Adel
Siapapun yang ada di posisiku pasti akan bertanya, "Apakah Bu Sri dan Bu Jojo paranormal? Cenayang? Atau anak Indigo?"
Aku bukan Maya yang memiliki keterikatan batin dengan Duo Julid. Mengenal mereka hanya sebatas saling kenal biasa.
Kedekatan kami hanya sekedar berangkat bareng ke kondangan Maya. Kalau masalah nyium bau kentut bareng itu bukan masuk kategori dekat ya. Beda itu mah.
Yang mengherankan adalah, Duo Julid ternyata lebih peka tentang kegalauanku dibanding Mamaku sendiri. Mama saja seenaknya berkata tanpa mikirin perasaanku. Lah mereka yang notabene bukan siapa-siapa aku malah lebih dekat dan peka. Heran...
"Aku enggak ada apa-apa kok, Bu." membohongi Duo Julid tidak semudah yang dipikir. Mereka makhluk yang peka. Amat peka.
"Bohong ah kamu. Enggak cihuy." Bu Sri menuangkan saus ke dalam mangkok bakso yang masih mengepulkan asap panas. Bisa bangkrut tukang bakso kalau semua pembelinya kayak Bu Sri. Pakai saos enggak kira-kira.
Aku mengangin-anginkan kuah bakso agar dingin. Makan bakso tanpa saus dan sambal seperti biasanya.
"Selera kamu sama kayak Maya, Del. Beneran kayak anak kembar kalian. Tapi bedanya tingkat kepintaran kamu melebihi tingkat keoonan Maya." komentar Bu Jojo.
"Ih Ibu mah begitu. Saya memang mirip sama Maya, Bu. Karena banyak hobby dan kebiasaan kita yang sama."
"Terus kamu lagi mikirin apa? Mukanya suntuk begitu." Bu Sri kembali lagi ke topik bahasan sebelumnya.
Aku menghela nafas. Kayaknya percuma menghindar dan berbohong dari ibu-ibu super peka ini. Ditanya terus sampai aku jawab dengan jujur.
"Aku lagi kepikiran sama temanku, Bu." pakai alasan teman. Berbohong sedikit tak masalah toh.
"Kenapa teman kamu?" tanya Bu Sri yang sedang membuka plastik kerupuk dan mencelupkannya di kuah super pedasnya tersebut.
"Teman aku habis dilamar tapi enggak suka sama cowok tersebut."
"Yaudah tolak aja." jawab Bu Sri asal.
"Udah. Nah masalahnya mamanya temanku ternyata setuju, sedang papanya temanku masih ragu dan agak kurang setuju."
"Yang ngejalanin pernikahannya siapa? Mamanya atau anaknya?"
"Ya anaknya Bu."
"Ya kalau anaknya enggak sreg orang tua bisa apa? Enggak bisa dipaksain, Del. Tapi...."
Jawaban Bu Sri yang menggantung membuatku semakin penasaran. "Tapi apa Bu?"
"Biasanya seorang ibu tuh punya feeling kuat akan sesuatu. Enggak bakalan Ibu mau anaknya menderita. Malah ibu tuh ibaratnya kaki di kepala, kepala di kaki kalau demi anaknya."
"Termasuk ibu yang matre sekalipun?" rasa penasaran membuatku bertanya tentang apa yang mengganjal sekali dalam hatiku.
Bu Sri terlihat berpikir sejenak, otak mah mikir tapi mulut tetap aja asyik ngunyah. Mengetahui sahabatnya buntu dalam memberi jawaban, Bu Jojo pun turun tangan. Ia yang sejak tadi hanya nyimak akhirnya menyuarakan isi hatinya.
"Menurut saya, matre tuh ada kategorinya. Matre untuk kebaikan atau matre untuk keuntungan sendiri. Matre untuk kebaikan itu biasanya bukti cinta seorang ibu pada anaknya. Dia mau anaknya hidup nyaman, makanya mau anaknya mendapat jodoh yang mapan. Ya salah satu bentuk kasih sayang lah."
"Kalau matre untuk keuntungan sendiri, apa bedanya?" tanyaku sambil memakan bakso dengan pelan.
"Ya dia yang minta dibeliin macem-macem. Kayak minta mobil, rumah, perhiasan. Kalau yang diminta hanya hal-hal receh mah masih wajar. Enggak ada apa-apanya dibanding jasa tuh ibu dalam membesarkan seorang anak."
Jawaban yang masuk akal. Aku hanya manggut-manggut saja mendengarnya. Aku lalu beranikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang sejak tadi mengusik pikiranku.
"Oke, lupakan tentang orang tua yang matre. Sekarang masalahnya teman aku tuh enggak suka sama tuh cowok. Apa masih harus dilanjutkan hubungannya?"
"Enggak usah!" jawab Bu Jojo.
"Lanjutin lah!" jawab Bu Sri.
"Wah enggak kompak nih jawabannya." Aku tertawa kecil dibuatnya. Asyik juga ternyata mengobrol sama mereka.
"Kalau saya mah pernikahan itu harus dilandasi oleh cinta." jawaban puitis dari Bu Jojo.
"Kalau saya mah enggak pakai cinta udah jadi tuh anak dua. Kawin mah pake urat bukan pake cinta ha...ha...ha..."
Kami pun tertawa mendengar jawaban asal dari Bu Sri. Jawaban khas emak-emak tukang rumpi di tukang sayur.
"Ih ibu mah jawabannya menjurus ke hal-hal goib." ledekku.
"Bukan hal goib, Del. Hal yang rasanya enak tapi tanpa wujud. Tapi saya serius Del. Cinta tuh hadir karena biasa. Asal kamu mau membuka hati dan diri, cinta pasti bisa hadir. Sekarang saya nanya sama kamu, dia baik enggak orangnya?"
Tanpa ragu kujawab, "Iya."
"Setia enggak orangnya?"
"Dulu sih player tapi sekarang udah tobat. Makanya mau berhubungan serius... sama temanku." tak lupa aku menambahkan kata temanku agar tidak ketahuan bohongnya.
"Hmm... Udah ada dua poin plus. Lalu keluarganya gimana? Maksudnya selain kaya, baik enggak? Orang tuanya bibit mertua yang bikin menantu makan hati enggak?" Bu Sri kini menikmati es campurnya. Memakan tape singkong dicampur kuah es. Membuatku reflek menelan ludah, ngiler. Enak banget kayaknya.
"Mama Papanya sih baik. Hangat lagi. Malah keluarga idaman... temanku. Dan menantu mereka juga hidup bahagia dengan mereka, berarti kan mertua yang baik."
"Lantas apa yang kamu khawatirkan?" tanya Bu Jojo tiba-tiba.
"Ya bukan gitu, eh... teman saya maksudnya Bu. Teman saya enggak khawatir. Hanya merasa enggak bisa aja hidup dengan orang yang dia enggak cinta. Gitu aja." hampir aku terjebak pertanyaan Bu Jojo. Kayaknya mereka sudah menduga nih, curhatanku bukan tentang temanku tapi tentang diriku sendiri.
"Yaelah masih aja bahas cinta. Makan tuh cinta! Negara lain mah udah sampai ke Mars ini masih aja ngomongin cinta. Cinta mah bisa dibikin Neng. Dan bikin anak juga enggak usah pakai cinta. Yang penting tuh cowok bener, tanggung jawab. Nanti cinta juga datang sendiri." jawab Bu Sri ceplas-ceplos seperti biasanya.
"Ya... Ya itu kan terserah teman Adel, Bu. Lagi juga teman Adel udah ada orang yang dia suka kok."
"Kamu makan bakso aja lama banget, Del. Sini saya bantuin." tanpa permisi Bu Sri mencomot sabuah bakso dari mangkokku dan memakannya. Lagi-lagi seenaknya sendiri. Bener-bener deh. Kok Maya tahan ya temenan sama yang model kayak gini?
"Kalau kurang pesan lagi sama, Sri. Laper banget kayaknya kamu!" protes Bu Jojo.
"Enggak usah. Ini cuma gemes aja liat Adel makannya dikit-dikit dan lama banget. Keburu dingin nanti bergaji baksonya." Bu Sri kembali menatapku.
"Del, teman kamu kan suka sama orang lain, tuh orang yang disukain juga suka sama teman kamu enggak? Apa jangan-jangan cuma punuk merindukan rembulan?" pertanyaan Bu Sri lebih ke sindiran menurutku.
"Ya... Enggak tau, Bu. Kayaknya sih enggak suka." jawabku jujur.
"Berarti kamu bodoh, Del. Melepas yang mencintai kamu dan memilih yang kamu cintai. Kamu inget enggak ceritanya Sancay dan Tao Ming Tse? Si Sancay kan sukanya sama Hua Ce Lai, padahal yang suka sama dia tuh Tao Ming Tse. Nah ujung-ujungnya yang bikin Sancay cinta mati kan Tao Ming Tse. Artinya apa? Artinya cinta datang karena biasa." wow... mantap banget nih ceramahnya Bu Sri. Bawa drama Taiwan segala.
"Witing tresno jalaran soko kulino, artinya cinta tumbuh karena terbiasa." kata Bu Jojo menambahkan.
"Iya sih. Eh... Itu kan cerita teman Adel. Kenapa malah Adel yang dibilang bodoh?" tanyaku tak terima.
"Kalau mau bohong jangan sama kita, Del. Masternya master kok dibohongin, iya enggak Jo?" kata Bu Sri dengan sombongnya.
"Iya lah. Duo Julid gitu. Salam jagung rebus, hobah!" Bu Jojo dan Bu Sri pun toss-tossan.
Malu ketahuan berbohong aku memilih diam saja. Ternyata mereka tak sebodoh yang kupikir. Pelajaran hari ini Del, don't judge a book by a cover.
****
Richard
Aku menaruh nampan makan siang diatas meja yang masih kosong. Aku lapar berat, sejak kemarin belum makan lagi.
Ternyata efek langsung patah hati adalah lapar. Sok-sokan kemarin enggak mau makan eh sekarang malah laper banget dan makan kayak orang kesetanan.
"Hi Cat!" sapa Lidya yang langsung menaruh nampan dan duduk di depanku. Kami memang biasa makan siang bareng. Sejak dua sejoli Maya dan Leo jarang makan siang bareng kini hanya aku dan Lidya yang makan siang bareng di kantin. Aldi sudah gabung dengan geng Fahri dan Anggi.
"Mm." jawabku dengan mulut yang penuh dengan makanan.
"Laper banget kamu kayaknya. Memangnya enggak sarapan?" tanya Lidya yang mulai menikmati makan siangnya.
"Enggak. Tadi pagi kesiangan." jawabku setelah mulutku kosong tak ada makanan lagi.
"Tumben. Biasanya paling rajin ke kantor."
"Tadi agak meriang. Jadi aku habis solat subuh tidur lagi. Baru bangun jam setengah 7, langsung aja ngacir ke kantor." gimana enggak meriang, kemarin perut kosong malah bertapa di bawah shower ya greges-greges deh badan. Untung sekarang Leo enggak pake motor lagi, dengan motor Leo enggak telat masuk kantor.
"Udah minum obat belum?" Lidya sekarang suka kasih perhatian padaku. Mungkin udah berani kali padaku karena aku enggak suka lagi sama dia. Kalau dulu kan takut-takut gitu.
"Enggak usah minum obat. Tadi pagi mandi air hangat dan minum susu hangat di pantry, udah enakkan sekarang." aku memakan lagi makananku yang tinggal beberapa suap lagi.
"Oh yaudah. Kamu lagi ngerjain proyek apa Cat?" Lidya mengalihkan pertanyaan. Suara berisik di belakangku membuatku menunggu mereka sampai lebih tenang baru menjawab pertanyaan Lidya.
"Aku lagi belajar manajemen sekarang Lid. Papa sudah menyuruhku terjun langsung bantuin Leo. Kasihan Leo kalau handle semua sendiri." rencana Papa akhirnya aku iyakan saat pagi tadi berpapasan dengan Papa. Aku harus menyibukan diri daripada terus patah hati.
"Wah bagus dong. Kenapa enggak dari dulu aja sih kamu belajar manajemen perusahaan? Kamu pasti cepat tanggap deh, otak kamu kan cerdas." puji Lidya. Nampaknya Ia senang sekali mendengar aku mau belajar manajemen. Terlihat dari matanya yang berbinar-binar.
"Aku memang pintar, namun enggak bijak kayak Leo. Makanya pimpinan tetap Leo yang pegang. Aku pegang manajemen dan strategi perusahaan. Saling membantu lah. Toh perusahaan ini untuk anak cucu Papa nantinya. Jangan hancur hanya karena keegoisan seseorang."
Lidya bertepuk tangan. "Kamu beneran berubah banget ya. Kayak orang yang dicuci otaknya. Kamu jauh banget bedanya dibanding kamu dulu. Udah enggak ambisi lagi. Malah mulai bijak. Wah salut aku jadinya."
"Beneran nih salut? Nyesel dong dulu nolakku?" ledekku. Beneran murni menggoda saja bukan modus.
"Ih apaan sih. Yang lalu biarlah berlalu." Lidya pun menunduk malu. Dan aku tak menyadari arti sikapnya yang malu-malu itu.
Selesai makan aku kembali lagi ke ruanganku. Papa sudah menyediakan ruangan baru untukku. Letaknya bersebelahan dengan Leo. Bedanya aku tak memiliki sekretaris pribadi seperti Leo.
Tok...tok....tok...
"Masuk." kataku mempersilahkan yang mengetuk pintu ruanganku.
"Gimana ruangannya? Suka?" ternyata Papa yang datang bersama sekretaris pribadinya.
"Suka-suka aja. No problemo. Papa mau minum apa?" aku berjalan menuju lemari es di sudut ruangan.
"Susu Beruang aja. Biar sehat." jawab Papa.
"Enggak ada. Adanya You D dan Jus. Mau yang mana?"
"Jus aja. Rasa apa aja terserah."
Aku mengambil dua buah minuman lalu meletakkannya di depan Papa dan sekretaris pribadinya. "Diminum, Om."
"Kamu udah terima berkas-berkasnya kan? Kamu pelajari dulu lalu konsultasi sama Leo. Belajar cara Leo mengambil keputusan kayak gimana. Biar begitu adik kamu bijak dan keputusannya banyak mendatangkan keuntungan buat perusahaan."
"Iya, Pa."
"Belajar yang banyak. Tapi Papa enggak mau kamu memimpin perusahaan ini."
Perkataan Papa membuatku spontan mengangkat kepalaku. "Maksud Papa apa?"
Apa Papa mau mendepakku dari perusahaan?
Apa Papa akhirnya menyerahkan perusahaan ini sama Leo?
Apa aku akhirnya tak dibutuhkan?
Aku sudah berpikiran buruk sebelum Papa memberitahu maksud perkataannya apa.
"Tenang dulu. Jangan emosi. Jangan mikir jelek dulu." Papa menenangkanku sebelum emosi menguasaiku.
"Ya terus?"
"Jadi begini, Papa merasa kamu tuh tipikal orang yang menyukai tantangan. Beda dengan Leo yang orangnya suka berinovasi. Nah, Papa tuh mau memfasilitasi kamu. Gunakan kepintaran yang kamu miliki. Papa yakin akan berhasil nantinya."
"Richard enggak ngerti. Maksud Papa apa?"
Papa tersenyum. Senyum misterius yang penuh rencana. "Papa mau kamu buat perusahaan sendiri."
"Bikin perusahaan? Caranya?"
"Ya itu!" Papa menunjuk setumpuk berkas dan laporan di mejaku. "Pelajari dulu berkasnya. Perdalam ilmu manajemen dan marketing kamu. Papa mau kamu mulai bangun perusahaan dari nol. Dengan kemampuan kamu, Papa yakin kamu pasti bisa."
"Papa yakin?" tanyaku ragu-ragu.
"Kapan Papa pernah ragu dalam membuat keputusan?"
Aku pun terdiam. Memiliki perusahaan sendiri. Perusahaan yang aku bangun sendiri mulai dari nol. Perusahaan tanpa mendompleng nama besar Papa, ya meskipun modalnya dari Papa sih.
"Oke. Richard setuju. Richard bakalan belajar lebih serius lagi." tekadku.
"Nah gitu dong! Baru anaknya Dibyo Kusumadewa. Kamu mau buat perusahaan apa?" tanya Papa.
"Richard enggak mau buat perusahaan, Pa. Richard mau buat Bank. Perusahaan Papa banyak, berbagai bidang usaha ada. Richard mau buat Kusumadewa Bank. Gimana?"
Papa geleng-geleng kepala mendengar ideku. "Papa enggak nyangka ide kamu. Out of the box tentunya. Oke! Papa setuju."
Aku tersenyum senang. Oke, mari tunjukkan sama Papa kalau aku bisa!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
ani surani
🤣🤣🤣 ketauan juga akhirnya
2024-11-09
0
dyul
ngeboongnya..... gak mantep, jadi ketahuan dah, duo julid di lawan🤣🤣🤣
2024-03-08
0
Mari Anah
jawaban yg somplak🤣🤣🤣🤣🤣
2023-11-23
0