Alvino duduk di kursinya, setumpuk dokumen sudah berada di depannya tetapi tatapan mata Alvino justru menatap ke arah Kenan yang sedang konsentrasi pada layar tablet di tangannya.
"Ken," panggil Alvino pelan, Kenan mengalihkan pandangan mata dari laya tablet itu.
"Ada apa, Tuan Muda?" tanya Kenan sopan.
"Aku mau bertanya sama kamu, tetapi ini menyangkut hal pribadi," sahut Alvino, Kenan menatap penuh tanya ke arah Alvino. "Aku dengar kamu akan melamar salah satu putri Tuan Sandi, benarkah?" tanya Alvino.
"Benar," jawab Kenan singkat, dia kembali menatap layar tabletnya.
"Apa Rania? Atau Ana?" tanya Alvino ingin tahu.
"Itu rahasia Tuan, karena saya akan membuat sebuah kejutan," jawab Kenan, Alvino mendecakkan lidah karena sebal.
"Kalau kamu mau melamar Rania, maka aku titip Rania padamu," Kenan langsung menatap ke arah Alvino.
"Maksud kamu?" tanya Kenan tidak paham dengan apa yang Alvino katakan.
"Tidak apa-apa," jawab Alvino santai, tetapi jawaban Alvino justru membuat Kenan semakin penasaran.
"Kamu yakin, Al?" tanya Kenan memastikan. Dia sampai lupa kalau mereka masih di dalam kantor.
"Kenan, aku bos kamu jadi gunakanlah bahasa formal!" ketus Alvino membuat Kenan tersenyum sinis kepadanya.
"Aku tahu kamu menutupi sesuatu dari aku, Al," cibir Kenan, Alvino menyandarkan kepalanya di kursi.
"Dari semalam aku masih penasaran dengan bekas luka di tangan Rania. Bagaimana bisa dia mendapat bekas luka sebanyak itu," ucap Alvino pelan, dia berlagak seolah tidak tahu apa-apa agar Kenan tidak curiga.
"Bekas luka itu, dulu Rania dapatkan karena dia pernah menjadi korban penculikan anak," jelas Kenan. Alvino memasang raut wajah terkejut.
"Korban penculikan anak?" tanya Alvino.
"Ya, itu jawaban yang aku dapatkan dari Rania maupun Ana saat aku bertanya tentang bekas luka itu. Aku juga tidak tahu kenapa semenjak aku bertemu Rania, aku merasa ingin selalu melindunginya." Kenan mengusap-usap keningnya.
"Bagaimana dengan Ana?" tanya Alvino menyelidik.
"Kenapa dengan Ana? Dia gadis yang kuat, bahkan dia bisa menjaga dirinya sendiri," jawab Kenan cuek, dia kembali menatap layar tablet di depannya. Alvino menatap Kenan lekat.
Kenan benar-benar mencintai Rania. Tapi aku tetap harus mengucapkan terima kasih pada Rania. Batin Alvino.
🍀🍀🍀🍀🍀
"Tu-tuan." Rania terlihat gugup, karena Alvino mendekatinya saat dia sedang menunggu Ana pergi ke toilet di sebuah Caffe.
"Kenapa kamu terlihat gugup seperti itu?" tanya Alvino mendekati Rania, tetapi Rania menjauhkan jarak tubuhnya dari Alvino.
"Saya mohon jangan mendekat, Tuan." Suara Rania terdengar bergetar saat dia dan Alvino sudah berada dalam jarak yang begitu dekat.
"Aku hanya ingin berbicara denganmu, aku tidak akan menyakitimu," kata Alvino, dia menjauhkan tubuhnya karena melihat tubuh Rania yang bergetar ketakutan. Rania tetap diam pada posisinya, dia tidak berani mengangkat kepala sama sekali.
"Ran, bolehkah aku bertanya? Sebenarnya, bekas luka jahit di lenganmu, itu bekas luka jahit karena apa? Kenapa banyak sekali?" tanya Alvino begitu saja, kedua bola mata Alvino masih menatap lekat ke arah Rania.
"Ini bekas luka saya dapatkan setelah saya menjadi korban penculikan anak, Tuan," jawab Rania pelan, jemari kedua tangannya terlihat saling meremas.
"Kamu yakin? Kamu tidak berbohong?" tanya Alvino penuh penekanan.
"Ya-yakin Tuan," jawab Rania terbata.
"Tatap mataku agar aku tahu kamu tidak berbohong," suruh Alvino, tetapi Rania tetap bergeming.
"Ma-maaf Tuan. Saya tidak terbiasa bertatapan dengan lawan jenis," balas Rania masih dengan menundukkan kepalanya.
"Sebenarnya, aku hanya ingin kejujuran dari kamu, tetapi sepertinya kamu memang seorang pembohong!" sarkas Alvino. Kepala Rania mendongak dan menatap mata balik mata Alvino. Tatapan mata mereka saling bertemu, Alvino refleks memegang dadanya yang berdebar begitu cepat.
Benar-benar tatapan mata gadis kecil itu. Batin Alvino, dia tidak memutus pandangan matanya pada Rania sama sekali, begitu juga sebaliknya. Rania menatap lekat wajah tampan Alvino yang selalu menghantui hati dan pikirannya.
"Kenapa pada bengong?" Ana yang baru datang berhasil mengagetkan mereka dan membuat Alvino maupun Rania memutus pandangan mata mereka.
"Kakak lama sekali," kata Rania dengan kesal. Ana mengulas senyumnya dan duduk di antara Alvino dan Rania.
"Kamu sudah lama, Al?" tanya Ana, dia tidak menanggapi ucapan Rania. Ana menoleh ke arah Alvino yang kembali menatap Rania.
"Baru saja datang, maaf ya aku jadi menganggu kalian berdua," sahut Alvino. Ana kembali mengulas senyumnya, membuat Alvino beralih menatap lekat ke arah Ana karena terpesona dengan Ana yang terlihat begitu cantik, sedangkan Rania kembali menundukkan kepala karena dia merasa minder terhadap Alvino.
Jangan terlalu berharap lebih jika kamu tidak ingin terluka, Ran. Kamu harus sadar, dirimu itu siapa dan seperti apa? Semua orang pasti lebih memilih Riana daripada kamu. Apalagi sekarang, Alvino sudah melihat tubuhmu yang buruk, jadi berhentilah berharap sebelum kamu semakin terluka. Batin Rania sembari menghembuskan napas kasar.
"Kak, aku mau ke toilet," pamit Rania, dia beranjak bangun. Alvino dan Ana mengalihkan pandangan mata mereka ke arah Rania yang sudah berdiri.
"Kakak antar ya," tawar Ana, wajahnya terlihat begitu cemas. Rania menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak Kak, aku bisa sendiri. Lagi pula ini di area caffe, aku yakin pasti aman," tolak Rania pelan, dengan berat hati Ana mempersilakan Rania untuk pergi sendiri.
"An, kemaren aku tidak sengaja melihat lengan Rania dan melihat banyak luka bekas jahit. Bagaimana bisa Rania mendapat luka jahit sebanyak itu?" tanya Alvino, dia benar-benar ingin mendengarkan jawaban semua orang.
"Itu bekas luka jahit Rania dapatkan saat jadi korban penculikan anak, itu yang aku dengar dari papa," jawab Ana tenang, tetapi di dalam hati dia merasa sangat gelisah.
"Betapa sakitnya saat Rania mendapatkan luka itu dulu," gumam Alvino.
"Rania hampir saja kehilangan nyawanya, beruntung Rania anak yang kuat, jadi dia bisa melewati masa kritisnya," ucap Ana lirih. Ponsel Alvino berdering, dia melihat nama Mommy Aluna tertera disana. Alvino berpamitan pada Ana untuk mengangkat panggilan dari Mommy tercintanya itu. Alvino menelepon sambil berjalan mendekat ke toilet. Cukup lama Alvino bertukar suara dengan Aluna, saat Alvino akan kembali ke depan, dia melihat Rania yang baru keluar dari dalam toilet. Alvino menarik tangan Rania dan menyandarkan tubuh Rania di tembok. Kedua tangan Alvino menempel di tembok, memberi pembatas agar Rania tidak bisa pergi darinya.
"Aku ingin kamu jujur. Sebenarnya dari mana kamu dapatkan bekas luka jahit sebanyak itu?" tanya Alvino penuh penekanan.
"Bukankah saya sudah bilang, Tuan. Saya dapatkan saat saya menjadi korban penculikan," jawab Rania gugup, Alvino tersenyum sinis mendengar jawaban Rania.
"Tatap mataku, Rania," perintah Alvino, tetapi Rania masih setia menunduk. "Aku melihat tatapan mata gadis kecil yang menolongku sewaktu aku hampir menjadi korban penculikan dan kecelakaan." Deg. Jantung Rania berdebar begitu kencang. Mungkinkah Alvino sudah tahu semuanya? Rania semakin menundukkan kepalanya. "Tapi sepertinya aku salah orang," kata Alvino kecewa sembari menurunkan kedua tangannya.
"Anda memang salah orang, Tuan," balas Rania, dia berjalan menjauh dari Alvino dengan langkah cepat.
"Kenapa kamu tidak mau jujur sama sekali. Apakah begitu berat jika kamu mengatakan semuanya dengan jujur?" gumam Alvino sembari menatap punggung Rania yang menjauh darinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Santi Haryanti
hmmmm ..
2021-11-05
0
Siti Homsatun
katakanlah yg sejujurnya Rania pd Pacino...
2021-09-28
0
Yuchi
Lanjut otor, ga sabar nungguin kisah selanjutnya
2021-08-03
1