Zahrana begitu asik memainkan ponselnya. Saat itu dia sedang chatingan dengan Muslim, adik lelakinya. Lalu obrolan mereka berlanjut sampai ke telepon.
"Bukan begitu, Mus... Kakak tidak membela siapa pun. Hanya saja, kamu lebih kecil..." Ucap Zahrana begitu lembut.
Jadi, jika Muslim lebih kecil, maka Muslim harus mengalah? Begitukah?
"Yaa Allah... Bukan begitu maksud kakak, Mus... Coba Mus pikir, Mus mau mendaftar untuk mengajar ke sekolah lain. Gajinya lebih besar, sekolahnya juga, dan tempatnya lebih jauh. Lalu apa salahnya jika Mus bermaaf-maafan dengan kak Rianur terlebih dahulu? Kak Zahra tahu, Mus sangat marah kepada kak Rianur. Kakak juga, Mus... Kak Zahra marah, bahkan tidak sanggup melihat wajahnya. Tapi jangan sampai kita berpecah belah seperti ini..." Ucap Zahrana berusaha mengambil pengertian Muslim.
Maaf, Kak Zahra... Mungkin kak Zahra bisa menerima dengan lapang dada. Tapi tidak untuk Mus, Kak... Sebelum dia minta maaf dan bersujud di kaki ayah dan Ibu, Mus tidak akan sudi bicara sama dia... Kak Zahra tidak di sini, jadi Kak Zahra tidak tahu bagaimana sakitnya melihat ayah dan ibu menangis tiap malam... Dia sudah membunuh ayah dan ibu secara perlahan karena perbuatannya...
"Astaghfirullah, Mus... Istighfar... Semua orang bisa saja melakukan kesalahan, termasuk Mus Sendiri. Kita itu adik-kakak, pernah merasakan hidup di dalam rahim perempuan yang sama. Kita itu satu ayah, satu ibu... Tidak ada yang namanya mantan saudara kandung, Mus. Dan soal meminta maaf, bukankah kak Rianur baik-baik saja sama ayah dan ibu?"
Iya, tapi apa salahnya dia meminta maaf bersama suaminya kepada ayah dan ibu? Dia telah melakukan kesalahan yang tidak sedikit, bahkan rumah yang dibangun atas usaha ayah selama ini sampai tergadai karena ulahnya. Batasnya hanya sampai lebaran haji, Kak... Lima Bulan, dan darimana ayah dan ibu mendapatkan uang sebanyak itu? Jika tidak terbayar, maka kita akan terusir dari rumah kita sendiri...
"Mus... Mengertilah... Semua orang bisa saja melakukan kesalahan, tidak terkecuali kamu. Mungkin, hari ini kak Rianur, siapa yang tahu esok? Kamu bahkan bisa saja melakukan kesalahan yang lebih besar lagi dari apa yang telah diperbuat kak Rianur..." Tegas Zahrana.
Kakak kok jadi nyumpahin Mus begini?
"Astaghfirullah, Mus... Kak Zahra nggak ada niat buat nyumpahin, Mus... Mus guru agama... Mus kuliah, sekolah tinggi dan Mus harusnya lebih tahu itu. Sementara Kak Zahra tidak... Kak Zahra ngalah selama ini demi kalian bertiga. Asal kalian bisa sekolah, biar Kak Zahra Enggak... Tapi kenapa Mus seakan tidak mengerti tentang taqdir? Semua yang terjadi kepada kita, sudah tersurat jauh dari sebelum kita terlahir, Mus..." Zahrana terlihat kehabisan akal bicara dengan Muslim. Adik lelakinya itu tak kunjung mengerti, sementara Zahrana ingin sekali semua keadaan kembali membaik.
Dengan berdamainya mereka, mungkin pikirannya bisa sedikit lebih tenang.
Kak Zahra tidak mengerti... Maaf, Kak Zahra... Mus tidak bisa mengikuti jalan pikiran kak Zahra. Kak Zahra bersikap seolah peredam, tapi sebenarnya kak Zahra hanyalah penerkam...
Tut... Tut... Tut...
Telepon berakhir.
"Astaghfirullah hal 'adziim... Mus... Mus... Musliimmm..." Zahrana melihat layar ponselnya, dia baru menyadari bahwa telponnya dengan Muslim telah berakhir.
"Laa Ilaha Illallah..." Zahrana mendengus. Wajahnya memerah menahan amarah. Air matanya sudah menelaga, terbendung di pelupuk matanya yang sembab.
Zahrana tampak meringis kesakitan sambil memegangi perutnya.
"Adik?"
Zahrana terkejut, dengan cepat ia mengusap air matanya yang sempat jua mengalir. Dia kemudian bangkit dan menghadap ke arah suaminya itu.
"A-abang? Abang kok sudah pulang?" Tanya Zahrana gugup.
"Assalamu'alaikum, Adik..." Ucap Ajis.
"Wa'alaikumussalam, Abang..." Sahut Zahrana tampak bingung.
"Maaf, Abang mengejutkan Adik. Tapi Abang sudah berkali-kali mengetuk pintu, dan mengucap salam. Namun tidak ada jawaban. Abang pikir Adik keluar, makanya Abang pakai kunci duplikat untuk membuka pintu, tapi rupanya pintu malah tidak terkunci. Terpaksa Abang menyelonong saja masuk ke dalam rumah." Ujar Ajis.
"Ma-maafin Zahra, Abang... Zahra tidak dengar..." Ucap Zahrana merasa bersalah. Dia begitu ketakutan jika seandainya suaminya itu mendengar percakapannya dengan Muslim lewat telepon tadi.
Ajis tidak menjawab, dia malah langsung merengkuh tubuh Zahrana dan memeluknya dengan sangat erat. Ajis seakan tahu bahwa istrinya itu sedang ada masalah.
"Ada apa, Adik? Kenapa Adik terlihat begitu sedih, hmm?" Tanya Ajis pelan dan lembut.
"Ti-tidak ada apa-apa kok, Bang..." Sahut Zahrana masih berusaha menyembunyikan permasalahannya dari suaminya itu.
"Semua permasalahan Abang, Adik ketahui... Adik peredam kepedihan Abang. Tapi kenapa Abang tidak boleh tahu permasalahan Adik? Apa Abang tidak ada artinya bagi Adik?" Sesal Ajis seolah kecewa dengan sikap bungkamnya Zahrana.
"Bu-bukan begitu, Abang..." Sahut Zahrana merasa bersalah.
Ajis mengeluarkan tubuh Zahrana dari dalam dekapannya. "Lalu ada apa?"
"Ta-tadi, Zahra teleponan dengan Muslim..."
"Lalu?"
"Muslim bilang, kak Rianur pindah dari rumah... Kak Rianur bersama keluarga kecilnya ngontrak di desa sebelah, Bang..." Tutur Zahrana.
"Kenapa? Apa ada masalah?" Tanya Ajis begitu terkejut mendengar Zahrana.
"Muslim dan Kak Rianur ada cekcok sedikit, Bang... Maklum, adik-kakak. Nanti mereka juga baikan lagi..." Tutur Zahrana tanpa memberitahu alasan yang sebenarnya kepada suaminya itu.
"Kok mereka bisa sampai cekcok? Maaf, Abang bukannya mau ikut campur. Memangnya permasalahan mereka apa? Mana tahu kita bisa carikan solusinya..." Ujar Ajis ikut panik.
Tidak bisa, Bang... Kita tidak bisa carikan solusi buat kak Rianur untuk sekarang...~ Batin Zahrana. Air matanya semakin menderas menatap wajah suaminya itu.
"Adik?" Ajis sedikit mengguncang tubuh Zahrana yang tampak mematung di hadapannya.
"Nggak apa-apa, Bang... Nanti mereka baik sendiri. Udah sering begitu kok, Bang... Nanti Muslim rindu Faiz dan Faiza, dia bakal nyariin kak Rianur lagi. Kita nggak usah pusingin mereka." Ujar Zahrana beralasan.
"Tapi, Dik..."
^^^"Oh ya, gimana hari ini, Bang? Abang sudah dapat pekerjaan?" Zahrana berusaha mengalihkan pembicaraan.^^^
Ajis menghela napas berat. "Alhamdulillah, Dik... Dulu Abang yang menjadi pemilik kios, besok Abang hanya sebagai pekerja di kios lain..." Ucap Ajis.
"Alhamdulillah, Abang... Mudah-mudahan, dengan ini kita bisa kumpulin uang buat buka usaha lagi nantinya. Dan Zahra akan lebih giat lagi nulis novel di rumah..." Tutur Zahrana.
"Iya, Adik... Terima kasih Adik sudah meringankan beban Abang..." Ucap Ajis sembari mengelus lembut kepala Zahrana.
"Sama-sama, Abang..."
"Oh ya, tadi Abang lihat Adik kesakitan sambil memegang perut. Apa perut Adik sakit?" Ajis kembali ingat kondisi istrinya saat ia pulang tadi.
"Oh... Emm... Zahra juga nggak tahu, Abang... Mungkin karena Zahra mau halangan kali ya..." Ujarnya juga tampak bingung.
"Memangnya begitu?"
"Dulu sih nggak, akhir-akhir ini saja..."
"Apa kita periksakan ke dokter?"
"Tidak usah, Abang... Nanti saja pas kita sudah ada uang, biar kita bisa sekalian periksakan yang waktu itu pernah kita rencanakan..." Ujar Zahrana mengelak.
"Tapi, bener Adik tidak apa-apa?" Tanya Ajis sambil mengelus perut Zahrana.
"Yaa Allah... Kok jadi enakan ya, kalau Abang elus begitu?" Ucap Zahrana kesenangan.
"Memang begitu?"
"Iya, Abang... Beneran... Nanti kalau perut Zahra sakit lagi, Zahra minta dielus saja sama Abang ya..." Ujarnya.
"Iya..." Sahut Ajis sembari mengecup dahi Zahrana.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Jafisa98
lah nih bocah. guru agama tapi gk percaya taqdir Allah.
nah emosikan aku nih😂
2022-05-29
0
Jafisa98
gemes yaah. kalo aku juga bisa emosian nih. kebetulan 4 bersaudara juga nih hehe. semoga kami bersaudara saling baik saja gk aneh-aneh🙏
2022-05-29
1
Qiza Khumaeroh
smoga aja bukn skit
2021-12-11
0