Sekujur tubuh Fidiya gemetar, melihat tatap mata yang terus menyorotnya. Terus melangkah, mendekati pemilik kedua bola mata itu. Saat berada tepat di samping laki-laki itu, Fidiya perlahan memutar kursi kerja itu, agar dirinya bisa berhadapan dengan Ridwan.
Fidiya duduk bersimpuh di depan Ridwan, sedang wajahnya dia sandarkan di pangkuan Ridwan. "Mas jika aku ada salah maafkan aku."
Merasa kedua betis yang Fidiya peluk mulai sedikit menegang, dia sadar kalau dirinya mungkin akan ditendang. "Mas, dengari aku sebentar ... saja."
Kaki itu terasa tidak mengang lagi. "Terserah, setelah ini mas mau bilang aku apa, atau cap aku sebagai wanita apa. Tapi, aku hanya ingin mas memperlakukan aku sebagai istri, bukan sebagai pemuas nafsu belaka."
Brukkkk!
Tubuh Fidiya terpental, Ridwan mendorongnya begitu kuat. Ridwan langsung meninggalkan Fidiya, dia berjalan cepat menuju pintu, tangannya membuka gagang pintu itu, tapi pintunya terkunci.
Fidiya meraih kunci yang ada di sakunya, memperlihatkan kunci yang dia simpan. Fidiya merasa lega, setidaknya usahanya menahan Ridwan berhasil. Perlahan Fidiya bangkit dari posisinya. "Mas ... kita bicara sebentar saja mas," pinta Fidiya lembut. "Apa mas tau bagaimana perasaanku?"
Ridwan terlihat kesal karena tidak bisa menghindari Fidiya.
"Mas, aku tidak berharap mas cintai seperti mas mencintai kedua adik mas dan ibu mas. Cukup mas anggap aku ada ..., mas mau berbicara padaku selayaknya teman, itu sudah sangat cukup mas. Selama ini mas tidak berbicara padaku, bahkan rasanya melihatku saja tidak. Mas ... aku terima mas tidak bisa mencintaiku, tapi perlakukan aku seperti seorang suami memperlakukan istri pada umumnya."
Air mata Fidiya mulai membasahi pipinya. Mengeluarkan perasaan yang dia tahan selama ini membuat matanya tidak bisa menahan tumpahan air mata itu lagi.
"Mas memelukku tidak pernah, menciumku juga tidak. Mas menggauliku seakan aku ini--" Suara Fidiya tercekat, tidak mampu mengutarakan peribaratan dirinya, Fidiya masih terisak mengingat Ridwan yang begitu kejam padanya.
"Sedikiiit saja mas lebih lembut padaku, itu sudah cukup mas."
Tangisan yang amat memilukan itu tidak juga membuat dinding batu itu memberi sedikit celah pada yang menghiba. Ridwan tidak bereaksi apapun. Dia merogoh saku celananya, terlihat dia mengeluarkan handphone-nya. "Pak Ibra. Bukakan pintu ruangan kerjaku, pintunya terkunci," titah Ridwan pada pelayan yang bekerja di rumah itu.
Mendengar Ridwan meminta bantuan untuk membuka pintu itu, pupus harapan Fidiya, perlahan Fidiya meletakkan kunci yang sedari tadi dia pegang diatas meja kerja Ridwan. Ridwan sama sekali tidak mau mendengarkannya. Bahkan laki-laki itu tidak perduli padanya.
Terdengar suara kunci yang diputar. Terlihat pintu perlahan terbuka. Terlihat Ara dan Retna juga memasuki pintu itu.
"Kenapa kak Fidiya menangis?" tanya Ara.
"Owh, dia panik pas mau keluar pintu tidak bisa di buka." Ridwan terlihat begitu santai, berbanding jauh dengan Fidiya yang terlihat kacau.
"Sudah jangan menangis lagi, silakan ke kamarmu, kami ingin bicara sama Ridwan!" ucap Retna.
Berbicara dengan Ridwan seperti berbicara pada benda mati. Fidiya menghapus air mata yang membasahi wajahnya dengan kedua tangannya. "Selamat malam semuanya." Fidiya berlalu begitu saja melewati ibu mertua, adik ipar dan suaminya.
Sekeras apapun Ridwan menolak, hati kecilnya tidak bisa dibohongi, dia merasa bersalah dengan wanita yang menangis itu, mata Ridwan terus memandangi punggung Fidiya yang terus menjauh.
"Nak, ibu mau bicara."
Perkataan ibunya, membuat Ridwan berhenti memikirkan Fidiya. "Iya bu, mari kita masuk." Ridwan mempersilakan ibu dan adiknya masuk ke dalam ruangan kerja. "Pak Ibra, silakan Bapak kembali pada tugas Bapak."
Pak Ibra tidak menjawab, dia hanya mengangguk dan segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Retna dan Ara terlihat duduk begitu santai duduk di sofa yang ada di ruangan kerja itu. Ridwan langsung mendekati ibunya.
"Bicara apa bu?"
"Ibu merasa ada firasat buruk tentang Fidiya, sebelum hal buruk itu terjadi sebaiknya kamu lepaskan saja dia."
Deggggg!
Jantung Ridwan seakan berhenti berdetak.
"Kalian yang kekeh memintaku untuk menikah, ini belum dua bulan, ibu memintaku melepaskan dia? Ini pernikahan bu, sesuatu yang sakral, bukan main-main."
Retna terkejut mendengar jawaban Ridwan, dia menaruh kedua telapak tangannya di depan dadanya. "Ya salam ...." Retna memasang raut wajah yang penuh kekecewaan. "Perasaanku ternyata benar, di mana anakku yang selalu menuruti perkataan ibunya." Retna mulai mengeluarkan air mata buaya-nya. "Bahkan dia berani mencermahi ibunya. Oh ....." Retna terisak.
"Sudahlah bu, sepertinya abang lebih sayang istrinya, percuma juga kita menyelamatkan dia." Ara mendekati ibunya dan memeluk sang ibu.
"Apa salah Fidiya? Selama ini dia selalu menuruti permintaan kalian, bahkan dia tidak pernah berkata apapun tentang kalian padaku, karena aku sengaja tidak mau bicara padanya."
"Salah kakak ipar, tidak bisa diajak keluar. Kalau kita membawanya diantara kita, rasanya dia itu pelayan kita bukan anggota keluarga kita," kilah Ara.
"Acara tahunan perusahaan. Dia terlihat manis bahkan orang-orang kagum padanya," bela Ridwan.
"Ara! Jangan lawan kakakmu, biar saja dia bersama istrinya, kita pergi saja dari sini, dia tidak sayang lagi pada kita." Retna mencoba memancing perasaan Ridwan, berharap Ridwan mencegahnya agar tidak pergi dari ruangan itu.
Ridwan frustrasi, dia duduk di sofa sambil memijat kepalanya. Fidiya tidak salah, tapi ibu dan adiknya malah meminta dirinya menceraikan Fidiya. Ridwan membiarkan ibu dan adiknya pergi meninggalkan ruangan itu.
Retna semakin kesal, biasanya Ridwan mencegahnya dan menuruti kemauannya. Kali ini Ridwan malah membiarkannya pergi.
"Bu ...." Ara tidak menyangka usaha mereka gagal.
"Tenang, bila Ridwan tidak mau melepaskan Fidiya, kita buat Fidiya yang pergi meninggalkan Ridwan." Retna melangkah begitu santai menuju kamarnya.
*
Di dalam kamar yang dia tempati, Fidiya berusaha melupakan kejadian barusan. Berusaha menerima takdir yang tergaris untuknya. Fidiya teringat sesuatu. Dia segera mencari tas-nya. Akhirnya dia menemukan nomer telepon Ismi, Fidiya langsung membawa kertas yang tertulis nomer Ismi.
Fidiya duduk di tepi tempat tidur itu, sesekali senyuman terukir di wajahnya saat membaca pesan dari Ismi. Saat selesai berbalas pesan dengan Ismi, pikiran Fidiya terbang entah kemana. Terbayang akan cerita Elvina, cerita Fariz.
"Sebelum aku, mbak El sudah berjuang. Tapi bagi mas Ridwan hanya ibu dan adik-adiknya yang penting." Fidiya meletakkan handphone pemberian Elvina di atas nakas.
"Aku tidak perduli bagaimana pun ibu dan adiknya, aku hanya ingin mas Ridwan berlaku seperti seorang suami."
Fidiya terus memikirkan bagaimana lagi meminta haknya, dirinya lelah dianggap boneka hidup seperti ini. Mobil berjejer di depan sana, rumah besar, pelayan yang siap melayaninya. Tidak lelah memasak, tidak lelah membersihkan rumah, semua itu sudah ada yang mengerjakan.
Tapi memiliki suami seperti Ridwan, membuat segala kemewahan ini sia-sia. Air mata terus mengalir membasahi pipinya.
Ceklak!
Pintu kamar itu terbuka, terlihat Melly di antara celah pintu itu. Senyuman manis menghiasi wajah Melly.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Umar
fidia cwek idiot mknya bgtu,kloe dia normal mna mau di prlakukan sprti itu,EMG novel halue smua gak ad yg sesuai sedikit pun realita
2022-04-30
1
Sikha Adhia
buka mata hatimu Ridwan... lihatlah sifat asli ibu dan adik2mu
2021-08-19
0
Siena
Semangat, Lanjutkan Miss... 👍👍👍
2021-07-07
0