Sejak pulang dari rumah Adel, Richard terus mengurung diri di kamar. Pikirannya mumet. Hatinya remuk.
Richard memarkirkan mobilnya di samping mobil Jazz yang sudah dibawa pulang oleh penjaga rumah di Hang Tuah. Ia menutup pintu mobilnya dengan kencang dan langsung masuk ke dalam rumah.
Tak Ia hiraukan keluarganya yang sedang asyik bermain PS di ruang keluarga. Ia langsung naik ke atas dan mengurung diri di kamar. Hanya satu orang yang menyadari perubahan sikap Richard, yakni Leo.
Richard masuk ke dalam kamar mandi dan menyalakan shower. Ia duduk di bawah kucuran air dingin, berharap dinginnya air dapat memadamkan hatinya yang membara.
Apakah salah kalau Ia ingin berubah?
Apakah salah kalau Ia menginginkan wanita baik-baik untuk Ia ajak berhubungan serius?
Apakah hanya karena menolong dirinya Papanya Adel malah jadi kena getahnya?
Semua berawal dari kebodohannya mengkonsumsi barang haram tersebut. Karena keinginan untuk melupakan sekejap permasalahannya malah membuka permasalahan yang lain.
Ibaratnya, gali lubang tutup lubang. Membuka lubang baru untuk menutup lubang yang lama. Tidak akan pernah selesai jika Ia tidak menutup lubang tanpa harus menggali yang lain.
Richard menyandarkan punggungnya di tembok. Masih di bawah guyuran air mengalir. Ia memejamkan matanya.
Bayangan Adel yang hanya menganggapnya tak lebih dari sekedar teman membuat hatinya sakit. Sudah beberapa kali Ia tegaskan pada Adel, kalau Ia mau hubungan yang serius namun Adel tak lebih menganggapnya seperti sedang membual.
Cukup lama Richard berdiam diri di bawah kucuran air shower. Tak juga reda panas di hatinya. Ia pun bangkit dan mematikan air shower. Membuka bajunya yang basah kuyup dan memakai jubah mandinya.
Richard berjalan menuju lemari bajunya. Mengambil sebuah kaos dan celana panjang lalu membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Menyembunyikan wajahnya di dalam selimut tebal nan lembut.
Sebuah ketukan di pintu membuatnya sedikit terganggu.
Tok...tok...tok...
"Kakanda, ayo turun. Kita makan malam!" panggil Maya, adik iparnya yang perhatian dan suka ngeselin.
Tak juga mendapat jawaban, Maya mengetuk pintu kamar lagi.
"Ka, Kakanda udah bobo ya?"
Richard tak mengeluarkan suara apapun. Ia berharap adik iparnya yang rada oon itu akan pergi meninggalkannya.
"Ka, jam segini udah bobo? Memangnya tadi enggak tidur siang ya?"
"Memangnya anak kecil, kalau enggak tidur siang jadi cepet tidur malamnya!" sungut Richard dalam hati. Kapan pinternya sih tuh adik ipar?
"Kakanda mau aku bawain aja makan malamnya ke kamar?" masih usaha aja nih Maya. Itu lah bedanya Maya dan yang lain.
Dengan kesal Richard membuka pintu kamar. Inginnya marah dan memaki bahkan membentak siapapun yang mengganggu dirinya. Tapi mendapati Maya yang mengkhawatirkannya sambil menatapnya dengan puppu eyes, membuatnya menahan amarahnya.
Mana mungkin Ia bisa marah dengan malaikat baik hati kayak Maya? Malaikat oon tapi penuh perhatian.
"Aku enggak lapar. Aku mau tidur. Jangan gangguin ya." Richard hendak menutup kembali pintunya namun Maya sempat menahannya.
"Kakanda sakit? Mau aku bawain obat enggak?" perhatian yang ngeselin. Disuruh jangan ganggu malah terus kepo.
Richard menghela nafas dan menahan kesabarannya. Maya enggak salah. Jangan melampiaskan emosi pada orang yang enggak salah. Tak adil namanya. "Enggak usah. Aku baik-baik aja. Nanti aku ambil sendiri kalau aku butuh."
"Yaudah. Kabarin ya kalau butuh bantuanku." Richard mengangguk tanpa kata. Ia kembali menutup pintu kamarnya.
Ia masuk lagi ke dalam selimut dan menyembunyikan lagi wajahnya. Patah hati... oh patah hati...
****
Adel
Sejak kemarin aku terus menatap layar ponselku. Tak ada pesan yang Ia terima. Tak ada panggilan masuk dari orang yang sudah kutolak perasaannya.
Rasa bersalah menyelingkupiku. Apa aku udah berbuat jahat? Apa aku menyakiti Richard terlalu dalam.
Dan sampai jam 2 malam aku masih terjaga. Suara jam di ruang tamu rumah Papa terdengar jelas dan kencang. Berdentang dua kali.
Mataku kering dan pikiranku serta hatiku tak tenang. Aku seperti seorang pendosa. Seharusnya aku bahagia, ini yang kuharapkan kan?
Aku teringat lagi sorot mata Richard yang dipenuhi dengan sakit hati. Merasa terluka karena perbuatanku.
Aku baru tertidur saat jam 4 pagi dan terbangun hampir kesiangan. Gila, jam 6 pagi baru bangun. Cibubur-Sudirman mana keburu?
Terpaksalah aku ijin tidak masuk kerja. Mendadak. Alasannya migrain. Huft...
"Loh kamu enggak kerja, Del?" tanya Mama yang menemani Papa sarapan di meja makan.
"Kesiangan Ma. Sekalian aja enggak masuk kerja." aku mengambil dua buah telur rebus dan memakannya.
"Baru jam 6 pagi udah kesiangan. Bilang aja kamu males masuk kantor kan?" sindir Mama.
"Mama enggak tau aja, dari Cibubur ke Sudirman tuh macet, Ma. Mobilku enggak ada. Motor juga enggak ada. Naik ojek online mahal, dari ujung ke ujung. Satu-satunya jalan ya naik angkutan umum. Bisa sampai kantor jam 9. Telat. Mending enggak masuk sekalian."
Aku menuang secangkir teh melati tanpa gula dan meminumnya. Wangi teh sudah cukup, tak perlu tambahan gula lagi.
Kuketuk kulit telur ke keningku dan membukanya. Kebiasaan yang membuat Mama dan Papa selalu geleng-geleng kepala.
"Kamu beneran cuma temenan doang sama Richard?" pertanyaan Papa membuatku kembali mengingat kejadian kemarin. Membuat rasa bersalah kembali melingkupiku.
"Iya. Kami cuma temenan aja." jawabku sambil mengunyah telur dengan pelan dan agak lama lalu menelannya. Teringat nasehat Richard kemarin agar aku makan pelan dan lama mengunyahnya agar tidak mual. Ah lagi-lagi Richard, lagi-lagi Richard. Sebal.
"Padahal kalau dia bukan pemakai, dia tuh menantu idaman banget loh Del." ucapan Mama membuat Papa mendelik kesal.
"Mama mah jujur, Pa. Semua kriteria menantu idaman Papa kan ada dalam diri Richard. Kaya, tajir, mobilnya aja jarang ada yang punya, ganteng dan keluarganya tajir melintir. Kurang apa lagi coba?" Mama masih saja menyuarakan pemikirannya. Tak peduli dengan muka Papa yang ditekuk sebal.
"Mama lupa? Karena siapa Papa ditugaskan ke Semarang?" sindir Papa.
"Bukannya lupa, Pa. Bukan salah dia kalau Papa dipindahtugaskan. Papa sudah benar menuruti hati nurani Papa. Ini udah takdir. Mungkin memang jalannya kayak gitu."
"Kenapa Mama jadi membela anak itu?" Papa menatap Mama tak suka.
"Bukan membela, Pa. Dia itu calon potensial jadi menantu kita. Papa bayangin deh, kita besanan sama Dibyo Kusumadewa. Nama Papa sebagai Jaksa Penuntut Umum yang sudah berbaik hati meringankan hukuman Richard akan harum di mata keluarganya. Lalu kita akan terbawa nama keluarga kita. Mama dengar perusahaan mereka semakin berkembang saja. Siapa pewaris semua itu kalau bukan Richard si anak pertama mereka?" Mama terus saja berceloteh. Membanggakan Richard.
"Mama mau punya menantu pemakai obat-obatan kayak gitu?" kembali Papa mematahkan lamunan indah Mama.
"Ah Mama lihat dia segar bugar gitu. Udah enggak make lagi, Pa. Beda muka antara pemakai dan tidak."
Aku diam saja memperhatikan obrolan Mama dan Papa yang lebih menjurus ke pertengkaran tersebut. Sepertinya Mama mulai mendukung Richard.
"Terserah Mama aja deh. Papa kenyang. Omongan Mama bikin Papa enggak nafsu makan." Papa pun beranjak dari meja makan, namun baru beberapa langkah Papa berhenti.
"Papa antar kamu pulang ke kontrakkan nanti. Enggak usah pakai ojek segala. Sekalian Papa mau lihat kontrakkan kamu kayak gimana!"
"Iya, Pa."
Aku mengambil lagi satu buah telur rebus dan kembali memecahkannya di keningku. Masih lapar ternyata.
"Del." panggil Mama.
"Iya, Ma."
"Kamu pernah diajak ke rumahnya Richard belum? Rumahnya gimana? Pasti kayak istana ya?" tanya Mama penasaran.
"Enggak tau, Ma. Adel belum pernah ke rumahnya. Cuma ke kontrakkan dan apartemennya aja." jawabku jujur. Tersiksa juga makan dengan lama dikunyah dan pelan-pelan. Namun karena mualku bisa diredam aku harus melakukannya.
"Ngapain kamu ke kontrakkan dan apartemennya Kalian melakukan hubungan terlarang ya?" Mama menatapku tajam.
Uhuk....Uhuk...
"Mama apa sih? Adel enggak kayak gitu, Ma. Suudzon aja nih!" aku mengambil teh hangat dan meminumnya. Menetralisir rasa pedas di dada.
"Ya terus kamu ngapain disana? Kalau ketahuan Papa kamu, bisa habis kamu, Del." ancam Mama.
"Enggak ngapa-ngapain, Ma. Cuma numpang parkir dan ambil mobil. Kita kan mau CFD (Car Free Day), Ma. Cuma markir mobil aja. Terus jalan kaki sampai Bundaran HI."
Seakan tak peduli dengan penjelasanku, Mama malah menanyakan hal lain. "Kalau Mama sih setuju kamu sama Richard. Sana kamu deketin lagi. Mama yakin dia suka banget sama kamu. Goda dikit juga lemah. Kapan lagi ada anak pengusaha terkenal dan kaya raya yang suka sama kamu."
"Ma."
"Kalau dibandingin sama mantan pacar kamu si Pandu yang dekil dan kere, jauh Del. Richard jauh lebih hebat kemana-mana. Tangkapan bagus kalau dapat dia."
"Ma." aku berusaha menghentikan Mama yang terus berceloteh.
"Apa kamu masih berharap sama Rian? Kakaknya Maya yang diusir dari rumah? Ya walau dia udah kerja tetap saja enggak ada seujung kuku lebih hebat dari Richard. Masih aja jadi kacung kampret. Enggak layak jadi calon menantu."
"Ma! Jangan membandingkan mereka semua. Mereka berbeda, enggak bisa disama-samain. Lagi juga antara Adel dan mereka semua hanya teman. Dan tentang Pandu, Adel akui itu kesalahan Adel. Jadi tolong kita enggak usah bahas lagi ya."
Aku berdiri hendak meninggalkan meja makan. Namun perkataan Mama membuatku membeku diam.
"Seharusnya kamu bersyukur, Del. Ada orang seperti Richard yang menyukai kamu sampai sebegitunya. Banyak-banyak berkaca. Jangan besar kepala."
Tes... Air mataku pun menetes tanpa bisa ditahan lagi.
Sakit...
Sakit banget...
Mengapa Mama setega itu?
Aku hanya menyuarakan isi hatiku. Kenapa aku bahkan tak boleh memilih? Apa aku serendah itu sampai tak memiliki hak untuk memilih?
Tok....tok...tok...
"Del, ayo Papa antar kamu pulang. Sekalian Papa mau ke tempat lain." suara Papa di depan pintu kamarku.
"Iya." aku mengatur nada suaraku agar tak kentara kalau aku habis menangis.
"Papa tunggu di mobil ya." langkah kaki Papa meninggalkan kamarku. Aku mencuci mukaku di kamar mandi. Jangan sampai Papa melihatku menangis.
Aku mengambil tas kecil yang kemarin kupakai serta jaket hodie. Melihat jaket aku jadi teringat Richard yang datang sambil tersenyum mengenakan jaket hodie.
Rasa bersalah kembali menderaku. Bagaimana kabarnya Richard ya?
"Kamu beneran enggak ada hubungan apapun sama Richard?" tanya Papa sambil mengemudikan mobilnya.
Aku melirik sekilas ke arah Papa. Masih ragu rupanya. Apakah kejujuranku sama sekali tak berarti?
"Enggak ada, Pa. Aku murni menganggap Richard sebagai teman saja." jawabku jujur.
"Kalau Papa lihat, Richard tidak seperti itu. Sebagai sesama lelaki, Papa bisa tahu kalau Ia menyukai kamu, Del."
Papa benar, Richard memang menyukaiku tapi apakah aku harus membalas perasaannya juga sementara hatiku sudah menjadi milik yang lain. Siapa lagi kalau bukan Kak Rian.
"Tapi Adel enggak suka, Pa. Adel cuma menganggap Richard teman yang baik dan menyenangkan."
"Apa dia pernah bersikap tidak sopan sama kamu?" selidik Papa lagi.
"Tidak sopan gimana, Pa? Selama ini Richard memperlakukan Adel penuh hormat. Enggak pernah berlaku kurang ajar."
"Oh syukurlah. Kalau menurut Mama, Richard itu menantu ideal. Bagaimana menurut kamu?" tanya Papa lagi.
"Bagi Adel, yang penting Adel menyukainya, Pa. Kalau Adel enggak suka buat apa? Mau itu menantu ideal sekalipun. Karena yang akan menjalaninya Adel nanti." jawabku sebal.
Papa tak lagi membahas tentang Richard. Papa mengantarku sampai kontrakkan dan melihat-lihat rumah kontrakkanku.
"Hmm... Lumayan bagus juga. Lingkungannya juga kondusif. Amanlah kamu tinggal disini. Papa jadi tenang." begitu penilaian Papa.
Aku mengantar kembali Papa sampai parkiran mobil di depan warung Pak Husin. Melihat sampai mobil Papa hilang di belokan jalan.
"Siapa tuh Del?" tanya Bu Sri tiba-tiba. Membuatku hampir terlonjak kaget.
"Ih ibu ngagetin saya aja. Itu Papa saya, Bu." kataku sambil menepuk dadaku yang berdebat kaget.
"Lah kamu enggak kerja, Del? Hari senin loh ini!" tanya Bu Jojo yang ada di samping Bu Sri. Memang Duo Julid ini kemana-mana selalu berdua.
"Hmm... Aku cuti, Bu." kataku beralasan.
"Yaudah kalau cuti, ikut kita yuk!" ajak Bu Sri.
"Kemana?"
"Makan bakso di dekat taman. Ayo ikut aja!" Bu Sri kini sudah menggandeng tanganku.
"I... Iya deh."
"Oke, karena kamu ikut, jadi kamu yang bayarin ya! Yuk kita kemon!"
Lah kenapa jadi aku yang traktir ya? Wah pemaksaan ini mah. Kali ini dua tanganku digandeng. Kiri Bu Sri dan Kanan Bu Jojo.
Kami pun sampai di warung bakso yang siang itu lumayan rame. "Mas, pesan bakso urat pakai mie kuning." pesan Bu Sri yang langsung duduk di bangku kebesarannya.
"Saya bakso urat pakai bihun. Kamu apa Del?" tanya Bu Jojo.
"Bakso aja sama sawi. Baksonya yang kecil-kecil ya Pak. Sawinya banyakkin." panjang lebar kusebutkan pesananku.
"Mau makan sawi apa mau makan bakso sih Del? Udah ayo kita duduk." Bu Jojo mengajakku bergabung dengan Bu Sri.
"Pak, es campurnya dua." sehabis teriak pada penjualnya Bu Sri bertanya padaku. "Kamu mau minum apa Del?"
"Air mineral aja, Bu."
"Oke. Satu lagi air mineral ya Pak!" teriak Bu Sri.
"Jadi, kamu ada masalah apa Del?" tanya Bu Sri sambil menatapku serius.
Masalah? Dari mana Bu Sri tau kalau aku ada masalah? Apa dia cenayang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
ani surani
ah, matre juga nih emaknya Adel 😅😅
2024-11-08
0
dyul
hihihi migren ketemu cenayang, tau aje lg ada masalah 🤣🤣🤣
2024-03-07
0
Khodijah Cyti
sabar cad, justru itu jadi hiburan tau 😄😄
2023-03-18
0