 100. Kejadian seperti ini sangat langka terjadi pada anak-anak yang senasib dengan Wulan, Pak."
Seperti itulah penuturan dari salah satu pihak penyelenggara tes IQ dengan semangatnya saat memperlihatkan hasil tes IQ Wulan. Dia tak henti-hentinya memuji keahlian putriku yang tidak sempurna dan hal itu membuatku merasa lega dan sangat bersyukur.
Tidak hanya aku, Ayah, Ibu, Mas Ammar, Mas Sadha, Kak Ibel dan Kak Vanny pun juga demikian. Rasanya kesedihan yang selama ini kupendam sendiri, hilang begitu saja. Putriku memang tidak sempurna, tapi dia memiliki potensi yang terpendam dalam dirinya.
"Terima kasih atas anugerah terbesar ini, Ya Allah."
.
.
.
.
.
Happy Reading All 😇😇😇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Your name
Semangat Thor..
2021-12-16
1
ZasNov
Baca sampai part ini, hatiku masih nyesek ya ampun..😭😭😭
Sedih banget jadi Wulan..😭😭
Tapi ternyata Wulan sangat cerdas banget, itulah kenapa dia bersekolah di sekolah umum..
Meskipun sebenarnya kasian, karena Wulan jadi target bully temen2 sekolahnya..😩
2021-11-24
0
Fhatt Trah (fb : Fhatt Trah)
aku mampir ☺️
semangat ya💪😀
2021-11-20
1