...🍁🍁🍁...
"Damar..."
Seketika Damar terlonjak kaget saat suara bariton itu memanggil namanya dari jarak jauh. Damar pun menoleh, mencari sumber suara yang sangat lantang memanggilnya. Matanya memicing saat menangkap sosok tinggi yang tengah berlari ke arahnya seraya melambaikan tangan.
"Rainar..."
Sosok tinggi yang tidak beda jauh darinya itu adalah Rainar. Pria yang sempat bertemu dan mengantar Wulan pulang kemarin namun pria itu belum bertemu dengan Damar.
"Hei Bro... apa kabar?" ujar Rainar yang baru datang dan langsung merangkul bahu Damar.
"Kamu... kamu sekolah di sini? Sejak kapan?" tanya Damar yang masih mematung, terkejut.
"Baru hari pertama. Kemarin aku juga datang untuk mengurus semuanya dan aku bertemu Wulan. Tapi hari ini, kenapa Wulan tidak ada? Kemarin kamu yang tidak ada, sekarang adik kamu." jawab Rainar yang melepas rangkulan.
Damar dan Rainar pun berjalan menyusuri lapangan lalu masuk ke pekarangan koridor.
"Wulan sudah masuk ke kelasnya, Nar. Kamu sejak kapan menetap di Jakarta?" ujar Damar yang berjalan seraya menoleh ke arah Rainar.
"Hmmm, dinas papaku sudah selesai. Karena itu aku pindah lagi ke sini. Tapi kakakku tetap berada di sana karena kuliah." jawab Rainar.
"Oh jadi dinas Om Ronald sudah selesai? Lalu?" tanya Damar lagi seraya berjalan dan menoleh.
"Lalu apa lagi? Ya, aku menetap di sini lagi lah. Tugas dinas tetap papaku 'kan di sini, Damar." jawab Rainar yang menggelengkan kepalanya.
Damar merotasi penuh matanya, merasa jengah melihat ekspresi Rainar yang tak lain adalah sahabat kecilnya bersama sang adik. Sementara Rainar yang melihat respon sang sahabat hanya terkikik geli seraya menepuk punggung Damar.
"Wah sepertinya kita tidak hanya satu sekolah, tapi satu kelas juga." ujar Rainar yang berbinar.
"Ck, aku malas sekali jika harus satu kelas denganmu, Rainar Armadanto!!!" sungut Damar.
Damar pun berlenggang pergi, masuk ke dalam kelas dan langsung duduk di tempat duduknya. Sementara Rainar yang ditinggalkan di ambang pintu, mendengus geli melihat tingkah sahabat kecilnya itu. Lalu Rainar pun berjalan masuk ke dalam kelas dan duduk di belakang Damar.
Tanpa mengacuhkan sahabatnya, Damar pun membuka tas, meraih sesuatu yang menjadi kebiasaan ketika menunggu guru masuk dan memulai pelajaran. Namun niatnya untuk itu terhenti, saat tangan yang seharusnya masuk ke dalam tas untuk mengambil buku malahan mengambil benda lain yang merupakan milik sang adik.
Ya ampun... ini buku pelajaran Adek yang sempat aku pinjam waktu itu. Pasti Adek kesulitan mencari buku ini. Gumam Damar dalam hati.
Damar pun beranjak cepat dan langsung keluar, tanpa menoleh ke arah Rainar yang terperanjat saat mendapati tingkahnya.
"Damar... kamu mau ke mana?"
Sahutan Rainar seakan peluru yang sia-sia, tidak tepat mengenai sasarannya karena si target sudah meluncur keluar kelas. Rainar yang penasaran pun ikut beranjak, mengikuti Damar.
***
"Woi anak bisu!!! Berdiri lo!!!
Baru saja Wulan tiba di sekolah dan duduk tenang di kursi belajarnya seraya membaca buku pelajaran, tiba-tiba seorang siswi yang tampak cetar dalam berpenampilan datang. Menghampiri Wulan yang sedang senang seraya memukul meja dengan sangat kuat. Wulan yang tadinya tertunduk dan asyik berkutat dengan bukunya pun mendongak, menatap siswi itu dengan tatapan tak terbaca.
"Kenapa lo menatap gue seperti itu? Sudah berani menantang gue ya sekarang!!! Dasar anak bisu!!!" tandas siswi itu yang mendorong bahu Wulan.
Wulan hanya diam, berusaha untuk tenang karena kalau melawan pun tidak ada gunanya. Keterbatasannya dalam bicara membuatnya tidak bisa melawan tindakan kasar orang lain. Dan Wulan pun mengalihkan perhatian pada buku yang saat ini tengah ia baca. Sementara siswi itu tampak mendesah kasar dan kembali memukul meja Wulan.
"Woi anak bisu!!! Lo dengar gue 'kan? Berdiri lo!" tandas siswi itu dengan kasarnya lalu menarik kerah baju Wulan.
Pasrah, itulah yang Wulan lakukan saat ini. Kalau pun ia berusaha melawan, bukannya menyelesaikan masalah malah akan semakin panjang jika harus berhadapan dengan siswi cetar yang tak lain adalah anak pemilik sekolah.
Ya, siswi berpenampilan cetar bak primadona sekolah itu adalah anak pemilik sekolah. Tidak hanya itu, dia juga ketua geng dari sekumpulan anak hits yang ada di sekolah ini hingga semua siswa maupun siswi tidak ingin berurusan lebih jauh dengannya.
Posisi Wulan saat ini sudah berhadapan dengan siswi itu dengan tangan yang masih mencekam kuat kerah baju Wulan. Tatapan tajam pun tak luput dari mata siswi itu dan berbeda dengan Wulan yang hanya merotasi penuh matanya, berusaha santai.
"Gue mau, lo kerjakan semua PR gue dan semuanya harus selesai sekarang juga sebelum guru masuk!!! Kalau tidak..........."
Perkataan gadis itu terpangkas saat tangan yang tadinya mencekam kerah baju Wulan, ditepis kasar tanpa rasa iba oleh seseorang. Wulan pun terkejut, begitu pula dengan siswi yang sombong itu. Keduanya menoleh ke arah sang pemilik tangan yang berdiri di sisi Wulan.
"Jangan pernah lo bentak-bentak adik gue!!! Kalau gue sampai melihat kejadian seperti ini lagi di kemudian hari, jangan salahkan kalau gue akan berbuat lebih dari pada ini!!! tandas sosok pria yang tak lain dan tak bukan adalah Damar.
Amarah Damar tersulut saat matanya tertuju pada sang adik yang tengah dikeroyoki anak geng hits yang ada di sekolah ini. Berselang setelah itu, Rainar yang menyusul Damar pun datang menghampiri. Matanya pun tertuju ke arah gadis kecil yang tak lain adalah sahabat kecilnya. Sementara siswi yang merupakan ketua geng hits itu pun tampak mengepalkan tangannya, geram melihat Damar yang datang menolong Wulan.
"Lo jangan ikut campur ya, Damar!!! Lo itu anak kelas sebelah, bukan anak kelas ini."
Damar tersenyum miring merespon jawaban siswi itu yang tampak semakin marah, emosi dan sepertinya siap untuk memukul Damar. Namun mas kembar Wulan yang tampan itu tidak gentar, ia akan melawan apa saja yang berani menyakiti adik kembarnya, termasuk siswi sombong itu.
Suasana di dalam kelas semakin tegang, para siswa dan siswi ikut menyaksikan adu mulut di antara Damar dan anak pemilik sekolah. Begitu pula dengan Wulan dan Rainar. Wulan tampak meraih tangan Damar yang hendak maju satu langkah, mendekati siswi itu. Sementara Rainar yang belum mengerti apa pun, ikut membantu Wulan untuk memegangi Damar yang hampir hilang kendali.
"Mau gue anak kelas sebelah atau anak kelas mana pun, gue tidak peduli!!! Sehelai rambut saja lo sentuh adik gue, lo akan berurusan langsung sama gue!!! Lo pikir gue takut sama lo? Karena lo anak pemilik sekolah? Jangan mentang-mentang lo anak pemilik sekolah, lo berani menindas adik gue!!!" tandas Damar.
Siswi itu bergerak mundur berusaha menjauhi Damar yang hendak mendekatinya. Namun.....
Bruk!
Tubuh siswi itu pun akhirnya tersudut meja, gerakannya semakin sempit tatkala Damar yang semakin bergerak maju. Damar marah dan tidak terima ada orang lain yang ingin menindas sang adik, apalagi setelah kejadian kemarin saat pulang sekolah yang membuat sang adik pulang dalam keadaan kucel seperti anak yang terlantar, tidak terurus.
Di belakang Wulan berusaha menarik tangan mas kembarnya, tapi tidak sedikit pun Damar berhenti dan malah semakin terlihat sangar menatap siswi itu dengan tajam penuh amarah. Sesekali Wulan pun menoleh ke arah Rainar, sebisa mungkin memberikan isyarat melalui tatapan mata agar Rainar membantunya untuk menenangkan Damar. Rainar yang melihatnya hanya mengeryitkan dahi, tanda bingung, tidak mengerti dengan isyarat Wulan.
"Gue peringatkan sekali lagi!!! Kemarin gue sudah cukup sabar saat melihat kondisi adik gue yang compang camping seperti gembel karena ulah lo dan kalian semuanya!!! Satu kelas membuli adik gue dan setelah itu kalian pergi begitu saja. Kalian punya hati atau tidak? Kalau kalian yang berada di posisi Wulan saat ini bagaimana, hah?!"
Habis sudah kesabaran Damar. Tidak terlihat seperti Damar yang lembut, penyayang, penuh perhatian dan baik hati. Yang terlihat sekarang adalah Damar yang murka karena kehilangan rasa sabar melihat penindasan terhadap sang adik. Semua siswa dan siswi tertegun sejenak, diam di tempat dan tertunduk. Entah menyesal, malu atau bagaimana, yang pasti mereka takut kalau Damar yang terkenal pendiam dan dingin, berubah menjadi monster yang menyeramkan.
Melihat suasana yang semakin tegang, Wulan pun meraih note kecilnya dan menulis sesuatu.
'Sudah cukup, Mas! Kalau guru masuk lalu melihat semua ini, Mas Damar akan terkena masalah. Adek tidak ingin hal itu terjadi pada Mas Damar. Adek mohon kali ini saja, Mas!!! Mas dengarkan Adek ya. Please...'
Dengan deru nafas yang tergugu, Wulan menyodorkan note kecil itu langsung di hadapan mata Damar yang memerah. Damar yang terkejut melihat note berisi tulisan sang adik pun menoleh sekejap lalu mengambilnya. Dahi Damar mengerut seketika saat membaca tulisan sang adik yang tidak menginginkan jika dirinya terkena masalah besar karena melawan anak pemilik sekolah. Hati Damar pun melunak bersamaan dengan helaan nafas kasarnya.
"Kali ini gue maafkan kalian semua!!! Terutama lo, Zivana Asmeralda!!! Sekali lagi gue melihat kejadian serupa, gue tidak akan melepaskan lo." tandas Damar seraya menunjuk ke siswi itu.
Zivana Asmeralda, siswi yang berpenampilan cetar dan sangat menohok di kalangan siswi SMP Jaya Mandiri. Itulah nama sekolah yang terkenal sebagai sekolah favorit tingkat SMP, tempat di mana Damar dan Wulan mengenyam ilmu pendidikan. Zivana bukan hanya seorang siswi, tapi sekaligus anak dari pemilik sekolah.
Semua penghuni SMP Jaya Mandiri sudah mengenal siapa Zivana, Damar atau Wulan. Sejak masuk ke sekolah itu, Wulan memang tidak pernah mendapatkan perlakuan yang baik dari teman-teman seusianya, mereka sibuk menghina, mencemo'oh, menindas, membuli dan menghardik Wulan yang tidak sempurna. Berulang kali Damar ingin melaporkan semua itu pada guru, tapi Wulan selalu melarangnya hingga sampai saat ini akhirnya Damar angkat bicara.
Zivana yang kesal pun berlenggang pergi dan duduk di kursinya. Wajahnya tertekuk masam, sesekali melirik tajam ke arah Damar Wulan. Sementara Wulan menghela nafas lega karena Damar berhasil ditenangkan walaupun berhasil menakuti semua teman-teman satu kelasnya.
"Damar... aku memang belum tau semuanya karena aku masih baru di sekolah ini, tapi setelah melihat dan mendengar perkataanmu tadi, apa benar kalau Wulan korban bullying?" ujar Rainar yang masih mengusap bahu Damar.
"Nanti kita bakal cerita semuanya sama kamu, tapi bukan sekarang karena jam pelajaran mau dimulai. Sebaiknya kita ke kelas sekarang." ujar Damar seraya menepuk balik bahu Rainar.
Rainar yang mengerti dengan maksud Damar pun mengangguk seraya melirik ke arah sang sahabat kecil. Sejak pertikaian di antara mas kembarnya dengan Zivana, membuat Wulan duduk termenung di kursinya. Melihat hal itu, Damar pun berjongkok lalu meraih tangannya.
"Mas minta maaf ya, Dek. Mas terbawa emosi dan membuat Adek ketakutan. Mas datang ke sini karena ingin mengantar buku Adek yang sempat Mas pinjam. Tapi berkat buku ini, Mas bisa melihat Zivana yang ingin menindas Adek lagi. Adek jangan khawatir ya. Dengan sekuat tenaga Mas akan melindungi Adek, walaupun nyawa Mas yang akan menjadi taruhannya!!!"
Wulan menggeleng cepat, seakan menolak perkataan Damar yang menakutkan. Tentu Wulan tidak akan membiarkan nyawa sang kakak menjadi taruhan untuk melindunginya. Dengan cepat Wulan meraih lagi note kecil yang tergantung indah di lehernya.
'Mas tidak boleh bicara seperti itu. Kalau Mas ingin melindungi Adek, maka lakukan sebisa yang Mas mampu. Jangan memaksakan jika Mas sendiri tidak bisa. Tidak hanya Mas, tapi Adek juga. Kita akan selalu melindungi dalam hal apa pun karena kita itu satu'
Setelah menulis dengan gerakan cepat, gadis itu langsung memberikan note pada Damar. Kedua sudut bibir Damar terangkat sehingga senyum manis terukir di wajahnya. Sementara Rainar yang ikut membaca note itu, tersentuh dengan kasih sayang keduanya yang tidak bisa diukur lagi.
"Iya, Sayang. Kita akan selalu melindungi dan saling menjaga satu sama lain. Adek jangan takut lagi ya. Kalau begitu Mas sama Rainar mau ke kelas dulu. Ternyata anak curut satu ini satu kelas dengan Mas. Sangat menyebalkan." ujar Damar yang beranjak lalu menoleh ke arah Rainar.
"Ck, anak curut!!! Aku ini anak manusia tulen. Jangan asal bicara kamu, Mar." sungut Rainar seraya menjitak kepala Damar.
Kelakuan kedua pria itu sontak mengundang gelak tawa Wulan yang melihat mereka. Tawa Wulan pecah dan berakhir dengan bunyi bel yang sangat nyaring, menandakan bahwa jam pelajaran akan segera dimulai. Setelah pamit, Damar dan Rainar pun bergegas pergi keluar dari kelas Wulan menuju kelasnya yang tidak terlalu jauh. Melihat kelakuan keduanya, tawa Wulan yang kelakar, terpaksa harus dihentikan terlebih dahulu saat salah satu guru masuk ke dalam kelasnya.
Sosok guru yang teramat anggun dengan balutan hijab pun masuk, duduk di tempat seraya tersenyum manis pada siswa/i nya. Sejurus kemudian, guru cantik itu beranjak, membawa tumpukan kertas di tangannya.
"Baiklah, anak-anak. Sebelum kita memulai pelajaran hari ini, Ibu akan mengumumkan hasil nilai ulangan harian kalian yang kemarin."
Suasana kelas menjelang pelajaran dimulai seketika berubah menjadi tegang. Pasalnya sang guru akan mengumumkan hasil nilai ulangan harian mereka semua tanpa diduga.
Zivana yang duduk di pojok kanan tengah tampak tersenyum miring seraya menoleh tajam ke arah Wulan. Sepertinya gadis itu sedang menantikan sesuatu yang tentunya berhubungan dengan Wulan.
Kali ini pasti nilai gue yang paling tinggi. Bersiaplah untuk kalah anak bisu. Gumam Zivana dalam hati.
.
.
.
.
.
Happy Reading All 😇😇😇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
ZasNov
Wulan menderita banget, ga di rumah ga disekolah selalu dibully.. 😩
Gimana jadinya kalau ga ada Damar di sekolah, ga ada yang bakal belain Wulan. Semoga sekarang Rainar juga bisa jadi pelindung Wulan ya..
Biar Wulan bisa lebih aman..
2021-12-19
0
Machan
kesian banget dah ma wulan
2021-11-23
0
triana 13
like
2021-11-14
1