Bentakkan Ridwan tidak hanya didengar Fidiya, tapi beberapa orang yang dekat dengan meja mereka, termasuk ibu dan kedua adik Ridwan. Melihat keadaan sekitar, Fidiya semakin merasa tertekan, rasanya ini sudah sangat kelewatan Ridwan menginjaknya harga dirinya sebagai seorang istri.
"Ridwan! Bersikap manis pada Fidiya di tengah orang seperti ini." Retna menegur dengan setengah berbisik.
"Iya kak, kami tahu di hati kakak cuma ada kami, tidak ada tempat buat kakak ipar, tapi biarlah itu kita yang tahu, lagian kakak ipar juga sadar, kalau dirinya tidak pernah bisa masuk ke dalam hati kakak, menjadi pendamping kakak saja, kakak ipar sudah sangat bahagia. Dari lumpur yang kotor diangkat ke istana yang megah," ucap Melly.
Fidiya hanya mengukir senyuman di wajahnya, menangis hanya membuat harga dirinya semakin hancur.
Fidiya ... lihat! Sampai kapan kamu berharap Ridwan menganggapmu sebagai istri? Sedikitpun kamu tidak mendapat tempat di hatinya.
Fidiya terus berusaha tegar. "Kamar mandi di mana?" tanya Fidiya.
Ara mendekatkan wajahnya kepada Fidiya. "Kenapa? Mau menangis di kamar mandi? Terima kenyataan saja kakak ipar," ucap Ara setengah berbisik.
"Tidak, aku kebelet!" Fidiya berharap alasannya di terima oleh Ara, walau benar dirinya ingin menumpahkan air matanya di toilet nanti.
"Kakak ipar, ikuti saja petunjuk itu." Ara menunjuk pada penunjuk arah yang terpampang. "Nah, masuki pintu yang bertulis wanita, jangan salah masuk!" ledek Ara.
"Terima kasih," Fidiya segera undur diri.
Fidiya terus melangkah mengikuti petunjuk arah itu, ketika dirinya berada di samping pintu yang bertuliskan tangga. Fidiya membatalkan niatnya menuju toilet, perlahan jemari Fidiya membuka pintu itu, saat pintu terbuka, benar saja itu adalah tangga yang berkelok-kelok. Melihat keadaan sepi, Fidiya merasa ini tempat yang aman untuk menumpahkan kesedihannya.
Fidiya menuruni satu persatu anak tangga, merasa tempatnya saat ini tepat untuk menangis, Fidiya merapatkan punggungnya ke tembok, melepaskan sepatu hak tinggi yang dia pakai, perlahan tubuh itu merosot, hingga posisi Fidiya saat ini duduk bersandar di lorong itu.
"Aku tidak bermimpi untuk jadi kaya, aku hanya ingin laki-laki yang mencintaiku, dan menerimaku apa adanya. Kenapa engkau datangkan laki-laki seperti Ridwan yang tidak punya perasaan itu, Tuhan!" Berteriak sebisa yang dia bisa, berharap rasa yang mengganjal di batinnya berkurang.
"Aku tidak sanggup untuk berbakti pada Ridwan ... dia tidak menghargaiku, dia tidak melihatku, aku bagai boneka baginya, dia datang untuk memuaskan dirinya sendiri, tanpa perduli akan perasaanku ...." Suara Fidiya semakin mengecil, tertelan oleh isak tangisnya yang semakin dalam.
"Aaaaaaargggggg!" Fidiya berteriak sekuat yang dia bisa.
Diatas sana.
Rencana Fadlan menerima telepon di tangga darurat batal, saat berulang kali mendengar jeritan seorang perempuan yang amat memilukan. Perlahan Fadlan menuruni anak tangga, semakin kebawah, semakin jelas terdengar isak teriakkan itu. Bulu kuduk Fadlan berdiri, di tempat sepi ini mendengar tangisan, jeritan dan teriakkan bukan hal yang lucu.
Saat semakin mendekat, terlihat seorang gadis duduk di lantai, punggungnya merapat pada dinding di sana. "Fidiya?" Fadlan seakan tidak percaya melihat gadis yang dia temui di butik berada di lorong sepi ini.
Fadlan mempercepat langkahnya. "Fidiya, kamu kenapa?"
Fidiya terperanjat, saat mendengar ada suara yang memanggil namanya. "Tu-Tuan?" Secepat yang dia bisa, Fidiya segera berdiri sambil menghapus air matanya.
Fadlan tersenyum melihat keadaan Fidiya. "Sudah ku duga, Ridwan lagi-lagi menyia-nyiakan perempuan yang mendampinginya. Dulu Elvina, sekarang kamu." Fadlan tertawa.
"Anda?"
"Saya tau siapa Ridwan, laki-laki yang keras kepala, pemimpin pabrik tapi idiot kalau memahami hati perempuan."
Fidiya terdiam, bukan hal baru dia mendengar sesuatu yang tidak enak tentang suaminya. "Maaf Tuan, saya harus kembali." Fidiya memilih menghindari Fadlan, dia tidak siap mendengar sisi negatif dari sosok Ridwan lebih banyak lagi.
"Sampai kapan kamu bertahan dengan laki-laki batu itu? Jangan kau sia-siakan masa mudamu mendampingi laki-laki yang tidak punya perasaan itu!"
Percuma, teriakkan Fadlan tidak ditanggapi Fidiya, wanita itu terus pergi sambil menenteng sepatu hak tingginya, dia terus meninggalkan tempat itu.
Setelah meninggalkan tempat itu, Fidiya menuju toilet, di sana dia segera memakai sepatunya dan memperbaiki riasannya. Apa yang dia bisa, dia tidak membawa apapun. Fidiya menarik beberapa lembar tisu dan mulai mengusap lembut wajahnya.
"Fidiya?"
Seorang wanita berdiri di samping Fidiya, dia terus menatap Fidiya.
"Iya, Anda siapa ya?" Fidiya sama sekali tidak mengenali wanita cantik yang berdiri di sampingnya.
Wanita itu bukan menjawab pertanyaan Fidiya, dia malah merapikan dandanan Fidiya dengan peralatan make-up yang dia miliki. "Nah, sudah rapi." Dia tersenyum melihat wajah Fidiya.
"Anda siapa?" Fidiya mengulangi pertanyaannya.
"Aku Elvina." Wanita itu masih tersenyum.
Deggggg!
Rasanya jantung Fidiya ingin meledak, saat menyadari seperti apa sosok Elvina. Wanita yang begitu cantik.
"Ku harap, suami, adik iparmu, juga mertuamu belum menceritakan keburukkan tentangku."
Fidiya hanya menggelengkan kepalanya.
"Bagus, banyak hal yang ingin aku bicarakan padamu, bisa nanti kita bertemu?"
Fidiya kali ini menganggukkan kepalanya, entah kenapa seketika lidahnya kelu menyadari cantiknya wanita yang bernama Elvina.
"Minta nomer hp-mu."
"Sa-saya tidak punya handphone."
Elvina membuang kasar napasnya mendengar jawaban Fidiya. "Baiklah, semoga nanti kita beruntung untuk bertemu lagi, kamu jangan berpikir yang bukan-bukan, ini hanyalah tekadku, ingin menyelamatkan gadis yang terperangkap dengan Ridwan. Aku hanya merasa bersalah, jika tidak sempat memberi tahu, ini semata hanya ingin menyelamatkan masa mudamu." Elfina menepuk lembut bahu Fidiya, dia segera meninggalkan Fidiya yang masih diam membisu setelah mendengar ceritanya.
Fidiya masih mematung memandangi pantulan dirinya yang ada di depan cermin. Bermacam pertanyaan kembali berputar di kepalanya. Setelah supir pribadi mertuanya, Ceo itu, sekarang mantan istri suaminya, mengatakan hal yang serupa.
"Kakak ipar! Kenapa lama banget! Bikin orang panik saja!"
Bentakkan itu membuat Fidiya tersadar dari lamunannya. "Melly?"
"Kalau sudah selesai, ayok kembali, jangan bikin orang panik, bikin malu tau kalau kakak hilang di acara ini."
"Maaf, Mell, toiletnya bagus, bersih, wangi, apalagi kaca buat bercermin, waw."
"Kakakku benar, ternyata kakak ipar udik banget!"
Fidiya berusaha tersenyum, terlalu sering dibentak dengan kata 'udik' membuat hatinya mulai sedikit kebal.
"Idih ... pake senyum, cepat kita kembali."
"Iya, Mell." Fidiya segera melangkahkan kakinya mengikuti langkah kaki Melly.
Degggg!
Jantung Fidiya seakan berhenti berdetak, saat melihat sosok Fadlan terlihat asyik bercengkrama bersama suami, mertua dan adik iparnya.
"Akhirnya, bidadari yang meluluhkan hati seorang Ridwan datang juga," sambut Fadlan.
Asem! laki-laki ini malah neledekku, dia sangat tahu kalau aku istri yang tidak dianggap. Fidiya berusaha tersenyum pada Fadlan.
"Aku pertama kali bertemu Fidiya, tadi sore di butik Melly, pribadi yang sangat menyenangkan, jujur aku butuh sosok pendengar seperti Fidiya," puji Fadlan.
Pujian Fadlan membuat Ara, Melly, Retna dan Ridwan membisu.
"Di mana sih, ketemu sosok seperti Fidiya, aku juga mau satu," ucap Fadlan.
******
Dududuuduuuu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Arin
wlpun skrng bacnya nysek,tpi Krn sy baca dri judul sprtny nanti bkln ada ngga nysek'nya jdi lnjut baca🤭
2022-05-11
1
Yuda Hasna
semanggat trz fidyaaa.
💪💪💪💪
2021-12-14
0
Sikha Adhia
pepet teruus
2021-08-19
0