Flashback
Richard
Delima, cewek bermata sendu itu sepertinya belum tau apa itu toxic people. Pergaulannya kurang luas atau gimana? Atau terlalu naif?
"Kamu selesai event jam berapa?" tanyaku setelah pembahasan tentang toxic people selesai. Ia sepertinya cukup tersindir dan lebih sering menundukkan wajahnya. Malu atau .....
"Jam 8." jawabnya lugas.
"Nginep di hotel mana?"
"Di Hotel AB. Kenapa?" berani nanya balik ternyata dia.
"Hotel dan jam selesai eventnya sama. Bareng ya." bukan meminta tapi agak memaksa. Aku tahu itu.
"Masa sih? Kok bisa samaan gitu?" tanyanya penuh curiga. Dikira aku bohong kali.
Aku mengeluarkan kartu sekaligus kunci hotel tempatku menginap. "Beneran samaan kan?"
"Oh." Ia pasti malu sudah mencurigaiku seperti itu.
"Kita balik yuk. Udah kelamaan. Nanti pulangnya bareng ya. Jalan kaki bareng. Menikmati pemandangan sekalian JJM."
"JJM? Apa itu?"
"Jalan-jalan malam. Mumpung lagi di kampung orang bukan di kampung sendiri. Aku nunggu dk depan mall ya. Dekat parkiran motor."
Ia terlihat berpikir sejenak. "Hmm... Yaudah."
Dan kami pun berpisah. Aku yang kembali lebih dulu ke stand. Menghindari omongan orang tentang kami.
Aku sih enggak takut. Aku enggak mau Ia malah semakin kepikiran. Punya teman toxic people lalu ditambah gosip wah bisa down nanti mentalnya.
Aku gantian shift makan siang dengan temanku. Sekarang waktunya aku jualan. Mall menjelang sore semakin banyak pengunjung. Mungkin cuaca panas membuat orang malas keluar rumah, menunggu agak sore baru jalannya.
Target marketku adalah pasangan suami istri yang hendak membeli rumah atau karyawan yang memang ingin membeli rumah dengan cara KPR atau cash.
Aku menghampiri seorang karyawati yang sepertinya tertarik dengan brosur yang sempat dibagikan salah satu teamku di depan. Aku menghampirinya dan menyapanya dengan ramah.
Jurus andalanku juga kukeluarkan. Senyum memukau yang membuat siapapun yang melihatnya klepek-klepek. Tak terkecuali karyawati yang memegang brosur ini.
"Perumahan ini cocok untuk wanita karir seperti anda yang mengutamakan kenyamanan dan fasilitas yang lengkap. Lokasinya strategis, dekat dengan sekolah, pusat perbelanjaan, rumah sakit dan akses jalan toll."
"Tapi agak mahal ya." karyawati itu sedang mempertimbangkan biayanya.
"Justru itu, karena ini memiliki nilai investasi yang semakin lama semakin naik dan tinggi maka harganya juga menyesuaikan. Coba mbak bayangkan kalau 5 tahun lagi, akan dibangun kembali jalan toll maka akses semakin mudah dan mbak akan semakin untung karena harga jualnya semakin tinggi. Ibaratnya invest, profit yang akan mbak dapatkan semakin besar lagi. Sayang kalau kesempatan seperti ini disia-siakan loh."
"Ih Masnya bisa aja. Selain ganteng juga bisa banget jualannya." puji karyawati itu.
"Ah... Mbak bisa aja. Saya cuma mau menawarkan investasi buat mbaknya. Bukan semata-mata berjualan. Mbak untung nanti, saya juga senang."
Karyawati itu malah tertawa malu-malu. "Bisa aja nih. Saya kan jadi tergoda."
"Tergoda untuk beli perumahan ini kan Mbak pastinya?" aku mengeluarkan lagi senyum memukau milikku.
"Bukanlah. Tergoda buat bawa masnya ke rumah ha...ha...ha..."
Yaelah.... centil banget nih mbak-mbak. Enggak inget umur dan orang di rumah apa ya? Tapi aku harus sabar... sabar... Hari ini belum dapat satu pun dari targetku.
Harus pasang muka tembok. Dipancing dikit bisa dapet nih.
"Ah si Mbak bisa aja. Eh maksudnya mau diajak lihat-lihat katalog rumah sama saya gitu? Boleh itu mah.... boleh....." tak lupa senyum memukau dipasang lagi.
"Yaudah saya lihat deh lebih jelas ada fasilitas apa. Jadi tertarik nih saya karena masnya jago banget nawarin." puji karyawati itu sambil tertawa malu-malu dan menutupinya dengan tangan.
"Bukan, Mbak. Bukan karena saya pintar marketingnya. Tapi karena Mbaknya pintar melihat peluang dan barang bagus tentunya. Mari kita duduk disana. Saya jelaskan tentang fasilitasnya lebih detail lagi."
Aku pun mengarahkan karyawati itu ke kursi. Sambil jalan, mataku tak sengaja melihat ke arah Delima yang sedang menatapku.
Kaget karena mata kami saling bertemu, aku pun menyunggingkan seulas senyum. Ia membalas senyumku sambil tertunduk malu.
*****
Delima
Pekerjaan sebagai marketing bukanlah pekerjaan mudah. Harus pintar memutar otak dan bersilat lidah untuk meyakinkan customer. Kalau dalam istilah ruang lingkupku adalah nasabah.
Aku sedang memperhatikan Sisil dan Sita menawarkan brosur sambil sesekali menjelaskan tentang produk yang kami tawarkan pada calon nasabah yang merasa tertarik.
Cara menawarkan mereka standard. Seperti SPG di mall. Namun perhatianku teralih ke Richard.
Ia sedang melakukan pekerjaannya sebagai marketing. Menawarkan kepada karyawati yang awalnya hanya minat sedikit sampai akhirnya mau membeli apa yang Ia jual.
Hebat. Bagaimana interaksi antara marketing dan customer yang membuat customer sampai tidak sadar kalau sudah dimarketingin sama si marketing itu sendiri.
Terlalu asyik memperhatikan sampai tidak sadar ternyata Richard juga menatap ke arahku. Kaget tentunya. Aku hanya bisa membalas senyumannya sambil memegang jantungku yang tiba-tiba berdegup kencang.
"Bu, kita mau ke toilet dulu ya." ujar Sisil dan Sita. Tanpa menunggu jawabannya mereka pergi saja. Nyelonong tanpa ijin. Huh...
"Psst! Psst!"
Aku yang asyik mengetik menengok ke arah suara. Ternyata Richard. Ia menunjuk jam tangannya. Oh... maksudnya aku disuruh lihat jam tangan toh. Hmm... Udah mau jam 8 malam. Aku harus siap-siap nih.
Aku mengacungkan jempol ke arahnya pertanda oke. Dan iya mengangguk sambil tersenyum.
Sesuai janji, Ia sudah menunggu di dekat parkiran motor. Ia mengenakan sweater hitam dibalik menutupi kemeja yang Ia pakai. Terlihat manly sekali.
Ah aku jadi inget dengan Maya. Dulu kalau ngomongin tipikal cowok cakep tuh kami sepakat membaginya jadi dua, yakni ganteng dan manly. Ganteng di mata Maya ya si Leo itu. Mantan suaminya yang membuatnya tergila-gila sampai menghancurkan masa depannya.
Nah kalau Richard ini lebih ke manly. Kalau istilah anak muda mah cowok banget gitu. Tatapan matanya tajam, seperti mata elang.
Richard tipikal cowok yang kalau telat sedikit bercukur maka akan terlihat brewokannya. Biasanya nih, kalau brewokan ada bulu tipis di dadanya. Wow.... So sexy....
Ups.. Sadar Del... Sadar... Kok malah jadi mikirin bulu dada. Ya ampun Adel... Otaknya travelling kemana-mana. Ampun deh....
Richard sedang asyik memainkan Hpny sampai tidak tahu kalau aku sudah datang.
"Ehem." aku berdehem untuk memberitahu kedatanganku.
"Eh, kamu udah ada. Ayo kita jalan-jalan." ajak Richard.
"Kemana?"
"Hmm.... Makan aja yuk. Laper nih!" Richard mengusap perutnya dengan wajah memelas. Siapapun yang melihatnya pasti tak akan tega.
"Makan apa?"
"Makan bebek mau enggak? Katanya dekat sini ada yang jual bebek enak dan terkenal. Mau nyoba kesana enggak?"
"Mau aja, tapi...."
"Tapi apa?"
"Tapi aku yang bayar. Tadi kamu yang udah bayarin makan siang, nah sekarang aku. Gimana?" aku tak biasa berhutang budi pada siapapun. Sekarang saatnya aku gantian. Kalau Richard menolak ya aku juga akan menolak ajakannya. Adil kan?
"Oke. Enggak masalah. Ayo! Kita makan bebek!" tanpa malu dan ragu, Richard merangkul pundakku. Ia sudah merasa aku seperti teman dekatnya saja.
Aku agak risih sebenarnya. Pengalaman sebelumnya, banyak yang di depanku seolah berteman namun di belakang seperti Sisil dan Sita yang membicarakanku dan menjelek-jelekkanku membuatku belum sepenuhnya percaya pada Richard.
Kalau di cerita-cerita kan biasanya cowok ganteng suka taruhan demi mendapatkan cewek gendut. Nah takutnya Richard salah satu yang sekarang sedang menjalani hal itu.
Mataku reflek melihat ke sekeliling. Ada temannya atau kamera gitu yang merekam kami. Ternyata tak ada. Suasana seperti di parkiran motor pada umumnya.
"Eh Cat, kenapa kita janjian di parkiran motor ya? Memangnya kamu bawa motor?" aku seperti baru tersadar akan sesuatu.
"He...he...he... Enggak. Kebiasaan aja janjian di parkiran. Lagi juga aku enggak mau kamu digosippin sama teman kamu kalau kita janjian di lobby mall. Iya enggak?"
Masuk akal sih. "Iya juga."
Seperti sadar kalau sudah membuatku tak nyaman, Richard pun melepaskan tangannya dari pundakku. Kami berjalan kaki dalam diam. Bingung mau ngobrol apa. Aku juga buka tipikal orang yang bisa memulai percakapan.
Jalanan agak rame jam segini. Banyak yang pulang kantor mampir dulu untuk menikmati kuliner.
Kami pun sampai di Bebek Sinjay, makanan yang berasal dari kota Bangkalan, Madura. Bebek Sinjay dihidangkan dengan sambal Surabaya yaitu sambal pencit. Sambal pencit terdiri dari mangga muda yang diparut dan sambal uleg (cabai merah dan terasi) yang pedas.*
Richard mencari tempat duduk yang kosong lalu menarik tanganku secara mendadak. Mungkin takut tempatnya ditempati orang lain atau memang Ia terbiasa melakukan skinship dengan orang lain termasuk yang baru dikenalnya?
"Aku pesenin dulu ya." aku yang berinisiatif memesankan makan. Biar nanti aku juga yang bayar. "Minumnya apa?"
"Apapun makanannya minumnya Teh Botol Sosro." lawakan receh yang berhasil membuatku tersenyum.
"Iklan banget. Oke. Aku pesenin dulu ya." aku pun mengantri pesanan.
Kami menyantap makanan dengan lahap. Mungkin karena lapar dan memang karena enak jadinya cepat habis.
"Gimana, nyampe target enggak hari ini?" Richard membuka percakapan setelah perut kami sama-sama kenyang.
"Belum sih. Mall masih sepi. Maklum hari kerja." aku meminum es teh manis yang kupesan. Kebiasaanku memang makanan yang habis duluan baru minumnya. Jadi minumanku masih banyak sementara makanan sudah habis dari tadi.
"Bukannya produk bank justru lebih laku kalau hari kerja ya?"
"Kalau hari kerja kayaknya orang lebih memilih ke banknya langsung deh. Tujuan buka stand disini ya mengincar para nasabah yang males ke bank dan lebih suka berlama-lama nongkrong di mall dan ngabisin uang. Kayak menyadarkan mereka kalau harus ingat menabung gitu. Tapi kita bukan cuma jual produk tabungan aja. Macem-macem."
"Em... Maaf nih ya Del. Seperti yang aku dengar di toilet. Memangnya kamu di pusat jabatannya apa sih? Sampai harus mengawasi yang dicabang segala?" Richard langsung mengalihkan topik pembicaraan ke hal yang sejak tadi sengaja aku hindari.
"Bukan apa-apa kok. Aku tuh cuma perwakilan aja dari kantor cabang di Jakarta. Mereka nyebutnya pusat, ya Jakarta itu pusat. Padahal kantor pusat mah beda lagi. Kebetulan yang dari Jakarta kebagian buat ngawasin yang di daerah. Aku yang terpilih."
"Tapi kok tuh dua cewek itu songong banget ya sama kamu? Bukannya secara enggak langsung kamu tuh atasan mereka ya?"
"Enggak juga. Kami sama kok. Rekan kerja semua."
"Wah baik banget nih kalau punya atasan kayak kamu. Menganggap anak buah bak rekan kerja." aku tersenyum, merasa sedikit tersanjung dengan pujian Richard.
"Sebenarnya dalam bekerja itu beda atasan dan bawahan kan hanya tanggung jawab dan gaji tentunya. Sisanya dalam bekerja ya kita semua rekan, teman."
Richard tersenyum. Senyum misterius yang disusul dengan perkataan telak yang membuatku diam tak berkutik.
"Sayangnya enggak semua orang menganggap prinsip kamu itu benar. Contohnya anak buah kamu yang berani ngomongin kamu di belakang dan berbisik-bisik di depan kamu. Aku saja tau mereka sedang ngomongin kamu. Enggak mungkin kan kalau kamu enggak tau?"
Aku hanya bisa diam. Ternyata Richard sudah memperhatikanku sebelumnya. Aku tahu Sisil dan Sita suka berbisik di depanku, ya membicarakanku tentunya tapi aku pura-pura tak tahu.
"Kamu tahu, kadang seseorang itu merasa dirinya selalu benar meski tindakannya salah. Dengan mendiamkan mereka dan kamu bertindak tidak tahu, sama saja membiarkan mereka melakukan kesalahan dan membuat mereka tak pernah merasa bersalah. Jujur saja, kamu ada turut andil di dalamnya."
Kenapa Richard jadi nyalahin aku? Kan mereka yang ngomongin aku. Jadi curiga aku kalau Richard adalah kubu Sisil dan Sita.
"Maksud kamu apa ngomong kayak gitu?" aku mulai tersulut emosinya mendengar perkataan Richard.
"Nah begitu. Aku mau kamu marah kayak sekarang ke dua anak buah kamu. Kamu nanya sama mereka, 'Maksud kalian apa ngomongin saya kayak gitu?!'"
Baru kusadari ternyata aku masuk dalam jebakannya. Begitu mudahnya aku mengeluarkan emosiku padanya. Emosi yang selama ini biasa kutahan seorang diri. Siapakah dia? Apa Ia bukan sales biasa?
"Kok diem? Marah ya? Maaf aku enggak bermaksud menggurui kamu. Cuma mau kasih tau aja, sekali-kali enggak apa-apa menyuarakan isi hati. Kamu berada di posisi yang benar kok jangan takut."
Semakin aku penasaran dengan caranya mengubah kekakuan dengan cepat. Apa Ia sales pengalaman? Pintar membaca orang?
"Kita balik yuk! Aku ngantuk mau tidur. Badan pada pegel-pegel. Hoamm!" Ia lalu meregangkan tubuhnya dan berjalan meninggalkanku yang masih diam di tempat.
Aku mengambil tasku dan berjalan keluar mengikutinya. Ia ternyata sedang menelepon seseorang.
"Iya. Bisa kok. Santai aja. Kecil itu mah. Nanti Richard tampan ini bawain kamu ya Sayang Ha..ha..ha... " Ia tertawa mendengar suara di ujung sana.
Pacarnya? Istrinya? Kenapa manggilnya Sayang? Apa Richard beneran playboy? Apa Ia beneran lagi ngeprank aku?
Kembali aku celingukan mencari kamera. Ke kanan dan ke kiri. Enggak ada kamera.
Aku pun melihat Hp yang Richard gunakan. God, Iphone terbaru. Apa Ia ngedeketin aku dengan tujuan agar aku belikan dia barang branded?
Dari mana coba uang untuk beli Hp mahal kayak gitu. Kalau dilihat dari kemeja dan jam tangan yang Ia kenakan semuanya biasa aja. Tapi Hp nya mahal? Hmm.... makin mencurigakan!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Fenty Izzi
adel curigaan mulu😔
2022-11-01
1
Bestie Oscar_OliverXXXL 😂🙈
Curigaan mulu nih si adel
2022-10-23
0
nurlaeli saiful
yeee bebek sinjay (sinar jaya) daerahku mengudara di novel ini, keren kak thor👍
2022-05-24
0