Adel
"Richard. Panggil aja Icad." laki-laki itu mengulurkan tangannya.
"Delima. Panggil aja Adel." aku menyambut uluran tangannya seraya menyebutkan namaku beserta nama panggilannya.
"Nah akhirnya aku berhasil mengenalkan kalian berdua ya." Maya yang sedang mengenakan gaun pernikahannya melepaskan dengan paksa tanganku dan Richard yang saling berjabat.
Aku hanya bisa tersenyum melihat ulah sahabatku tersayang itu. Di hari bahagianya masih sempat memperhatikan dan memikirkanku. Maya memang berbeda. Maya lah yang benar-benar tulus menyayangiku.
Maya memang sudah beberapa kali mengatakan kalau akan mengenalkanku dengan Kakandanya. Bukan kakak kandung Maya pastinya karena kalau Kak Rian dan Kak Anton aku sudah kenal.
Dan laki-laki yang bernama Richard itu...
Benarkah Ia tidak mengenaliku?
Apa aku segitu tidak dapat dikenali?
Aku langsung mengenali Richard sejak pertama kali melihatnya. Penampilannya tak berubah sejak beberapa bulan lalu. Yang terpenting adalah sorot matanya. Aku tak pernah lupa dengan sorot mata itu.
Aku turun dari singgasana pernikahan Maya dan Leo dan berniat mengambil segelas air mineral, namun aku sadar kalau sejak tadi ada sepasang mata yang terus melihatku.
"Dut! Sama siapa kesininya?" agak kaget saat bahuku ditepuk. Apalagi kebaya yang kukenakan ini bagian pundaknya hanya ditutupi tile tipis dan payetan. Jadi secara tidak langsung tepukan tangannya mengenai kulitku langsung.
"Eh... Kak Rian. Eng... Enggak kok. Sama..." aku mencari duo ibu-ibu yang heboh sejak tadi diperjalanan. Mereka tengah asyik joged dangdut tanpa memikirkan umur mereka yang tak lagi muda.
"Itu! Bu Sri dan Bu Jojo!" aku menunjuk ke arah sahabat Maya yang kini mengambil Mic dari penyanyi dangdut dan ikut menyumbangkan suara.... sembernya.
Kak Rian terlihat menyunggingkan sebelah senyumnya. Hal yang jarang kulihat. Karena aku tahu Kak Rian adalah Kakaknya Maya yang selalu berwajah murung dan jutek tentunya.
"Jangan kebanyakan gaul sama mereka. Tuh efeknya jadi kayak Maya!" Kak Rian menunjuk adiknya yang tengah tersenyum menyambut tamu yang datang. Cantik, meski sedang hamil malah terlihat lebih cantik lagi sahabatku itu.
"Bagus dong. Tuh buktinya Maya malah jadi bahagia. Berarti berteman dengan mereka membawa kebaikan buat Maya. Siapa tau aku juga kecipratan kebaikannya juga." jawabku.
"Iya kalau kecipratan yang baiknya. Kalau kayak gitu masih dibilang baik?" Kak Rian menunjuk ke arah Duo Julid yang sedang joged kayang.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku melihat ulah kedua sahabat Maya tersebut. Berjalan melipir dan menjauh pura-pura tak melihat dan tak kena lebih baik.
Aku berjalan menuju gubukan dan mengambil dimsum. Makanan yang menurutku rendah lemak. Aku sebenarnya naksir dengan menu prasmanan yang ada semur jengkolnya namun aku harus menolaknya.
Godaannya besar. Nasi sepiring tak akan cukup jika dimakan dengan semur jengkol. Apalagi ada ikan pesmol juga. Bisa lupa sama diet aku nantinya.
Kuputuskan memakan dimsum saja. Makanan yang dikukus katanya lebih sedikit mengandung lemak. Nanti sia-sia dietku jika aku makan banyak lagi.
Ya, aku memang terlahir semok dan montok. Sejak kecil aku biasa diledek karena tubuhku yang lebih gendut dibanding teman sebayaku, termasuk Maya.
Maya dan keluarganya adalah teman dan tetanggaku saat kami menetap di kampung karena pekerjaan Bapak. Namun saat pekerjaan Bapak kembali dipindahkan maka aku dan keluarga juga harus pindah.
Seperti sebuah takdir, aku bertemu lagi dengan Maya saat kami kuliah. Saat sedang ospek aku menatap cewek cantik yang seperti kebingungan apa yang harus dilakukan.
Maya memang seperti itu, agak oon tapi baik hati. Aku menghampirinya dan langsung mengenali teman masa kecilku itu. Namun tidak demikian dengan Maya.
"Maya ya?" tebakku.
Maya menatapku bingung sambil mengernitkan keningnya. "Kok tau? Memangnya ada tulisan namanya ya? Sebentar aku lihat dulu, nama kamu ditulis dimana?"
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat ulahnya. Meskipun ditulis di name tag kan hanya nama samaran saja. Masih oon rupanya tapi aku suka. Aku menyebutnya oon yang cantik.
"Kamu lupa sama aku?"
Aku biarkan Ia berpikir sejenak dan mencoba mengingat siapa diriku. "Hmm... Kamu.... Siapa ya? Maaf aku lupaan orangnya he....he....he...."
"Delima. Aku Delima."
Masih saja Maya berusaha mengingat namun tak bisa juga. "Adel. Kakak kamu biasa panggil aku Pome atau Ndut. Inget gak?"
"Kakak aku maksudnya Kak Rian?" tiba-tiba Maya menepuk keningnya. "Ya ampun.... Kamu Adel? Adel anaknya Pak Hartono? Kamu temen aku waktu kecil?"
Aku tersenyum mendengar rentetan pertanyaan yang keluar dari bibir manisnya. Bisa dibilang akulah pemuja Maya. Apapun yang Maya lakukan terlihat istimewa di mataku. Apapun itu....
Aku mengangguk. Lalu Maya loncat-loncat kegirangan dan memelukku. Setitik air mata ada di pelupuk matanya. Membuatku merasa hangat dan dirindukan.
Lihat kan betapa aku sangat menyayangi manusia berhati malaikat ini? Aku memeluk balik Maya dan menepuk punggungnya pelan. Hal yang biasa aku lakukan kalau Maya menangis karenaku.
Lamunanku tentang Maya harus terhenti kala Kak Rian yang kupikir tidak mengikutiku malah berdiri di sampingku sambil mengambil dimsum seperti yang kulakukan.
"Enggak makan nasi, Dut? Ada semur jengkol tuh! Enggak usah malu. Biasanya doyan banget." Kak Rian tak pernah berubah sejak dulu. Seenaknya saja memanggilku Dut atau Pome. Dan satu lagi, kata-katanya kadang pedas dan tak mengenakkan. Meski kutahu Ia baik dan aku.... menyukainya.
"Enggak, Kak. Makasih." aku tak mau banyak berkata-kata. Katanya kalau jarang bicara bisa terlihat misterius.
Aku merasa dimsum yang disajikan terlalu banyak. 4 buah perporsi. Mungkin bagi sebagian orang tidak banyak, namun tidak denganku. Perutku terasa mual.
"Kak aku numpang ke kamar mandi ya." aku meninggalkan Kak Rian dan berjalan masuk ke dalam rumah Maya.
Tak banyak perubahan di rumah Maya sejak terakhir kali aku kesini. Rumah yang besar dan rapi. Hari ini agak berantakan karena suasana yang hectic karena sedang pesta.
Aku menuju kamar mandi yang terletak di lantai 1. Kamar mandi yang biasanya untuk umum. Tak kulepas sandal yang kupakai. Banyak yang bolak-balik tak pakai sandal, pasti lantainya kotor.
Saat aku hendak masuk, aku bertabrakan dengan seseorang yang baru saja hendak keluar kamar mandi.
"Ups... Maaf." aku mengangkat pandanganku dan melihat ternyata Richard yang kutabrak. Ia yang meminta maaf duluan padaku.
Perutku terasa makin mual. Tak menjawab permintaan maaf Richard dan masuk ke dalam kamar mandi lalu...
Aku memasukkan jari telunjukku ke dalam tenggorokkan dan membuat semua makanan yang kumakan berhasil kumuntahkan.
"Uweeeekkk.... Uweeeekkkkk...."
Air mata menetes saat aku memuntahkan semuanya. Dan aku baru bisa bernafas lega saat isi perutku kurasa sudah kosong.
Kubersihkan tangan dan mulutku lalu merapihkan make-up yang sempat kena air mata dengan tissue yang kubawa. Masih rapi. Enggak usah touch up lagi.
Aku membuka pintu kamar mandi dan agak kaget karena ternyata Richard menungguku di depan pintu. Kedua tangannya terlipat di dada.
"Er... Kamu mau ke kamar mandi?" tanyaku sambil menunjuk pintu kamar mandi yang kini terbuka.
"Enggak. Mau nungguin kamu."
"Nungguin aku? Ada apa ya?" aku menunjuk diriku sendiri.
"Ke depan yuk!" tanpa babibu Richard menarik tanganku dan mengajakku ke depan.
"Makan lagi!" tunjukknya ke arah meja prasmanan.
Aku menggelengkan kepalaku. "Enggak. Masih kenyang." tolakku halus.
Wajah Richard seakan tak bisa menerima penolakan. Aku melihatnya masih menahan rasa sabar. Namun wajahnya yang memerah berkata lain.
"Er... Aku nanti... ngemil aja. Masih kenyang." kataku beralasan.
Makin merah saja wajah Richard. Aku tahu Ia tak suka dengan penolakanku.
Suasana menjadi canggung. Tak kusangka Richard orangnya sekeras kepala itu. Atau aku yang memang belum mengenalnya?
"Cat, kamu dipanggil tuh!" Kak Rian tiba-tiba datang dan menepuk bahu Rian. Menunjuk ke mertuanya Maya yang terlihat memanggil Richard.
Namun Richard tak bergeming. Ia tetap menatap tajam ke arahku. Kak Rian sepertinya sadar apa yang sudah terjadi.
"Hmm... Kalian saling kenal?" Kak Rian menunjukku dan Richard bergantian.
"Enggak." jawabku.
"Iya." jawab Richard.
"Yang bener yang mana nih?" tanya Kak Rian lagi.
"Enggak." aku memegang teguh perkataanku.
"Iya." Richard juga sama keras kepalanya.
"Hmm... Terserah lah ya kalian saling kenal atau tidak. Tapi yang pasti kamu sejak tadi dipanggil, Cat. Sepertinya penting." Kak Rian menunjuk lagi ke arah mertuanya Maya yang memanggilnya.
Tanpa berkata apapun Richard pergi meninggalkan aku dan Kak Rian.
"Kamu kenal sama dia?" masih penasaran rupanya.
"Enggak." jawabku pendek.
"Tapi kok dia kayak kenal sama kamu?"
"Memangnya kenapa? Mungkin aja dia kenal aku, tapi aku enggak kenal." jawabku acuh.
*****
Richard
Aku tak mungkin salah mengenali seseorang. Aku bukan pelupa dan hilang ingatan yang tidak bisa mengenali orang yang begitu berkesan saat pertama kali kami bertemu dulu.
Adel. Cewek yang selama ini sering disebut oleh Maya. Cewek yang selama ini ingin Maya jodohkan denganku atau dengan kakaknya, Rian. Yang nggak pernah aku tahu seperti apa wajahnya.
Cewek itu datang dengan mengenakan kebaya yang berwarna pink dan rok batik selutut. Dandanannya sederhana, namun terlihat enak dipandang.
Aku sedang mengangkat telepon ketika melihat Ia turun dari mobil yang dikendarainya. Sebuah sedan berwarna hitam.
Perhatianku langsung teralihkan dan melihat ke arahnya. Bukan karena Ia yang terlihat cantik saat keluar dari mobil, melainkan karena Ia datang bersama kedua sahabatnya Maya. Sahabat yang Maya bilang sangat seksi ternyata bokis semata.
Kedua ibu-ibu kecentilan itu langsung joget mendengar musik dangdut. Mereka masuk ke dalam dan Adel mengikuti di belakangnya.
Aku penasaran. Aku yakin kalau aku mengenal dia. Dengan perlahan Aku berjalan mendekati meja berisi air mineral.
Berlagak bak superhero yang perhatian dengan keluarganya, aku mengambil 6 gelas air mineral beserta sedotan lalu naik ke atas singgasana pelaminannya Maya.
"Ma, minum dulu." aku memberikan minum pada Mama dan Papa sambil mataku tak lepasnya melihat ke arah Adel dan Maya yang sedang mengobrol akrab.
Maya dan Adel terlihat tersenyum bahagia. Layaknya seorang sahabat. Sahabat dekat.
Maya pun melihat ke arahku. Sambil berakting memberikan Maya minum aku diperkenalkan dengan Adel. Tepat dugaanku, nama aslinya adalah Delima.
Kami pun berkenalan. Yang membuat aku kecewa ternyata Adel tidak mengenaliku. Adel lupa denganku. Atau mungkin Adel sedang berpura-pura lupa?
Oke, kalau Ia memang pura-pura lupa denganku maka aku akan berbuat hal yang sama. Mungkin pertemuan kami waktu itu tak berkesan dengannya.
Adel kulihat mengobrol dengan Rian sangat akrab. Apa memang Ia menyukai Rian? Apa aku sudah kalah langkah dari Rian?
Kurasakan mataku sedikit mengantuk, lebih baik cuci muka dahulu agar kembali segar. Semalam aku begadang menyiapkan pesta pernikahan adikku Leo dan Maya.
Setelah mencuci muka aku kembali segar, namun saat aku keluar kamar mandi aku ditabrak Adel. Aku yang meminta maaf tapi Adel terlihat tidak baik-baik saja dan masuk ke dalam kamar mandi tanpa mengucap sepatah kata pun.
Aku sengaja menunggunya di depan pintu kamar mandi. Aku mendengar suara muntah-muntah, aku hendak bertanya apa Ia baik-baik saja namun sepertinya tak pantas.
Aku masih menunggu dengan cemas sampai Ia keluar kamar mandi. Aku bertekad jika dalam 5 menit Ia tidak keluar juga maka aku akan mengetuk pintu kamar mandi dan menanyakan bagaimana keadaannya.
Tak lama pintu kamar mandi terbuka. Ia terlihat baik-baik saja. Tunggu, aku menyadari sesuatu. Apa Ia sengaja memuntahkan makanannya? Apakah itu alasannya Ia begitu kurus dibanding terakhir kali kami bertemu?
Aku tau dari tatapannya kalau Ia menyadari kecurigaanku. Seakan ingin menjawab iya atas apa yang Ia pikirkan kalau aku tau apa rahasianya, aku memilih menarik tangannya dan membawanya ke meja prasmanan.
Aku menyuruhnya untuk makan lagi. Ia menolak. Kami berbeda pendapat saat Rian datang dan memberitahu kalau Mama memanggilku.
Aku masih acuhkan panggilan Mama. Berharap Adel mau makan sesuai keinginanku. Namun Ia ternyata gadis yang keras kepala.
Aku kesal dan memilih memenuhi panggilan Mama daripada melihat sifat keras kepalanya. Entah itu kepala atau batu.
Apa Ia pikir dengan merubah penampilannya aku tidak akan mengenalinya? Tidak. Jangan lupakan aku adalah si pintar Richard. Peraih medali sains tingkat nasional.
Aku akan mencari tahu ada apa dengannya. Tentunya setelah memenuhi ngidam Mama. Ya, Mamaku sedang hamil muda. Dan aku adalah kakak yang sayang adik. Apapun keinginan ngidam Mama akan kuturuti jika aku sanggup.
Nanti Del.....
Bukan hari ini....
Tidak di hari spesial adikku.
Jangan harap kamu akan lepas dariku lagi. Jangan sebut namaku Richard jika aku tidak bisa membuat kamu mengingat aku lagi.
Kamu tak akan bisa bersembunyi dariku dengan merubah penampilanmu. Kamu Delima yang kukenal beberapa bulan lalu. Bagiku kamu tak berubah, kamu tetap Delima yang sama. Aku akan mengingatkanmu jika kamu lupa tentang.... kita.
*****
Hi semuanya....
Selamat bergabung di kisah Adel ya. Agar lebih seru baca CINTA SETELAH PERCERAIAN dulu ya baru lanjut kisah ini.
Aku tunggu like, komen dan vote untuk novel ini ya. Adel yang berbeda dengan Maya. Adel yang memiliki permasalahannya sendiri. Tetap ikutin novel ini ya.... #pelukhangat#
Adel
Jujur saja aku merasa tak nyaman. Aku merasa ada sorot mata yang terus menatap ke arahku. Seperti tatapan singa yang hendak memangsa.
Aku mengeluarkan Hp dan membaca pesan yang masuk. Mama yang mengirimi pesan.
Del, jangan lupa besok pulang ya ke rumah. Kita makan siang bareng. Sekalian merayakan kembalinya Papa bertugas di Jakarta setelah 2 tahun dipindahkan ke Semarang.
Aku menghela nafas berat. Papa kembali tugas ke Jakarta. Apa artinya aku harus tinggal bareng dengan Papa lagi?
Belum sampai sebulan aku menempati rumah kontrakkan yang Maya tinggalkan. Gratis. Maya sudah menyewa selama setahun dan hanya dipakai beberapa bulan saja. Lumayan, bisa ngontrak gratis selama 8 bulan.
Kontrakkannya berada agak ke dalam gang. Mobilku tentu tak bisa aku bawa. Aku titip di kantor. Karena punya kartu pass parkir, aku bebas menaruh mobil di kantor.
Sehari-hari aku mengendarai sepeda motor Vario kesayanganku yang kuberi nama Obama. Ya, persis seperti nama mantan presiden Amerika yang menjadi idolaku.
Kalau mobil aku namai dengan Susi. Terilhami dari nama mantan menteri kelautan kita, Ibu Susi Pujiastuti. Wanita tangguh dan hebat.
Kenapa menamakan kendaraan dengan nama tokoh? karena kendaraan pun harus memiliki ikatan dengan pemiliknya.
Obama, aku mau motorku sehebat Obama. Mampu menerjang banjir tanpa harus mati mesin.
Susi, mobil sedanku harus setangguh Ibu Susi. Mampu melindungiku kala pulang malam dengan keberaniannya. Halah apalagi ini, kayak enggak ada kerjaan aja namain kendaraan.
Yang kubawa ke rumah kontrakkan hanya Obama. Daerah tempat tinggal Maya lumayan macet, percuma sewa di penitipan mobil kalau ujung-ujungnya harus berangkat pagi buta hanya untuk menghindari kemacetan.
Betapa baiknya Maya, rumah kontrakkannya sudah terisi dengan barang-barang jadi hanya tinggal bawa baju saja semua beres. Maya bilang Ia tidak membutuhkan lagi semua barang-barangnya.
Bukan karena Maya sombong, memang di rumah mertuanya semua sudah tersedia. Jadi jika dibawa hanya ada membuat rumah mertuanya terlihat sumpek saja.
Maya yang hari itu menemaniku pindahan langsung mengenalkanku pada Duo Julid. Maya bilang mereka dua sahabatnya yang terbaik.
Apa yang Maya katakan kok tidak sesuai dengan apa yang aku lihat ya? Sahabat terbaik? Emak-emak rempong tukang gosip kok bisa jadi sahabat terbaik? Baiknya dari sudut mana coba?
"Adel." aku memperkenalkan diriku pada kedua teman Maya.
"Sri." sahut ibu-ibu yang bertubuh agak pendek. I mengenakan kaos partai warna merah dengan celana panjang training warna ungu. Hmm... Perpaduan warnanya agak menggangu mataku ya.
Aneh aja gitu. Kan bisa pakai celana hitam polos. Kenapa harus warna ungu? Enggak singkron. Ah sudahlah. Punya hak apa aku untuk memprotesnya?
"Jojo." ibu-ibu ini agak lebih modis dibanding dengan Bu Sri yang bajunya gonjreng tapi enggak nyambung atasan dan bawahan.
Bu Jojo ini mengenakan kaos branded bertuliskan LV berukuran besar di tengahnya. Dalam sekali lihat aku tahu kalau kaos yang Ia kenakan kw alias palsu.
Yang menarik adalah perhiasannya yang banyak. Emas di tangannya banyak. Gelangnya lebih dari satu. Saat mengulurkan tangan suaranya bak orang kaya yang perhiasannya banyak.
Agak jomplang sih melihat Bu Jojo dan Bu Sri. Yang satu kelihatan berada meski memakai baju kw namun perhiasannya membuktikan kalau Ia punya uang. Berbeda dengan Bu Sri yang terlihat biasa saja. Mungkin dari golongan ekonomi pas-pasan.
Nemu dimana sih Maya teman model beginian? Maya loh ini! Si bunga kampus yang jadi rebutan banyak laki-laki sebelum Leo si Buaya Buntung menghamilinya dan membuat hidupnya berantakan.
Kenapa orang kayak Maya mau-maunya temenan sama dua ibu-ibu model beginian? Aku memasang senyum agak terpaksa saat menyalami mereka.
Aku hanya berharap Maya tak mengharapkan aku akrab dengan mereka berdua. Aku tidak yakin bisa berteman dengan dua ibu-ibu ini.
"May, teman kamu lagi meriang ya? Kok pake jaket tebal begini di siang bolong? Enggak kepanasan apa?" nih yang bikin males. Celetukan Bu Sri yang seenaknya saja menilai penampilanku hanya dari jaket yang kupakai.
Memangnya salah memakai jaket hodie tebal di siang hari? Hmm... Ya agak gerah sih sebenarnya. Mau gimana lagi? Aku sedang pakai koyo pelangsing badan. Biar maksimal hasilnya aku pakai jaket tebal juga. Lumayan keringat yang keluar, bisa membakar beberapa kalori lagi.
"Memangnya kamu lagi sakit Del?" Maya bertanya dengan penuh khawatir.
Ini nih sahabatku Maya. Agak oon. Hal begitu saja langsung percaya. Gimana enggak dibodohin sama Leo coba?
"Enggak May. Aku sehat kok. Lagi suka aja pakai jaket kayak gini." kataku beralasan.
"Tapi kamu keringetan gitu loh! Enggak lagi keringet dingin kan? Bilang ya kalau sakit. Jangan dirasa sendiri. Kasih tau. Takut kenapa-napa." Bu Sri ini ikut khawatir dengan keadaanku.
Kayaknya aku mulai mengerti deh kenapa Maya menyukai berteman dengan dua ibu-ibu ini. Mereka perhatian. Hmm... lumayanlah nambah nilai plus di mataku.
"Iya, Bu." aku mengiyakan saja permintaan Bu Sri.
Setelah melihat-lihat keadaan di kontrakkan, aku pun langsung setuju untuk pindah secepatnya. Enak kok kontrakkannya. Rugi aku kalau menolak rejeki kayak gini.
Ternyata dua ibu-ibu itu membantu saat aku pindahan. Mungkin karena Maya menitipkanku pada mereka. Baik banget ternyata.
Lagi-lagi aku belajar hal baru dari Maya. Berteman dengan siapa saja. Ternyata aku terlalu memandang pertemanan hanya dari fisik saja. Sama seperti perlakuan teman-teman padaku.
Ada perasaan seperti tercubit dalam hatiku. Kenapa aku malah bersikap menyebalkan seperti teman-temanku yang lain?
Aku melakukan hal yang aku benci tanpa aku sadari. Menilai sesuatu seenaknya saja tanpa tahu kebenarannya.
Ah.... Kebanyakan bergaul dengan yang enggak bener bikin aku ketularan efeknya. Enggak... Aku harus banyak bergaul dengan Maya lagi nih.
Maya banyak membawa kebaikan untukku. Pertama mungkin aku juga harus berteman dengan temannya Maya.
Aku menghela nafasku. Lamunanku kembali harus terhenti. Tanpa sadar sejak tadi aku menatap layar kosong.
Bagaimana kalau Papa memintaku tinggal bareng dengannya dan Mama lagi? Aku sudah menikmati kebebasan tinggal sendiri sejak dua tahun lalu. Apakah kebebasan itu akan terenggut juga dariku?
"Del, kita mau pulang jam berapa?" lagi-lagi sebuah tepukan di bahu mengagetkanku. Menyadarkanku dari pikiranku sendiri.
"Er... Ibu udah mau pulang? Kalau mau pulang sekarang ayo aja. Aku sih ikut aja."
Bu Sri terlihat sedang mengipas-ngipas wajahnya yang gerah dengan kardus bekas air mineral. Entah ketemu dimana. Keringat terlihat mengucur di wajahnya. Ia mengusapnya dengan tissue yang diambil dari meja prasmanan. Tissue makan untuk piring lebih tepatnya.
Aku menghela nafas saat melihat bekas tissue menempel di wajahnya yang agak menor kebanyakan pakai blouse on. Kubuka tas yang kubawa dan kuambil tissue wajah.
Kubersihkan wajahnya yang ada bekas tissue seraya memudarkan blouse on di wajahnya yang bak kepiting rebus tersebut.
"Pakai tissue Adel aja, Bu. Jangan pakai tisue makan elapnya. Banyak yang nempel di muka ibu nih." kuberikan beberapa helai tisue agar Ibu Sri pegang.
"Makasih Del. Jojo mana?" tanya Bu Sri.
Lah enggak salah nih? Yang sejak tadi joget kayak ulet uget-uget kan mereka berdua. Kenapa sekarang malah nyariinnya ke aku? Meneketehe???
Aku mengangkat kedua bahuku. "Enggak tau. Bukannya tadi sama Ibu? Tadi kan kalian joged sampai kayang-kayang segala. Apa jangan-jangan kebanyakan dapet saweran nih jadi pulang duluan?" ledekku.
"Enggaklah. Si Jojo mana hapal jalan. Bisa diculik dia pulang sendiri. Emasnya banyak." Bu Sri tambah semangat mengipasi dirinya sendiri. Lumayanlah aku kena anginnya dikit.
"Tuh! Lagi ambil sirup orson!" Bu Sri menunjuk tempat Bu Jojo mengambil minum lalu meneguknya sampai habis lalu mengambil lagi. Kok kayak lagi ngambil minum dari dispenser di rumah sendiri ya?
Lagi-lagi aku geleng-geleng kepala dengan ulah ajaib kedua teman Maya tersebut. Namun yang membuat aku iri adalah Ia ternyata tidak egois.
Bu Jojo datang menghampiriku dan Bu Sri lalu memberikan sirup orson kepada kami satu persatu. Aku menerima pemberiannya dan masih tak percaya.
Ada yang inget sama aku juga loh selain Maya. Aku pikir diriku hanyalah sebongkah upil yang tak diindahkan keberadaannya. Tapi ini... Bu Jojo inget aku loh.
"Minum Del. Kamu mau makan apa lagi? Nanti saya ambilin." tanya Bu Jojo dengan nafas masih terengah-engah.
Aku tidak menyangka saja. Mereka lagi kecapekan tapi masih mau mengantri makanan untukku. Betapa terharunya aku.
"Enggak usah, Bu. Makasih. Tadi Adel udah makan dimsum." tolakku halus.
"Yah dimsum doang mah Del mana kenyang? Kalau dimsum pakai nasi baru deh lumayan kenyang. Ya enggak Jo?" tanya Bi Sri meminta dukungan sahabatnya tersebut.
"Ah kamu mah Sri. Apapun makanannya harus pakai nasi. Enggak ada nasi, enggak makan. Siomay pakai nasi. Eh sekarang dimsum pakai nasi. Nanti sekalian es krim kamu pakein nasi juga!" cerocos Bu Jojo panjang lebar.
Aku tak kuat menahan tawa mendengar perkataan Bu Jojo. Ya kali es krim pakai nasi. Apa rasanya coba?
"Boleh juga tuh Jo dicoba. Apa sekarang aja ya? Mumpung ada es krim nanti aku coba makan pakai nasi deh gimana rasanya?" Bu Sri malah semakin terilhami dengan ide yang Bu Jojo berikan.
"Beneran mau nyoba Bu? Kata Adel sih jangan Bu. Lebih baik ibu makan semur jengkol aja deh. Tuh ada di prasmanan." sepertinya Bu Sri belum melihat meja prasmanan.
"Beneran ada semur jengkol Del?"
"Bener Bu."
"Yah kamu kasih tau semur jengkol sama Bu Sri, Del. Nanti kamu akan menyesal loh Del. Saya sudah peringati kamu loh." ancam Bu Jojo.
"Loh memangnya kenapa Bu? Bu Sri enggak boleh makan semur jengkol takut sakit gitu? Penyakitnya kumat ya kalau makan semur jengkol?" kuajukan pertanyaan beruntun agar semua kekhawatiranku hilang.
"Iya. Penyakit nyusahin." jawab Bu Jojo makin membuatku tidak mengerti saja.
"Udah jangan dipikirin Del! Saya baik-baik aja kok. Saya makan dulu ya. Semur jengkol, I'm coming!" Bu Sri mengambil piring di meja makan lalu mulai mengambil nasi dan lauk. Diikuti dengan Bu Jojo di belakangnya.
Setelah kedua sahabat Maya kenyang, kami pun memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Tak mau terlalu malam.
Aku sih yang memutuskan untuk pulang secepatnya, karena mereka berdua sepertinya masih ingin tinggal. Apalagi musik dangdut semakin lama sawerannya semakin hot artinya goyangan dangdutnya juga semakin hot juga dong. Makin semangat mereka untuk joged lagi.
Kalau boleh memilih, mereka pasti mau menunggu sampai layar tancap dimulai. Tapi aku nggak berani membawa mobil malam hari melewati daerah yang bukan medanku.
Kami pun berpamitan pada Maya dan keluarganya. Maya ternyata sudah menyiapkan makanan yang bisa kami bawa pulang.
Aku memeluk Maya dan mendoakan kebahagiaan sahabat baikku tersebut. Maya tak mengijinkan aku pulang sebelum foto bersama dulu. Berbagai gaya foto diperagakan Duo Julid. Aku yang malu-malu hanya bisa satu gaya saja.
Aku memasukkan makanan yang Maya bawakan ke bagasi mobilku. Lumayan banyak juga. Bisa buat cemilan dan lauk makan.
Kulihat duo julid sudah masuk ke dalam mobil. Bu Sri di belakang seperti saat berangkat tadi dan Bu Jojo di depan. Alasannya Bu Sri kalau di depan suka mabok. Ah terserah mereka lah mau gimana.
Aku menutup pintu bagasi mobil dan melonjak kaget saat tanganku disentuh. Bukan ditepuk seperti Kak Rian tadi, melainkan disentuh dengan Hp.
"Masukkin nomor Hp kamu disini!" perintah Richard dengan tegas. Sejak kapan Ia mengikutiku sampai ke parkiran mobil?
Aku mengerutkan kening. Ada ya orang minta nomor Hp enggak pakai babibu dan enggak palai basa basi seenaknya aja kayak gini?
"Buat apa?" Aku malah bertanya balik apa tujuannya.
"Udah masukkin aja cepetan!" agak maksa sih kalau menurutku.
"Enggak mau. Kasih tau dulu buat apa?" negoku.
Richard menghembuskan nafasnya, kesal karena permintaannya tak langsung kuturuti. Apa Ia memang biasa dituruti segala perintahnya? Anak mami gitu?
Aku memperhatikan penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dalam sekali lihat aku sudah tau kalau Richard tuh si barang branded berjalan.
Jam tangan Rolex President Day Date Full Diamond Gold Authentic yang harganya mencapai 500 juta. Aku tahu pasti harga itu. Karena itu jam tangan yang ingin aku belikan untuk Papa namun hanya sekedar impian semata. Uang dari mana?
Baju, jas, sepatu meski tak terlihat merknya namun aku tau mahal. Bahannya saja terlihat mewah.
"Buat hubungin kamu lah! Pake nanya lagi!" sahut Richard dengan ketusnya.
Ada ya orang minta nomor Hp maksa dan ketus kayak gini? Heran! Enggak bisa apa baik-baik gitu!
"Udah cepetan masukkin nomor Hpnya!" paksa Richard lagi.
Dengan terpaksa aku mengambil Hp miliknya dan berniat memasukkan nomor palsu.
"Aku langsung misscall, jadi jangan pernah mikir buat bohongin aku ya!"
Yah ketahuan....
Nih cowok kenapa tau isi pikiranku sih?
Akhirnya kumasukkan nomor Hp milikku dan mengembalikkan Hp pada pemiliknya. Benar saja Ia langsung menelepon Hp ku.
"Itu nomor Hp-ku. Save, jangan lupa! Tunggu aku di Jakarta!"
Dan Richard pun pergi meninggalkanku dengan seribu pertanyaan. Mau ngapain dia? Datengin aku gitu?
Richard
🎶 Tunggulah aku di Jakartamu
Tempat labuhan semua mimpiku
Tunggulah aku di kota itu
Tempat labuhan semua mimpiku 🎶
Tunggu Aku Di Jakarta by Sheila On Seven.
Aku sudah menunggu sampai Adel pamit pulang dan berjalan ke mobilnya. Bodo amat Dia mau pura-pura mengingatku atau tidak. Yang pasti aku masih mengingatnya.
Jujur aku tak menyangka kalau Delima yang kukenal adalah Adel yang selama ini sering Maya sebut-sebut. Ternyata dunia memang tak selebar daun kelor.
Maya yang memang oon berteman dengan Adel yang agak oon. Cocok deh. Mereka seperti berkumpul dalam satu genk. Genk oon.
Saat Adel menutup pintu bagasi mobilnya aku langsung meminta nomor Hpnya. Ada cara mudah sih yakni meminta langsung dengan Maya.
Maya pasti akan memberikan, tapi biasanya si ibu hamil jahil itu akan mengerjaiku dulu atau minimal meledekku. Itu yang bikin aku males.
Agak ragu Adel memberikan nomor Hpnya padaku. Namun akhirnya Ia berikan juga. Langsung aku misscall agar aku tahu Ia tidak berbohong.
Awalnya aku mau menawarinya pulang bareng, namun aku masih menjadi panitia acara hajatan super rempong ini. Aku hanya bisa bilang: Tunggu aku di Jakarta.
Aku pergi meninggalkan Adel yang masih diselimuti segudang pertanyaan. Apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Jangankan Adel, aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan.
"Kamu kenal sama si Gendut?" tanya Rian, kakak kandung Maya.
Leo bilang Rian banyak berjasa atas kelancaran hubungannya dengan Maya. Leo juga banyak memuji sikap Rian yang menurutnya bijaksana.
Namun bagiku, Rian tak lebih dari orang yang suka berkata pedas tanpa memikirkan perasaan orang lain. Apa itu panggil Adel seenaknya dengan sebutan Gendut?
"Gendut? Siapa tuh gendut?" tanyaku pura-pura tak tahu.
"Gendut itu si Adel. Temannya Maya yang sama-sama satu server. Kamu kenal lama atau baru dikenalin?"
Rupanya Rian penasaran. Aku tahu dari sorot matanya saat Maya mengenalkanku di atas pelaminan tadi. Baru berani bertanya setelah Adel pulang. Huh cemen!
"Oh... Menurutku Adel tuh enggak gendut. Hmm... Sekarang malah hampir sekurus Maya." jawabanku sengaja untuk memancing Rian. Dan benar saja, Rian pun terpancing dengan jawabanku.
"Sekarang? Berarti pernah melihat Adel yang sebelumnya dong? Tau dong segendut apa Adel itu?"
Ini nih yang aku enggak suka. Seenaknya aja ngomong kalau enggak ada orangnya. Body shamming banget.
"Ya beda tipislah sama Kim Kardashian. Menurutku enggak gendut, tapi seksi. Hmm... kalau kata Mamang-mamang sih mon to the tok alias montok." lagi-lagi aku memancing Rian.
"Bener kan dugaanku, kalian pernah bertemu sebelumnya?! Kenapa pura-pura tidak saling mengenal di depan Maya?"
Aku menyunggingkan seulas senyum. "Ada deh. Want to know aja."
Dan aku pun pergi berlalu meninggalkan Rian dengan segudang pertanyaannya. Lebih baik meladeni ngidamnya Mama aja deh. Lebih bermanfaat.
"Mama mau apa lagi?" aku menghampiri Mama ke pelaminan.
"Kaki Mama pegel, Cat. Papa kamu lagi pergi solat ke masjid." Mama menunjukkan kakinya yang sedikit bengkak.
"Mama duduk aja. Richard pijitin." Mama pun menurut. Aku pun duduk di lantai dan menaruh kaki Mama diatas pahaku. Pelan-pelan kupijat kaki Mama.
"Kakanda! Maya juga mau dong!" tuh kan si oon ini pasti enggak boleh liat kesempatan sedikit pasti langsung ikutan.
"Ogah! Minta pijitin sama Leo sana!" tolakku sambil fokus pijitin Mamaku tersayang. Mama yang sempat aku acuhkan karena ulahnya berselingkuh dulu. Sekarang aku menyesal melakukan hal itu dan berniat menebus segala kesalahanku di masa lalu.
"Ih gitu! Padahal tadi udah aku kenalin loh sama Adel!" Maya mulai merajuk. Aduh, hidup diantara dua ibu hamil ini memang ngerepotin banget. Dua-duanya seakan bersaing minta perhatian.
"Udah kenal weeek!" aku malah sengaja meledek Maya.
"Hah? Udah kenal? Kapan? Dimana? Sama siapa? Semalam berbuat apa?"
Aku tertawa dibuatnya. Adik ipar begini bikin hidup enggak datar. Ada aja ulahnya. Semalam berbuat apa, kayak lagu Babang Tamvan aja.
"K-e-p-o."
1, 2, 3....
Benar saja, Maya meninggalkan pelaminannya dan duduk di lantai di sebelahku. Tak peduli gaun pernikahannya, rasa ingin tahunya terlalu besar.
"Ih! Ketemu dimana? Teman sekolah dulu? Eh enggak mungkin ya, Adel kan satu angķatan sama aku. Atau temennya temen temennya Kakanda gitu?"
Aku berusaha menahan tawa namun tak kuat dan akhirnya malah tertawa terbahak-bahak. Pengantin macam apa ini, hanya karena rasa ingin tahu melupakan singgasana pelaminannya dan duduk di lantai tanpa malu.
"Sayang! Jangan duduk di bawah dong! Kotor! Ayo aku bantu bangun ya." Leo sang ksatria berkuda datang dan membantu istrinya untuk bangun.
"Leo, Kakanda nih enggak mau kasih tau dimana dia ketemu sama Adel! Aku kan jadi penasaran!" mulai deh ngadu sama suaminya. Hah dasar manja!
"Cat, kasih tau kenapa! Yang penasaran bukan hanya Maya, tapi anak dalam kandungannya juga. Kamu mau keponakan kamu di dalam penasaran sama cerita kamu?"
Cih! anceman macam apa itu! Memangnya aku takut?
"Nanti aja aku ceritain. Aku ngantuk! Semalaman begadang! May, aku mau tidur sebentar enaknya dimana ya?" nyari tempat tidur yang enak susah lagi suasana hajatan begini.
"Di saung aja! Ada tuh di tengah perkebunan Bapak. Tapi hati-hati suka ada ular."
Nih lagi si oon, nyuruh orang tidur di tempat yang ada ularnya. Yang bener aja sih!
"Jangan! Nanti ularnya ribut sama ular aku! Kamar ada yang kosong enggak?"
"Memangnya Kakanda punya ular juga?" kan... ngomong sama si oon ini enggak bakal kelar-kelar. Masalah mau tidur aja bisa bikin mata yang udah mau ngantuk jadi seger lagi nih!
"Richard tidur di kamar Rian saja! Ada di lantai atas sebelah kiri. Jarang dipakai kok soalnya Rian tinggal di Jakarta. Ibu selalu bersihkan kok kamarnya." untunglah Ibunya Maya yang jawab. Jangan sampai Maya ngotot minta jelasin tentang ular.
"Iya, Tante. Saya numpang tidur ya."
"Iya. Pakai saja."
Setelah menyelesaikan memijat Mama aku pun ke kamar yang dikasih tau Mamanya Maya. Kamar Rian. Kosong. Bersih. Dan terawat tentunya.
Baru saja hendak meluruskan badan di tempat tidur, mataku menatap sebuah bingkai foto yang terletak di meja belajar. Foto seorang laki-laki bergigi ompong sedang merangkul dua orang anak cewek. Laki-laki itu pasti Rian. Mukanya yang nyebelin tak pernah lekang dimakan waktu.
Di sebelah kiri anak perempuan bergigi ompong dan berwajah imut sedang tersenyum. Maya. Wajahnya tak banyak berubah sejak dulu.
Di sebelah kanan anak perempuan gendut dengan gigi ompong yang sebagian menghitam sedang merangkul Rian dengan sangat erat. Membuat Rian agak sebal dibuatnya.
Hmm... Ada satu yang membuatku mengenali anak perempuan gendut itu. Matanya. Mata penuh rasa haus akan cinta dan kasih sayang yang tak pernah berubah sampai sekarang.
Kalau tebakanku tidak salah, anak perempuan gendut itu adalah Adel alias Delima. Ia menempel pada Rian seakan takut kehilangan Rian.
Melihat foto itu membuatku sebal. Dekat sekali hubungan mereka. Pantas saja Maya juga mau menjodohkan Adel dengan Rian.
Aku menutup foto yang membuatku sebal tersebut. Merebahkan tubuhku diatas kasur dan tidur terlelap.
******
Adel
Aku masih belum bisa memahami jalan pikiran Richard. Kenapa aku harus menunggunya di Jakarta?
Kami tak memiliki hubungan apapun saat ini. Hanya kenal sekali dan mungkin pertemuan kami waktu itu agak sedikit berkesan tapi selebihnya tak ada hubungan apapun.
Kenapa maksa banget minta nomor Hp ku? Mau apa coba?
Suara adzan maghrib saling bersahutan memanggil untuk menunaikan kewajiban. Aku sudah melewati jalanan kampung dan baru saja memasuki jalan toll saat adzan menggema.
Bu Jojo sedang tidur sambil menyandarkan kepalanya di jendela. Suara ngoroknya terdengat kencang. Kayak kuli di pasar yang kelelahan sehabis manggul karung.
Pemandangan di belakang tak jauh berbeda. Bak seorang putri raja, Bu Sri tiduran dengan merebahkan tubuhnya di kursi belakang. Bantal sapi milikku dijadikannya bantal penyangga kepalanya.
Dari spion aku bisa melirik Bu Sri yang tertidur lelap sampai ngiler. Kasihan boneka sapiku. Pasti sudah menjadi pulau pribadi buatan Bu Sri. Hiks... Pulang-pulang harus di laundry nih.
Konsentrasiku mengemudi tiba-tiba aku mendengar suara dari belakang.
Duuuuutttttt.... Preepepepepepet....
Dan dibarengi dengan bau bom atom yang menguasai mobilku. Oh My God...
Aku terlambat membuka jendela, karena bau bom atom itu langsung memenuhi mobilku. Membuatku merasa mual.
Gila! Ada ya orang kentut sebau ini! Parah ini mah! Pasti karena makan jengkol tadi! Ah sial! Nyesel aku nyuruh Bu Sri makan jengkol. Jadi aku yang sial!
Membuka jendela belakang saja kurang untuk mengeluarkan bau di dalam mobil. Aku pun terpaksa membuka jendela depan juga.
Aku lupa kalau Bu Jojo sedang tidur sambil bersandar di jendela. Akhirnya kepalanya terantuk dan Bu Jojo pun bangun.
"Aduh! Kenapa sih jendelanya dibuka Del? Eh tunggu, bau apa ini?" Bu Jojo menoleh ke sahabatnya di belakang.
"Dia kentut Del?" Bu Jojo menunjuk ke arah Bi Sri.
Aku yang sejak tadi menutup hidung hanya bisa mengangguk pasrah.
"Kamu sih Del pake nyuruh dia makan jengkol. Kagak makan jengkol aja kentutnya melebihi bau septic tank, makan jengkol lebih-lebih lagi bau nya! Tuh liat aja enggak sadar dia kalau udah ngeracunin orang satu mobil dengan kentutnya!"
Tawaku langsung pecah. Sumpah lucu banget nih ibu-ibu. Aku jadi lupa sama bau septic tank yang Ibu Jojo bilang.
"Memang suka kayak gini Bu Sri ya Bu?"
"Iya, Del. Jangan kaget ya. Dia tuh aneh bin ajaib. Maya tuh yang sabar banget ngadepin dia. Malah sayang banget lagi. Dikasih makanan melulu." gerutu Bu Jojo.
"Loh memangnya Ibu enggak sayang?" tanyaku menimpali omongannya.
"Ya sayang, Del. Temenan udah puluhan tahun masa kagak sayang? Cuma kalau dia udah mulai berulah kayak gini saya lebih milih pura-pura enggak kenal deh he...he...he..."
Aku hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. Oh iya aku sampai lupa, tadi kan mau melipir sebentar ke rest area. Sholat maghrib dulu. Sebelum terlewat.
"Bu, kita berhenti di rest area aja ya dulu. Sholat maghrib." ajakku.
"Iya. Boleh. Tapi saya enggak bawa mukena. Gimana dong?" tanya Bu Jojo.
"Nanti gantian aja sama Adel. Adel selalu sedia mukena kok di mobil."
"Eh tapi ini mobil punya kamu sendiri Del? Apa dibeliin orang tua?" tanya Bu Jojo.
"Beli sendiri, Bu. Masih kredit. Belum lunas. Jadi belum punya aku sepenuhnya." aku menutup kembali jendela mobil setelah bom atom baunya sudah menghilang sepenuhnya.
"Itu juga udah hebat, Del. Udah ada rupanya. Hasil kerja keras kamu ada wujudnya. Hebat kamu."
Hatiku berbunga-bunga mendengar pujian dari Bu Jojo. Andai Papa juga memujiku seperti ini. Aku pasti akan sangat bahagia. Andai....
"Del, itu di depan ada rest area!" aku tersadar dari lamunanku dan menepikan mobilku memasuki rest area. Hampir saja terlewat.
"Sri! Bangun Sri! Ayo turun! Kita sholat maghrib dulu!" Bu Jojo membangunkan sahabatnya ketika aku memarkirkan mobil. Rest area ini agak ramai. Banyak yang mau sholat maghrib dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Seperti yang kulakukan.
"Udah sampai memangnya?" tanya Bu Sri yang baru bangun sambil mengucek matanya.
"Belum. Sholat dulu di rest area. Kamu tuh tadi habis ngeluarin bom atom di mobil. Nanti cebok dulu sebelum wudhu. Takut ada temennya yang ikutan keluar." omel Bu Jojo. Butuh waktu untukku mencerna perkataan Bu Jojo. Temennya? Oh....
"Ah masa sih saya kentut? Enggak berasa tuh! Biasanya kalau enggak berasa pasti enggak bau. Iya kan Del?" tanya Bu Sri penuh percaya diri.
"Iyain aja Del. Biar cepet. Ayo kita turun. Masih harus antri wudhu soalnya."
*****
Setelah mengantar Bu Sri dan Bu Jojo aku mengambil beberapa baju dan pergi lagi. Langsung pulang ke rumah Mama.
Mama sudah menyuruh pulang. Aku harus menurut. Daripada besok pulangnya, lebih baik hari ini saja. Sudah malam pasti tidak akan ditanya macem-macem.
Kupacukan mobilku memasuki daerah perumahan di kawasan Jakarta Timur, tepatnya di daerah Cibubur. Saat di depan komplek, security menanyaiku.
"Blok B No. 27, rumah Pak Hartono. Saya anaknya." aku menyebutkan rumah Papa.
"Baik, Bu. Silahkan." portal masuk komplek pun dibukakan. Kulajukan mobilku menuju rumah bergaya minimalis dengan banyak unsur kayu di dalamnya.
Aku memasukkan mobilku dan kuparkir bersebelahan dengan sedan milik Papa. Kulirik bantal sapi di belakang. Terpaksa masih harus bau iler dulu semalam. Dicuci sekarang rasanya aku lelah.
"Assalamualaikum" Aku sudah membuka kunci pintu rumah dengan kunci cadangan yang kumiliki.
Tak lama terdengar suara menyahut dari dalam kamar. "Waalaikumsalam. Kamu pulang Del?" suara Mama memanggil.
"Iya, Ma." aku menghampiri Mama dan mencium tangannya. "Papa mana? Udah tidur?"
"Udah. Papa baru saja tadi sampai. Ngantuk katanya. Mau tidur cepat. Kamu udah makan?" tanya Mama lagi.
Aku meletakkan kue dan makanan yang dibawakan ibunya Maya diatas meja makan. "Ini dari Maya, Bu. Adel baru dari pesta hajatan Maya."
"Maya udah nikah? Sama siapa? Kok enggak ngundang-ngundang sih? Esih lupa sama Mama?"
"Tante Esih bukan lupa, tapi mikirnya Mama masih di luar kota. Adel mau mandi dulu ya Ma. Lengket. Udah pegel banget nih badan."
"Iya." jawab Mama singkat.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!