Adel
Ya ampun Adel... Kalau ngomong tuh dipikir dulu. Ini seenaknya aja kalau ngomong. Enggak mikir efeknya.
Oon mah kira-kira Del...
Adel bodoh....
Oon...
Entah bagaimana lagi aku merutuki diriku sendiri. Merutuki kebodohan yang baru saja kulakukan.
Gimana enggak bodoh coba, asal aja nyebut Richard sebagai calon suami. Membuat Richard tiba-tiba tersentak kaget dan menatapku dengan penuh harap.
Ah... Apa aku malah membuat Richard semakin berharap?
Ah... Malu...
Harus bagaimana ini?
"Wah kamu juga udah punya calon ternyata, Del. Kirain masih belum move on dari aku, atau masih suka sama first love never die kamu yang namanya Rian he...he...he..." ledek Pandu.
Sebenernya si Pandu ini pengen aku tinju langsung ke mukanya. Enggak ada empatinya sama sekali. Enggak mikirin kalau udah pernah bikin patah hati aku sampai badan aku makin gendats aja.
"Ya... Enggaklah. Move on dong. Masa sih masih berkutat di masa lalu aja." kataku sok kuat. Aku melirik ke arah Richard yang sedang mengu lum senyum. Pasti mau ngetawain aku deh. Bodo ah. Sekarang waktunya keliatan sok keren di depan mantan tengil kayak gini.
"Kalo move on kok kamu kurusan begini sih Del? Padahal aku tadi sengaja pura-pura manggil kamu Ndut biar dikiran mantan pacar kamu, eh kamu enggak nengok. Apa karena sekarang kamu udah enggak gendut lagi ya jadi enggak mau nengok? Tapi kamu kayak gini keliatan cantik, Del. Kalau belum punya calon suami mungkin aku bakalan pinang kamu jadi istri kedua he...he...he..."
Ya ampun... Nyesel senyesel-nyeselnya aku pernah pacaran sama orang kayak gini. Sumpah, dulu aku tertarik karena apa ya? Karena pinter atau karena mulut manisnya?
Aku jadi malu di depan Richard. Kok kayaknya selera pacarku rendah banget kayak gini. Tipe-tipe sok kecakepan kayak gini. Hiks... Aku kayak lagi menggali lubang kubur sendiri di depan Richard. Malu...
"Enggaklah. Aku kan udah punya calon suami yang ganteng, keren, baik dan tentunya... setia. Kayak Richard ini." Aku meraih lengan Richard dan menggandengnya. Senyum lebar dan bahagia aku pasang. Biar akting meyakinkan.
Aku harus berterima kasih dan berjanji akan traktir Richard setelah ini karena Richard yang sempat bingung namun akhirnya mengimbangi aktingku dengan ikut tersenyum sambil menepuk lembut tanganku yang menggandeng tangannya.
"Iya deh yang pinter nyari pasangan. Aku pikir kamu masih galau gara-gara aku dan Reya menikah. Membuat aku merasa bersalah aja." ini lagi. Bilangnya merasa bersalah, tapi kok nada bicaranya rada pamer gitu. Situ mau nunjukkin rumah tangga situ yang hampir tiap tahun berojol melulu? Hellowww.... Enggak iri say... !!!
"Enggak usah merasa bersalah kali, Du. Aku malah bersyukur. Putus dari kamu dan mengenal Babang Icad yang baik hati ini. Aku jadi bisa merasakan jadi wanita yang dicintai seutuhnya. Belum lagi Richard tuh tipikal cowok romantis banget. Suka ngasih kejutan. Kesukaan aku banget. Mungkin udah takdirnya kali ya kita pisah dengan cara kayak gitu. Sekarang malah aku sangat bersyukur."
Inget, orang sombong sekali kali harus dibales dengan kesombongan yang lebih lagi. Karena kalau terus sombong, Ia akan naik level jadi congkak lalu pongah!
"Sst... Sayang. Enggak boleh gitu ah. Aku kan lagi belajar mencintai kamu lebih dan lebih lagi."
Glek... Aku bahkan sulit menelan ludahku. Kenapa Richard jadi ikut-ikutan nambahin kayak gini ya? Er... Biarin aja deh.
"Enggak perlu. Aku udah kelebihan cinta dari kamu loh." terpaksa aku menimpali lagi. Padahal mah aku agak geuleuh mengatakannya.
"Wow... Kalian beneran lagi di mabuk asmara ya. Hati-hati kelepasan. Cepetan di halalin deh. Enak loh. Jangan kayak aku. Udah ya aku dipanggil istriku tuh. Nanti undang ya kalau kalian nikah, aku akan datang!"
Pandu pun meninggalkanku dan Richard yang berdiam diri. Saling memandang dan.... ha...ha...ha...
"Ha... ha... ha... Gila ya akting kita jago banget." aku tertawa bahkan sampai meneteskan air mata.
"Akting aku juga jago kan? Kamu liat enggak mukanya yang tengil itu. Ih sok kegantengan banget!" Richard juga ikut tertawa.
Aku pikir aku dan Richard akan menjadi canggung saat Pandu pergi. Ternyata kami malah menertawakan kejadian barusan.
"Ayo aku traktir kamu! Berkat akting kamu yang natural, Pandu akhirnya nyadar diri kalau dia bukan the o**ne yang paling keren sedunia."
"Aku enggak akting. Itu beneran kok. Makanya natural." jawaban Richard membuatku tersipu malu.
"Mulai deh.... Udah ayo kita cari cemilan. Aku jadi lapar nih kalau bahagia. Beli apa ya? Itu aja deh, dimsum." aku menunjuk penjual dimsum dengan panci kukusannya yang besar sedang ramai diserbu pembeli. Tertulis tulisan diatas tendanya 10 ribu 4 pc.
"Hmm....Beli siomay aja. Enggak begitu ramai! Sama-sama dikukus dan ada sayurannya. Kamu makan enggak perlu worry dan mikir harus dimuntahkan lagi. Gimana?"
Saran yang bagus. Boleh juga. Enggak kepikiran kayak gitu aku. Yang penting makan enak, seenaknya di lidah lalu dimuntahin biar enggak ada yang masuk di tubuh.
"Yaudah aku ikut aja."
Kami pun memesan siomay. Aku memilih telur, kol, pare, kentang dan siomay tentunya. Kami duduk di tempat yang disediakan.
"Makannya pelan-pelan ya. Dinikmatin. Kunyahnya yang lama. Takut kamu mual." nasehat Richard.
"Iya." jawabku sambil mengunyah makananku pelan dan dinikmati.
"Tadi mantan pacar kamu saat kuliah dulu? Lama pacarannya?" Richard kembali bertanya tentang Pandu. Aku sudah menduganya kalau Ia masih penasaran.
"Iya. Lumayan lama. Hampir 2 tahun."
"Kok putus?"
"Karena dia hamilin Reva."
"What? Really?"
"Hem." jawabku pendek.
"Cerita dong!"
"Ogah."
"Ih gitu. Tadi aku udah cerita tentang masa lalu aku. Gantian dong!"
"Malu tau."
"Malu kenapa?" Richard menghabiskan air mineral yang tadi Ia beli lalu memesan yang baru. "Mau minum lagi?"
"Enggak usah, masih ada."
"Ayo dong cerita. Seru kayaknya."
"Sok tau!" cibirku.
"Ya tau lah. Dilihat dari ekspresi kamu yang enggak mau kalah bahagia dari dia tuh menunjukkan kalau ada masa lalu yang seru untuk diceritakan." tebak Richard sok tau.
"Ish... Siapa bilang aku enggak mau kalah bahagia? Aku bahagia kok. Aku malah bersyukur enggak jadi sama dia. Kalau aku sama dia... iyuuuhhh... ikut jadi alay kali."
"Tuh kan kelihatan banget enggak mau kalahnya. Makin bikin aku penasaran. Hmm... Kita mulai dari kamu kenal dulu sama si Pandu itu dimana?"
"Kenal di kampus. Satu kelas dari semester satu."
"Terus?"
"Ya terus saling kenal. Kerja kelompok bareng." aku meminum air mineral untuk membasahi kerongkonganku yang kering.
"Apa yang buat kamu dulu suka sama dia?" aku menatap Richard sebal. Karena membuat aku jadi teringat kalau aku sangat menyesal penah menyukai Pandu dulu.
"Aku dulu suka sama Pandu karena dia anak perantauan yang mandiri. Terus anaknya juga pinter. Aku dulu mikirnya Pandu itu kayak Superman yang bersembunyi dibalik kaca matanya."
"Superman apa kayak gitu? Heh Malih, Superman itu dari pakai kaca mata aja udah ganteng, pas dibuka juga ganteng. Tuh anak mau pakai kaca mata kuda juga kalah ganteng dibanding aku!" ujar Richard sedikit menaikkan intonasi suaranya.
"Dih kesel! Memang siapa yang bandingin kamu sama dia? Sekarang kamu pake ikutan nyebut-nyebut Malih lagi kayak aku sama Maya. Itu kan kata sakti aku dan Maya!"
"Ya kamu bandingin dia sama Superman. Jauh. Kalo sama Suleman baru agak deketan!" gerutu Richard lagi.
"Ya jangan samain sama Sule juga kali. Sule mah biar kayak gitu tapi kaya dan sukses. Tuh orang kan enggak."
"Kenapa jadi bahas Sule?"
"Kan kamu yang pertama nyebut Suleman?"
Richard menghela nafas kesal. "Oke. Lanjut. Tadi sampai mana?"
"Masih mau lanjut nih?"
"Iyalah. Mana enak cerita setengah-setengah gitu?!"
"Yaudah biasa aja enggak usah ngegas. Slow!" Aku menaruh sendok ke piring siomay yang sudah kosong. Akhirnya aku bisa makan tanpa harus merasa mual.
****
Richard
Ternyata mudah untuk mengalihkan pikiran Adel dari rasa mual untuk muntahnya. Cukup mengajaknya mengobrol lalu Ia akan memakan sarapannya dengan pelan, tenang dan akhirnya habis satu porsi tanpa merasa mual.
Bukan tanpa sebab aku mengajaknya mengobrol sejak tadi. Aku tuh penasaran banget siapa Pandu? Aku bisa melihat dari sudut mata Adel yang terlihat begitu terluka saat melihat Pandu.
Tatapannya semakin menggelap dan terlihat kesedihan didalamnya manakalah Pandu menunjuk ke arah istrinya yang hamil sedang menuntun anak kecil di sampingnya.
Aku menduga kalau di antara mereka ada sebuah kisah yang sengaja dikubur dan ditutup dengan rapat oleh Adel. Tanpa ada yang tahu, seperti sikap Adel yang tertutup.
Jangan sebut aku Richard kalau aku nggak bisa mengorek keterangan sampai ke akarnya. Awalnya kami mengawalinya dengan berdebat kecil. Tapi perlahan aku mulai masuk ke intinya dan berhasil membuat Adel menceritakan tentang masa lalunya dengan Pandu.
Another stories from Adele bukan hanya kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan dengan Kak Rian. Tapi kisah lain dalam hidupnya yang nggak kalah membuat aku tercengang. Kisah yang membuat Ia menjadi pribadi yang semakin tertutup dan penuh dengan luka di hati.
"Pandu itu dulu baik banget sama aku. Mau ngasih contekan tugas maupun kisi-kisi ujian. No hard feeling, aku cuma mikir kita temenan, tapi Pandu itu perhatiannya beda. Terutama terhadapku,"
"Kami mulai saling mengenal saat harus kerja kelompok membuat materi presentasi yang bahannya harus dicari di perpustakaan negara. Pandu yang anak perantauan dengan uang jajan terbatas dan aku dengan uang jajan yang agak lumayan tapi tetap aja masih naik angkutan umum. Kami berdua pergi ke perpustakaan negara,"
"Pulang dari perpustakaan negara, kami mampir dulu ke daerah Kwitang. Mencari buku cerita atau buku apapun yang sekiranya murah di pasar buku bekas tersebut. Aku ingat kita mengambil buku yang sama, yakni buku tentang petualangan Lima Sekawan. Ternyata selera kami sama. kami pun membicarakan tentang isi buku tersebut, karena merasa nyambung dan clock, hubungan kami pun terus berlanjut sampai akhirnya kami memutuskan untuk berpacaran."
Aku mendengarkan cerita Adel dalam diam. Ada rasa enggak rela saat tahu kalau Adel pernah berpacaran dengan cowok kayak gitu. Tapi aku menahannya dan terus mendengarkan cerita Adel sebagai pendengar yang baik.
"Lalu masalah mulai datang. Aku dengar keluarganya Pandu mengalami kesulitan keuangan karena gagal panen. Pandu mulai tersendat mendapat kiriman uang dari orang tuanya. Dulu Maya udah nikah sama Leo jadi teman akrabku satu-satunya ya Pandu,"
"Pemilik kostan Pandu adalah Mamanya Reya. Sejak awal Reya memiliki ketertarikan dengan Pandu, hanya melihatku selalu menempel dengan Pandu, Ia hanya bisa diam. Tapi hati orang siapa yang tau, ternyata di belakangku Reya berusaha menggoda Pandu. Namanya kucing melihat ikan asin, pasti lama-lama tergoda."
"Belum tentu. Kalau ikan asinnya enggak enak pasti enggak bakal tergoda." celetukku tak terima sebagai kaum lelaki disamakan seperti itu. Yang salah kan hanya sebagian, bukan keseluruhan dari kaum lelaki.
"Ish... Udah jangan kebanyakan protes. Mau dilanjutin enggak nih ceritanya?"
"Enggak usah. Udah ketebak. Pandu terus hamilin Reya kan dan akhirnya meninggalkan kamu?" tebakku. Bosan ceritanya kayak gitu melulu, kayak cerita di novel yang isinya nikah kontrak melulu. Makanya beli dong biar enggak ngontrak melulu!
"Tuh udah tau. Enggak usah capek-capek aku cerita panjang lebar sama kamu."
"Yaudah sekarang cerita keadaan kamu saat ditinggal Pandu gimana? Patah hati dong pastinnya?"
"Iyalah. Meskipun bukan cinta pertamaku, tapi Pandu itu pacar pertamaku. Banyak kenangan indah kami bersama."
"Kenangan apaan? Cuma naik angkot ke perpus terus pulangnya beli buku bekas segitu berkesannya? Lebih berkesan juga kenalan kita di Surabaya dulu. Lebih banyak kenangannya!" cibirku.
"Ih yang punya kenangan aku, kenapa kamu yamg protes?"
"Ya habis kamu tadi ngeliatnya kayak nelangsa aja gitu. Kirain kenangan sama dia sampai dalem banget. Segitu aja dibaperin. Enggak pantes tau. Emang tuh cowok aja enggak modal, sengaja pacarin anak pemilik kost biar enggak bayar kostan. Mokondo!"
"Apa tuh Mokondo?"
"Cari sana di Mbah Google. Jangan nanya melulu. Ayo kita jajan lagi." aku mengeluarkan selembar uang seratus ribu lalu membayar pesanan kami.
"Kok kamu yang bayar sih? Kan aku janji kalau mau traktir kamu?!"
"Nanti aja traktirnya. Ayo kita berburu jajanan lagi."
Aku menarik tangan Adel karena di luar mulai banyak orang yang berdatangan. Takut terpisah. Kami membeli kerak telor lalu aku mengajaknya mengambil mobilku di apartemen.
Apartemenku terletak tak jauh dari Bundaran HI. Cukup berjalan kaki sebentar lalu sampai. Apartemen yang dulu Papa berikan sebagai kado atas prestasiku mendapat nilai cum laude.
"Ini apartemen siapa?" tanya Adel yang masih takjub dengan kemewahan apartemen ini.
"Aku."
"Beneran?"
"Iya. Sebentar aku ambil kunci mobil dulu diatas."
Kami pun menaiki lift dan berhenti di lantai apartemenku. Definisi benar-benar hanya ambil kunci lalu keluar lagi.
Kami lalu turun ke basement untuk mengambil mobilku. Mobil Ferrari warna merah kesayanganku.
Kulihat mata Adel membulat sempurna melihat salah satu koleksi kesayanganku. "Wow... Ini punya kamu?"
"Yup."
"Beneran?"
"Iyalah. Maaf ya aku bukan kucing garong yang ngeliat ikan lalu ngiler. Aku tuh kucing Persia yang hobinya makan ikan salmon." aku tersenyum congkak. Membuat Adel ikut tersenyum juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Ei_AldeguerGhazali
Ngakak 🤣 bener bgt ya bang icad
2025-01-02
1
ani surani
sama dong dgn aku. aku dylu ngekost trs ama ibu yg punya kost dijodohin dgn anaknya 🤣🤣🤣
2024-11-08
0
pink magenta
ngakak bet🤣🤣🤣
2024-05-26
1