Delima
Adel
"Richard. Panggil aja Icad." laki-laki itu mengulurkan tangannya.
"Delima. Panggil aja Adel." aku menyambut uluran tangannya seraya menyebutkan namaku beserta nama panggilannya.
"Nah akhirnya aku berhasil mengenalkan kalian berdua ya." Maya yang sedang mengenakan gaun pernikahannya melepaskan dengan paksa tanganku dan Richard yang saling berjabat.
Aku hanya bisa tersenyum melihat ulah sahabatku tersayang itu. Di hari bahagianya masih sempat memperhatikan dan memikirkanku. Maya memang berbeda. Maya lah yang benar-benar tulus menyayangiku.
Maya memang sudah beberapa kali mengatakan kalau akan mengenalkanku dengan Kakandanya. Bukan kakak kandung Maya pastinya karena kalau Kak Rian dan Kak Anton aku sudah kenal.
Dan laki-laki yang bernama Richard itu...
Benarkah Ia tidak mengenaliku?
Apa aku segitu tidak dapat dikenali?
Aku langsung mengenali Richard sejak pertama kali melihatnya. Penampilannya tak berubah sejak beberapa bulan lalu. Yang terpenting adalah sorot matanya. Aku tak pernah lupa dengan sorot mata itu.
Aku turun dari singgasana pernikahan Maya dan Leo dan berniat mengambil segelas air mineral, namun aku sadar kalau sejak tadi ada sepasang mata yang terus melihatku.
"Dut! Sama siapa kesininya?" agak kaget saat bahuku ditepuk. Apalagi kebaya yang kukenakan ini bagian pundaknya hanya ditutupi tile tipis dan payetan. Jadi secara tidak langsung tepukan tangannya mengenai kulitku langsung.
"Eh... Kak Rian. Eng... Enggak kok. Sama..." aku mencari duo ibu-ibu yang heboh sejak tadi diperjalanan. Mereka tengah asyik joged dangdut tanpa memikirkan umur mereka yang tak lagi muda.
"Itu! Bu Sri dan Bu Jojo!" aku menunjuk ke arah sahabat Maya yang kini mengambil Mic dari penyanyi dangdut dan ikut menyumbangkan suara.... sembernya.
Kak Rian terlihat menyunggingkan sebelah senyumnya. Hal yang jarang kulihat. Karena aku tahu Kak Rian adalah Kakaknya Maya yang selalu berwajah murung dan jutek tentunya.
"Jangan kebanyakan gaul sama mereka. Tuh efeknya jadi kayak Maya!" Kak Rian menunjuk adiknya yang tengah tersenyum menyambut tamu yang datang. Cantik, meski sedang hamil malah terlihat lebih cantik lagi sahabatku itu.
"Bagus dong. Tuh buktinya Maya malah jadi bahagia. Berarti berteman dengan mereka membawa kebaikan buat Maya. Siapa tau aku juga kecipratan kebaikannya juga." jawabku.
"Iya kalau kecipratan yang baiknya. Kalau kayak gitu masih dibilang baik?" Kak Rian menunjuk ke arah Duo Julid yang sedang joged kayang.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku melihat ulah kedua sahabat Maya tersebut. Berjalan melipir dan menjauh pura-pura tak melihat dan tak kena lebih baik.
Aku berjalan menuju gubukan dan mengambil dimsum. Makanan yang menurutku rendah lemak. Aku sebenarnya naksir dengan menu prasmanan yang ada semur jengkolnya namun aku harus menolaknya.
Godaannya besar. Nasi sepiring tak akan cukup jika dimakan dengan semur jengkol. Apalagi ada ikan pesmol juga. Bisa lupa sama diet aku nantinya.
Kuputuskan memakan dimsum saja. Makanan yang dikukus katanya lebih sedikit mengandung lemak. Nanti sia-sia dietku jika aku makan banyak lagi.
Ya, aku memang terlahir semok dan montok. Sejak kecil aku biasa diledek karena tubuhku yang lebih gendut dibanding teman sebayaku, termasuk Maya.
Maya dan keluarganya adalah teman dan tetanggaku saat kami menetap di kampung karena pekerjaan Bapak. Namun saat pekerjaan Bapak kembali dipindahkan maka aku dan keluarga juga harus pindah.
Seperti sebuah takdir, aku bertemu lagi dengan Maya saat kami kuliah. Saat sedang ospek aku menatap cewek cantik yang seperti kebingungan apa yang harus dilakukan.
Maya memang seperti itu, agak oon tapi baik hati. Aku menghampirinya dan langsung mengenali teman masa kecilku itu. Namun tidak demikian dengan Maya.
"Maya ya?" tebakku.
Maya menatapku bingung sambil mengernitkan keningnya. "Kok tau? Memangnya ada tulisan namanya ya? Sebentar aku lihat dulu, nama kamu ditulis dimana?"
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat ulahnya. Meskipun ditulis di name tag kan hanya nama samaran saja. Masih oon rupanya tapi aku suka. Aku menyebutnya oon yang cantik.
"Kamu lupa sama aku?"
Aku biarkan Ia berpikir sejenak dan mencoba mengingat siapa diriku. "Hmm... Kamu.... Siapa ya? Maaf aku lupaan orangnya he....he....he...."
"Delima. Aku Delima."
Masih saja Maya berusaha mengingat namun tak bisa juga. "Adel. Kakak kamu biasa panggil aku Pome atau Ndut. Inget gak?"
"Kakak aku maksudnya Kak Rian?" tiba-tiba Maya menepuk keningnya. "Ya ampun.... Kamu Adel? Adel anaknya Pak Hartono? Kamu temen aku waktu kecil?"
Aku tersenyum mendengar rentetan pertanyaan yang keluar dari bibir manisnya. Bisa dibilang akulah pemuja Maya. Apapun yang Maya lakukan terlihat istimewa di mataku. Apapun itu....
Aku mengangguk. Lalu Maya loncat-loncat kegirangan dan memelukku. Setitik air mata ada di pelupuk matanya. Membuatku merasa hangat dan dirindukan.
Lihat kan betapa aku sangat menyayangi manusia berhati malaikat ini? Aku memeluk balik Maya dan menepuk punggungnya pelan. Hal yang biasa aku lakukan kalau Maya menangis karenaku.
Lamunanku tentang Maya harus terhenti kala Kak Rian yang kupikir tidak mengikutiku malah berdiri di sampingku sambil mengambil dimsum seperti yang kulakukan.
"Enggak makan nasi, Dut? Ada semur jengkol tuh! Enggak usah malu. Biasanya doyan banget." Kak Rian tak pernah berubah sejak dulu. Seenaknya saja memanggilku Dut atau Pome. Dan satu lagi, kata-katanya kadang pedas dan tak mengenakkan. Meski kutahu Ia baik dan aku.... menyukainya.
"Enggak, Kak. Makasih." aku tak mau banyak berkata-kata. Katanya kalau jarang bicara bisa terlihat misterius.
Aku merasa dimsum yang disajikan terlalu banyak. 4 buah perporsi. Mungkin bagi sebagian orang tidak banyak, namun tidak denganku. Perutku terasa mual.
"Kak aku numpang ke kamar mandi ya." aku meninggalkan Kak Rian dan berjalan masuk ke dalam rumah Maya.
Tak banyak perubahan di rumah Maya sejak terakhir kali aku kesini. Rumah yang besar dan rapi. Hari ini agak berantakan karena suasana yang hectic karena sedang pesta.
Aku menuju kamar mandi yang terletak di lantai 1. Kamar mandi yang biasanya untuk umum. Tak kulepas sandal yang kupakai. Banyak yang bolak-balik tak pakai sandal, pasti lantainya kotor.
Saat aku hendak masuk, aku bertabrakan dengan seseorang yang baru saja hendak keluar kamar mandi.
"Ups... Maaf." aku mengangkat pandanganku dan melihat ternyata Richard yang kutabrak. Ia yang meminta maaf duluan padaku.
Perutku terasa makin mual. Tak menjawab permintaan maaf Richard dan masuk ke dalam kamar mandi lalu...
Aku memasukkan jari telunjukku ke dalam tenggorokkan dan membuat semua makanan yang kumakan berhasil kumuntahkan.
"Uweeeekkk.... Uweeeekkkkk...."
Air mata menetes saat aku memuntahkan semuanya. Dan aku baru bisa bernafas lega saat isi perutku kurasa sudah kosong.
Kubersihkan tangan dan mulutku lalu merapihkan make-up yang sempat kena air mata dengan tissue yang kubawa. Masih rapi. Enggak usah touch up lagi.
Aku membuka pintu kamar mandi dan agak kaget karena ternyata Richard menungguku di depan pintu. Kedua tangannya terlipat di dada.
"Er... Kamu mau ke kamar mandi?" tanyaku sambil menunjuk pintu kamar mandi yang kini terbuka.
"Enggak. Mau nungguin kamu."
"Nungguin aku? Ada apa ya?" aku menunjuk diriku sendiri.
"Ke depan yuk!" tanpa babibu Richard menarik tanganku dan mengajakku ke depan.
"Makan lagi!" tunjukknya ke arah meja prasmanan.
Aku menggelengkan kepalaku. "Enggak. Masih kenyang." tolakku halus.
Wajah Richard seakan tak bisa menerima penolakan. Aku melihatnya masih menahan rasa sabar. Namun wajahnya yang memerah berkata lain.
"Er... Aku nanti... ngemil aja. Masih kenyang." kataku beralasan.
Makin merah saja wajah Richard. Aku tahu Ia tak suka dengan penolakanku.
Suasana menjadi canggung. Tak kusangka Richard orangnya sekeras kepala itu. Atau aku yang memang belum mengenalnya?
"Cat, kamu dipanggil tuh!" Kak Rian tiba-tiba datang dan menepuk bahu Rian. Menunjuk ke mertuanya Maya yang terlihat memanggil Richard.
Namun Richard tak bergeming. Ia tetap menatap tajam ke arahku. Kak Rian sepertinya sadar apa yang sudah terjadi.
"Hmm... Kalian saling kenal?" Kak Rian menunjukku dan Richard bergantian.
"Enggak." jawabku.
"Iya." jawab Richard.
"Yang bener yang mana nih?" tanya Kak Rian lagi.
"Enggak." aku memegang teguh perkataanku.
"Iya." Richard juga sama keras kepalanya.
"Hmm... Terserah lah ya kalian saling kenal atau tidak. Tapi yang pasti kamu sejak tadi dipanggil, Cat. Sepertinya penting." Kak Rian menunjuk lagi ke arah mertuanya Maya yang memanggilnya.
Tanpa berkata apapun Richard pergi meninggalkan aku dan Kak Rian.
"Kamu kenal sama dia?" masih penasaran rupanya.
"Enggak." jawabku pendek.
"Tapi kok dia kayak kenal sama kamu?"
"Memangnya kenapa? Mungkin aja dia kenal aku, tapi aku enggak kenal." jawabku acuh.
*****
Richard
Aku tak mungkin salah mengenali seseorang. Aku bukan pelupa dan hilang ingatan yang tidak bisa mengenali orang yang begitu berkesan saat pertama kali kami bertemu dulu.
Adel. Cewek yang selama ini sering disebut oleh Maya. Cewek yang selama ini ingin Maya jodohkan denganku atau dengan kakaknya, Rian. Yang nggak pernah aku tahu seperti apa wajahnya.
Cewek itu datang dengan mengenakan kebaya yang berwarna pink dan rok batik selutut. Dandanannya sederhana, namun terlihat enak dipandang.
Aku sedang mengangkat telepon ketika melihat Ia turun dari mobil yang dikendarainya. Sebuah sedan berwarna hitam.
Perhatianku langsung teralihkan dan melihat ke arahnya. Bukan karena Ia yang terlihat cantik saat keluar dari mobil, melainkan karena Ia datang bersama kedua sahabatnya Maya. Sahabat yang Maya bilang sangat seksi ternyata bokis semata.
Kedua ibu-ibu kecentilan itu langsung joget mendengar musik dangdut. Mereka masuk ke dalam dan Adel mengikuti di belakangnya.
Aku penasaran. Aku yakin kalau aku mengenal dia. Dengan perlahan Aku berjalan mendekati meja berisi air mineral.
Berlagak bak superhero yang perhatian dengan keluarganya, aku mengambil 6 gelas air mineral beserta sedotan lalu naik ke atas singgasana pelaminannya Maya.
"Ma, minum dulu." aku memberikan minum pada Mama dan Papa sambil mataku tak lepasnya melihat ke arah Adel dan Maya yang sedang mengobrol akrab.
Maya dan Adel terlihat tersenyum bahagia. Layaknya seorang sahabat. Sahabat dekat.
Maya pun melihat ke arahku. Sambil berakting memberikan Maya minum aku diperkenalkan dengan Adel. Tepat dugaanku, nama aslinya adalah Delima.
Kami pun berkenalan. Yang membuat aku kecewa ternyata Adel tidak mengenaliku. Adel lupa denganku. Atau mungkin Adel sedang berpura-pura lupa?
Oke, kalau Ia memang pura-pura lupa denganku maka aku akan berbuat hal yang sama. Mungkin pertemuan kami waktu itu tak berkesan dengannya.
Adel kulihat mengobrol dengan Rian sangat akrab. Apa memang Ia menyukai Rian? Apa aku sudah kalah langkah dari Rian?
Kurasakan mataku sedikit mengantuk, lebih baik cuci muka dahulu agar kembali segar. Semalam aku begadang menyiapkan pesta pernikahan adikku Leo dan Maya.
Setelah mencuci muka aku kembali segar, namun saat aku keluar kamar mandi aku ditabrak Adel. Aku yang meminta maaf tapi Adel terlihat tidak baik-baik saja dan masuk ke dalam kamar mandi tanpa mengucap sepatah kata pun.
Aku sengaja menunggunya di depan pintu kamar mandi. Aku mendengar suara muntah-muntah, aku hendak bertanya apa Ia baik-baik saja namun sepertinya tak pantas.
Aku masih menunggu dengan cemas sampai Ia keluar kamar mandi. Aku bertekad jika dalam 5 menit Ia tidak keluar juga maka aku akan mengetuk pintu kamar mandi dan menanyakan bagaimana keadaannya.
Tak lama pintu kamar mandi terbuka. Ia terlihat baik-baik saja. Tunggu, aku menyadari sesuatu. Apa Ia sengaja memuntahkan makanannya? Apakah itu alasannya Ia begitu kurus dibanding terakhir kali kami bertemu?
Aku tau dari tatapannya kalau Ia menyadari kecurigaanku. Seakan ingin menjawab iya atas apa yang Ia pikirkan kalau aku tau apa rahasianya, aku memilih menarik tangannya dan membawanya ke meja prasmanan.
Aku menyuruhnya untuk makan lagi. Ia menolak. Kami berbeda pendapat saat Rian datang dan memberitahu kalau Mama memanggilku.
Aku masih acuhkan panggilan Mama. Berharap Adel mau makan sesuai keinginanku. Namun Ia ternyata gadis yang keras kepala.
Aku kesal dan memilih memenuhi panggilan Mama daripada melihat sifat keras kepalanya. Entah itu kepala atau batu.
Apa Ia pikir dengan merubah penampilannya aku tidak akan mengenalinya? Tidak. Jangan lupakan aku adalah si pintar Richard. Peraih medali sains tingkat nasional.
Aku akan mencari tahu ada apa dengannya. Tentunya setelah memenuhi ngidam Mama. Ya, Mamaku sedang hamil muda. Dan aku adalah kakak yang sayang adik. Apapun keinginan ngidam Mama akan kuturuti jika aku sanggup.
Nanti Del.....
Bukan hari ini....
Tidak di hari spesial adikku.
Jangan harap kamu akan lepas dariku lagi. Jangan sebut namaku Richard jika aku tidak bisa membuat kamu mengingat aku lagi.
Kamu tak akan bisa bersembunyi dariku dengan merubah penampilanmu. Kamu Delima yang kukenal beberapa bulan lalu. Bagiku kamu tak berubah, kamu tetap Delima yang sama. Aku akan mengingatkanmu jika kamu lupa tentang.... kita.
*****
Hi semuanya....
Selamat bergabung di kisah Adel ya. Agar lebih seru baca CINTA SETELAH PERCERAIAN dulu ya baru lanjut kisah ini.
Aku tunggu like, komen dan vote untuk novel ini ya. Adel yang berbeda dengan Maya. Adel yang memiliki permasalahannya sendiri. Tetap ikutin novel ini ya.... #pelukhangat#
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Elsi 🌻
bulimia..
2024-09-04
0
Gamar Abdul Aziz
Masi nyimak
2024-08-31
0
lisna
lanjut k sni hbz baca Maya ma leo
2023-11-27
0