Richard
Tarik...ulur....
Tarik...ulur....
Sejak tadi aku berusaha menerapkan ilmu yang Leo berikan. Ilmu tarik ulur.
Agak sulit menurutku. Aku tipikal yang to the point . Enggak suka pakai cara muter-muter. Enggak sabaran.
Ternyata usahaku membuahkan hasil. Melihat Adel yang banyak ingin tahu saja udah peningkatan. Itu tandanya Adel mau mengenalku lebih dekat.
Yang berat adalah saat aku bilang kalau aku sudah belum mencintainya. Hiks... itu bohong...
Susah sekali untuk jujur.... Aku mau bilang seperti ini, Adel I love you since i met you. Tapi karena prinsip tarik ulur jadinya harus aku tahan.
Kami kembali berjalan kaki dalam diam. Aku sudah melepaskan tangan Adel. Lagi-lagi karena teori tarik ulur yang membuatku tersiksa itu. Sabar... sabar...
"Kamu capek enggak?" beberapa tetes keringat di kening Adel sebagai bukti kalori yang sudah terbakar berkat jalan santai ini. "Mau istirahat dulu?"
"Memang kita mau jalan sampai mana? Kalau masih jauh boleh deh istirahat dulu. Kalau tinggal dikit lagi ya lanjut jalan aja."
Hmm... Sekarang kita udah..." aku melihat gedung di belakang kami yang menjulang tinggi. "Mid Plaza. Rencananya sih mau sampai Bundaran HI. Masih kuat enggak? Kalau enggak kuat, kita ke Benhill aja nyari sarapan pagi."
Adel terlihat kurang setuju saat aku menyebut kata sarapan pagi. "Sarapan itu harus. Kamu pasti belum makan sama sekali kan?"
Adel mengangguk. "Tapi-"
"Belajar untuk mencintai diri sendiri, baru mencintai aku he...he...he.."
Adel mendelik sebal dengar rayuan recehku.
"Maksudnya tuh gini, diet boleh. Tapi sesuaikan dengan diri kamu. Kasih asupan nutrisi juga ke tubuh kamu. Salah satunya dengan sarapan. Kamu makan porsi kecil aja dulu ya. Pelan tapi terarah. Biar enggak tambah rontok rambutnya."
Adel menghela nafas dan menghembuskannya dengan sebal. "Baiklah. Tapi aku mau ke Bunderan HI aja. Kita duduk sebentar untuk minum baru jalan lagi. Gimana?"
"Terserah Tuan Putri saja. Aku beliin minum dulu. Kamu mau ikut atau mau nunggu disini?"
Adel celingukan ke kiri dan ke kanan. "Disini rane kok jadi aku berani. Aku tunggu disini aja."
"Oke. Tunggu ya jangan kemana-mana!" aku pun mencari penjual air mineral yang ternyata lumayan jauh juga.
Aku berlari kecil agar Adel tak terlalu lama menungguku. Kasihan. Setelah membeli dua buah air mineral paling laris diantara merk yang lain aku kembali lagi ke depan MID Plaza.
Adel sedang duduk di trotoar sambil meluruskan kakinya. Wajahnya yang cantik terkena cahaya matahari pagi, membuat terlihat semakin bersinar saja.
"Maaf lama. Yang jualnya agak jauh." aku menyodorkan sebuah air mineral yang diterima Adel sambil menyunggingkan senyum terima kasih.
"Makasih. Maaf ya ngerepotin."
"Santai aja."
Kami pun sama-sama memandang lalu lalang orang yang berolahraga dalam diam. Aku tak suka dengan keheningan ini.
"Kita lanjutin jalan lagi yuk!" aku berdiri dan mengulurkan tanganku untuk membantunya berdiri. Meski sempat ragu tapi akhirnya Ia menerima tanganku.
Kembali aku lepaskan tangannya. Inget pesan Leo, kalau enggak inget juga akan terus aku genggam sampai ke pelaminan he...he...he...
"Kamu, beneran kakaknya Leo?" ternyata Adel duluan yang memulai percakapan.
"Iya. Kenapa?"
"Enggak mirip." Ia pun tersenyum. "Maaf."
"Enggak apa-apa. Aku memang enggak mirip sama Leo. Bukan aku yang enggak mirip. Tapi Leo yang enggak mirip. Aku mirip sama Papa. Kalau Leo mirip sama Kakek Kusumadewa."
"Masa sih?"
"Enggak percaya?"
Adel mengangguk. "Oke. Aku kasih liat buktinya ya."
Aku membuka galeri foto di Hp-ku. Mencari foto beberapa bulan lalu dan menunjukkannya pada Adel.
"Kalau gini mirip Papa enggak?"
Adel menajamkan matanya dan melihat foto yang kutunjukkan. Seakan tak percaya Ia mengucek matanya. "Ini... Beneran kamu?"
"Yap. Mirip banget sama Papa kan?"
Adel mengangguk setuju dengan ucapanku. "Mirip Papa kamu sih, tapi malah enggak mirip sama kamu."
Aku tertawa mendengar pengakuan jujurnya. "Beneran kamu tuh mirip banget sama Maya. Dulu Maya juga bilang begitu."
"Masa sih? Berarti mata aku enggak salah dong?"
"Iya. Enggak salah."
"Tapi beneran loh, kamu tuh beda banget yang di foto ini dengan yang sekarang?"
"Bedanya apa?" aku sengaja memancingnya dengan pertanyaan, agar percakapan kami terus berlangsung.
"Hmm... Apa ya? Sekarang kamu tuh lebih rapi. Lebih klimis. Apa jangan-jangan kamu operasi plastik ya ke Korea?"
"Ih nuduh. Hidung aku asli nih kalau kamu enggak percaya cubit aja." aku menarik tangan Adel lalu menyuruhnya mencubitku.
Ternyata beneran dicubit loh. "Aww! Sakit tau!"
"Lah yang nyuruh nyubit siapa? Ha...ha..."
Sekarang gantian aku nyubit hidung Adel. "Tuh gantian!"
"Aww! Ih sakit!" gantian Adel yang mengaduh kesakitan dan aku yang tertawa.
"Sekarang gimana? Udah percaya belum kalau aku tuh asli nggak ada yang di operasi plastik sama sekali?"
"Iya. Udah percaya. Tapi kenapa beda banget ya? Kayak dua orang yang berbeda?"
"Ya jelas beda lah. Itu foto aku baru keluar rehabilitasi selama 2 tahun. Wajar aja kalau beda. Sekarang pola hidup aku udah makin baik. Makin teratur. Jalanin hidup sehat. Makanya terlihat lebih awet muda dan glowing kayak kulit orang Korea. Iya enggak?"
Adel tersenyum mendengar perkataanku. "Iya. Aku percaya. Bagus dong kalau kamu hidup dengan lebih baik lagi. Itu namanya kemajuan."
Aku tersenyum getir. "Kemajuan? Aku dulu hanya menyia-nyiakan hidup dan sekarang nyadar kalau semua yang kulakukan dulu salah. Aku lebih suka menyebutnya taubat, bukan kemajuan."
"Bedanya apa?"
"Kalau kemajuan tuh kayak identik dengan laporan tertulis. Kemajuannya gimana? Tapi kalau taubat lebih spesifik lagi. Taubat tuh beneran ninggalin yang salah dan kembali ke jalan yang benar."
Adel manggut-manggut mendengar perkataanku. "Benar juga sih."
Aku harus menahan tawaku. Padahal tadi aku asal ngomong aja loh, eh malah dibilang bener sama Adel. Kayak aku paling bener aja kalau ngomong ha...ha...ha...
"Hmm... Aku boleh nanya enggak?"
Ini yang aku tunggu. Saat Adel semakin penasaran dengan siapa diriku. Bukan Adel yang acuh saja dan tak peduli.
"Boleh dong. Kalau aku bisa jawab, pasti aku jawab."
Adel terlihat maju mundur untuk bertanya. Seperti menjaga agar aku tidak sakit hati dibuatnya.
"Udah nanya aja. Aku orangnya enggak baperan kok."
"Masa sih enggak baperan? Kemarin aja pulang dari acara Maya diem aja gara-gara baper diledekkin sama keluarga kamu. Kalau bukan baperan apa dong namanya?"
"He...he... Bukan baper. Itu belum siap mental namanya. Udah ah jadi bahas aku. Tadi kamu mau nanya apa?"
"Tapi janji jangan marah ya?"
Aku memberikan jari kelingkingku. "Janji."
Adel tersenyum melihat tingkah kekanakkanku. "Janji." Adel menautkan jari kelingkingnya di jari kelingkingku. Sumpah macam anak kecil saja.
"Kamu... Udah lama terjerat narkoba?"
"Kirain mau nanya apa. Nanya itu doang toh."
"Yaudah jawab!"
"Ih enggak sabaran banget sih!"
"Yaudah enggak usah dijawab!"
"Loh malah kamu yang baperan sekarang? Iya... iya aku jawab." aku menghitung berapa kali aku membeli sabu-sabu dari Si Kalajengking itu. "Belum lama. Hanya baru beli di pengedar sekitar 10 kali kayaknya. Aku agak lupa. Soalnya pernah beli waktu lagi sakaw, jadi enggak inget."
"Wah... Sering ternyata. Aku pikir hanya sekali dua kali saja makenya." Adel tak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar pengakuanku.
"Enggaklah. Awalnya cuma nyoba beli sejuta. Ternyata pas make eh enak juga. Lebih enak daripada mabuk alkohol. Murah dan lebih ngefly. Pas habis beli lagi. Eh enak juga. Tapi enggak banyak belinya, paling 500rb. Terus keterusan deh. Nah disitu mulai ketergantungan, kalau enggak make jadi sakaw. Sampai waktu di rehab aku hampir aja nyilet pergelangan tanganku sendiri."
"Hah? Sampai segitu parahnya?"
"Iyalah. Nyandu banget. Aku lupa semua masalah kalau lagi konsumsi sabu. Makanya semua masalah keluargaku Leo yang handle."
"Kenapa harus lari ke narkoba? Kan bisa curhat sama teman kamu kalau ada masalah. Enggak perlu lari ke obat-obatan kayak gitu."
Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar kepolosan Adel. Bener-bener sebelas dua belas sama Maya. Antara polos dan oon nyampur jadi satu.
Aku jadi berpikir apakah kalau cewek baik-baik mikirnya polos begini ya? Atau aku yang terlalu banyak bergaul sama cewek yang enggak baik?
"Aku... Enggak bener-bener punya teman."
"Masa sih? Kamu kan.... Kaya, tajir dan pasti pergaulannya luas. Masa sih enggak punya teman?" tanya Adel tak percaya.
"Ada sih teman. Tapi bukan teman sebenarnya."
"Maksudnya? Gaib gitu temannya?"
"Ih kamu lucu banget sih Del. Beneran mirip Maya."
"Mirip apaan nih maksudnya? Oonnya gitu?"
"Ih kamu ngatain Maya oon. Aku bilangin Leo loh!" ledekku.
"Siapa yang ngatain? Kan kamu yang selalu bilang sama aku kalau Maya oon. Gimana sih? Malah aku yang disalahin. Huh!"
Aku tak kuat menahan tawaku melihat Adel yang ngambek kayak gini. Lucu dan menggemaskan banget.
"Maksud aku kamu tuh sama kaya Maya. Terlalu polos. Agak sedikit naif dan terlalu percaya sama orang."
Adel sudah tidak ngambek lagi. Sekarang malah Ia seakan tertarik dengan perkataannku. "Masa sih?"
"Yup. Itu bedanya aku sama kamu. Tapi aku lebih bodoh lagi. Lebih oon lagi lah. Aku percaya kalau semua teman aku sayang dan solid banget, tapi kenyataannya sama sekali berbeda."
"Ya berarti kita sama-lah." kata Adel dengan suara berbisik. Seperti berbicara dengan dirinya sendiri.
"Hah? Apa?"
"Enggak kok. Lanjut. Jadi teman-teman kamu gimana selanjutnya?"
"Hmm... Kita rehat dulu sebentar. Kembali lagi saat kita jalan bareng lagi." aku menirukan suara Bang Kani Ilyas saat membawakan acara ILC.
"Ih kok gitu? Demen banget bikin orang penasaran? Enggak boleh gitu tau! Dosa!"
Aku lagi-lagi tertawa kalau melihat Adel menggerutu seperti itu. Lucu banget.
"Ya aku kan harus misterius, biar kamu semakin penasaran sama aku. Aku kan udah cerita tentang aku pemakai obat dan udah rehab. Sekarang gantian dong kamu cerita tentang diri kamu!"
Ini namanya tektok. Kalau obrolan namanya dua arah. Bukan hanya bercerita tentang masa laluku. Aku juga harus tau tentang masa lalu atau minimal kehidupan pribadi Adel lah. Biar adil.
"Eng... Eh kita udah sampai nih di Bundaran HI. Enggak terasa ya. Wah banyak makanan dan jajanan disana. Ayo cepetan kita kesana!" Adel menarik tanganku agar berjalan lebih cepat lagi.
Aku tahu Adel tak mau menceritakan tentang hidupnya. Walau kecewa tapi aku memahaminya. Enggak semua orang bisa berdamai dengan masa lalunya.
Kalau dilhat dari sifatnya, Adel tuh tipikal orang yang tertutup. Berbeda jauh dari Maya yang bak kain tipis, semua terbaca jelas karena Ia juga mau menceritakannya. Adel tidak seperti itu.
Adel seperti membangun tembok tebal dan pagar yang tinggi di sekitarnya. Terlalu takut untuk terbuka dengan orang lain. Aku sudah membuka kisah masa laluku, namun Adel tak tergerak menceritakannya padaku. Terlalu tertutup.
Sudahlah. Jangan dipaksa. Hari ini aku tahu Adel punya sifat tertutup. Itu udah kemajuan. Semoga hubungan kami semakin banyak kemajuannya juga.
"Dut!" ada suara seseorang yang memanggil. Baik aku dan Adel tak ada yang menoleh, karena berpikir bukan aku dan Adel yang dipanggil.
"Adel!" nah baru deh aku dan Adel menengok ke arah yang memanggil.
****
Adel
Aku sedang berusaha menghindari pertanyaan Richard tentang masa lalu, tentang hidupku. Namun ketika namaku ada yang memanggil, aku reflek menolak. Dan ternyata....
"Pandu?"
Pandu adalah mantan pacarku saat kuliah dulu. Maya dengan Leo, dan aku dengan Pandu. Aku duluan yang pacaran dengan Pandu, sebelum Maya berpacaran dengan Leo.
"Kamu kenal?" tanya Richard berbisik pelan saat Pandu berjalan mendekatiku.
Pandu terlihat berbeda dibanding dulu saat pacaran denganku. Dulu kurus kering tak terawat. Maklum, anak perantauan yang kost di Jakarta. Bapaknya petani dan hanya mengirimi uang saku pas-pasan.
"Apa kabar Del?" Pandu menjabat tanganku sambil tersenyum lebar. Terlihat kenaikan berat badannya yang lumayan, kalau dulu pipinya tirus, kini agak chubby.
"Baik. Kamu gimana?" tanyaku balik.
"Baik juga. Kamu sama ... ?" Pandu menunjuk ke arah Richard yang berdiri di sampingku.
"Kenalin, Richard ini Pandu. Pandu ini Richard." mereka pun berjabat tangan.
"Kamu sendirian aja?" tanyaku.
"Enggak kok. Sama Reya."
Reya. Semudah itu Pandu mengucapkan namanya. Dan masih ada sakit yang tiba-tiba menjalar di hatiku. Terasa seperti tercubit. Panas.
"Oh ya? Dimana?" tanyaku berbasa-basi.
"Tuh, lagi anterin anakku jajan." Pandu menunjuk seorang perempuan yang berperut buncit sedang membayar makanan yang dipesan anak kecil di sebelahnya.
"Reya... Lagi hamil ya?"
"Iya. Udah mau 8 bulan. Makanya kita lagi olahraga agar ibu dan bayi serta anak kami sehat semua."
"Oh..." aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Tak mampu berkata banyak.
"Ini siapa kamu, Del?"
Aku masih menatap ke arah Reya saat Pandu bertanya padaku. Richard sampai menepuk bahuku untuk menyadarkanku.
"Hah? Apa? Tadi aku lagi liatin anak kamu. Lucu banget. Gendut dan ngegemesin. Tadi kamu nanya apa?" aku memasang senyum terbaik, seakan semua baik-baik saja. Padahal ada hati yang terluka diatas senyumku.
"Dia siapa kamu?" Pandu kembali menunjuk ke arah Richard.
Dan tanpa kupikir lagi aku pun menjawab, "Dia calon suamiku."
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
✨️ɛ.
mayanlah ya, Bang Icad.. angin seger dikit.. walopun cuma utk manas²in mantan.. /Chuckle/
2024-09-05
1
Dwi Febriyanty
melayang Abang icad
2024-08-30
0
Yathi Pusung
hahaha....
2023-07-06
0