"Dia siapa Al?" tanya Davin saat Rania sudah turun dari panggung.
"Teman Cacha, dad." Jawab Alvino, di masih berusaha menetralkan perasaanya.
"Merdu sekali suaranya, bahkan dia terlihat begitu menghayati," ucap Aluna, dia benar-benar terpukau dengan suara Rania. Alvino tidak menanggapi, dia hanya terdiam sambil mengusap dagunya.
"Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Aluna heran.
"Yes mom," Alvino mengangguk perlahan. Dia berjalan meninggalkan keluarganya, Davin dan Aluna hanya menatap bingung ke arah Alvino. Alvino duduk di samping Febian dan Nathan yang sedang asyik menikmati makanannya.
"Makan gak ngajak-ngajak! gak takut keselek?" Alvino menepuk punggung Nathan membuat Nathan benar-benar tersedak.
"Uhuukk uhuukkk," Nathan langsung meminum air putih di gelas dalam sekali tenggak. "Kamu jahat sekali," kesal Nathan, dia kembali melanjutkan makannya.
"Kak, Febian mau ke tempat Nadira sama Cacha ya," pamit Febian sambil beranjak bangun dan bergabung bersama mereka berempat. Pandangan Alvino tak lepas menatap Ana dan Rania. Jiwanya seolah tertarik ke arah mereka berdua. Dia menatap lekat mereka berdua bergantian membuat Nathan menjadi heran karena tak biasanya Alvino menatap lekat seperti itu kepada lawan jenis.
"Kamu jatuh cinta pada mereka?" suara Nathan mengagetkan Alvino dari lamunannya.
"Ngomong apaan sih!" Alvino berusaha mengelak. "Aku cuma heran, mereka kembar tapi kenapa mereka sangat berbeda jauh," ucap Alvino tanpa melepas pandangannya dari mereka berdua. Ana yang terlihat begitu ceria, sedangkan Rania terlihat lebih banyak diam, hanya beberapa kali terlihat tersenyum.
"Bagaimana pencarian kamu kepada gadis yang menolong kamu dulu?" tanya Nathan, Alvino mengalihkan pandangannya kepada Nathan kemudian dia menghembuskan nafas kasar.
"Entahlah! sudah sepuluh tahun aku mencarinya, namun aku sama sekali tidak bisa menemukannya," Alvino memejamkan matanya. "Aku masih berharap semoga Tuhan masih berbaik hati padaku, mempertemukan aku dengan gadis itu. Semoga dia masih hidup, jadi aku bisa mengucapkan terimakasih dan hatiku menjadi lega," lirih Alvino, selama ini dia merasakan beban hatinya terasa begitu berat. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar, namun Alvino seolah tidak ingin menyerah pada pencariannya. Alvino membuka matanya, tatapan matanya menatap ke arah Rania yang berjalan pergi meninggalkan mereka berempat. Alvino bangun dari duduknya, dia melangkahkan kakinya mengejar Rania. Bahkan, teriakan Nathan tidak dia pedulikan.
"Tunggu!" teriak Alvino saat dia sudah berada di belakang Rania. Sedangkan, Rania langsung menghentikan langkahnya, dia berbalik dan melihat Alvino sedang berjalan mendekat ke arahnya, Rania langsung menundukkan kepalanya.
"Kamu mau kemana?" tanya Alvino, dia berdiri tiga langkah di depan Rania.
"Ma-mau ke toilet Tuan," jawab Rania gugup.
"Kenapa kamu begitu gugup? apa aku se-menyeramkan itu?" tanya Alvino. Rania tetap menunduk namun kepalanya menggeleng pelan.
"Tataplah lawan bicaramu saat mengobrol!" Rania seolah menulikan telinganya. Dia tetap menunduk tanpa sedikitpun mengangkat kepalanya.
"Permisi Tuan, saya terburu-buru ingin ke toilet," pamit Rania sambil membalikkan badannya dan berjalan cepat.
"Tunggu sebentar!" teriak Alvino lagi. Rania kembali menghentikan langkahnya namun dia tidak berbalik.
"Terimakasih sudah menyumbangkan suara indahmu di acaraku," ucap Alvino tulus.
"Sama-sama Tuan, terimakasih juga pujiannya. Permisi," pamit Rania sambil melangkah pergi. Alvino hanya memandang punggung Rania yang menjauh darinya.
"Kenapa dia begitu misterius sekali," gumam Alvino sambil berjalan kembali ke tempat Nathan.
🍀🍀🍀🍀🍀
"Terimakasih kak Nathan dan Cacha," ucap Ana dan Rania bersamaan.
"Sama-sama. Besok aku jemput kalian lagi ya, kamu jadi kan kuliah bareng aku?" tanya Cacha penuh harap.
"Sepertinya jadi, nanti aku kabari lagi ya," sahut Ana sedangkan Rania hanya tersenyum. Nathan membenarkan ucapan Alvino kalau mereka berdua memang terlihat sangat berbeda.
"Ya sudah aku pulang dulu," pamit Cacha sambil melambaikan tangannya. Ana dan Rania pun ikut melambaikan tangannya.
"Ayo Ran, kita masuk," ajak Ana. Dia menggandeng tangan adiknya masuk ke dalam rumah.
"Kalian baru pulang?" tanya Tuan Sandi, papa mereka berdua.
"Iya pa," jawab mereka berdua kompak. Mereka mencium pipi Tuan Sandi bergantian.
"Kamu baik-baik saja Ran?" ada nada khawatir dalam pertanyaan Tuan Sandi.
"Iya pa, bukankah Rania sudah sembuh total jadi papa tidak perlu khawatir, lagipula kak Ana benar-benar menjaga Rania," Tuan Sandi menghembuskan nafas lega.
"Syukurlah, papa bahagia sekali memiliki gadis cantik seperti kalian," puji Tuan Sandi. Ana dan Rania langsung memeluk erat tubuh papanya.
"Kita sayang papa," peluk mereka erat. Tuan Sandi pun membalas pelukan mereka.
"Papa juga sayang kalian," Tuan Sandi mengecup puncak kepala mereka bergantian. Setelah itu mereka berpamitan kembali ke kamar mereka masing-masing. Sesampainya di kamar, Rania merebahkan tubuhnya dan melepas kacamata tebal yang menghiasi wajahnya. Dia melepas baju dan celana panjang yang menutupi tubuhnya.
"Aku bahagia bisa melihatmu lagi. Meski aku tak bisa memiliki hatimu, setidaknya aku bisa menatapmu walau dari jauh," Rania mengusap bekas luka jahitan yang menghiasi tangan dan kakinya.
"Aku takkan pernah bisa bersamamu, aku tak pantas untukmu lagi. Semoga kamu selalu bahagia," airmata Rania mengalir, membasahi pipinya. Dia meremas kaos pendek yang melekat di tubuhnya. Menatap luka yang akan membekas abadi di tubuhnya. Sebenarnya, Tuan Sandi sudah melakukan berbagai cara, namun Rania selalu menolak.
"Biar luka ini menjadi kenangan indahku, bahwa aku pernah mencintaimu sejak dulu," Dia berkali-kali mengusap bekas luka di tangan dan kakinya itu. Dia tersenyum getir, walau hanya memandang dari jauh namun mampu membuat hati Rania bahagia.
Sedangkan di tempat berbeda, Alvino menatap langit-langit kamarnya. Entah mengapa, pikirannya selalu teringat kepada Ana dan Rania, seolah-olah mereka berdua telah menarik jiwa Alvino ke dalam pesona mereka berdua. Meski, Alvino tidak tahu siapa yang lebih bisa membuatnya tertarik. Tiba-tiba, bayangan saat kecelakaan itu kembali melintas dalam ingatan Alvino. Alvino meremas rambutnya kuat.
"Aahhhh!!!" teriaknya keras, dia memukul dadanya dengan berkali-kali. "Kamu dimana? kenapa aku tidak bisa menemukanmu sama sekali? Ya Tuhan, jika memang gadis itu telah tiada, tempatkanlah dia di surgamu, namun jika dia masih hidup, aku mohon pertemukan aku dengan dia," pinta Alvino, matanya mulai berkaca-kaca. Dia benar-benar merasa bingung, apa yang harus dia lakukan agar bisa bertemu gadis kecil itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Junita Junita
kok bisa sih rania kecil msih SD lgi Alvino...?
2022-11-27
0
Otin Frankenstein Jr.
lanjut kak
2022-06-11
0
Santi Haryanti
mungkin Rania merasa tidak pantas untuk Alvino karna luka2 ditubuhnya itu kah 🤔
2021-11-05
0