Adel
Apa sih definisi kaya menurut kebanyakan orang? Kalau aku, kaya itu itu punya rumah mewah, kendaraannya juga mewah dan pasti punya perusahaan yang bonafit.
Rasa kagetku belum hilang saat tahu kalau keluarga Richard memiliki rumah di daerah Hang Tuah. Aku kembali dibuat kaget ternyata Richard punya apartemen di dekat Bundaran HI, yang pasti harganya mahal.
Kekagetan berikutnya adalah mobil Ferrari yang Richard punya. Gila, itu gila banget. Mimpi apa aku semalam sampai bisa duduk di di dalam mobil Ferrari?
Memang ya, beda banget naik sedan milikku dengan Ferrari yang Richard punya. Beda pake banget.
Interiornya yang terkesan mewah.... wow.... aku tak hentinya berdecak kagum. Kayak orang norak yang baru sekali naik Ferrari.
"Mm... Cat, kok kamu bisa beli Ferrari sih? Bukannya... Bukannya... Em... Maaf nih, kamu cuma marketing aja di perusahaan?"
Richard memakai kaca mata sunglassnya lalu mulai menyalakan mesin mobilnya. Suara mesinnya aja merdu menurutku. Dan saat dijalankan, beneran nyaman banget.
Richard menyunggingkan seulas senyum. "Ini mobil lama. Dulu dikasih kado sama Papa. Sekarang sih dengan gaji aku sebagai matketing enggak akan sanggup beli kayak gini."
"Tapi kan kamu udah punya semuanya. Apartemen dan mobil kayak gini. Eh kamu beneran cuma jadi marketing aja?" lama-lama aku ngelunjak. Terlalu ingin tahu.
"Iya. Marketing aja. Aku yang mau kok. Aku mau belajar perusahaan dari tingkat bawah dulu, baru nanti belajar tentang manajemen."
"Hmm... Bukannya sekarang Leo yang memimpin perusahaan ya? Aku baca tuh di berita. Katanya anak kedua keluarga Kusumadewa yang memimpin perusahaan. Kenapa bukan kamu?"
Lagi-lagi Richard tersenyum. "Kalau kamu mau menikah denganku, aku akan mendampingi Leo memimpin perusahaan seperti permintaan Papa."
"Loh kok malah tergantung aku sih? Memangnya aku siapa? Lagi juga kamu gampang banget sih ngajak orang nikah. Memangnya sudah berapa banyak perempuan yang kamu ajak nikah kayak aku ini?"
"Belum ada. Baru kamu doang."
"Bohong! Bokis banget!"
"Terserah kalau enggak percaya. Aku bukan tipikal orang yang gampang gitu mengajak seorang gadis untuk menikah. Pernikahan bagi aku tuh cukup sekali seumur hidup, jadi aku kalau sudah merasa yakin sama seseorang, yaudah aku lamar dia. Kalau yang ngajakin aku nikah sih banyak, tapi aku nggak mau. Ya maunya cuma sama kamu."
Aku merasa sangat tersanjung mendengar perkataan yang keluar dari mulut Richard. Sebagai perempuan, ada rasa bangga dalam diriku jika seorang laki-laki menganggap aku tuh begitu spesial. Hal yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Kenapa terus mengajak aku menikah? Aku kan udah bilang, hati aku tuh untuk siapa kamu juga tahu. Aku enggak bisa. Bagaimana kalau nantinya aku hanya akan melukai perasaan kamu? Rumah tangga seperti apa yang terjadi tanpa ikatan cinta seperti itu?"
"Ikatan cinta? Kayak salah satu judul sinetron yang lagi booming ha...ha...ha..."
Ish... Aku berusaha menjaga perasaannya eh dia malah becanda. Mana garing lagi. Membuatku makin memanyunkan bibirku. Sebal.
"Kenapa bete begitu? Sebel aku ajak bercanda? Emangnya kamu maunya aku gimana? Kalau aku menanggapi perkataan kamu dengan emosi kamu lebih senang gitu? Aku bukan tipe kayak gitu Del. Dulu mungkin iya, tapi aku udah nggak mau kayak gitu lagi."
"Ya setidaknya bisa menanggapinya dengan serius kali. Aku kan lagi serius. Aku bahkan memikirkan kata-kataku agar nggak makin menyakiti hati kamu. Kenapa malah kamu ajak bercanda?" omelku.
"Iya... iya maaf. Aku serius nih. Kita ke rumah kamu sekarang. Aku akan minta ijin sama orang tua kamu langsung. Gimana?"
"Jangan becanda yang garing kayak gini lagi. Nyebelin tau enggak!"
"Loh yang bilang aku becanda siapa? Aku serius. Makanya aku ngajak ke rumah kamu. Ini salah satu bentuk keseriusan aku. Di luar sana banyak loh yang pakai segala cara agar pacarnya mau menikahi dirinya. Kamu enggak perlu pakai usaha apapun, biar aku yang melamar langsung."
"Kamu belum jawab pertanyaan aku sebelumnya."
"Pertanyaan apa?" tanya Richard bingung.
"Apakah bisa sebuah rumah tangga dibangun tanpa adanya ikatan cinta di dalamnya?" aku mengulangi lagi pertanyaanku.
"Del, cinta itu bisa tumbuh, bisa juga menghilang. Enggak ada jaminan rumah tangga yang belum terbangun atas dasar cinta akan hancur. Seperti enggak ada jaminan juga rumah tangga yang dibangun dengan penuh cinta akan bertahan selamanya. Kembali lagi ke niat orang tersebut. Niatnya untuk menikah apa? Untuk melengkapi sebagian ibadahnya. Itu tujuan aku."
Aku kembali terdiam. Aku merenungi perkataan yang Richard ucapkan. Ada benarnya juga. Bener banget malah. Orang yang udah pacaran bertahun-tahun kemudian menikah, tak jarang rumah tangganya hanya seumur jagung.
Ada juga orang yang dijodohin sama orang tuanya, menikah tanpa cinta buktinya bisa punya anak banyak karena ternyaa cinta sudah mulai tumbuh di antara mereka.
"Kamu tahu nggak Papa dan Mama yang kita lihat begitu mesra saat ini. Mereka tuh bermula dari dijodohin sama orang tuanya. Cinta bisa hadir Del. Cukup kita mau membuka hati dan melihat kalau kita punya pasangan yang akan mencintai kita nantinya."
"Beri aku waktu untuk memikirkan semuanya. Aku nggak mau pernikahan ini cuma sebagai ajang untuk saling menyakiti kita nantinya. Karena aku sendiri nggak yakin apakah aku bisa belajar untuk mencintai kamu."
Lalu suasana hening pun mulai melingkupi kami. Baik aku dan Richard terdiam dengan pikirannya masing-masing.
Hingga suara ringtone Hpku berbunyi. Papa calling.
Aku menenangkan diriku dulu sebelum menggeser tombol hijau dari Hpku.
"Kamu dimana Del? Kenapa enggak pulang? Udah berapa minggu kamu enggak pulang-pulang? Papa kasih kamu ijin tinggal sendiri di kontrakkan bukan berarti kamu enggak pulang-pulang ya Del!"
Baru saja mengangkat telepon, aku sudah menerima seprotan. Richard yang disebelahku pun pasti mendengar saat aku diomelin. Huft... Sabar Del... Sabar...
"Aku kemarin sibuk, Pa. Belum sempat ke rumah Papa. Hari-"
Ckiiiitttt...
Richard mengerem mendadak mobilnya. Tangan kirinya terjulur ke depanku, berusaha melindungiku dari benturan.
"Maaf. Ada kucing tiba-tiba lewat. Kamu enggak apa-apa?" Richard bertanya dengan penuh kekhawatiran padaku.
"Aku... Aku baik-baik saja."
"Del.... Hallo... Adel! Kamu kenapa?"
Aku lupa kalau tadi aku sedang menelepon Papa. Lupa kumatikan.
"Aku enggak apa-apa kok, Pa."
"Lalu itu siapa? Pacar enggak jelas kamu lagi? Bawa ke rumah sekarang! Papa mau lihat seperti apa cowok pilihan kamu!"
Perintah Papa seperti titah Yang Mulia Raja. Tak bisa dibantah. Tapi gimana cara ngomongnya sama Richard? Aduh... Kenapa malah jadi runyam kayak gini sih?
"Ini... Dia cuma-"
Aku melirik ke arah Richard yang ternyata menepikan mobilnya di dekat trotoar jalan. Untung Jakarta pagi ini agak sepi.
"Bilang sama Papa kamu, kita kesana sekarang!"
Perkataan Richard membuatku membelakakan mata. Gila. Ini ngapain sih Richard ikut campur segala?
"Tapi-"
"Papa tunggu kamu dan cowok di sebelah kamu di rumah sekarang!"
Papa pun memutus sambungan teleponnya. Aku terdiam. Mencoba memikirkan jalan keluar terbaik yang tidak akan membuat keadaan makin runyam saja.
"Kenapa kamu bilang kayak gitu? Papa kan jadi makin menyuruh kamu untuk datang?" aku mulai menginterogasi Richard.
"Loh bagus dong. Kan aku bilang kalau aku mau bertemu orang tua kamu? Bukannya ini lebih baik lagi?"
"Ya enggak usah pakai cara kayak gini. Kamu tuh cuma bikin keadaan makin runyam saja!" semprotku.
"Lalu kamu maunya gimana? Aku mau membantu kamu. Niat aku tulus."
"Oh ya? Bukannya kamu hanya mementingkan diri kamu sendiri? Dengan bertemu orang tua aku bukannya rencana kamu untuk menikahiku menjadi lebih mulus?" kali ini aku beneran marah dengan Richard. Enggak tau sih dia efek dari perbuatannya padaku.
Aduh... Kenapa jadi runyam begini sih masalahnya?
Kami kembali terdiam. Diam karena kesal dan diam memikirkan jalan keluarnya.
Akhirnya Richard duluan yang membuka suaranya. "Maaf. Aku tahu kalau perbuatanku membuat kamu jadi enggak nyaman. Tadi aku menguping pembicaraan kamu, jadi enggak fokus mengemudi. Hampir saja nabrak kucing. Perbuatanku malah membuat Papa kamu menyadari kehadiranku. Aku enggak mau kamu menanggung semuanya sendiri. Aku mau bantu kamu. Bukan semata-mata mau memuluskan niatku."
Aku masih terdiam. Kini aku mulai mencerna maksud perkataan Richard.
"Dari yang kutangkap, Papa kamu tidak percaya dengan pilihan kamu. Buktinya Ia bilang pacar enggak jelas kamu. Aku spontan aja emosi dan mau nunjukkin ke Papa kamu, kalau kamu juga bisa memilih dan pilihan kamu enggak sepenuhnya salah. Itu hak kamu, Del. Maaf kalau niatku malah jadi bumerang buat kamu." aku bisa melihat ketulusan dalam setiap perkataan Richard.
Aku mengambil nafas banyak-banyak dan menghembuskannya. Sebuah lagu dari radio membuatku yakin dengan keputusanku.
🎶Betapa sempurna dirimu di mata hatiku
Tak pernah ku rasakan damai sedamai bersamamu
Tak ada yang bisa yang mungkinkan mengganti tempatmu
Ooh Kau membuat ku merasa hebat
Karena ketulusan cintamu
Ku merasa teristimewa hanya...
Hanya karena... karena cinta...
Kau beri padaku sepenuhnya
Buatku selalu merasa berarti🎶
Lagu dari Tangga yang berjudul Hebat seakan menyadarkanku sesuatu. Aku menatap Richard yang masih menatapku dengan penuh penyesalan.
Aku menatap sekelilingku, interior Ferrari super wow dan elegan. Lalu kembali menatap Richard yang menatapku penuh dengan kekaguman dan... cinta.
Ya, mungkin ini jalannya. Richard adalah definisi calon menantu idaman Papa. Richard memiliki semua kriteria yang Papa minta padaku.
"Oke. Kita ke rumah Papa sekarang. Kita ke daerah Cibubur."
Senyum di wajah Richard langsung mengembang sempurna. Menampilkan deretan gigi putihnya yang bak model pasta gigi.
"Oke. Let's go!" Richard kembali mengemudikan mobilnya dengan penuh semangat. Sesekali bersenandung menyanyikan lagu yang diputar di radio.
Berbeda dengan Richard. Hatiku dipenuhi dengan kegalauan. Apa benar takdir tega mempermainkannya seperti ini? Kenapa harus Richard?
Selintas wajah tampan dan bijaksana melintas di pikiranku. Ya, wajah Kak Rian. Kak Rian yang mandiri dan hebat sampai bisa sukses dengan kemampuannya sendiri.
Kalau aku boleh memberikan penilaian, antara Kak Rian dan Richard siapa yang lebih hebat, menurutku Kak Rian yang lebih hebat.
Aku melihat saat Kak Rian kabur dari rumah karena mempertahankan cita-citanya. Aku yang sedang menginap di rumah Maya saat itu hanya bisa menahan tangis melihat Kak Rian yang seakan diusir dari keluarganya.
Kak Rian bahkan bekerja sambil kuliah untuk membiayai kuliah dan bertahan hidup. Aku dan Kak Rian menjadi saksi pernikahan pertama Maya dan Leo. Betapa Kak Rian sangat sedih karena tak bisa membantu banyak biaya untuk Maya.
Aku tahu, Kak Rian memang kadang memanggilku dengan panggilan yang menyakitkan hati. Kata-katanya juga ketus dan nyelekit. Tapi hatinya baik.
Aku belajar tentang mengejar cita-cita dari Kak Rian. Aku belajar tentang kemandirian dari Kak Rian. Ibaratnya Kak Rian itu superheroku.
Aku melirik lagi ke sebelahku. Ia masih bersenandung kecil menyanyikan lagu yang diputar di radio.
Laki-laki di sebelahku mungkin tak pernah mengalami susahnya mencari uang seperti Kak Rian. Terlahir dengan sendok emas di tangan, membuat Richard berkepribadian berbeda dengan Kak Rian. Bahkan dengan Leo saja berbeda jauh.
Leo pernah hidup susah makanya saat ini bekerja sungguh-sungguh tapi Richard? Aku sangsi.
Tapi Richard adalah tipikal menantu idaman Papa. Segala hal dalam diri Papa yang amat diinginkan, ada dalam diri Richard.
Apa ini sudah jalan takdirku? Apa memang akhirnya aku harus menikah dengan Richard?
Lalu bagaimana dengan cita-citaku memiliki suami yang kucintai dan sangat mencintaiku. Memiliki anak-anak yang lucu dan menggemaskan, tentunya buah cintaku dan suamiku.
Richard mengajakku berhenti di sebuah toko kue Harvest. Membeli cake sebagai buah tangan. Richard bilang enggak datang tanpa membawa buah tangan sama sekali.
Kami pun melanjutkan perjalanan dengan diiringi tatapan mata penuh kagum di sepanjang jalan melihat kehebatan mobil yang Richard kendarai. Iya sih, aku juga kalau lihat mobil ini wara-wiri di jalanan pasti akan melihat dengan penuh penasaran. Dan disinilah aku, tempat yang selalu membuat orang penasaran.
Kembali aku menatap ke luar jendela. Kini mobil Richard memasuki jalan toll. Aku kembali memikirkan semuanya. Tentang masa depan dan tentang garis takdirku.
Membawa Richard ke rumah seperti menyerah pada takdir. Pasrah kemanapun takdir menentukan jalan hidupku. Tapi benarkah?
"Dari sini kemana?" pertanyaan Richard membuyarkan lamunanku.
Ternyata kami sudah sampai di daerah Cibubur. Kami sudah sampai ke dekat rumah.
"Nanti di depan belok kanan. Ada penjaganya juga kok. Bilang aja mau ke rumah Pak Hartono."
"Oke."
Aku semakin deg-degan saat mobil sudah hampir sampai ke rumah Papa. Apa pendapat Papa nanti. Apa aku batalin aja ya?
Kami sampai di depan rumah Papa. Sekarang aku tak bisa putar balik lagi, karena Papa dan Mama sudah menunggu di depan rumah dengan tatapan kagum.
Ya, siapapun akan memandang keren ke arah mobil ini. Tapi apakah Richard juga akan kelihatan keren di depan Mama dan Papa?
"Assalamualaikum." aku dan Richard mengucapkan salam.
"Waalaikum salam." Papa dan Mama menyambut kami dengan senyuman. Tapi senyum itu mendadak berubah jadi kekagetan saat Papa dan Richard saling bertemu pandang.
"Kamu?"
***
Yah... digantung deh. Kebiasaan nih authornya he..he..he..
Yaudah like dan votenya jangan lupa ya. Besok udah senin nih, vote dan like yang banyak ya. Oh iya jangan lupa follow IG-ku : Mizzly_ maaacoh 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Ei_AldeguerGhazali
Bang icad udah beneran taubat mah ini🤣🤣👍🏻
2025-01-02
0
ani surani
betul bang. yg awalnya cinta ternyata byk yg hancur juga ya bang ? 😁😁
2024-11-08
0
Gamar Abdul Aziz
kenapa..?
2024-08-31
0