Flashback
Richard
"Eh ada Babang Icad. Babang Icad udah makan?" tanya Sisil dengan centilnya saat melihatku datang sehabis makan siang.
"Udah. Sisil udah makan?" tanyaku berbasa-basi.
"Udah."
"Emaknya udah makan belum?" aku menunjuk ke arah Delima yang masih memeriksa aplikasi yang masuk.
Mendengar namanya disebut Ia sontak mengangkat wajahnya dan melihat ke arahku.
"Tau deh." jawab Sisil dengan malas.
Tak lagi memperdulikan Sisil aku berjalan mendekat ke Delima. "Nih buat makan siang. Aku tungguin kamu enggak selesai-selesai."
Tatapan Delima seperti memintaku untuk tidak menghampirinya tapi aku tak peduli. Yang kupikirkan adalah Ia belum makan siang.
"Kita berdua enggak dibeliin nih Bang?" kali ini Sita yang bertanya dengan nada manja.
"Kan kalian udah makan. Memangnya kalian mau?"
"Mau tapi enggak sekarang. Besok aja atau nanti pulang kerja?" Sita menghampiriku dan bergelayut manja di tanganku. Bener-bener mirip Siamang seperti dugaanku.
"Beneran?"
"Bener. Mau." jawab Siamang eh Sita dengan yakin.
"Sita doang nih yang Babang Icad ajak? Sisil enggak?" Sisil juga menghampiriku dan bergelayut manja di tanganku yang lain.
"Iya nanti kalian aku ajak. Tapi makan di warteg ya."
"Yaaahhhhh... Di warteg. Di KFC atau Mc D juga boleh lah. Masa sih di warteg?" keluh Sita.
"Emak kalian aja aku traktir nasi warteg. Masa kalian yang mahal?" sindirku.
"Ya kan kita beda, Bang." jawab Sita lagi.
"Bang, Babang wangi banget sih. Wangi parfum mahal." komentar Sisil yang sejak tadi masih bergelayut manja di lenganku. Sengaja menempelkan buah dadanya yang lumayan besar agar aku tergoda.
"Ah masa? Ini bau ketek kali. Kamu salah cium."
"Keteknya Babang aja wangi, Bang. Apalagi yang lain?" sindir Sita.
"Ehem!" suara deheman Delima membuat anak buahnya sadar diri dan menjauhkan diri dariku.
"Bang, nanti pulang kerja kita jalan ya. Aku yang traktir, oke?" bisik Sisil.
"Hmm... Liat nanti ya. Aku kerja dulu." aku kembali ke standku diikuti dengan tatapan meledek dari rekan satu teamku.
"Babang Icad... Babang Icad.... Mau dong resepnya dideketin sama cewek cantik di stand sebelah!" ledek Agus sambil bergaya layaknya seorang perempuan.
"Iya, Babang Icad. Mau dong digelendotin sama cewek cantik, Bang." Dodi juga ikut menimpali.
"Mau tau?"
"Mauuuuu." jawab Agus dan Dodi kompak.
"Pake susuk ha...ha...ha..." aku pun puas menertawakan kedua rekanku yang penasaran.
"Kupret." maki Agus.
"Ntar aku operasi plastik pake ember merk Lion Star biar lebih keren dari kamu, Cat." rutuk Dodi.
Aku melirik ke arah Delima yang memakan makanan yang kubelikan. Syukurlah. Kasihan kalau sampai telat makan, bisa maag nanti.
*****
Delima
Makan siang yang sederhana namun terasa nikmat. Enggak ada ayam atau ikan didalamnya. Menu dengan harga diatas rata-rata kalau di warteg.
Aku melupakan janji makan siang bareng dengan Richard karena menjelang makan siang ternyata ada rombongan karyawan yang mendatangi stand kami.
Sita dan Sisil yang cantik berhasil menarik minat mereka yang akhirnya mau membeli produk dari bank kami, baik itu pembukaan rekening maupun kartu kredit. Lumayan, melebihi target.
Sita dan Sisil istirahat duluan, meninggalkanku yang sibuk merapihkan aplikasi dan mengeceknya satu persatu. Sudah menjadi kebiasaan, kalau fokus aku akan melupakan keadaan di sekitar.
Lupa dengan janji yang kubuat, lupa kalau belum makan siang, dan asyik berkutat dengan pekerjaan. Bahkan aku tak menyadari kalau Sita dan Sisil sudah selesai istitahat dan gantian Dwi dan Dian yang istirahat. Se-enggak peka itu aku.
Kebaikan Richard dengan memberikan makan siang untukku membuat Sita dan Sisil semakin menatapku sebal. Dan aku mendapati lagi mereka membicarakanku di belakang.
Aku sedang menunggu Richard di parkiran motor, gantian kali ini aku yang nungguin. Dari kejauhan aku lihat Sisil dan Sita sedang berjalan keluar lobby. Aku sengaja bersembunyi di balik tembok agar mereka tidak melihatku.
"Kamu lihat kan Sil, tadi tuh Babang Icad beliin makan siang buat si Buntelan Kentut itu. Nyebelin banget tau!" keluh Sita.
"Bentar, Sit. Aku ikat tali sepatu dulu." Sisil pun berjongkok merapihkan tali sepatunya. "Kamu enggak usah iri, Ta. Cuma dibeliin nasi warteg aja dia udah seneng. Paling harganya cuma ceban! Kita juga mau ditraktir, makanan di dalam mall lagi. Jangan iri lah. Kita beda level sama dia."
Aku terus bersembunyi di belakang tembok. Jangan sampai mereka melihatku. Aku hampir berteriak ketika menyadari kalau Richard sudah berdiri di depanku. Untunglah Richard menutup mulutku dengan tangannya.
Jantungku seketika berdegup kencang. Jarak aku dan Richard amat dekat. Bahkan aku bisa merasakan hembusan nafasnya di pipiku. Sudah bisa dipastikan wajahku memerah.
Richard melepaskan tangannya dari mulutku seraya memberi kode agar aku tetap diam. Aku menunduk mengerti.
"Tapi aku tetep kesel, Sil. Apa sih kelebihan si Buntelan Kentut itu! Kenapa juga sih harus ada perwakilan dari pusat segala? Kalau enggak ada dia kan seharusnya aku yang jadi supervisornya!" gerutu Sita. Aku tak bisa melihat apa yang Ia lakukan karena terhalang tembok dan juga ada Richard di dekatku.
"Ya mau gimana lagi? Pusat juga kok seenaknya aja ngirim yang kayak gitu. Kita udah dandan cantik eh dia duduk di pojokan ngerusak pemandangan aja!" Sisil sepertinya sudah selesai mengikat tali sepatunya. "Ayo kita ngobrol sambil jalan."
Richard menarik tanganku untuk pindah ke sisi tembok yang lain agar mereka tak melihat keberadaan kami berdua.
"Kira-kira Babang Icad suka enggak ya sama dia?" tanya Sita.
"Enggak mungkinlah. Kalau kasihan sih iya." balas Sisil.
"Tau dari mana kamu?"
"Ya tau lah. Babang Icad tuh muka bad boy**s-nya kelihatan banget. Mantan anak club pasti. Kamu tau kan selera anak club gimana? Apalagi yang levelannya kakap kayak Babang Icad. Enggak bakalan suka sama si Buntelan Kent...."
Aku tak mendengar lagi apa yang dua anak buahku katakan karena Richard menutup kedua telingaku dengan tangannya. Aku menatap lurus ke dalam matanya.
Ia menggeleng, tanpa kata aku tahu Ia mau aku tak mendengarkan perkataan menyakitkan dari kedua anak buahku. Aku mau melepaskan tangannya namun aku merasa mungkin dengan begini aku bisa melindungi sedikit hatiku. Melindungi dari rasa sakit yang lebih sakit lagi.
Richard perlahan melepaskan tangannya dari telingaku. "Maaf... Aku reflek melakukannya. Enggak mau kamu makin denger sesuatu dari toxic people kayak mereka aja. Enggak guna. Ayo kita pulang."
Kami berjalan dalam diam. Asyik dengan pikiran kami masing-masing. Apa benar Richard takut aku makin terluka atau takut aku semakin tau siapa dia yang sebenarnya?
"Sebenarnya kamu harus tegas sama mereka. Posisinya mereka itu anak buah kamu loh. Kalau kamu tegas mereka akan lebih hormat sama kamu. Lebih menghargai kamu." Richard akhirnya membuka suaranya.
"Apa dengan tegas mereka tidak akan membicarakanku di belakang? Enggak juga. Malah semakin parah. Setidaknya mereka hanya berbisik-bisik saja di depanku. Tidak menunjukkan sikap yang frontal."
"Tapi-"
Aku memotong ucapan Richard. Ada hal yang lebih membuatku tertarik lagi daripada ngomongin mereka yang jelas-jelas tidak menyukaiku dari awal.
"Apa kamu benar bad boys seperti yang mereka katakan?"
Richard menghentikan langkahnya. Kini Ia menatapku dengan lekat. Entah apa yang dipikirkannya.
"Kamu dimusuhi anak buah kamu tapi lebih tertarik dengan kisahku gitu? Enggak salah?"
Aku menghela nafas. Kupikir Ia akan marah atau mengelak. Benar-benar tak bisa kuprediksi apa yang mau Ia lakukan.
"Enggak salah. Aku sudah biasa dimusuhi. No problemo. Aku malah penasaran dengan apa yang Sisil katakan. Apa benar kamu bad boys? Dan apa kamu baik denganku ada tujuan lainnya?" aku menatapnya dengan penuh rasa curiga.
Richard tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Ck...ck...ck.... Kamu beneran sudah terpengaruh dengan toxic people di sekitar kamu ya? Pantas saja mereka suka membully kamu. Kamu harus berani melawan. Jangan kamu selalu bersembunyi! Kamu sendiri yang mengiyakan doktrin yang mereka katakan. Stop it, Del. Harus kamu sadari, mereka tuh berbahaya. Racun tau enggak!" senyum di wajah Richard berubah menjadi kekesalan. Rahang Richard terlihat mengeras, marah sekali dengan pertanyaanku rupanya.
"Mereka yang racun atau kamu yang punya niat tersembunyi? Jujur saja, Cat. Aku hidup bersama orang seperti itu kecuali satu orang sahabat tersayangku. Semua kayak gitu. Semua. Pola pikir aku lama-lama terbentuk seperti itu."
"Ya kamu bisa merubahnya, Del. Bisa. Kalau kamu mau. Diri kamu tuh spesial. Jangan dengarkan apa yang mereka katakan!" melihat Richard yang marah, kami seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar di trotoar jalan. Dengan banyak mata memandang.
Aku merendahkan suaraku. Mencoba mengontrol emosiku. "Oke. Aku akan dengarkan perkataan kamu. Hanya jika kamu jawab dengan jujur pertanyaanku."
"Iya. Apa?" kini Richard melipat kedua tangannya di dada.
"Beneran kan kamu bad boys seperti yang mereka bilang?"
"Iya." aku menatapnya tajam. See? Toxic people tuh kadang suka bener.
Aku malas bicara lagi setelah mendapat jawaban yang kumau. Aku kembali berjalan tapi perkataan Richard kembali menghentikan langkahku.
"Aku memang bad boys. Tukang dugem. Tukang mabok dan raja party. Kenapa? Kamu enggak mau berteman dengan aku?"
Aku melangkah lagi tapi lagi-lagi perkataan Richard membuatku berhenti.
"Apa bedanya kamu dengan dua toxic people itu? Enggak ada. Kamu sama aja dengan mereka kalau kamu langsung judge seseorang seperti itu. Enggak ada masa lalu yang benar-benar seputih kertas, Del. Enggak ada. Pasti ada setitik atau mungkin banyak noda di dalamnya."
Ucapan Richard malah membuatku tambah kesal. Enak saja Ia menyamakanku dengan Sita dan Sisil. Aku berbeda. Jangan pernah menyamakan aku!
Dengan kesal aku meninggalkan Richard di belakangku. Berjalan dengan cepat dan kembali ke kamarku yang nyaman di hotel.
Di dalam kamar aku kembali terngiang perkataan Sisil dan Sita. Seenaknya mengataiku. Seenaknya menjulukiku Buntelan Kentut.
Hello! aku punya nama! Namaku Delima. Bukan Buntelan Kentut. Namun aku hanya berani berbicara dengan pantulan wajahku di cermin.
Richard benar. Aku memang penakut. Aku tak berani melawan. Selamanya aku hanya seorang pengecut.
Dan ternyata aku mendapat berita kalau aku dibutuhkan di cabangku secepatnya. Ada nasabah yang hanya mau dilayani denganku. Nasabah lama yang memang agak bawel.
Dengan statusnya sebagai nasabah pioritas dengan uang yang disimpan di cabang kami sangat besar, aku pun ditarik dari pekerjaanku. Tanpa mengucapkan selamat tinggal, aku pun kembali ke Jakarta.
Aku sadar kalau urusanku dengan Richard belum selesai. Namun kupikir kami tak akan pernah bertemu lagi. Sampai akhirnya kami bertemu di pernikahan Maya.
Flashback Off
****
Adel
Aku sengaja berpura-pura tidak mengenali Richard. Berharap Ia akan lupa juga denganku. Penampilanku yang sekarang sudah jauh berbeda dibanding beberapa bulan lalu. Berharap Richard tak akan mengenaliku.
Bodoh memang pemikiranku. Apalagi aku menyebutkan nama panjangku, Delima. Richard langsung mengenaliku tapi berpura-pura tidak mengenali. Aku juga melakukan hal yang sama.
Aku pikir Richard sudah tak mau berurusan denganku lagi. Ternyata tidak. Setelah meminta nomor Hp-ku dan tak juga menghubungi, aku dibuat kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba.
Tok...tok...tok...
Aku yang sedang asyik membaca novel di kamar beranjak ke depan pintu. Kupikir Bu Sri atau Bu Jojo yang datang berkunjung.
Aku tak mengganti hot pants yang kukenakan. Dengan santainya aku membuka pintu dan mendapati Richard di depan pintu rumahku.
"Kamu?"
"Hi! Maaf enggak telepon dulu. Aku dapat alamat kamu dari Maya. Boleh aku masuk?"
"Bo... Boleh. Silahkan." aku membukakan pintu lebih lebar agar Richard bisa masuk. "Aku ambilin minum dulu."
Aku masuk ke dalam kamar. Bukannya langsung mengambilkan minum aku malah duduk sebentar di tempat tidur. Menenangkan diriku yang kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Mau apa coba?
Aku menunduk dan menyadari kalau sejak tadi aku hanya memakai hot pants. God! Aku mengambil sebuah celana jogger panjang dan mengganti hot pantsku.
Aku membuka kulkas dan kosong! Adel bodoh. Enggak ada stok minuman dan makanan apapun yang tersisa. Masa sih aku harus ke warung Pak Husin dulu?
Dengan tangan kosong aku kembali ke ruang tamu. "Er... Maaf, aku lupa kalau enggak ada minuman dan cemilan. Adanya air putih aja. Aku beli dulu ya di warung. Kamu tunggu sebentar."
"Enggak usah. Kamu ambil jaket aja. Kita ngobrolnya di luar. Sekalian temenin aku nyari kado buat Maya."
"Kado buat Maya?" aku mengingat tanggal ulang tahun Maya dan reflek menepuk keningku. Bagaimana mungkin aku lupa. Maya kan ulang tahun hari ini. Bodoh! Bodoh!
"Iya. Maya ulang tahun. Mau temenin kan?"
"Iya. Aku juga mau kasih kado ke Maya."
"Baguslah. Nanti siang acaranya di Bandar Jakarta. Kamu ikut sekalian aja."
"Tapi aku enggak diundang." masa sih aku datang tanpa ada undangan?
"Aku yang ngundang. Ayo pergi sekarang." Richard sudah beranjak bangun tapi aku cegah.
"Aku ganti baju dulu. Tunggu aku." secepat kilat aku mengganti baju dan memakai make up simple, yakni bedak dan lipstik.
Aku mengikuti langkah Richard. Kupikir Ia datang membawa motor namun tak ada motor yang terparkir. Richard terus berjalan ke depan warung Pak Husin. Berbasa basi sebentar sambil menyelipkan selembar uang kertas lalu membukakan pintu mobilnya untukku.
Hah? Mobil? Honda Jazz lagi. Richard punya mobil? Bukannya dia cuma sales rumah biasa?
****
Double up done ya. Jangan lupa vote dan likenya kencengin ya. Oh iya yang mau join gc tinggalin jejak komentar kalian ya biar di acc sama admin aku miku dan jasmine oke?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
dyul
jiah..... kenape si adel matre... liat honda jazz
2024-03-07
0
Fenty Izzi
ricard... buruan gercep... rubah sifat tidak percaya diri adel😊tahlukkan hatinya😍
2022-11-04
1
Momy Haikal
masih ada dua lagi del dirumah nya lebih mahal
2022-06-30
1