Mansion Alexander
Setelah selesai makan malam, keluarga Alexander duduk bersama di ruang keluarga. Alvino yang duduk.di sofa, memandang Nadira dan Febian bergantian. Rasanya, dia menanyakan sesuatu, tetapi Alvino masih ragu.
"Aku tahu kamu melihatku sedari tadi, Kak. Apa yang akan Kak Al tanyakan?" tanya Nadira. Meskipun kedua bola mata Nadira menatap ponsel di tangan, nyatanya dia tetap peka terhadap sekitarnya.
"Kakak hanya ingin mengetahui tentang Ana dan Rania,"
"Apa Kakak menyukai salah satu di antara mereka?" tanya Febian, menyela ucapan Alvino.
"Tidak!" sanggah Alvino. "Kakak, hanya penasaran saja dengan mereka berdua. Mereka saudara kembar, tetapi mereka berdua sangat berbeda jauh, bahkan bertolak belakang," sambung Alvino penasaran.
"Tidak juga. Mereka hampir sama, setahuku dulu Ana dan Rania sama-sama bermimpi menjadi pembalap," cerita Nadira, dia meletakkan ponsel yang sedari tadi di pegang.
"Bukankah Ana yang menjadi pembalap?" tanya Alvino tak percaya.
"Setahuku juga begitu, Ana yang menjadi pembalap, sedangkan Rania, aku hanya tahu dia suka bernyanyi di beberapa acara teman-temannya saja. Dulu, Rania adalah sosok yang sangat ceria Kak, tetapi semenjak kepulangannya dari luar negeri, dia menjadi anak yang pemalu dan tertutup," jelas Nadira.
"Apakah kamu tahu alasan Tuan Sandi dan kedua putrinya pindah ke luar negeri? Tuan Sandi benar-benar menutup rapat informasi kepergiannya ke luar negeri yang tiba-tiba," tanya Davin yang masih penasaran.
"Tidak! Bahkan dulu di sekolah, banyak yang bertanya-tanya apa alasan mereka berdua yang tiba-tiba pindah,"
"Kamu kenapa, Al?" tanya Aluna saat melihat Alvino yang terdiam.
"Tidak ada apa-apa, Mom," jawab Alvino, tetapi Aluna bisa melihat kebimbangan di raut wajah Alvino.
"Al, Mommy dengar, Ana juga seorang pembalap, apa kamu tidak ingin mencoba beradu kecepatan dengan Ana?" tanya Aluna mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Tanggal 25 besok Al akan mencobanya, Mom. La sudah mengatakan pada Om Ronal." Alvino bangkit berdiri dari sofa.
"Kamu mau kemana, Al?" tanya Davin saat melihat Alvino yang hendak pergi dari ruang keluarga.
"Ke kamar, Dad. Apakah Daddy ingin ikut? Kalau mau ikut, Ayo Dad." Alvino bertanya dengan senyum seringai di sudut bibirnya.
"Dasar! Anak kurang ajar," kesal Davin, Alvino hanya terkekeh, lalu melangkahkan kakinya menuju ke kamar.
"Mom, kalau menurut Mommy, Kak Al menyukai salah satu di antara mereka tidak sih?" tanya Nadira penasaran, karena saat dia melihat raut wajah Alvino saat membicarakan Ana dan Rania. Nadira bisa melihat sesuatu yang berbeda dari raut wajah Alvino. Febian hanya duduk terdiam, tanpa sedikitpun mengeluarkan suara.
"Mommy tidak tahu. Kalau bagi Mommy, kak Al akan jatuh cinta dengan siapa pun, Mommy tidak akan melarangnya, yang terpenting dia adalah wanita baik-baik.
"Seperti kamu, Sayang," ucap Davin lembut.
"Mas, itu sebuah pujian atau sindiran?"
"Tentu saja pujian, istriku sayang. Aku mencintaimu." Davin menghujami wajah Aluna dengan ciuman bertubi-tubi.
"Dad! Apakah Daddy tidak bisa mencium Mommy di kamar saja? Mataku ternoda, Dad!" protes Febian, dia berpura-pura menutupi kedua matanya.
"Bi, tidak perlu kamu tutup mata seperti itu. Kamu sudah bukan bocah lagi," cibir Nadira, Davin dan Aluna mengalihkan pandangan mata mereka ke arah Nadira yang kembali sibuk dengan ponselnya.
"Nadira, memang kamu sudah bukan bocah lagi? Daddy curiga kamu sudah tahu tentang ciuman." Nada Davin sedikit membentak. Davin khawatir, anaknya mengetahui hal dewasa yang tidak sesuai umur.
"Aku belum pernah merasakannya, Dad. Kalau melihat orang berciuman sering, apalagi Mommy dan Daddy sering berciuman tidak ingat tempat," jawab Nadira menyindir. Davin mengusap wajah dengan kasar, sedangkan tangan kiri Aluna memukul lengan Davin dengan cukup kencang.
"Kamu tuh, Mas. Makanya kamu jangan suka menciumku sembarangan," bisik Aluna menyalahkan Davin.
"Sudahlah Mom, jangan bisik-bisik seperti itu. Lagipula, Nadira sudah sering melihat adegan seperti itu." Tatapan mata Davin ke arah Nadira semakin menajam.
"Adegan seperti itu, maksud kamu apa?!" tanya Davin sedikit membentak, Nadira beranjak bangun dari tempat duduk.
"Jangan salah paham, Dad. Hanya sampai sebatas ini, tidak lebih!" tegas Nadira, menujukkan layar ponsel miliknya yang berisi gambar artis korea sedang berciuman.
"Astaga! Nad ...." Teriakan Davin terhenti, saat Nadira mencium pipinya dan Aluna secara bergantian. Setelah itu, Nadira berjalan cepat menuju ke kamar.
"Aku ke kamar dulu ya Mom, Dad. Aku sayang kalian berdua," teriak Nadira, saat dia sudah berdiri di anak tangga. Febian bangkit dan menyusul Nadira yang menuju ke kamar.
"Mau kemana kamu, Bi?" tanya Davin menghentikan langkah kaki Febian.
"Ke kamar sebelum aku menjadi pelampiasan amarah, Daddy," sahut Febian melanjutkan langkah kakinya.
"Sudahlah, Mas. Apakah kamu tidak lelah, selalu marah-marah?" tanya Aluna saat melihat wajah Davin yang merah padam.
"Apa?! Anak-anak kamu setiap hari selalu menguji kesabaranku dan membuat aku selalu naik darah!" bentak Davin tanpa sadar. Aluna membisu saat merasakan dadanya nyeri karena bentakan Davin. Sedari dulu memang seperti ini, Davin terkadang lepas kendali saat dia sedang emosi, dia akan membentak siapapun tanpa sadar. Aluna yang merasakan hatinya sakit, bergegas meninggalkan Davin tanpa banyak bicara, dia berjalan menuju ke kamarnya. Akan tetapi, saat dia sampai di depan kamar tamu, tiba-tiba Aluna mempunyai sebuah ide untuk memberi pelajaran pada Davin.
"Lihat saja, dia mencariku atau tidak. Enak saja, main bentak orang sembarangan," ucap Aluna kesal. Dia segera masuk dan mengunci kamar tamu, lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Aluna yakin, pasti sebentar lagi Davin akan kelabakan mencarinya.
Sementara itu, Davin masih duduk di sofa ruang keluarga, karena dirinya masih sedikit emosi. Davin menyandarkan kepalanya di sofa, lalu memejamkan kedua bola matanya.
"Aluna!" pekik Davin sembari membuka kedua bola matanya, saat dia teringat telah membentak Aluna tanpa sadar. Davin segera
"Sayang! Sayang!" panggil Davin berteriak, dia melangkahkan kakinya menuju kamar, karena Davin yakin kalau saat ini Aluna sudah berada di kamarnya
"Sayang, apakah kamu di dalam?" panggil Davin, tangan kirinya menarik knop pintu agar pintu itu terbuka. Davin segera masuk dan berjalan menyusuri seluruh penjuru kamar, tetapi tidak ada sedikitpun tanda-tanda keberadaan Aluna. Perasaan Davin menjadi sangat khawatir. Davin berjalan kembali ke luar kamar untuk mencari keberadaan Aluna, tetapi dia sama sekali tidak bisa menemukannya, bahkan Davin sudah bertanya kepada seluruh pelayan dan mengetuk kamar ketiga anaknya, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui di mana Aluna berada. Davin mengambil ponsel untuk menghubungi Asisten Jo, tetapi panggilan itu tidak di angkat, membuat Davin semakin menggeram kesal.
"Dasar tua bangka menyebalkan!" umpat Davin.
"Siapa yang Anda panggil tua bangka, Tuan?" Davin terkejut mendengar sahutan dari Asisten Jo. Davin menatap layar ponsel itu dan melihat panggilan itu sudah terhubung sejak satu menit yang lalu.
"Kamu sedang apa, Jo? Lama sekali mengangkat panggilanku!" omel Davin dengan ketus.
"Malam hari tentu saja saya sedang bercengkrama dengan istri saya, Tuan. Bagaimanapun juga, sudah waktunya saya menikmati masa tua saya,"
"Bercengkrama apa bersengg*ma?!" tukas Davin.
"Tentu saja dua-duanya Tuan. Apa Anda tidak bersengg*ma dengan Nona Aluna?" Davin menepuk keningnya karena melupakan tujuan dia menelepon Asisten Jo.
"Justru itu, Jo. Aku butuh bantuanmu, tolong kamu sadap CCTV Mansion Alexander," perintah Davin. Akan tetapi, tidak ada sahutan dari seberang, membuat Davin kembali menggeram kesal.
"Untuk apa saya menyadap CCTV Mansion Anda, Tuan?" tanya Asisten Jo heran.
"Istriku hilang,"
"Apa?!" Teriakan Asisten Jo dan Mila terdengar memekik di telinga Davin.
"Rasanya aku ingin membunuh kalian berdua! Kalian benar-benar bisa membuatku tuli!" bentak Davin.
"Maaf Tuan Tua,"
"Kamu memanggilku apa?!" geram Davin, sudah berpuluh-puluh tahun bersama, nyatanya mereka berdua sama sekali tidak berubah.
"Tuan Tua, karena yang muda kan Tuan Muda Alvino," sahut Asisten Jo santai.
"Rasanya ingin ku sumpal ...."
"Jika Anda marah-marah, Nona Aluna akan semakin lama tidak di temukan, Tuan." Davin terdiam mendengar perkataan ucapan Asisten Jo.
"Biar saya sadap sebentar, Tuan."
"Kamu hanya ku beri waktu tiga menit, lebih dari itu ...."
Tut tut tut
Panggilan itu terputus begitu saja, bahkan sebelum Davin menyelesaikan ucapannya.
"Dasar menyebalkan!" umpat Davin, dengan kasar dia mendudukkan tubuhnya dan mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Kamu di mana, sayang?" gumam Davin sembari menyandarkan tubuhnya di sofa, dia sangat takut jika Aluna akan meninggalkan dirinya lagi seperti dulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
guntur 1609
kwkkwkwk. dasar bos dan asistenya..sm2 somplak
2023-11-13
0
guntur 1609
rasain loe davin barubsadar.. si dewa bucin
2023-11-13
0
Otin Frankenstein Jr.
tuan tua,,, wkwkwk
2022-06-11
0