Richard
🎶 Tunggulah aku di Jakartamu
Tempat labuhan semua mimpiku
Tunggulah aku di kota itu
Tempat labuhan semua mimpiku 🎶
Tunggu Aku Di Jakarta by Sheila On Seven.
Aku sudah menunggu sampai Adel pamit pulang dan berjalan ke mobilnya. Bodo amat Dia mau pura-pura mengingatku atau tidak. Yang pasti aku masih mengingatnya.
Jujur aku tak menyangka kalau Delima yang kukenal adalah Adel yang selama ini sering Maya sebut-sebut. Ternyata dunia memang tak selebar daun kelor.
Maya yang memang oon berteman dengan Adel yang agak oon. Cocok deh. Mereka seperti berkumpul dalam satu genk. Genk oon.
Saat Adel menutup pintu bagasi mobilnya aku langsung meminta nomor Hpnya. Ada cara mudah sih yakni meminta langsung dengan Maya.
Maya pasti akan memberikan, tapi biasanya si ibu hamil jahil itu akan mengerjaiku dulu atau minimal meledekku. Itu yang bikin aku males.
Agak ragu Adel memberikan nomor Hpnya padaku. Namun akhirnya Ia berikan juga. Langsung aku misscall agar aku tahu Ia tidak berbohong.
Awalnya aku mau menawarinya pulang bareng, namun aku masih menjadi panitia acara hajatan super rempong ini. Aku hanya bisa bilang: Tunggu aku di Jakarta.
Aku pergi meninggalkan Adel yang masih diselimuti segudang pertanyaan. Apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Jangankan Adel, aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan.
"Kamu kenal sama si Gendut?" tanya Rian, kakak kandung Maya.
Leo bilang Rian banyak berjasa atas kelancaran hubungannya dengan Maya. Leo juga banyak memuji sikap Rian yang menurutnya bijaksana.
Namun bagiku, Rian tak lebih dari orang yang suka berkata pedas tanpa memikirkan perasaan orang lain. Apa itu panggil Adel seenaknya dengan sebutan Gendut?
"Gendut? Siapa tuh gendut?" tanyaku pura-pura tak tahu.
"Gendut itu si Adel. Temannya Maya yang sama-sama satu server. Kamu kenal lama atau baru dikenalin?"
Rupanya Rian penasaran. Aku tahu dari sorot matanya saat Maya mengenalkanku di atas pelaminan tadi. Baru berani bertanya setelah Adel pulang. Huh cemen!
"Oh... Menurutku Adel tuh enggak gendut. Hmm... Sekarang malah hampir sekurus Maya." jawabanku sengaja untuk memancing Rian. Dan benar saja, Rian pun terpancing dengan jawabanku.
"Sekarang? Berarti pernah melihat Adel yang sebelumnya dong? Tau dong segendut apa Adel itu?"
Ini nih yang aku enggak suka. Seenaknya aja ngomong kalau enggak ada orangnya. Body shamming banget.
"Ya beda tipislah sama Kim Kardashian. Menurutku enggak gendut, tapi seksi. Hmm... kalau kata Mamang-mamang sih mon to the tok alias montok." lagi-lagi aku memancing Rian.
"Bener kan dugaanku, kalian pernah bertemu sebelumnya?! Kenapa pura-pura tidak saling mengenal di depan Maya?"
Aku menyunggingkan seulas senyum. "Ada deh. Want to know aja."
Dan aku pun pergi berlalu meninggalkan Rian dengan segudang pertanyaannya. Lebih baik meladeni ngidamnya Mama aja deh. Lebih bermanfaat.
"Mama mau apa lagi?" aku menghampiri Mama ke pelaminan.
"Kaki Mama pegel, Cat. Papa kamu lagi pergi solat ke masjid." Mama menunjukkan kakinya yang sedikit bengkak.
"Mama duduk aja. Richard pijitin." Mama pun menurut. Aku pun duduk di lantai dan menaruh kaki Mama diatas pahaku. Pelan-pelan kupijat kaki Mama.
"Kakanda! Maya juga mau dong!" tuh kan si oon ini pasti enggak boleh liat kesempatan sedikit pasti langsung ikutan.
"Ogah! Minta pijitin sama Leo sana!" tolakku sambil fokus pijitin Mamaku tersayang. Mama yang sempat aku acuhkan karena ulahnya berselingkuh dulu. Sekarang aku menyesal melakukan hal itu dan berniat menebus segala kesalahanku di masa lalu.
"Ih gitu! Padahal tadi udah aku kenalin loh sama Adel!" Maya mulai merajuk. Aduh, hidup diantara dua ibu hamil ini memang ngerepotin banget. Dua-duanya seakan bersaing minta perhatian.
"Udah kenal weeek!" aku malah sengaja meledek Maya.
"Hah? Udah kenal? Kapan? Dimana? Sama siapa? Semalam berbuat apa?"
Aku tertawa dibuatnya. Adik ipar begini bikin hidup enggak datar. Ada aja ulahnya. Semalam berbuat apa, kayak lagu Babang Tamvan aja.
"K-e-p-o."
1, 2, 3....
Benar saja, Maya meninggalkan pelaminannya dan duduk di lantai di sebelahku. Tak peduli gaun pernikahannya, rasa ingin tahunya terlalu besar.
"Ih! Ketemu dimana? Teman sekolah dulu? Eh enggak mungkin ya, Adel kan satu angķatan sama aku. Atau temennya temen temennya Kakanda gitu?"
Aku berusaha menahan tawa namun tak kuat dan akhirnya malah tertawa terbahak-bahak. Pengantin macam apa ini, hanya karena rasa ingin tahu melupakan singgasana pelaminannya dan duduk di lantai tanpa malu.
"Sayang! Jangan duduk di bawah dong! Kotor! Ayo aku bantu bangun ya." Leo sang ksatria berkuda datang dan membantu istrinya untuk bangun.
"Leo, Kakanda nih enggak mau kasih tau dimana dia ketemu sama Adel! Aku kan jadi penasaran!" mulai deh ngadu sama suaminya. Hah dasar manja!
"Cat, kasih tau kenapa! Yang penasaran bukan hanya Maya, tapi anak dalam kandungannya juga. Kamu mau keponakan kamu di dalam penasaran sama cerita kamu?"
Cih! anceman macam apa itu! Memangnya aku takut?
"Nanti aja aku ceritain. Aku ngantuk! Semalaman begadang! May, aku mau tidur sebentar enaknya dimana ya?" nyari tempat tidur yang enak susah lagi suasana hajatan begini.
"Di saung aja! Ada tuh di tengah perkebunan Bapak. Tapi hati-hati suka ada ular."
Nih lagi si oon, nyuruh orang tidur di tempat yang ada ularnya. Yang bener aja sih!
"Jangan! Nanti ularnya ribut sama ular aku! Kamar ada yang kosong enggak?"
"Memangnya Kakanda punya ular juga?" kan... ngomong sama si oon ini enggak bakal kelar-kelar. Masalah mau tidur aja bisa bikin mata yang udah mau ngantuk jadi seger lagi nih!
"Richard tidur di kamar Rian saja! Ada di lantai atas sebelah kiri. Jarang dipakai kok soalnya Rian tinggal di Jakarta. Ibu selalu bersihkan kok kamarnya." untunglah Ibunya Maya yang jawab. Jangan sampai Maya ngotot minta jelasin tentang ular.
"Iya, Tante. Saya numpang tidur ya."
"Iya. Pakai saja."
Setelah menyelesaikan memijat Mama aku pun ke kamar yang dikasih tau Mamanya Maya. Kamar Rian. Kosong. Bersih. Dan terawat tentunya.
Baru saja hendak meluruskan badan di tempat tidur, mataku menatap sebuah bingkai foto yang terletak di meja belajar. Foto seorang laki-laki bergigi ompong sedang merangkul dua orang anak cewek. Laki-laki itu pasti Rian. Mukanya yang nyebelin tak pernah lekang dimakan waktu.
Di sebelah kiri anak perempuan bergigi ompong dan berwajah imut sedang tersenyum. Maya. Wajahnya tak banyak berubah sejak dulu.
Di sebelah kanan anak perempuan gendut dengan gigi ompong yang sebagian menghitam sedang merangkul Rian dengan sangat erat. Membuat Rian agak sebal dibuatnya.
Hmm... Ada satu yang membuatku mengenali anak perempuan gendut itu. Matanya. Mata penuh rasa haus akan cinta dan kasih sayang yang tak pernah berubah sampai sekarang.
Kalau tebakanku tidak salah, anak perempuan gendut itu adalah Adel alias Delima. Ia menempel pada Rian seakan takut kehilangan Rian.
Melihat foto itu membuatku sebal. Dekat sekali hubungan mereka. Pantas saja Maya juga mau menjodohkan Adel dengan Rian.
Aku menutup foto yang membuatku sebal tersebut. Merebahkan tubuhku diatas kasur dan tidur terlelap.
******
Adel
Aku masih belum bisa memahami jalan pikiran Richard. Kenapa aku harus menunggunya di Jakarta?
Kami tak memiliki hubungan apapun saat ini. Hanya kenal sekali dan mungkin pertemuan kami waktu itu agak sedikit berkesan tapi selebihnya tak ada hubungan apapun.
Kenapa maksa banget minta nomor Hp ku? Mau apa coba?
Suara adzan maghrib saling bersahutan memanggil untuk menunaikan kewajiban. Aku sudah melewati jalanan kampung dan baru saja memasuki jalan toll saat adzan menggema.
Bu Jojo sedang tidur sambil menyandarkan kepalanya di jendela. Suara ngoroknya terdengat kencang. Kayak kuli di pasar yang kelelahan sehabis manggul karung.
Pemandangan di belakang tak jauh berbeda. Bak seorang putri raja, Bu Sri tiduran dengan merebahkan tubuhnya di kursi belakang. Bantal sapi milikku dijadikannya bantal penyangga kepalanya.
Dari spion aku bisa melirik Bu Sri yang tertidur lelap sampai ngiler. Kasihan boneka sapiku. Pasti sudah menjadi pulau pribadi buatan Bu Sri. Hiks... Pulang-pulang harus di laundry nih.
Konsentrasiku mengemudi tiba-tiba aku mendengar suara dari belakang.
Duuuuutttttt.... Preepepepepepet....
Dan dibarengi dengan bau bom atom yang menguasai mobilku. Oh My God...
Aku terlambat membuka jendela, karena bau bom atom itu langsung memenuhi mobilku. Membuatku merasa mual.
Gila! Ada ya orang kentut sebau ini! Parah ini mah! Pasti karena makan jengkol tadi! Ah sial! Nyesel aku nyuruh Bu Sri makan jengkol. Jadi aku yang sial!
Membuka jendela belakang saja kurang untuk mengeluarkan bau di dalam mobil. Aku pun terpaksa membuka jendela depan juga.
Aku lupa kalau Bu Jojo sedang tidur sambil bersandar di jendela. Akhirnya kepalanya terantuk dan Bu Jojo pun bangun.
"Aduh! Kenapa sih jendelanya dibuka Del? Eh tunggu, bau apa ini?" Bu Jojo menoleh ke sahabatnya di belakang.
"Dia kentut Del?" Bu Jojo menunjuk ke arah Bi Sri.
Aku yang sejak tadi menutup hidung hanya bisa mengangguk pasrah.
"Kamu sih Del pake nyuruh dia makan jengkol. Kagak makan jengkol aja kentutnya melebihi bau septic tank, makan jengkol lebih-lebih lagi bau nya! Tuh liat aja enggak sadar dia kalau udah ngeracunin orang satu mobil dengan kentutnya!"
Tawaku langsung pecah. Sumpah lucu banget nih ibu-ibu. Aku jadi lupa sama bau septic tank yang Ibu Jojo bilang.
"Memang suka kayak gini Bu Sri ya Bu?"
"Iya, Del. Jangan kaget ya. Dia tuh aneh bin ajaib. Maya tuh yang sabar banget ngadepin dia. Malah sayang banget lagi. Dikasih makanan melulu." gerutu Bu Jojo.
"Loh memangnya Ibu enggak sayang?" tanyaku menimpali omongannya.
"Ya sayang, Del. Temenan udah puluhan tahun masa kagak sayang? Cuma kalau dia udah mulai berulah kayak gini saya lebih milih pura-pura enggak kenal deh he...he...he..."
Aku hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. Oh iya aku sampai lupa, tadi kan mau melipir sebentar ke rest area. Sholat maghrib dulu. Sebelum terlewat.
"Bu, kita berhenti di rest area aja ya dulu. Sholat maghrib." ajakku.
"Iya. Boleh. Tapi saya enggak bawa mukena. Gimana dong?" tanya Bu Jojo.
"Nanti gantian aja sama Adel. Adel selalu sedia mukena kok di mobil."
"Eh tapi ini mobil punya kamu sendiri Del? Apa dibeliin orang tua?" tanya Bu Jojo.
"Beli sendiri, Bu. Masih kredit. Belum lunas. Jadi belum punya aku sepenuhnya." aku menutup kembali jendela mobil setelah bom atom baunya sudah menghilang sepenuhnya.
"Itu juga udah hebat, Del. Udah ada rupanya. Hasil kerja keras kamu ada wujudnya. Hebat kamu."
Hatiku berbunga-bunga mendengar pujian dari Bu Jojo. Andai Papa juga memujiku seperti ini. Aku pasti akan sangat bahagia. Andai....
"Del, itu di depan ada rest area!" aku tersadar dari lamunanku dan menepikan mobilku memasuki rest area. Hampir saja terlewat.
"Sri! Bangun Sri! Ayo turun! Kita sholat maghrib dulu!" Bu Jojo membangunkan sahabatnya ketika aku memarkirkan mobil. Rest area ini agak ramai. Banyak yang mau sholat maghrib dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Seperti yang kulakukan.
"Udah sampai memangnya?" tanya Bu Sri yang baru bangun sambil mengucek matanya.
"Belum. Sholat dulu di rest area. Kamu tuh tadi habis ngeluarin bom atom di mobil. Nanti cebok dulu sebelum wudhu. Takut ada temennya yang ikutan keluar." omel Bu Jojo. Butuh waktu untukku mencerna perkataan Bu Jojo. Temennya? Oh....
"Ah masa sih saya kentut? Enggak berasa tuh! Biasanya kalau enggak berasa pasti enggak bau. Iya kan Del?" tanya Bu Sri penuh percaya diri.
"Iyain aja Del. Biar cepet. Ayo kita turun. Masih harus antri wudhu soalnya."
*****
Setelah mengantar Bu Sri dan Bu Jojo aku mengambil beberapa baju dan pergi lagi. Langsung pulang ke rumah Mama.
Mama sudah menyuruh pulang. Aku harus menurut. Daripada besok pulangnya, lebih baik hari ini saja. Sudah malam pasti tidak akan ditanya macem-macem.
Kupacukan mobilku memasuki daerah perumahan di kawasan Jakarta Timur, tepatnya di daerah Cibubur. Saat di depan komplek, security menanyaiku.
"Blok B No. 27, rumah Pak Hartono. Saya anaknya." aku menyebutkan rumah Papa.
"Baik, Bu. Silahkan." portal masuk komplek pun dibukakan. Kulajukan mobilku menuju rumah bergaya minimalis dengan banyak unsur kayu di dalamnya.
Aku memasukkan mobilku dan kuparkir bersebelahan dengan sedan milik Papa. Kulirik bantal sapi di belakang. Terpaksa masih harus bau iler dulu semalam. Dicuci sekarang rasanya aku lelah.
"Assalamualaikum" Aku sudah membuka kunci pintu rumah dengan kunci cadangan yang kumiliki.
Tak lama terdengar suara menyahut dari dalam kamar. "Waalaikumsalam. Kamu pulang Del?" suara Mama memanggil.
"Iya, Ma." aku menghampiri Mama dan mencium tangannya. "Papa mana? Udah tidur?"
"Udah. Papa baru saja tadi sampai. Ngantuk katanya. Mau tidur cepat. Kamu udah makan?" tanya Mama lagi.
Aku meletakkan kue dan makanan yang dibawakan ibunya Maya diatas meja makan. "Ini dari Maya, Bu. Adel baru dari pesta hajatan Maya."
"Maya udah nikah? Sama siapa? Kok enggak ngundang-ngundang sih? Esih lupa sama Mama?"
"Tante Esih bukan lupa, tapi mikirnya Mama masih di luar kota. Adel mau mandi dulu ya Ma. Lengket. Udah pegel banget nih badan."
"Iya." jawab Mama singkat.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
dyul
hadeh.... bom atom🤣🤣🤣
2024-03-07
0
Lily
oon juga kamu suka
2024-01-11
0
Aysana Shanim
Haha ngakak banget maya kalo udah ketemu Richard tuh 🤣
2023-12-28
0