Melihat mbok Eni menangis memintanya untuk tidak pergi sungguh membuat Fidiya tidak enak, apa daya laki-laki itu sudah terlalu menyakitinya. “Maaf ya mbok, saya sudah tidak kuat.” Fidiya menpuk lembut bahu pelayan paruh baya itu.
“Baiklah jika keputusan Nona pergi dari sini, mbok bisa apa. Tapi, ikut mbok sebentar.” Pelayan itu menarik Fidiya keluar dari kamarnya.
“Sebentar mbok.” Fidiya menaruh tas yang dia pegang kesembarang arah, dia segera mengikuti tarikan pelayan itu, hingga mereka sampai di depan pintu kamar yang cukup besar, pintu itu terlihat lebih mewah dari pintu kamar Ridwan. Mbok Eni memberikan isyarat diam pada Fidiya, menaruh jari telunjuk di depan mulutnya.
Keadaan pintu itu sedikit terbuka, hingga Fidiya yan mbok Eni bisa mendengar jelas pembicaraan tiga orang yang ada di balik pintu itu.
“Bu, bagaiman kalau Fidiya kabur dari rumah? Rencana kita menyerahkan Fidiya pada Fadlan bisa gagal bu ….”
Fidiya berusaha menahan kemarahannya, dia baru menyadari, tawaran Melly tadi malam membantunya pergi dari rumah ini, ternyata untuk menyerahkan dirinya untuk orang lain, Fidiya semakin hancur, dirinya dianggap barang oleh ketiga wanita itu.
“Tenang saja, Fadlan bilang ‘kan hanya melepaskan Fidiya dari statusnya sebagai Istri Ridwan, nah kalau abangmu mau menceraikan dia, urusan kita selesai.” Retna terlihat santai, tidak merasa bersalah atas rencana yang dia susun.
“Fidiya pasti akan menolak menikah lagi dengan Fadlan, secara wanita itu tidak tertarik dengan harta, ibu ingat laporan utusan kita saat Fidiya menolak lamaran kita yang pertama?” ucap Ara.
“Ingat lah, tapi ini kota sayang … Fidiya tidak punya siapa-siapa di sini.”
“Ibu memang hebat!” Melly langsung memeluk ibunya.
“Aku kagum sama Fidiya, apa istimewanya dia, sehingga Fadlan rela memberi kita tiga unit Apartemen elit dan satu pabrik. Waw ….” Ara membayangkan hal yang dia dapat jika rencana mereka berhasil.
Ketiga wanita itu terdengar sangat bahagia, merasa peperangan pertama sudah mereka menangkan, tawa ketiganya begitu pecah.
Mbok Eni menarik Fidiya meninggalkan tempat itu. Hingga mereka sampai di kamar Fidiya lagi, Fidiya memungut tas yang dia lempar tadi, dirinya sangat lemas mengetahui kenyataan ini, dirinya benar-benar hanya seperti property bagi keluarga suaminya.
“Sekali lagi, selamatkan Tuan, Non. Selama ini hanya Nyonya Retna yang memberi Tuan perhatian, makanya Tuan begitu menyayangi Nyonya.”
“Baik mbok, aku akan berjuang sekali lagi.”
Mbok Eni sangat bahagia, mendengar Fidiya mau berjuang sekali lagi.
***
Malam mulai menyapa di belahan bumi tempat Fidiya tinggal. Seharian ini Ridwan berkeliling kota tanpa tujuan. Dirinya tidak bisa mengelak ucapan Fidiya, kalau dirinya suka lari dari masalah, Ridwan sadar setiap ada masalah dia lebih memilih pergi dan menghilang, lalu kembali lagi saat dirasa masalah itu hilang.
Malam semakin larut, Ridwan memutuskan untuk kembali ke rumah, berharap saat datang Fidiya sudah tertidur. Saat mobil yang dia kendarai memasuki gerbang, Dari kejauhan jendela kamar yang Fidiya tempati terlihat gelap. Ridwan yakin Fidiya sudah tidur. Dia segera memarkirkan mobilnya. Dengan semangat mempercepat langkah kakinya memasuki rumah itu.
Ruang utama juga hanya diterangi cahaya lampu temaran, Ridwan terus melangkah menuju kamarnya. Sesampai di depan pintu kamarnya, perlahan Ridwan memutar gagang pintu itu. Ridwan semakin merasa lega, saat melihat
kearah tempat tidur, Fidiya telihat nyaman berbalut selimut.
Tlek!
Suara sakelar lampu yang di ketik.
Ridwan terkejut dengan ruangan yang tiba-tiba terang, pupil matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang tiba-tiba terang.
“Dengan lari, semua masalah tidak akan selesai mas. Mas tau, ibu tiri dan kedua adikmu itu ingin menjualku mas!” Teriakkan Fidiya begitu lantang, berharap otak beku milik laki-laki itu bisa sedikit berfungsi setelah mendengar teriakkannya.
Ridwan menoleh kearah tempat tidur yang dia pikir itu Fidiya. Ternyata hanya bantal guling yang diselimuti. “Kamu sudah minta maaf pada ibu?”
“Minta maaf pada wanita yang ingin menjualku?”
“Kau pikir ibuku apa?!” Ridwan mulai geram dengan tuduhan Fidiya terhadap ibunya. “Ibuku punya segalanya, dia tidak butuh barang rongsokkan yang dia dapat dari hasil menjualmu, kau pikir kamu itu siapa? Sok cantik!”
“Mas, sebelum mas membela sesuatu yang salah, coba mas selidiki, kasih sayang kedua adikmu dan ibu tirimu, semua itu palsu. Kapan mas bisa melihat semua itu?”
Plakkk!
Ridwan tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak melayangkan tangannya.
Fidiya tersungkur saat tamparan keras itu mendarat di wajahnya. Fidiya berusaha menahan rasa panas yang menjalar di pipinya akibat tamparan itu.
“Keluar dari rumah ini!”
“Dengan senang hati!” tantang Fidiya. Fidiya mengambil tas yang dia simpan di pojok ruangan, dia segera melangkah menuju pintu. Saat dirinya berada tepat di depan pintu, Fidiya segera menghentikan langkah kakinya. “Oh ya mas, saat nanti mas mendapat apartemen mewah dan satu pabrik, selamat … itu adalah harga dari istri yang kau jual, pembayarannya bukan rongsok mas, tapi Apartemen elit dan sebuah pabrik!.” Selesai mengutarakan maksudnya, Fidiya membanting pintu kamar itu sekuat yang dia bisa. Meluapkan segala kekesalan yang menyelimuti hatinya.
Fidiya terus memacu langkah kakinya meninggalkan rumah itu, hingga dirinya sampai di luar gerbang. Kota yang asing tanpa tujuan, Fidiya tidak tau harus kemana. Fariz juga malam begini dia sudah pulang. Meminta pertolongan pada Ismi? Dirinya hanya menambah beban Ismi, Ismi merantau ke kota ini untuk membantu biaya Pendidikan kedua adiknya. Meminta tolong pada Elvina? Fidiya tidak siap merepotkan orang lain selarut ini. Fidiya memilih terus menyusuri jalanan, sejauh mana kakinya bisa melangkah meninggalkan rumah itu.
Setelah Fidiya pergi, Ridwan mendatangi kamar ibunya.
“Ridwan ….” Retna terkejut melihat Ridwan selarut ini mengetuk pintu kamarnya.
“Aku sudah mengusir Fidiya bu, aku tidak tahan lagi, dia mengatakan kalau ibu ingin menjualnya.”
“Maafkan ibu, nak. Ibu pikir gadis dari pelosok desa akan menjadi istri penurut, maafkan ibu karena ibu salah memilihkan istri buatmu.”
“Ibu tidak salah, harusnya aku mendengari ibu malam itu, salahku karena mulai terpesona dengan kemanisannya.”
“Anakku ….” Retna menarik Ridwan ke dalam pelukannya.
Teruslah bodoh nak, biar kami semakin bahagia. Retna tertawa dalam hati menertawakan kebodohan Ridwan, ini kali kedua dia menyingkirkan wanita yang ingin menyadarkan Ridwan dari kebodohan.
*****
Di tengah gelapnya malam, Fidiya terus melangkahkan kakinya menyusuri jalanan kota, di mana dia sekarang, ia juga tidak tahu. Wajahnya terasa kaku karena kedinginan. Saat melihat sebuah halte, Fidiya mempercepat langkahnya, kakinya sangat pegal, tenggorokkannya juga sangat kering, sepanjang perjalanan tadi dia tidak menemukan toko untuk membeli minum. Karena sudah larut malam. Fidiya mengintip layar handphone-nya, terlihat jam menunjukkan jam 2 malam.
“Apakah aku harus tidur di sini?” Fidiya tidak sanggup berpikir lagi, penglihatannya juga mulai kabur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Zuraida Zuraida
heran gua, ceo kok goblok
2022-12-30
1
Sikha Adhia
semoga kau selalu dilindungi
2021-08-19
0
astri rory ashari
Ridwan punya kwgobl*kan yg hqq...kapan lu sadar...nunggu wasaalam kayanya...Thor ntar kasih karma yg pedih sama Ibu Tiri plus adek2mya Ridwan y ....gw request ..pliss🙏😊😁
2021-07-02
5