Di sebuah Universitas ternama, para Mahasiwa baru saja selesai dengan mata kuliah mereka. Cacha dan Nadira merupakan gadis terpopuler di kampus, apalagi sekarang di tambah Ana dan Rania. Mereka menamai geng mereka dengan sebutan 'Four Angels'.
"Rania!" Mereka berempat yang sedang berjalan beriringan, menghentikan langkah kaki mereka karena ada yang memanggil nama Rania.
"Aku hanya memanggil Rania, kenapa kalian semua ikut berhenti," ucap Febian, dia berdiri di dekat Rania yang berada paling pojok formasi.
"Bi, meskipun kamu hanya memanggil nama Rania, tetapi kita sedang berjalan bersama, sudah pasti kita refleks ikut berhenti," sahut Nadira, menatap kesal ke arah Febian.
"Sudahlah, aku tidak ada urusan dengan kalian. Ayo Ran." Febian menarik tangan Rania dan berjalan meninggalkan mereka bertiga, sedangkan Rania hanya diam menurut mengikuti langkah kaki Febian.
"Adik kamu maksa banget sih, Nad," kesal Ana sembari bersidekap.
"Biarkan saja. Febian tidak akan mungkin menyakiti Rania. Aku akan memberi kalian satu rahasia, tetapi kalian harus berjanji jangan sampai bocor," bisik Nadira, mereka bertiga merapatkan barisan.
"Kalau sampai rahasiamu hanya omong kosong belaka, maka aku akan mendekati Dion agar kamu patah hati," ancam Cacha, tangan Nadira memukul lengan Cacha dengan kencang.
"Cacha Maricha Hehey, mana mungkin Dion mau sama cewek judes seperti kamu," ledek Nadira, giliran tangan Cacha yang menepuk pipi Nadira dengan pelan.
"Aku bukan judes, Nad. Hanya saja aku ...."
"Sok jual mahal!" sela Nadira sewot.
"Sudahlah, kenapa kalian jadi bertengkar?" Ana berusaha melerai perdebatan mereka. "Rahasia apa yang mau kamu katakan, Nad?"
"Kalian janji jangan sampai bocor ya," ucap Nadira sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Cacha dan Ana ikut menyatukan kelingking mereka.
"Tenang, aku sudah pakai yang bersayap jadi tidak mungkin bocor," celetuk Cacha. Mata Nadira dan Ana menatap tajam ke arah Cacha yang sedang tersenyum seolah tak berdosa.
"Sudah! Sekarang aku serius, aku punya rahasia kalau sebenarnya ...." Nadira terdiam untuk menghirup napas dalam-dalam, sedangkan Cacha dan Ana dengan serius menunggu kelanjutan ucapan Nadira. "Sebenarnya Febian menyukai Rania sejak kecil."
"Apa?!" pekik Cacha dan Ana bersamaan.
"Bisakah kalian tidak membuatku tuli!" protes Nadira sembari mengusap kedua telinganya yang berdenging.
"Kamu serius, Nad?" tanya Ana tidak percaya.
"Seratus rius, An. Mana mungkin aku berbohong kepada kalian," jawab Nadira meyakinkan. Mereka berdua hanya bisa terdiam.
"Jangan bengong begitu, ayo kita pulang. Aku mau jajan cilok di depan kampus," ajak Nadira, kedua tangannya menggandeng Cacha dan Ana di kanan dan kirinya.
"Ya elah. Putri kesayangan Tuan Davino Alexander, seorang pengusaha ternama di negara ini, tetapi hobi jajan cilok. Senjang banget sih Nad," cerocoh Cacha.
"Biarkan saja, yang penting perutku terisi," sahut Nadira.
"Rania bagaimana? Aku bisa dimarahi papa kalau pulang tanpa Rania," ucap Ana menghentikan langkah kakinya.
"Kita tunggu saja di depan, palingan sekarang mereka sedang mojok di taman. Jangan lupa kita harus bersiap untuk nanti malam," kata Nadira mengingatkan.
"Cie, yang calon suaminya mau di lantik jadi pemimpin perusahaan," goda Cacha sembari menaik-turunkan alisnya.
"Cha, sebentar lagi kamu tidak memanggil Nadira lagi dong, tetapi manggil 'Kakak ipar'," sambung Ana, sedangkan Nadira menghentakkan kakinya karena merasa kesal.
"Kalian kan tahu kalau hatiku hanya untuk Dion seorang. Tidak ada tempat untuk hati yang lain," ucap Nadira tegas.
"Iya, aku tahu. Jangan nangis kalau Dion selingkuh di belakang kamu,"
"Tidak mungkin Dion selingkuh. Satu tahun aku menjalin hubungan dengan Dion dan hubungan kita selama ini baik-baik saja," bantah Nadira.
"Ya, kita hanya bisa berdoa, semoga kalian langgeng sampai ke pernikahan," ucap Ana. Nadira hanya mengamini.
Mereka bertiga berhenti di depan tukang cilok yang berjualan di sekitar kampus. Nadira paling terlihat antusias di antara mereka bertiga. Mereka segera memesan cilok kuah pedas level dewa. Begitu cilok itu sampai di tangan mereka, Nadira segera melahap cilok yang masih panas itu dengan cepat, bahkan Nadira hanya mengunyah tiga kali kunyahan untuk satu butir cilok. Cacha dan Ana menggelengkan kepala melihat tingkah Nadira yang seperti anak kecil.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Febian dan Rania sedang duduk bersama di taman kampus. Febian menatap lekat wajah cantik Rania yang memakai kacamata tebal, hingga membuat Rania salah tingkah.
"Bi, bisakah kamu tidak memandangku seperti itu? Aku malu," ucap Rania, tetapi Febian justru semakin lekat menatap mata Rania di sertai senyum simpul yang tercetak di sudut bibir Febian.
"Kenapa harus malu? Kamu masih berpakaian lengkap, jadi untuk apa kamu malu?" tanya Febian dengan menggoda.
"Bi!" cebik Rania kesal. Febian terkekeh geli melihat Rania yang terlihat begitu menggemaskan. "Sudahlah, ada perlu apa kamu mengajakku kesini?" tanya Rania ingin tahu.
"Aku hanya ingin mengajakmu untuk menjadi pasanganku di acara pelantikan Kak Nathan nanti malam," sahut Febian.
"Memang harus memakai pasangan?" Kening Rania mengerut, karena setahu Rania, tidak ada aturan wajib membawa pasangan di acara pelantikan Nathan nanti malam.
"Tidak! Hanya saja, aku ingin kamu menjadi pasanganku. Mana mungkin aku yang tampan ini hanya datang sendirian,"
"Bi, pacarmu kan banyak. Itu sih Nelly, Vanesa, dan Bianca, mereka mau dibawa kemana?" Tubuh Nathan berdiri tegak saat Rania menyebutkan nama gadis-gadis yang kemarin sempat menjalin hubungan dengannya, atau lebih tepatnya sekarang disebut mantan.
"Mereka hanya tempatku bermain-main, Ran. Kamu tahu, aku memiliki satu nama yang sudah tertancap kuat di dalam hatiku, hanya saja aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanku," ucap Febian, dia kembali menatap wajah Rania yang sedang tersenyum tipis ke arahnya.
"Febian, Febian. Kamu ini lucu sekali! Kamu bisa berganti-ganti pasangan setiap minggu, tetapi kamu tidak bisa mengungkapkan perasaanmu kepada satu orang yang sudah mengisi hatimu. Ingat, Bi! Jangan pernah bermain-main dengan perasaan orang lain," nasihat Rania. Febian hanya terdiam mendengar ucapan Rania. Haruskah Febian mengatakan kalau orang itu adalah Rania sendiri? Tetapi bagaimana kalau Rania menolak dan justru akan membuat jarak membentang di antara mereka.
"Bi," panggil Rania, membuat Febian tersadar dari lamunannya.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau, nanti aku datang sendiri saja. Tunggu sebentar, Ran." Febian membuka tas ranselnya untuk mengambil sesuatu di dalam tas itu, sedangkan Rania hanya memandang gerak-gerik Febian. Kedua bola mata Rania menatap heran, saat Febian mengeluarkan sebuah kotak kecil bludru berwarna merah dan menyodorkan kotak itu di depannya.
"Ini untukmu," ucap Febian, Rania menatap ke arah kotak itu, dia merasa ragu untuk menerima kotak yang Rania sendiri sudah bisa menebak isi di dalamnya.
"Bi, aku tidak bisa menerima ini," tolak Rania halus, raut wajah Febian terlihat begitu kecewa.
"Kenapa? Kamu bahkan belum menyentuhnya sama sekali, Ran." Suara Febian terdengar berat. Merasa tidak enak hati, Rania meraih kotak itu dari tangan Febian dan menggenggamnya dengan erat.
"Buka di rumah saja. Anggap saja, isi di dalam kotak itu adalah tanda persahabatan kita." Rania mengangguk perlahan sambil mengucapkan terima kasih, meski keraguan masih menyelimuti hati Rania.
"Ayo, aku akan mengantarmu pulang," ajak Febian, dia bangkit berdiri dari duduknya, diikuti Rania yang juga ikut berdiri.
"Aku pulang sama Ana saja. Aku yakin dia pasti masih menungguku," sahut Rania, tetapi Febian tidak mempedulikan ucapan Rania, dia hanya menggandeng tangan Rania menuju ke mobil miliknya yang berada di parkiran. Febian membukakan pintu mobil depan untuk Rania, setelah memastikan Rania sudah duduk, Febian menutup pintu itu dan berjalan menuju pintu di sebelah. Febian mendudukkan tubuhnya di belakang setir kemudi.
"Jangan lupa jaga keselamatan," ucap Febian. Dia mendekati tubuh Rania, membuat Rania menjadi begitu gugup. Klik! Ternyata Febian hanya memasangkan sabuk pengaman untuk Rania.
"Maaf, Aku lupa, Bi." Rania menepuk keningnya berkali-kali.
"Kamu tetap Rania kecil yang dulu, yang pelupa dan sering ceroboh," cibir Febian sembari mengijak pedal gas, melajukan mobil itu keluar dari area kampus. Namun, baru saja mobil Febian keluar dari gerbang kampus, Rania menepuk pelan pundak Febian dan menyuruhnya untuk berhenti. Febian pun segera menepikan mobilnya dan mengikuti arah telunjuk Rania yang mengarah ke seberang jalan. Pandangan mata mereka berdua menatap ke seberang jalan di mana ada tiga gadis yang sedang sibuk menikmati cilok di tangannya.
"Ya Tuhan, apa yang membuat mereka menjadi gadis terpopuler di kampus, sedangkan jajan mereka saja tidak berkelas seperti itu," ucap Febian kesal.
"Bi, jangan berbicara seperti itu. Cilok itu makanan enak tahu, aku saja doyan." Rania melepaskan sabuk pengaman dan hendak membuka pintu mobil, tetapi Febian segera menahan lengan Rania.
"Kamu mau kemana?" tanya Febian.
"Aku mau berkumpul dengan mereka, Bi. Aku pulang sama Ana saja, daripada kamu nanti repot harus putar balik, Bi." Rania menyingkirkan tangan Febian dari lengannya. Febian pun hanya bisa terdiam dan membiarkan Rania keluar dari mobilnya. Febian mengawasi gerak-gerik Rania yang berjalan keluar dari mobil dan berjalan menuju ke tempat mereka bertiga. Setelah Rania sudah bergabung bersama mereka bertiga, Febian melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.
"Ciee, yang habis kencan," goda mereka bertiga, membuat wajah Rania seketika merona merah.
"Apaan sih kalian. Aku sumpahin kalian keselek cilok mau?!" timpal Rania dengan sewot. Nadira yang paling dekat dengan Rania, mengusap punggung Rania perlahan.
"Sabar, Ran. Kalau kamu sabar, aku ikhlas mengakuimu sebagai adik ipar," ledek Nadira yang justru semakin membuat Rania mencebik kesal, sedangkan mereka bertiga semakin tertawa meledek kepada Rania.
"Ran, nanti jam lima sore kita akan ke salon. Kamu ikut ya," ajak Cacha.
"Ke salon, untuk apa?" tanya Rania bingung.
"Beli gorengan! Kalau ke salon pasti untuk berdandan lah. Kamu gimana sih!" ketus Cacha, tetapi Rania tetap menampilkan raut wajah bingung.
"Sudah Ran. Pokoknya nanti kamu ikut saja. Kamu harus tampil cantik malam ini, bukankah kamu akan menyumbangkan suaramu di acara kak Nathan?"
"Aku memang akan menyumbangkan suaraku, apakah harus berdandan?" tanya Rania polos.
"Ya Tuhan, tentu saja. Kamu akan menjadi salah satu donatur suara di acara kak Nathan. Jadi, aku ingin memastikan tampilan kamu harus sempurna agar tidak memalukan di acara keluargaku," celetuk Cacha.
"Donatur, donatur. Kamu pikir acara nanti malam itu seperti panti asuhan." Tangan Nadira mengusap wajah Cacha dengan kasar. Setelah itu, mereka bertiga meninggalkan Cacha yang sedang menghentakkan kaki karena kesal.
"Kang Cilok, kita titip tuh cewek satu ya. Lumayan bisa buat penglaris," teriak Nadira saat mereka sudah berjalan cukup jauh, sedangkan Cacha tanpa banyak bicara segera berlari menyusul mereka bertiga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Rina Widiyanti
aku nebak kok yg mau di lamar Kenan itu aja,emang selama ini dia Deket ma Rania tapi dia kayak cuma nganggep adek gitu,tapi sukanya ma ana
2022-07-27
0
Otin Frankenstein Jr.
Al jd dilema pasti
2022-06-11
0
Sudiyem Selsi
makin ramai
2021-12-15
0