...☘️☘️☘️...
"Terima kasih atas anugerah terbesar ini, Ya Allah."
Kebahagiaan yang datang semakin bertambah saat aku mendengar kabar kalau kondisi istriku sudah stabil. Rasa syukurku semakin menyeruak memenuhi hatiku dan keluarga besarku. Dengan langkah kaki yang lebar, aku bersama Ayah, Ibu dan kedua anak kembarku datang ke rumah sakit.
Dan benar saja, saat aku masuk ke dalam kamar rawat Mala, aku melihat istriku itu yang tengah terduduk bersandar di headboard tempat tidurnya.
Air mataku berlinang seketika saat melihat senyumnya yang begitu indah. Senyumnya yang sangat kurindukan selama lima tahun belakangan ini. Tanpa berpikir panjang, aku berlari mendekatinya dan langsung memeluk tubuhnya yang terlihat kurus karena berbaring di tempat tidur sepanjang hari, minggu, bulan bahkan tahun. Tangis istriku pecah seketika saat wajahnya terbenam di dalam pelukanku. Kerinduan yang mendalam membuatku tak berhenti menghujani pucuk kepalanya dengan kecupan sayang.
"Anak-anak kita di mana Mas?" tanya Mala disela-sela isak tangisnya yang terdengar lirih.
"Mereka ada di sini, Sayang. Mereka sudah besar dan saat ini mereka sudah sekolah di Taman Kanak-kanak. Putra dan putri kita sangat tampan dan cantik seperti orang tuanya. Aku sangat merindukan kamu, Sayang. Lima tahun lamanya, aku berusaha untuk tetap kuat dan menunggumu dan akhirnya semua do'aku terjawab."
Aku tidak bisa menyimpan keluh kesahku yang terpendam selama ini. Kupeluk lagi tubuhnya dengan erat, menghujani pucuk kepalanya dengan kecupan lembut yang penuh cinta. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan, jika aku harus kehilangan wanita yang sangat aku cintai untuk selamanya. Kehilangan adikku saja sudah membuatku terpuruk bertahun-tahun, apalagi harus kehilangan istriku yang sangat aku cintai.
"Papi..."
Saat suasana haru sedang menyelimuti aku dan Mala, tiba-tiba saja suara bocah laki-laki menyisir langit-langit kamar rawat istriku. Aku dan Mala serentak melerai pelukan lalu menoleh ke sumber suara.
Kulihat Ayah dan Ibu masuk bersama Wulan, sedangkan Damar berlari menghampiriku yang masih berdiri di sisi istriku.
"Papi? Mas... apakah dia putra kita?" tanya Mala yang mendongakkan kepalanya dan menatapku dengan lekat.
"Iya, Sayang. Dia putra kita. Namanya Damar. Damar Prasetya Nandala dan gadis kecil itu adiknya Damar. Putri kita yang kuberi nama Wulan Prasetya Nandala." jawabku seraya menangkup wajah istriku dan menyeka air matanya lalu menunjuk ke arah Wulan saat Ayah dan Ibu membawanya masuk.
Air mata Mala lolos lagi saat netranya melihat kedua bocah kecil itu. Tangannya terulur, hendak menjangkau Damar dan disambut hangat oleh putraku itu. Selama Mala koma, aku tidak pernah berhenti untuk menceritakan semua tentang Mala pada kedua anakku agar mereka mengenali ibunya.
"Mami..."
Suara Damar terdengar sangat jelas saat tangannya berada di dalam genggaman Mala. Kulihat senyum bahagia yang terukir jelas di bibir istriku saat mendengar suara Damar.
"Iya, Sayang. Ini Mami. Mami minta maaf ya karena terlalu lama meninggalkan kamu dan Wulan. Anak Mami tampan sekali sih. Mami sangat menyayangi kamu, Nak." tutur Mala yang mencium punggung tangan putranya.
Air mataku lolos lagi saat melihat pemandangan yang menenangkan itu. Begitu juga dengan Ayah dan Ibu yang berdiri agak jauh di sampingku bersama Wulan.
"Wulan sayang... kemarilah, Nak. Mami juga sangat merindukan putri Mami yang sangat cantik." ujar Mala seraya mengulurkan tangannya hendak menyambut tangan putriku.
Lama tangan Mala menunggu jawaban dari putrinya, namun Wulan tak kunjung memberi respon. Kulihat putriku yang hanya terdiam, berdiri di dekat Ayah dan Ibu seraya melihat ke arahku. Aku merasa heran kenapa Wulan tidak merespon panggilan ibunya? Padahal Wulan selalu memakai alat bantu di telinganya. Apa mungkin alat itu rusak dan kehilangan fungsi?
Tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Ada satu hal yang sempat terlupakan olehku, yaitu memberitahu Mala tentang kondisi Wulan yang sebenarnya. Entah kenapa aku mendadak ragu dan takut untuk memberitahu Mala. Ragu, takut dan khawatir kalau Mala tidak bisa menerima kenyataan pahit tentang putrinya.
Dengan penuh keyakinan, aku pun berjalan mendekati Wulan dan membawanya ke hadapan istriku. Aku menggendong tubuhnya agar Mala bisa melihat putrinya dari jarak yang sangat dekat. Namun raut wajah Mala berubah pias saat netranya menangkap sesuatu yang ada di telinga putriku.
"Mas... benda apa yang menempel di telinga Wulan? Kenapa dia hanya terdiam dan tidak memanggilku seperti Damar?" tanya Mala.
Tubuhku lemas seketika saat rentetan pertanyaan istriku menghujani kepalaku. Karena merasa lemas, aku langsung menurunkan Wulan lalu memberikannya kepada Ayah dan Ibu. Setelah itu aku juga menarik tangan Damar lalu memberikannya pada Ayah dan Ibu.
"Bicaralah dengan istrimu, Nak. Ayah dan Ibu akan membawa anak-anakmu keluar agar kalian bisa berbicara dengan tenang. Ingat!!! Beritahu Mala yang sebenarnya dan jangan terlalu dipaksakan. Istrimu baru sadar dari komanya dan kamu harus berhati-hati untuk menjelaskan semuanya pada istrimu."
Aku hanya mengangguk saat mendengar perkataan Ibu. Lalu Ayah dan Ibu keluar, membawa Damar dan Wulan agar aku bisa leluasa memberitahu istriku tentang kondisi putrinya. Setelah Ayah dan Ibu keluar, aku berbalik dan berjalan mendekati bed Mala. Perlahan aku duduk di sisinya, menggenggam tangannya yang masih terlihat pucat. Kulihat raut wajah istriku yang penasaran dan menuntut penjelasan dariku.
Aku pun menghela nafas panjang sebelum akhirnya kuceritakan semuanya pada Mala tentang kondisi Wulan. Tidak ada yang aku tutupi, mulai dari persalinan waktu itu hingga saat ini. Tiada satu pun moment yang hilang karena aku tidak ingin menutupinya. Aku juga telah menceritakan keahlian Wulan yang ada dibalik keterbatasannya. Namun respon Mala tidak sesuai dengan yang kuharapkan.
Istriku terdiam, dia terlihat sangat syok dan terkejut mendengar semua penjelasan yang aku ceritakan. Air matanya lolos begitu saja, beriringan dengan air mataku yang ikut jatuh. Selama lima tahun, aku membesarkan kedua anakku sendiri tanpa seorang istri dan dibantu oleh Ayah dan Ibu. Bahkan Kak Ibel dan Kak Vanny juga ikut membantuku untuk mengurus mereka, terutama Wulan.
Mala tetap bergeming. Setelah mendengar semua ceritaku, entah kenapa aku merasa aneh dengan sikap Mala. Dia lebih banyak diam, bahkan di saat Ayah, Ibu, Mas Ammar, Mas Sadha, Kak Ibel dan Kak Vanny datang ke rumah sakit untuk mengunjunginya. Tapi aku tetap berpikiran positif dan menganggap hal ini adalah hal biasa terjadi pada orang yang baru sadar setelah bertahun-tahun koma.
Setelah tiga hari sadar dari koma, Mala pun dinyatakan sembuh total dan kondisinya semakin membaik. Lalu aku membawanya pulang ke rumah dan disambut hangat oleh semua keluargaku.
"Mami..." pekik Damar dari arah ruang tamu.
Damar dan Wulan berlari dari ruang tamu, hendak menyambut kedatangan sang mami yang baru saja pulang dari rumah sakit. Senyum Mala terbit seraya berjongkok dan membentangkan tangannya. Hatiku terharu melihat Mala yang akhirnya tersenyum lagi setelah berhari-hari kulihat wajahnya yang sering murung.
Hap!
Seutas senyum di bibirku seakan direnggut paksa begitu saja saat mataku menangkap sesuatu yang tersaji di hadapanku saat ini. Kulihat istriku yang hanya menangkap tubuh Damar masuk ke dalam pelukannya, namun tidak dengan Wulan. Mala membiarkan putriku berdiri terpaku di sisinya seraya melihatnya yang memeluk erat tubuh Damar.
"Ayo kita masuk, Sayang." ujar Mala yang hanya menggendong Damar dan mengacuhkan Wulan yang masih terpaku di posisinya.
Aku, Ayah, Ibu, Mas Ammar dan Mas Sadha pun saling melempar pandangan heran. Kami semua sungguh tidak menyangka dengan sikap Mala yang sepertinya mengacuhkan Wulan, atau bahkan bisa lebih dari ini.
Melihat putriku yang menatap sendu ke arah Mala, membuat hatiku teriris, rasanya lebih sakit saat aku mengetahui semua kenyataan yang menimpa putri kecilku itu. Lalu dengan cepat, aku berjalan ke arahnya dan langsung memeluknya. Wulan menangis terisak saat aku memeluknya, sepertinya Wulan mengerti dengan sikap acuh Mala.
"Putri Papi jangan menangis lagi ya. Mungkin Mami masih kelelahan dan butuh istirahat. Wulan yang sabar ya, Sayang. Nanti setelah Mami pulih total, Mami pasti akan memeluk Wulan seperti memeluk Mas Damar."
Tanpa sadar air mataku pun lolos melihat kesedihan di mata putriku. Wulan masih kecil dan polos, belum mengerti apa-apa, ditambah lagi dengan keterbatasan di dalam dirinya, tapi kenapa Mala bersikap dingin seperti itu pada Wulan. Bahkan sepertinya, Mala menganggap kalau Wulan tidak ada.
Entahlah, apakah yang kurasakan ini benar? Apakah istriku benar-benar tidak menerima kondisi putrinya sendiri? Padahal aku sudah menceritakan kalau Wulan tidak hanya cacat, tapi dia juga mempunyai IQ yang tinggi. Namun sikap Mala masih tetap sama saja dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun.
Perubahan sikap Mala semakin terlihat jelas saat Damar dan Wulan mulai masuk sekolah dasar.
Mala hanya menyuapi Damar saat sarapan lalu mengantarnya ke sekolah tanpa mengajak Wulan. Aku benar-benar tidak menyangka dengan perubahan sikap istriku yang sangat drastis seperti ini. Dia hanya mengurus Damar dan mengacuhkan Wulan, seakan Wulan tak pernah ada di dalam hidupnya. Tapi aku harus tetap sabar walaupun itu sangat sulit.
Kesabaranku akhirnya dibuat habis dengan sikap Mala yang semakin keterlaluan pada putrinya sendiri, di saat dia datang ke sekolah dan pulang hanya membawa Damar dan meninggalkan putrinya di sekolah sendirian. Emosiku kali ini tidak bisa dikondisikan lagi hingga terjadilah pertengkaran yang selama ini tidak pernah terjadi dan tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
"Kenapa kamu meninggalkan Wulan di sekolah? Memang mobil yang kamu bawa itu tidak cukup besar untuk membawa putriku?" tandasku yang tersulut geram melihat sikap istriku selama ini.
"Kalau kamu khawatir dengan anak itu, kamu jemput saja sendiri. Aku malu jika harus membawanya bersama denganku. Kamu pikir selama ini aku menerima anak cacat itu? Kamu salah, Mas. Anakku hanya Damar, sedangkan anak cacat itu bukan anakku karena aku tidak pernah melahirkan anak cacat yang tuli dan bisu seperti dia!!!" jawab Mala yang sangat santai berbicara seperti itu bahkan di depan Damar.
Dadaku terasa sangat sesak mendengar hinaan yang keluar dari mulut istriku itu untuk putriku. Tanganku mengepal kuat dan siap melayang untuk menampar pipi siapa saja, kapan pun jika aku menginginkannya. Aku benar-benar tidak habis pikir, ternyata diam dan acuhnya istriku terhadap Wulan selama ini karena dia tidak mau mengakui darah dagingnya sendiri hanya karena Wulan tidak sempurna. Dan ternyata firasat yang kurasakan beberapa waktu belakangan ini benar-benar terjadi, kalau Mala tidak mau mengakui Wulan sebagai putri kandungnya.
"Kenapa Mala? Kenapa kamu bicara seperti itu? Dia anakmu, anak kita. Dia sama seperti Damar. Dia juga sangat menyayangi kamu, tapi kamu tidak pernah sekali pun menyentuh bahkan memeluknya, walaupun hanya sekejap. Kenapa kamu berubah seperti ini Sayang? Istriku yang dulu tidak seperti ini. Aku mohon jangan seperti ini pada Wulan, Sayang. Dia butuh kamu, dia butuh kasih sayang kamu." tuturku yang berusaha melunakkan hatinya.
"Tidak, Mas! Aku tidak akan pernah sudi mengakui anak cacat itu sebagai anakku! Anakku hanya Damar, tidak ada yang lain! Karena anak cacat itu, aku jadi koma dan tidak sadarkan diri selama bertahun-tahun. Karena anak itu, aku tidak bisa mengurus Damar. Karena anak itu juga, aku hampir mati meregang nyawa. Anak itu pembawa sial dalam hidupku, Mas! Kamu pikir aku tidak mengetahui kronologi persalinanku waktu itu? Aku tau semuanya, Mas. Aku tau semuanya dari suster yang merawatku selama aku koma di rumah sakit. Setelah Damar berhasil dikeluarkan, kondisiku drop karena masih ada anak cacat itu di dalam rahimku. Tapi ternyata Kak Ibel berhasil menyelamatkan anak itu dan aku koma setelah operasi. Anak itu yang menyebabkan aku koma selama lima tahun, Mas!!! Aku benci anak itu! Aku sangat membenci anak sialan itu!!!" tandas Mala yang tidak bisa mengendalikan emosinya dan berlalu pergi.
Luruh sudah air mataku mendengar keluh kesah istriku yang selama ini terpendam di dalam hatinya. Lemah, tulangku terasa sangat lemah dan tidak mampu menopang berat tubuhku. Seketika aku terduduk di lantai, tersimpuh dan menangis. Cobaan apalagi ini? Di saat Wulan butuh kasih sayang dari sosok ibunya, tapi ibunya sendiri tidak mau mengakui kehadirannya di dunia ini. Pecah sudah tangisku di depan putraku, Damar. Kulihat wajahnya yang polos menatapku dengan heran.
Damar melangkah ke arahku lalu mengusap wajahku yang sudah basah karena air mata. Sekuat tenaga yang kumiliki untuk mengulas senyum agar putraku tidak khawatir. Damar pun ikut tersenyum manis, wajahnya terlihat semakin tampan saat tersenyum seperti itu.
"Papi jangan sedih lagi ya. Damar akan selalu ada untuk Papi dan Adek Wulan. Kita harus berusaha membujuk Mami agar Mami mau menerima Adek. Papi harus sabar ya."
Di usianya yang masih menginjak delapan tahun, aku benar-benar dibuat terperangah dengan perkataan putra kecilku ini. Ternyata Damar mengerti dengan sikap Mala yang tidak menerima keberadaan adik kembarnya. Aku benar-benar terenyuh mendengarnya. Putraku sudah besar dan mengerti dengan situasi yang sedang kuhadapi saat ini.
"Damar bantu Papi ya, Nak. Kita berusaha untuk menyadarkan mami kamu agar dia mau menerima adik kembar Damar." ujarku seraya mengelus wajahnya yang tampan lalu memeluknya.
Kurasakan gerakan kepala Damar yang naik turun seperti mengangguk saat memelukku.
"Damar sayang Papi, Damar sayang Mami, dan Damar sayang Adek Wulan."
Flashback Off
.
.
.
.
.
Happy Reading All 😇😇😇
Hmmm, ternyata karena itu Mala sampai tidak mau menerima dan mengakui Wulan sebagai putrinya bahkan ikut menghinanya 🤧 kasihan sekali nasib Wulan 😭
Terima kasih sahabat semuanya yang masih mengikuti kisah Wulan yang pilu dan teramat menyayat hati 🤧 semoga Wulan bisa kuat 💛
Jangan lupa untuk selalu pantau kisah Wulan 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Dina Ima Tari
baru bisa move on dr novel sebelumnya, ini di buat nangis bombay lagi
2022-06-06
0
Your name
Ya kejujuran adalah pilihan yang tepat. Bahkan lebih baik dari pada sebaliknya, atau mungkin menundanya.
2022-01-05
1
ZasNov
Ya ampun hati aku sakit banget 😭😭
Saat Mala cuma meluk Damar dan mengacuhkan Wulan..
Apalagi Wulan langsung nangis di pelukan Papinya..😭😭😭
Sikap Mala bener2 menyakiti hati Wulan.. Ibu kandung tapi kejam banget..😫
2021-11-24
0