...☘️☘️☘️...
Perkataan Kak Ibel tadi benar-benar membuatku semakin gelisah dan ketakutan. Takut jika Mala benar-benar pergi meninggalkan aku dan anak-anak kami. Di satu sisi aku merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Mala dengan baik dan membuatnya terjatuh hingga pendarahan seperti ini. Namun semua ini telah terjadi dan aku tidak bisa mengubahnya walaupun hanya satu detik.
Aku hanya termenung, duduk bersama Mas Ammar dan Mas Sadha. Sementara Ayah, Ibu dan Kak Vanny pergi bersama Kak Ibel ke ruang bayi untuk melihat kedua anakku setelah selesai mengurus kepindahan Mala ke kamar rawat.
"Kamu harus kuat, Dik. Mala, dan yang paling terutama sekali anak-anak kamu. Mereka membutuhkan kamu yang harus tetap kuat. Mala butuh suaminya dan anak-anak kamu membutuhkan ayahnya. Pundakmu harus lebih kuat dari sebelumnya, Dhana." ujar Mas Ammar yang berusaha menenangkan hatiku.
"Mas Ammar benar, Dhana. Kamu harus kuat dan yakin kalau Mala pasti akan sembuh. Dia akan kembali lagi bersama kita." timpal Mas Sadha yang ikut menenangkan hatiku.
Air mataku tak henti-hentinya mengalir deras membasahi wajahku. Semua perkataan Mas Ammar dan Mas Sadha memang benar, tapi ketakutan yang menyelimuti hatiku tidak bisa hilang begitu saja.
"Dhana sangat takut, Mas. Dhana takut akan kehilangan Mala seperti Dhana kehilangan Adek. Dhana tidak bisa kuat lagi, jika harus mengalami hal yang serupa dengan kejadian di tujuh tahun yang lalu. Sudah cukup air mata ini mengalir deras karena Adek pergi, dan Dhana tidak akan sanggup untuk kehilangan Mala."
Pecah sudah tangisku karena mengingat kejadian yang sangat menyedihkan di dalam hidupku dan Mas Ammar langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tidak bisa membohongi perasaanku saat ini. Rasa takut kehilangan yang sangat mendominasi sehingga aku tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku menangis di dalam dekapan Mas Ammar, beriringan dengan sentuhan lembut di kepalaku karena tangan Mas Sadha. Kedua masku itu berusaha keras untuk memberi kekuatan untukku yang lemah hati ini.
***
Empat tahun berlalu tapi Mala belum bangun juga dari masa komanya. Selama empat tahun, aku mengurus kedua anakku yang kini sudah menginjak usia empat tahun pula. Beruntung, aku benar-benar beruntung karena ada Ibu, Kak Ibel dan Kak Vanny yang ikut membantuku mengurus Damar dan Wulan.
Damar dan Wulan, itulah nama yang aku berikan pada anak kembarku. Selama empat tahun terakhir, aku memutuskan untuk fokus mengurus kedua anakku, menjadi ayah dan ibu secara bersamaan karena istriku masih koma. Sementara urusan Cafe sepenuhnya kuberikan pada manager kepercayaanku, Pak Dewa.
Aku, Damar dan Wulan sering datang ke rumah sakit untuk mengunjungi Mala. Awalnya aku ingin membawa Mala pulang dan merawatnya di rumah saja. Namun keluargaku tidak setuju karena hal itu akan membahayakan nyawa Mala. Aku terpaksa harus menyetujuinya dan tetap membiarkan istriku berada di rumah sakit.
Suatu hari, aku diminta Mas Sadha untuk membawa Damar dan Wulan datang ke kantor lalu makan siang bersama karena hari itu Kak Vanny sempat mengantarkan banyak makanan ke kantor. Sementara hari itu, kebetulan Ibu sedang tidak ada di rumah karena membantuku mengurus Mala di rumah sakit dengan Ayah dan di rumah hanya ada Bi Iyah.
Beberapa bulan setelah aku menikah dengan Mala, Mas Ammar yang tadinya menetap di rumah Ayah dan Ibu, memilih untuk pindah ke rumahnya sendiri. Aku tidak bisa menghalangi Mas Ammar, sama seperti halnya Mas Sadha. Karena mereka sudah memiliki keluarga sendiri dan juga anak-anak. Walaupun aku sering membantah kalau kehidupan kami yang saat ini sudah terpisah, namun semua itu benar. Aku, Mas Ammar dan Mas Sadha sudah mempunyai kehidupan masing-masing.
Di rumah besar masa kecil kami itu kini hanya ada aku, Mala, Ibu dan Ayah. Ibu tidak mengizinkan aku untuk membeli rumah sendiri. Ya, aku menuruti permintaan Ibu karena menurutku siapa lagi yang akan mengurus Ayah dan Ibu selain aku. Bukan berarti Mas Ammar dan Mas Sadha tidak bisa mengurus Ibu dan Ayah. Sebagai anak Ayah dan Ibu, kami memutuskan untuk saling membantu satu sama lain untuk mengurus orang tua kami.
Aku, Damar dan Wulan pun berkunjung ke kantor Mas Sadha setelah singgah sebentar ke rumah sakit untuk melihat kondisi Mala. Damar dan Wulan sangat senang karena akan bertemu dengan paklik mereka yang sangat jarang main ke rumah. Saat kami berada di sana, aku dan Mas Sadha makan siang bersama. Mas Sadha juga ikut membantuku untuk menyuapi Damar, sedangkan aku asyik menyuapi Wulan.
Setelah kami selesai makan siang, aku berniat untuk mengajak Damar dan Wulan untuk jalan-jalan mengelilingi kantor paklik mereka yang besar itu. Mereka terlihat sangat senang dan ceria, berjalan denganku. Namun saat kami melewati sebuah mading, tiba-tiba saja Damar menghentikan langkahnya dan ingin melihat mading itu. Entah kenapa putraku itu ingin sekali melihat sesuatu yang ada di bagian atas mading sehingga aku harus menggendong tubuhnya. Lalu kulepaskan tangan putriku agar aku bisa menggendong Damar untuk menjangkau sesuatu yang ada di atas mading.
"Wulan..."
Tiba-tiba suara Mas Sadha terdengar sangat keras dari ujung koridor. Sontak aku langsung menurunkan tubuh Damar dan menggiring mataku ke arah putriku yang berdiri di ambang tangga, hendak berjalan dan turun.
"Wulan... Wulan... kembali Sayang!!!"
Putriku tidak merespon apa pun, dia terus saja bergerak mendekati tangga. Melihatnya yang berada hampir di ambang tangga, aku pun menghambur ke arahnya dan membawa Damar bersamaku.
"Wulan..."
Aku tersentak saat melihat putriku yang hampir terjun payung ke bawah tangga. Namun untung saja, Mas Sadha datang di waktu yang sangat tepat dan langsung meraih tubuh Wulan dengan sangat sigap.
"Sayang... kamu tidak apa-apa 'kan Nak?" tutur Mas Sadha seraya mengelus lembut wajah putriku dan aku melihatnya.
"Wulan... kamu tidak apa-apa 'kan Sayang? Kenapa kamu berjalan ke sini? Ini sangat berbahaya, Nak." ujarku yang berjongkok di antara Wulan dan Mas Sadha seraya tetap memegangi Damar.
"Kamu jangan ceroboh seperti ini, Dhana. Kalau Mas telat sedikit saja, Wulan bisa langsung jatuh ke bawah loh." ujar Mas Sadha yang sepertinya sedang memarahiku tapi terlihat lebih tenang.
"Maaf, Mas. Padahal dari jarak jauh Dhana sudah memanggil Wulan untuk kembali. Tapi sepertinya Wulan tidak merespon panggilan Dhana, Mas." jawabku yang baru menyadari keanehan di dalam diri putriku.
"Tidak merespon maksud kamu apa Dhana?" tanya Mas Sadha yang terlihat kebingungan.
"Akhir-akhir ini Dhana merasa ada yang aneh dengan Wulan, Mas. Dia tidak pernah memberi respon apa pun saat Dhana berusaha memanggilnya. Sangat berbeda dengan Damar. Saat Dhana memanggil Damar, dia merespon Dhana dengan cepat. Tapi Wulan tidak seperti Damar. Jika Dhana ingat-ingat, saat Ziel, Al, Syahal dan Syahil berusia empat tahun, mereka semua seperti Damar. Mereka merespon apa saja yang kita katakan walaupun itu hanya sekedar ocehan biasa anak balita. Bahkan Damar sudah bisa memanggil Dhana dengan panggilan Papi, sedangkan Wulan tidak, Mas."
Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk menepis rasa takutku dengan kondisi Wulan dan berusaha mencari jawaban dari Mas Sadha.
"Syahal dan Syahil memang seperti itu, Dhana. Bahkan saat usia mereka berjalan dua tahun, Syahal dan Syahil sudah bisa mengerti dengan apa yang Mas dan Vanny katakan. Mas sering melatih mereka untuk mengambil benda-benda aneh yang baru mereka kenali, dan mereka memberikan respon yang baik. Seharusnya di usia Wulan saat ini, dia sudah bisa memanggil kamu seperti kakaknya, Dhana." tutur Mas Sadha yang membuat hatiku semakin tidak enak.
"Tapi kenapa Wulan tidak ya Mas? Kejadian seperti ini sebenarnya sudah terjadi tiga kali saat di rumah. Wulan hampir jatuh, padahal Dhana berusaha untuk memanggilnya. Jika Dhana bandingkan, Damar yang mengalami hal yang hampir sama dengan Wulan malah langsung memberi respon. Contohnya saat Damar berjalan keluar pintu dan Dhana memanggilnya. Damar langsung merespon dan menghentikan langkahnya, bahkan dia menoleh ke arah Dhana."
Kegundahan hatiku semakin dalam dan membuat keringat dingin bercucuran di keningku seraya memperhatikan kedua anakku yang masih kecil. Mas Sadha yang masih berjongkok di sampingku meraih tangan Wulan.
"Wulan sayang... Wulan jangan bermain jauh-jauh dari Papi lagi ya. Mainnya dengan Mas Damar saja, jangan ke mana-mana. Wulan dengar Paklik 'kan Nak?" tutur Mas Sadha seraya mengelus sayang kepala putriku.
Mataku terus tertuju pada Wulan. Bahkan dari jarak yang sedekat itu dengan Mas Sadha, dia juga tidak memberikan respon apa pun. Putriku hanya diam dan tiba-tiba tangisnya pecah. Melihat Wulan menangis, aku dan Mas Sadha pun membawa Wulan dan Damar ke ruangan Mas Sadha untuk menenangkannya. Di dalam ruang kerja Mas Sadha, kubaringkan tubuh Wulan dan Damar yang sudah terlelap di atas sofa.
"Maaf ya, Mas. Dhana jadi merepotkan Mas Sadha seperti ini." ujarku yang tidak enak hati dengan mas tengahku itu.
"Ck! Kamu bicara apa sih, Dik. Ini kantor Mas, artinya kantor kamu juga. Jadi jangan bicara seperti itu lagi saat berhadapan dengan Mas. Mas tidak suka!!!" jawab Mas Sadha seraya menatapku dengan tajam.
Aku hanya tersenyum simpul. Sejak dulu sampai sekarang, baik Mas Sadha maupun Mas Ammar, sifat mereka masih sama dan aku sangat menyayangi mereka melebihi nyawaku sendiri.
"Dhana... apakah Mas boleh mengatakan sesuatu?" tanya Mas Sadha yang tiba-tiba.
"Apa Mas?"
"Tapi kamu jangan tersinggung ya, Dik. Mas hanya ingin menyarankan kamu untuk pergi ke suatu tempat, dan ini berkaitan dengan Wulan." tuturnya lagi yang terlihat hati-hati.
"Maksud Mas Sadha apa?"
Terlihat jelas sekali saat kulihat raut wajah Mas Sadha yang berubah menjadi sendu, matanya tertuju ke arah putriku yang tertidur di atas sofa. Aku terus memperhatikan sikap Mas Sadha yang terlihat aneh dan gelisah.
"Mas Sadha... ada apa Mas?"
"Sebaiknya kamu bawa Wulan ke dokter spesialis THT, Dhana. Mas khawatir kalau Wulan mempunyai kelainan di telinganya. Mas khawatir kalau putrimu tidak bisa mendengar dan tidak bisa berbicara seperti anak-anak lain pada umumnya, Dik." jawab Mas Sadha yang matanya masih ke arah Wulan.
Degh!
Perkataan Mas Sadha itu seakan menguatkan feeling-ku akhir-akhir ini. Seperti tanda, kalau Mas Sadha juga dapat merasakan apa yang tengah aku rasakan. Tapi aku memilih untuk menepis feeling burukku itu karena Wulan tidak mungkin cacat.
"Dhana... kamu baik-baik saja, Dik?" tanya Mas Sadha yang meraih bahuku sehingga lamunanku pun buyar seketika.
"Mas Sadha mau 'kan menemani Dhana ke rumah sakit untuk menemui dokter THT dan memeriksa keadaan Wulan? Dhana tidak cukup kuat, kalau feeling Dhana dan feeling Mas itu benar-benar terjadi pada Wulan." jawabku yang sontak membuat Mas Sadha terhenyak.
"Jadi kamu juga merasakan apa yang Mas rasakan tentang putrimu?" tanyanya yang terperangah tak menyangka kalau aku juga mempunyai feeling itu.
"Isi pikiran kita sama, Mas. Jadi bagaimana? Mas mau 'kan menemani Dhana?" jawabku yang bertanya balik untuk memastikan kalau Mas Sadha benar-benar bisa menemaniku.
"Oke... Mas akan menemani kamu ke rumah sakit sekarang. Ayo!!! Lebih cepat lebih baik, Dik. Mas berharap kalau feeling kita ini salah tentang kondisi Wulan."
Aku tidak menyangka kalau Mas Sadha akan bergerak secepat ini dan langsung mendekat ke putriku yang masih terlelap. Kulihat Mas Sadha langsung menggendong tubuh Wulan dan berjalan keluar dari ruangan. Sementara aku yang masih terperangah di tempat, sadar seketika saat Damar memanggilku saat dia terbangun dan jari tangannya menunjuk ke arah Wulan yang sudah dibawa pergi oleh Mas Sadha keluar ruangan.
Bergegas, aku pun beranjak dan langsung meraih tubuh Damar untuk kugendong. Dengan langkah lebar, aku menyusul Mas Sadha yang sudah berdiri di depan lift.
Kulihat Mas Sadha yang berjalan cepat seraya menggendong putriku menuju mobilnya dan aku hanya mengikutinya dari belakang seraya menggendong Damar. Setelah kami masuk ke dalam mobil, Mas Sadha langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menyusuri jalan panjang. Selama di perjalanan, kami hanya diam dan sesekali melihat ke arah Wulan di belakang yang duduk bersama Damar. Mataku mendadak panas saat melihat mereka tapi Mas Sadha selalu berusaha menenangkan hatiku.
"Wulan akan baik-baik saja, Dhana."
.
.
.
.
.
Happy Reading All 😇😇😇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Senajudifa
kasiannya bs jd wulan itu tuli, kutukan cinta dan mr.playboy mampir thotlr
2022-10-08
0
Senajudifa
beh gmn ya koma selama 4 thn itu
2022-10-08
0
Your name
Pilihan tiap orang emang beda-beda
2021-12-13
2