Adel
Minggu pagi itu saatnya bermalas-malasan di tempat tidur. Melanjutkan mimpi yang sempat tertunda saat harus menunaikan kewajiban sholat subuh.
Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Kalau aku tidur lagi berarti aku menumpuk semakin banyak lemak di tubuh. Dan akan susah lagi membuangnya.
Aku mengambil celana jogger yang sengaja kubawa dari kontrakkan lalu mengenakan kaos Converse tangan pendek dan sepatu Sketchers warna pink. Senada dengan kaos yang kupakai.
Tanpa pamit, aku keluar rumah. Memakai earphoe bluetooth yang terkoneksi dengan I Pod milikku. Kuputar lagu dari group band Pentatonix kesukaanku. Musik yang menggunakan suara asli manusia tanpa menggunakan alat musik sama sekali. Keren banget menurutku.
Kuregangkan tubuhku sebelum lari keliling komplek. Melakukan pemanasan sebelum berlari sangat penting. Cukup 5 menit kalau pemanasannya benar bisa langsung mulai jogging.
Kukuncir rambutku dengan kuncir kuda agak tinggi. Agar tak mengganggu gerakanku. Setelah pemanasan aku mulai berlari mengelilingi komplek.
Jam sport di tanganku sudah menunjukkan jarak yang kutempuh saat berlari. Lumayanlah untuk membakar lemak. Perutku juga sudah terasa lapar. Lebih baik sarapan di rumah.
Wangi kopi langsung memenuhi penciumanku kala aku baru saja memasuki rumah. Pasti Mama sedang membuatkan kopi untuk Papa. Kopi tubruk tanpa gula. Biasanya biji kopi Lampung yang terkadang Mama jemur lagi lalu digiling sendiri agar aroma kopinya makin menyeruak.
Papa memang suka kopi buatan Mama. Katanya khas dan tak ada duanya. Iyalah khas. Orang lain minum kopi pakai mesin dan kopi dalam cup kecil yang tinggal taruh saja sudah jadi, ini malah milih kopi yang dijemur lagi lalu digiling sendiri. Ribet.
Entahlah karena aku yang tak mengerti apa enaknya kopi pahit atau memang Papa pecinta kopi sejati. Beda aliran. Bagiku kopi di Starbek dengan banyak whipped cream diatasnya sudah sangat nikmat, meskipun kalori di dalamnya sangat besar dan dengan mudahnya menggeser timbanganku ke kanan.
"Pagi, Pa." aku menghampiri Papa dan mencium tangannya.
"Loh? Kamu semalam nginep di sini? Pulang jam berapa? Kok Papa enggak tau?" biasa, langsung disambut dengan rentetan pertanyaan. Maklum, kebanyakan bergaul dengan penyidik sampai terbawa ke kehidupan nyata.
Aku menarik kursi dan duduk di sebelah kanan Papa. Sementara Mama masih mengoleskan selai di roti tawar Papa.
"Jam 9-an, Pa. Habis datang ke hajatannya Maya. Papa udah tidur semalam. Tanya aja sama Mama." aku mengambil telur rebus yang Mama buatkan khusus untukku sarapan.
Mengetuk kulit telur dan mengupasnya. Air putih hangat cukup untuk mendorong telur masuk ke dalam perutku.
Ya, aku hanya sarapan dua butir telur rebus setiap hari. Ditambah air hangat satu gelas besar. Meski terasa kenyang kesel, tapi harus kujalani. Daripada nanti tambah gendut lagi?
"Maya hajatan? Kok kita enggak diundang?" pertanyaan yang sama dengan yang Mama tanyakan semalam.
"Maya enggak tau kalau Papa dan Mama sudah balik lagi tinggal di Jakarta. Adel belum sempat bilang. Jarang ketemu Maya soalnya. Kalau mereka tau Papa dan Mama udah di Jakarta pasti akan diundang." aku menikmati sarapan hambar ini. Rasanya lebih enak sarapan pakai Indomie goreng pakai nasi daripada telur doang kayak gini.
"Mewah hajatannya?" tanya Mama yang kini duduk di samping kiri Papa berhadapan denganku.
"Hmm... Untuk ukuran di kampung sih sangat mewah. Ada panggung dangdut besar dan layar tancepnya."
"Hah? Masih jaman pakai layar tancep?" Mama tertawa mengejek.
"Justru itu, Ma. Melestarikan tradisi yang hampir punah. Adel enggak liat pas layar tancepnya mulai sih, tapi udah banyak yang gelar koran untuk duduk. Artinya kan banyak peminatnya." aku berusaha membela sahabatku dari ejekan Mama.
"Kaya memang suaminya?" tanya Mama lagi.
"Hmm... Kayaknya sih gitu."
"Itu yang patut kamu contoh dari Maya. Dapat suami kaya. Bisa ngangkat derajat Papa. Mana pacar kamu? Bawa sini ke hadapan Papa. Tapi jangan sama orang susah ya. Cari yang bibit, bebet dan bobotnya bagus. Biar enggak malu-maluin nantinya."
Aku menghela nafas mendengar perkataan yang keluar dari mulut Papa. Selalu seperti ini. Cari yang kaya. Cari yang mapan. Cari yang dari keluarga berada. Jangan malu-maluin Papa nantinya.
Lah memang aku siapa? Aku bukan Cinderela yang amat cantik jelita. Aku saja harus jungkir balik menurunkan berat badanku ini.
Lalu mencari suami kaya memang mudah? Ada take and give. Aku harus memantaskan diri dulu. Apakah saat ini aku sudah pantas?
Aku punya modal apa? Kalau cantik dan baik hati kayak Maya sih masih mungkin dapat Leo yang anak orang kaya. Lah kalau kayak buntelan kentut kayak aku mau dapat orang kaya, apa enggak mimpi di siang bolong?
Sekalinya ada yang keukeuh nanya nomor Hp aku sampai setengah memaksa paling cuma Richard si sales marketing. Kacung kampret biasa kayak aku. Menang jam tangan mahal aja udah keliatan sok keren. Padahal belum tentu itu miliknya. Siapa tau Maya yang pinjemin biar keliatan keren?
Kalau Papa tau aku sukanya sama Kak Rian si anak petani gimana ya? Pasti enggak akan di restui. Mama saja sudah memandang remeh saat Maya mengadakan resepsi dengan hiburan layar tancep.
Di mata Mama tuh resepsi yang keren kayak teman-teman Papa. Ngadapain di hotel berbintang. Ngundang pejabat dan menteri bahkan presiden.
Kateringnya harus yang level hotel bintang 5. Souvenirnya emas batangan. Hah... ngimpi!
"Del! Adel!" panggilan Mama menyadarkanku dari lamunanku. Asyik dengan pikiranku sendiri sampai tidak sadar Mama memanggil.
"Iya, Ma."
"Di meja makan malah melamun! Papa nanya tuh. Kamu bakalan tinggal di rumah ini lagi kan?" tanya Mama.
Tinggal di rumah ini lagi? Lalu tiap hari harus diingetin tentang mencari suami kaya. Lalu harus diatur pulang dan keluar harus lapor.
Er.... Kayaknya enggak deh. Enakkan tinggal di kontrakkan kecilnya Maya. Tapi alesan apa yang harus aku katakan? Enggak mungkin bilang kalau aku malas diceramahi harus nyari suami kaya tiap hari. Bisa malah diceramahi lebih panjang lebar lagi nantinya.
"Em.... Adel kayaknya tinggal di kontrakkan aja deh, Ma."
"Loh kenapa? Papa kan sudah berdinas lagi di Jakarta. Otomatis kita tinggal bareng lagi dong seperti dua tahun sebelumnya. Kenapa kamu malah mau tinggal di kontrakkan?" Mama tuh enggak segampang itu menerima penolakan. Harus ada alasan pasti dan jelas baru bisa berdebat dengannya.
"Adel suka pulang malam, Ma. Mama tau sendiri kalau pulang ke daerah sini gimana. Macet, Ma. Adel capek. Jakarta tuh makin macet aja. Mobil juga ganjil genap. Kalau di kontrakkan, Adel bisa seling pakai motor, Ma. Udah gitu jaraknya dekat. Enggak sampai sejam udah sampai." alasan yang kupikir masuk akal.
"Memangnya kamu tinggal sama siapa di kontrakkan? Bukannya malah nambah biaya ya? Belum biaya makan dan kontrakkan. Habis gaji kamu kalau hanya untuk kontrakkan aja." Papa ikut mengemukakan pendapatnya.
"Er.... Aku ngontrak di bekas kontrakkannya Maya, Pa... Ma... Maya udah bayar setahun. Sayang kalau enggak dipakai. Lumayan masih bisa pakai 8 bulan lagi. Perabotannya juga Maya tinggal. Bisa aku pakai katanya. Jadi aku enggak modal apa-apa. Paling bayar listrik aja tiap bulan. Murah kok orang tinggal sendirian doang." dalam hatiku terus berdoa agar aku diberi ijin tinggal mandiri di kontrakkan.
"Beneran sendirian di kontrakkan? Enggak kumpul kebo sama laki-laki yang bukan mahromnya kan?" sindir Papa.
"Astaghfirullah, Papa! Enggaklah! Memangnya Adel enggak paham ilmu agama apa? Dosa Pa. Adel enggak mau berbuat hal yang kayak gitu. Amit-amit deh!" agak tersentil juga hatiku mendengar perkataan Papa. Boro-boro kumpul kebo, pacar aja enggak punya. Seenaknya saja menuduh aku sembarangan.
"Pergaulan anak sekarang tuh enggak bagus, Del. Banyak kasus anak kumpul kebo, lalu melahirkan dan anaknya dibuang di tempat sampah. Enggak ada akhlaknya banget. Bikin malu orang tua saja. Kayak enggak dididik dengan baik. Kepercayaan orang tua tuh kayak enggak dianggep. Makanya Papa dan Mama susah untuk memberi kepercayaan sama kamu. Demi kebaikan kamu juga." nasehat Papa yang langsung masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Malas aku dengarnya.
Kenapa menyamaratakan setiap orang? Apa aku pernah selama ini mengecewakan Mama dan Papa? Kenapa mengibaratkan aku akan kumpul kebo seperti orang lain. Enggak percayaan bener sih!
"Adel tau, Pa. Tapi lingkungan kontrakkan Maya kali ini agak ketat. Enggak bisa sembarangan ada tamu. Bisa di grebek, Pa. Lagi juga Adel lembur terus di kantor. Mana sempat mikirin kumpul kebo? Pulang sampai rumah kontrakkan juga numpang tidur doang lalu paginya balik ke kantor lagi." entah harus pakai cara apa menyakinkan Papa kalau aku bisa dipercaya.
Suasana hening. Seperti gencatan senjata. Baik aku dan Papa tak ada yang mengalah. Semua merasa benar.
Aku sudah menghabiskan kedua telur dan kini aku mulai mual. Enggak bisa kelamaan di meja makan. Harus secepatnya kembali ke kamar.
Untunglah Papa akhirnya buka suara. "Baiklah. Papa ijinkan kamu tinggal di kontrakkan. Dengan syarat, jaga kepercayaan Papa dan Mama. Harus sering pulang ke rumah kalau libur. Dan yang terpenting, kamu secepatnya memperkenalkan pacar kamu yang berasal dari keluarga berada pada Papa dan Mama."
Glek.... Rasanya air liur pun susah untuk kutelan.
Nyari pacar dimana?
Nyewa gitu?
Kalau ketahuan gimana?
"Iya, Pa. Adel duluan ya." aku tak mau banyak cong cing, harus secepatnya ke kamar mandi. Mual tak tertahankan.
Setengah berlari aku masuk ke dalam kamar dan langsung menuju kamar mandi. Aku kembali memasukkan jari telunjukku ke dalam tenggorokan dan memuntahkan seluruh isi perutku.
Setelah semua keluar dan hanya menyisahkan cairan kuning saja yang artinya sudah kosong perutku, aku mencuci wajahku.
Kutatap wajahku yang sekarang sudah tirus. Sudah turun hampir 20 kg dalam waktu 4 bulan. Sebuah kemajuan pesat.
Aku naik ke atas timbangan yang ada di bawah washtafel kamar mandi. 60 Kg. Masih terlalu gendut. Masih kurang 10 Kg lagi menuju berat badan ideal menurutku.
Aku membuka kaos Converse yang sudah penuh dengan keringat. Melemparnya dengan asal ke tempat baju kotor dan... gollll...
Dengan hanya memakai bra aku berjalan menuju lemari baju. Mengambil kaos milikku yang dulu kupakai press body namun kini jadi sangat longgar.
Papa dan Mama memang tidak benar-benar memperhatikanku. Berat badanku turun sampai 20 Kg saja mereka tidak sadar. Apa memang segitu tidak kentaranya ya?
Aku menatap wajahku di cermin yang menempel di lemari. Menunjukkan tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Kuangkat setengah kaos yang kukenakan. Hmm... Lemak di perut masih ada. Kalau mau cepat hilang harus di suntik kurus dulu. Kapan ya waktu senggangku?
Aku melihat kalender meja yang ada di meja kerjaku. Hmm... Minggu ini masih pertengahan bulan. Belum banyak transaksi. Bisalah pulang kerja cepat dan mampir di dokter kecantikan.
Kulepas celana joggerku yang agak basah karena keringat. Kembali kulemparkan ke keranjang baju kotor dan dengan hanya memakai ****** ***** aku mengambil celana hotpant dan mengenakannya.
Sekarang waktunya tidur menjelang siang. Bangun nanti jam 12 untuk sholat Dzuhur. Pas sekali.
Aku mengecek Hp yang tadi kutinggalkan di laci atas nakas. Ada sebuah pesan dari Kak Rian. Tumben. Biasanya enggak pernah peduli padaku. Tumben banget WA duluan.
Aku membuka pesan darinya.
Rian: Del, kamu beneran tinggal di kontrakkannya Maya sekarang?
Aku mengernyitkan keningku. Mau apa Kak Rian nanya kaya gitu?
Aku: Iya, Ka. Ada apa ya?
Daripada penasaran, lebih baik nanya langsung aja.
Rian: Mau ngambil buku sketsa yang ketinggalan di kontrakkan Maya waktu itu. Kamu ada di rumah enggak? Aku mau kesana habis Dzuhur.
Hilang sudah rasa kantukku. Kak Rian mau datang ke kontrakkan. Harus cepat-cepat pulang nih. Masih sempat sampai kontrakkan kalau pulang sekarang. Cibubur suka macet kalau sabtu dan minggu.
Aku: Ada Kak. Datang aja.
Singkat dan tak terkesan mengundang.
Rian: Oke, nanti aku kesana. Baru sampai kostan soalnya. Jangan kemana-mana ya Ndut.
Sebel deh dengan kata terakhirnya. Kenapa harus Ndut lagi- Ndut lagi. Aku tuh udah kurus tau!
Aku: Oke, Kak.
Aku menghela nafas kesal. Tinggal beralasan sama Papa dan Mama nih. Hmm.... Apa ya?
Aku cepat-cepat mandi dan menaruh kaos dan hotpant yang baru kupakai ke tempat baju kotor. Percuma aku baru balik pulang bisa seminggu atau dua minggu lagi. Biar bibi cuci saja sekalian.
Setelah memakai baju yang rapi dan menyemprotkan minyak wangi serta memakai lipstik tipis aku pun pamit pada Papa dan Mama. Aku beralasan mau mempersiapkan bahan meeting besok. Dan semuanya ada di kontrakkan.
Awalnya Papa dan Mama tidak mengijinkan, namun alasanku masuk akal jadinya mereka tak bisa melarangku.
Kukemudikan mobilku di tengah kemacetan Jakarta. Seraya dalam hati terus berdoa agar aku yang sampai lebih dulu di kontrakkan. Kalau Kal Rian ngeliat kontrakkanku berantakan dengan CD dan Bra bekas bertebaran dimana-man bisa ilfill dia.
Keberuntungan ada di pihakku. Aku sampai lebih dulu dan sempat membereskan rumah kontrakkan ketika suara ketukan di pintu membuatku memasang senyum lebar di wajah.
*****
Hi semua...
Hari senin nih.
Yuk vote dan like novel Delima ini ya biar masuk top rank lagi.
Dukung aku terus ya.Yang pasti kisahnya beda dari yang lain loh 😁😁😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Gamar Abdul Aziz
adel suka nya rian
2024-08-31
0
dyul
adel.... ternyata... oh.... ternyata....
2024-03-07
0
Lily
menurut ku yg dateng si icad sih
2024-01-11
0