...🍁🍁🍁...
"Siapa yang datang Nak?"
Saat Ammar, Ibel, Aiziel dan Mala hendak berjalan masuk tiba-tiba suara lembut Bu Aini terdengar. Mereka semua pun melihat ke arah Bu Aini yang berjalan bersama sang suami menuju pintu depan.
"Ammar, Ibel, Ziel..."
Bu Aini terpekik, seketika matanya berbinar melihat putra sulungnya datang berkunjung ke rumah bersama istri dan anaknya. Melihat sang ibu yang sangat senang, Ammar dan Ibel pun tersenyum lalu berjalan menghampirinya.
"Assalamualaikum, Ibu, Ayah..." ucap Ammar dan Ibel seraya menyalami keduanya secara bergantian.
"Wa'alaikumsalam Sayang... Bagaimana kabar kalian? Ibu sangat merindukan kalian. Sudah lama sekali rasanya kalian tidak datang ke sini menjenguk Ibu dan Ayah." jawab Bu Aini yang memeluk putra sulungnya.
"Ammar sama Ibel minta maaf ya, Bu. Akhir-akhir ini pasien di rumah sakit sangat banyak, jadi kami pun belum punya waktu untuk datang ke sini. Tapi karena cucu Ibu yang tampan ini, kami jadi datang ke sini." jawab Ammar seraya melerai pelukan lalu merangkul bahu putranya.
"Oh jadi kalau bukan karena Ziel, kalian tidak akan datang mengunjungi kami di rumah ini, Nak?" timpal Pak Aidi seraya merangkul bahu Ammar.
"Bukan seperti itu, Yah. Sejak kemarin Ibel dan Mas Ammar memang sudah ada niat mau ke sini. Tapi ya begitu, setiap kami ada niat pasti ada saja halangannya. Dan hari ini, kebetulan Ziel baru tiba di Jakarta setelah bertahun-tahun tidak pulang untuk menyelesaikan kuliahnya. Jadi kami datang dengan kejutan." jawab Ibel yang tersenyum seraya bergelayut manja di tangan Bu Aini.
Guratan kebahagiaan semakin terpancar dari wajah Bu Aini saat mendengar bahwa Aiziel, cucu sulungnya itu sudah lulus sarjana saat usianya masih 20 tahun. Bangga dan senang tentunya bagi seorang nenek saat mendengar kabar bahagia tentang cucunya. Hal itu yang saat ini tengah dirasakan oleh ibu tiga anak itu.
"Jadi kuliahmu sudah selesai Sayang?" tanya Bu Aini seraya mengelus kepala sang cucu yang berdiri di hadapannya.
"Alhamdulillah, Oma. Ziel sudah lulus jadi sarjana berkat do'a Oma, Opa, Mommy dan Daddy. Besok Ziel akan mulai mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginan Ziel." jawab Aiziel yang meraih tangan sang oma lalu menyalaminya.
"Oma bangga sama kamu, Sayang. Semua do'a-do'a yang Oma kirimkan, hanya untuk anak-anak dan juga cucu-cucu Oma. Kalian juga harus sukses seperti orang tua kalian." tutur Bu Aini yang tersenyum bahagia.
Ammar, Ibel, Pak Aidi dan Mala pun terharu melihat pemandangan yang sangat syahdu di depan mata saat ini. Pemandangan cucu dengan sang oma yang sangat menyejukkan hati siapa saja yang melihatnya.
"Oh iya Oma, Uncle Dhana, Damar dan Adek mana? Ziel sangat merindukan mereka juga, Oma. Terutama sama gadis kecil kesayangan Ziel itu. Mereka di mana Oma?" tutur Aiziel seraya mengedar mencari keberadaan sosok yang ia cari.
Seketika raut wajah Mala berubah lagi saat Aiziel menyebut nama putrinya. Seakan jijik, bahkan untuk mendengar nama putrinya saja Mala terlihat enggan seperti itu. Namun Mala berusaha untuk menutupinya karena saat ini Ammar dan Ibel sedang berada di rumah.
"Adik dan uncle-mu masih duduk di ruang makan, Sayang. Ayo, kita ke sana!!! Kalian pasti belum makan malam, bukan? Kalau begitu kalian harus makan terlebih dahulu." jawab Bu Aini seraya menggandeng tangan kekar sang cucu.
Bu Aini dan Aiziel pun berjalan di depan lalu diikuti pula oleh Ammar, Ibel, Mala dan Pak Aidi di belakang. Saat mereka berjalan, Ibel yang berjalan di samping Mala pun sesekali melirik saudari iparnya itu. Ibel melihat raut wajah Mala yang tampak pias dan masam saat berjalan menuju ruang makan.
Sepertinya sikap Mala terhadap Wulan belum berubah juga. Wajahnya tampak masam saat Ziel menanyakan Wulan. Ya Allah... Kapan adik ipar hamba ini akan terbuka hatinya untuk menerima kondisi putri kandungnya sendiri. Hamba tidak tega melihat Wulan. Dia masih kecil, tapi ibunya sudah membenci kehadirannya di dunia ini. Mala... Jangan sampai kamu menyesal, Dek. Kalau nasibmu seperti Ibu, mungkin kamu tidak akan pernah bisa memaafkan diri kamu sendiri. Gumam Ibel dalam hati.
Ibel yang berjalan di samping Mala sibuk bermonolog sendiri di dalam hatinya. Ibu dari dua anak itu benar-benar mempunyai hati seperti sutra, lembut dan penuh kasih sayang. Ibel yang lemah lembut tidak bisa melihat seorang anak yang dibenci oleh orang tuanya. Apalagi dengan profesinya sebagai dokter kandungan, membuat Ibel selalu dihadapi dengan situasi di mana sosok seorang ibu yang tengah berjuang mati-matian untuk melahirkan anaknya ke dunia. Tapi kepribadian Ibel sangat bertolak belakang dengan Mala yang membenci dan tidak sudi mengakui darah dagingnya sendiri.
Ibel pun menghela nafas panjang seraya menenangkan gejolak hatinya yang sebenarnya sangat kecewa dengan sikap Mala. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyadarkan Mala selain berdo'a.
"Damar, Wulan... Lihat, Sayang! Siapa yang datang ke rumah kita?" sahut Bu Aini yang masih bergelayut manja di tangan Aiziel.
Mendengar suara sang oma, kedua anak kembar tak seiras itu pun menoleh cepat, begitu juga dengan Dhana yang masih duduk menemani kedua anaknya di meja makan. Mata kedua anak itu pun tampak berbinar seketika dan mulut mereka pun juga terlihat membulat membentuk huruf O besar, saat mendapati seseorang yang ada di sisi sang oma.
"Mas Ziel..."
Damar yang terpekik pun beranjak lalu berlari ke arah Aiziel dan diikuti pula oleh sang adik yang tidak mampu terpekik menyebut nama Aiziel seperti Damar. Berkat bantuan sebuah alat bantu yang ada di telinganya, Wulan bisa mendengar suara orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan berkat alat itu juga, gadis itu bisa mendengar suara sahutan sang oma dari jarak jauh.
"Damar, Adek..."
Aiziel yang melihat pola tingkah keduanya pun membentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan adik kembarnya itu. Sejurus kemudian, kedua bocah remaja itu langsung masuk ke dalam dekapan Aiziel.
"Ya ampun, sudah lama sekali rasanya Mas tidak bertemu dengan kalian dan sekarang kalian sudah sebesar ini. Mas rindu sekali dengan adik kembar Mas ini." tutur Aiziel yang mendekap kedua adik kembarnya itu.
"Kami juga sangat merindukan Mas Ziel." jawab Damar dan mewakili adiknya yang tidak mampu mengeluarkan suara.
Aiziel pun tersenyum getir, hatinya terenyuh dan menghangat saat memeluk keduanya. Sejak Aiziel masuk kuliah, ia sudah sangat jarang mengunjungi kedua adik kembar dari uncle-nya itu. Apalagi mengingat Aiziel yang jarang pulang, bahkan bisa dikatakan tidak pernah pulang ke Jakarta sebelum studinya selesai di luar kota. Hal itulah yang membuat rasa rindunya semakin dalam terhadap adik kembarnya itu.
Suasana haru pun tak dapat terelakkan dari mata semua yang melihat adegan itu. Begitu pula dengan Dhana yang sejak tadi berdiri di samping sang ayah. Namun suasana haru itu seketika hening saat sayup-sayup suara isak tangis seseorang terdengar begitu pilu.
Aiziel terkesiap saat mendapati punggung sang gadis kecil kesayangannya itu terlihat naik turun tak beraturan. Begitu pula dengan Damar dan yang lainnya. Mereka pun saling melempar pandangan saat melihat Wulan yang tiba-tiba menangis di dalam dekapan erat tangan kekar Aiziel.
"Ziel..."
Aiziel yang masih memeluk erat sang gadis kecil pun menoleh ke arah sang mommy. Ia melihat sang mommy yang menganggukan kepalanya, seakan meminta putranya untuk menenangkan Wulan dan membawanya ke tempat lain. Mengerti dengan maksud sang mommy, kepala Aiziel pun mengangguk.
"Ayo, Damar! Ikut dengan Mas!!!"
Aiziel pun menggendong tubuh sang gadis kecil kesayangannya itu seperti menggendong bocah kecil berusia lima tahun, lalu mengajak Damar. Karena mengerti dengan ajakan Aiziel, Damar pun pergi menuju halaman samping. Sementara yang lainnya masih tampak terpaku, membisu di posisi mereka masing-masing.
"Ammar, Ibel... Kalian makan malam dulu ya, Nak. Ibu dan Bi Iyah sengaja masak banyak untuk makan malam ini." ujar Bu Aini yang sedang berusaha memecahkan suasana.
"Ammar, Ibel dan Ziel sudah makan sebelum kami datang ke sini, Bu. Karena kedatangan kami mendadak, jadi kami takut kalau Ibu tidak masak banyak malam ini. Eh ternyata, perhitungan kami salah lagi. Maaf ya, Bu." jawab Ammar seraya merangkul bahu sang ibu.
"Ya sudah tidak apa-apa. Kalau begitu, ayo kalian duduk di ruang keluarga. Ibu akan menyiapkan makanan ringan dan minuman." ujar Bu Aini seraya mengusap tangan sang putra sulung.
Ammar pun mengangguk lalu berjalan ke arah ruang keluarga bersama Pak Aidi dan Dhana, lalu hendak disusul oleh Ibel. Sementara Bu Aini yang tersenyum pun ikut beranjak menuju dapur.
"Ibu... Biar Mala saja yang membuatkan minuman untuk Mas Ammar, Kak Ibel, Ayah dan Mas Dhana. Ibu ikut bergabung saja di ruang keluarga bersama mereka." ujar Mala.
"Kamu yakin?" tanya Bu Aini yang menatap sang menantu dengan tatapan menyelidik.
"Iya, Bu. Biar Mala saja ya. Ibu jangan terlalu capek. Hari ini Mala tidak ikut membantu Ibu di dapur dan membiarkan Ibu memasak sendirian. Kali ini biar Mala yang bekerja ya, Bu." jawab Mala yang tersenyum manis.
"Baiklah Sayang..." ujar Bu Aini seraya mengusap lengan menantu bungsunya itu.
Mala pun tersenyum lalu beranjak, berjalan ke arah dapur. Sementara Bu Aini menatap wanita itu dengan sangat lekat dan sendu.
Dia masih menantuku yang baik dan sopan. Tapi kenapa hatinya tertutup untuk putrinya sendiri? Ya Allah... Sadarkan lah menantuku. Jangan Kau buat dia menyesal di suatu hari nanti karena terlambat menyayangi putrinya. Jangan sampai Mala memiliki nasib yang sama sepertiku, yang harus merelakan kepergian putriku satu-satunya untuk selamanya. Bukalah pintu hati Mala untuk Wulan, Ya Allah. Kasihan cucuku. Dia terlalu menderita dengan semua ini. Jangan Kau tambah lagi penderitaan cucuku dengan kebencian ibu kandungnya sendiri. Gumam Bu Aini dalam hati.
Tanpa sadar, air mata lolos begitu saja di wajah Bu Aini yang masih terlihat cantik tatkala memandangi punggung Mala yang hampir hilang oleh dinding pembatas di antara dapur dan ruang makan. Dan tanpa sadar pula, ada sepasang mata yang sejak tadi tidak beranjak dari posisinya karena melihat sang ibu mertua berdiri terpaku memperhatikan Mala.
"Ibu..."
Suara lembut yang disertai dengan sentuhan lembut pula di bahunya, tiba-tiba membuyarkan lamunan Bu Aini. Dengan cepat, Bu Aini menyeka air matanya lalu menoleh ke asal sumber suara.
"Sayang... Kenapa kamu masih di sini Nak?" tanya Bu Aini yang berusaha menutupi air matanya dari sang menantu.
Ibel pun mengulas senyum seraya menyeka bulir bening yang jatuh di wajah Bu Aini.
"Ibel sangat mengerti dengan perasaan Ibu tentang sikap Mala terhadap Wulan. Ibel pun juga merasakan hal yang sama seperti Ibu. Tapi untuk saat ini kita tidak bisa bertindak lebih jauh, Bu. Karena bagaimana pun juga Mala adalah ibu kandung Wulan. Mungkin, sampai saat ini Mala masih belum bisa menerima kenyataan kalau putrinya tidak sempurna seperti yang dia harapkan. Tugas kita saat ini adalah menguatkan Wulan dan mendo'akan Mala, Bu. Biarkan waktu yang akan membuka sendiri hati Mala. Kita hanya bisa berdo'a yang terbaik untuk keduanya." tutur Ibel yang menenangkan sang ibu seraya menggenggam erat tangannya.
Bu Aini menghela nafas panjang seraya mengusap lembut jari jemari tangan Ibel yang menggenggamnya setelah mendengar perkataan menantu sulungnya itu. Memang tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk mengubah hati Mala. Hati seseorang hanya bisa terbuka lebar, jika si pemilik hati itu sendiri yang mengizinkannya.
"Iya, Sayang. Kamu benar sekali." jawab Bu Aini yang tersenyum pada menantunya itu.
"Ibu jangan terlalu sedih karena memikirkan masalah ini. Ibel dan Mas Ammar akan ikut serta dalam membantu Ibu, Ayah dan Dhana untuk mendukung perkembangan Wulan." ujar Ibel yang meyakinkan sang ibu mertua.
"Ibu percaya sama kamu, Sayang. Dan Ibu bangga sekali karena mempunyai sosok menantu yang berhati lembut seperti kamu." tutur Bu Aini seraya mengelus wajah Ibel.
"Ibel banyak belajar dari Ibu dan juga Bunda. Ibu dan Bunda adalah panutan sosok ibu yang Ibel banggakan sampai detik ini. Hati Ibu dan hati Bunda sangat lembut pada anak-anak. Dan dari sana lah, Ibel banyak belajar, bagaimana caranya menyayangi dan memberikan kasih sayang pada anak-anak." jawab Ibel yang mengeratkan genggaman tangannya.
Hati Bu Aini benar-benar menghangat saat mendengar penuturan menantu sulungnya. Sifat Ibel memang tidak pernah berbuah dari sejak awal bertemu, sampai detik ini. Hal itu yang membuat Bu Aini dan Pak Aidi, termasuk Ammar bangga mempunyai Ibel. Sosok wanita karir yang saat ini menjelma sebagai menantu dan sebagai ibu. Namun semua itu tidak sedikit pun merubah sifat dan karakter Ibel.
"Hati kamu sangat lembut, Sayang. Terima kasih ya, karena sudah hadir di dalam hidup kami semua termasuk putra Ibu. Ibu sangat menyayangi kamu, Nak." ujar Bu Aini seraya mengelus kepala Ibel yang terbalut hijab.
Sentuhan tangan Bu Aini yang sangat lembut sukses membuat hati Ibel menghangat. Ibel pun memeluk sang ibu mertua yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Suasana haru antara menantu dan mertua pun tak terelakkan.
"Ibel juga sayang Ibu dan semuanya."
.
.
.
.
.
Happy Reading All 😇😇😇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Nona Bucin 18294
like like like 💜💜
2021-12-26
0
ZasNov
Mala harus belajar banyak dari ibel..
Bukan hanya menjadi anak dan menantu yang baik, tapi juga ibu yang baik 😥
Bukan cuma Damar yang harus Mala sayang, tapi juga Wulan..
Sudah cukup penderitaan Wulan, jangan ditambah dengan kebencian dari ibu kandungnya sendiri..😩
Untung saja seluruh keluarga menyayangi Wulan, meskipun ibu kandungnya tidak..
2021-11-28
0
Senja Merona🍂
bu maya kapan kau akan sadar?🤧😭
2021-11-26
0