Pujian Fadlan membuat Ara, Melly, Retna dan Ridwan membisu.
"Di mana sih, ketemu sosok seperti Fidiya, aku juga mau satu," ucap Fadlan.
Mendengar Fadlan berkata seperti itu, seketika kedua bola mata Fidiya membulat sempurna.
"Kau suka padanya, kalau suka ambillah, sebenarnya aku sama sekali tidak butuh dia." Begitu santainya Ridwan melontarkan kata-kata itu.
"Wow, aku suka gayamu, anti bucin! Di mana sekarang hampir semua yang jatuh cinta kena penyakit bucin." Fadlan menepuk lembut bahu Ridwan.
Ada yang pecah, hancur berkeping-keping, tapi tidak menimbulkan suara. Perasaan Fidiya, tidak dapat lagi bagaimana meng-ibaratkan betapa hancurnya dirinya saat ini.
Sabar Fidiya, beri dia kesempatan, dia hanya tau betapa lembutnya perhatian keluarganya, dia tidak tau, kalau kau juga bisa memberi perhatian padanya.
Berusaha tetap berdiri tegar, saat hati dan harga dirinya hancur seperti ini tidaklah mudah. Fidiya tetap berusaha nampak anggun. "Mas, acaranya sudah selesai?" Berusaha menampakkan kalau Ridwan bisa manis padanya. Tapi apa kenyataannya, laki-laki itu seperti kehilangan otaknya, dia begitu bangga mempertontonkan kebodohannya.
Ridwan tidak menanggapi pertanyaan Fidiya, Ridwan terus menegak minuman yang sedari tadi dia minum.
"Acara inti sudah selesai sayang, ini hanya acara obrolan biasa, kalau kau lelah, silakan lebih dulu ke kamar, nanti aku menyusul," goda Fadlan.
Sekujur tubuh Fidiya bergidik mendengar jawaban dari Fadlan. Tanpa pamit pada siapapun, Fidiya langsung pergi dari ruang acara itu.
Fadlan terus memandangi kepergian Fidiya, membuat Ara, Melly, dan Retna saling tatap. Entah apa rencana mereka.
Fidiya mengingat-ingat kamar yang dia tempati sebelumnya, akhirnya usahanya memberanikan diri meninggalkan tempat acara itu tidak sia-sia. Fidiya sampai di depan pintu kamarnya, tapi dia lupa membawa karta access memasuki kamar itu, akhirnya Fidiya memencet bel pintu, pada kamar yang di tempati susan. Saat pintu terbuka, Susan menyambutnya dengan senyuman ramah.
"San, bolehkah aku numpang tidur di kamarmu? Aku lupa bawa kartu untuk membuka pintu kamar yang aku tempati."
"Tenang saja bu, saya ada pegang satu kartu." Dengan santai Susan menuju pintu kamar yang ditempati Fidiya. Pintu pun terbuka. "Silakan istirahat bu," ucap Susan.
"Makasih, ya." Fidiya sangat bersyukur, setidaknya masih ada satu orang yang berbuat baik padanya.
***
Tubuh, hati, dan otak Fidiya begitu lelah menerima kenyataan yang dia hadapi hari ini. Fidiya pun langsung tertidur setelah membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya.
Saat dirinya asyik berkelana di alam mimpi, suara yang tidak karuan membuat Fidiya tersadar dari alam mimpinya, perlahan Fidiya mengerjapka n kedua matanya, terlihat Ridwan begitu kacau, penampilannya yang tadi rapi terlihat acak-acakkan.
Fidiya langsung bangkit dari posisinya, segera menyambut sang suami walau dia tau, apa nanti ujungnya.
"Mas, maaf ya, tadi aku ketiduran." Fidiya berusaha membantu Ridwan melepas jas yang dia pakai.
Brukkkk!
Bukan berterima kasih karena dibantu, Ridwan malah mendorong Fidiya hingga dirinya terpental pada tembok yang tak jauh darinya.
"Berhenti bersikap manis padaku! Aku tidak akan jatuh cinta padamu!" hardik Ridwan.
Bahunya sakit, tapi Fidiya berusaha tersenyum. "Aku tidak berharap mas cintai. Ini adalah sebagian baktiku padamu, bakti seorang istri pada suami, aku ikhlas menjalani semua ini," Fidiya berusaha tersenyum. "Tidak apa mas tidak bisa mencintaiku atau tak mau menerimaku, tapi biarkan aku berbakti, ini adalah tugasku." Fidiy kembali mendekati Ridwan, melanjutkan niatnya untuk membantu melepaskan baju yang Ridwan kenakan.
"Berhenti! Aku bisa sendiri dan aku bukan anak kecil!"
Fidiya hanya bisa terus tersenyum. Ridwan sama sekali tidak tersentuh, dia pergi meninggalkan Fidiya begitu saja. Saat punggung Ridwan menghilang di balik pintu kamar mandi, perlahan senyuman manis itu lenyap, hanya air mata yang mulai menganak sungai di pipi Fidiya. "Berhenti Fid ...." Dalam dirinya Fidiya menyerah akan keadaan ini, tapi di sudut lain, memberinya semangat untuk berjuang dan memberi kesempatan pada Ridwan. Berharap gunung batu itu sedikit memberi celah padanya. Andai perjuangannya gagal, setidaknya Fidiya tidak menyesal lagi, karena sudah berjuang.
***
Dinginnya hawa pagi mulai terasa menusuk tulang, menebalkan selimut pada tubuh, membuat mata semakin rapat terpejam. Tapi tidak bagi Fidiya, dia tetap berusaha keras untuk bangun. Menjalankan rutinitas subuh seperti biasa.
Fidiya maupun Ridwan sudah selesai dengan tugas subuh mereka. Namun keduanya saling diam, seperti orang yang masih malu-malu meong. Tapi diamnya Ridwan bukan karena malu, memang tabiat dia tidak bisa melihat pasangannya.
Fidiya berusaha tetap tegar walau hatinya ingin menjerit, terlihat jelas Ridwan sama sekali tidak menganggapnya ada.
"Mas, mau apa? Kalau mau sesuatu biar aku siapkan." Fidiya memasang senyuman manis, berharap lawan bicaranya luluh.
"Berhenti membuat dirimu seolah pelayan! Aku tau kau orang miskin, sehingga sulit bagimu melepas kebiasaan seorang pelayan."
"Aku bukan bersikap sebagai pelayan mas, aku hanya menawarkan." Senyuman kaku itu masih terukir. "Aku rela tidak mas cinta, tapi izinkan aku untuk mencintai mas. Mas tau, rasa cinta mas yang besar pada keluarga, itu yang meluluh lantahkan hatiku, walau aku tau aku tidak akan pernah dapat cinta dari mas. Aku tidak berharap dibalas mencintai, biarkan aku mencintai mas saja, karena mas suamiku."
"Pergi dari sini!"
Deggg!
Pupus sudah harapan Fidiya, tadinya dia berharap mendapat sambutan hangat dari sosok Ridwan, ternyata tetap saja hanya sebuah makian. "Iya mas, aku keluar, aku jalan-jalan lihat hotel, ini pengalaman pertamaku masuk hotel mewah gini." Fidiya berusaha tampak bodoh. Dengan senandung sesuka hatinya, Fidiya meninggalkan kamar itu.
Setelah kepergian Fidiya, Ridwan masih mematung.
Mas tau, apa yang buat aku jatuh cinta padamu? Rasa cinta mas yang luar biasa buat ibu dan adik mas. Aku Cinta mas Ridwan.
Masih terbayang jelas bagaimana Elvina mengungkapkan perasaanya. Hingga Ridwan menikahi gadis itu, apa daya pernikahan itu hanya bertahan sebentar saja.
"Dulu Elvina menggetarkan jiwaku dengan rayuannya, semua itu hanya menutupi jalan perselingkuhannya." Ridwan bingung harus bagaimana. "Apa sekarang Fidiya juga selingkuh dengan CEO itu? Kenapa CEO itu terang-terangan menawarkan sebuah pabrik besar agar aku melepaskan Fidiya?"
Ridwan menghempaskan tubuhnya keatas tempat tidur. Otaknya tidak bisa bekerja dengan baik, karena hatinya terang-terangan menentang apa yang otaknya pikirkan.
Dengan setelan santai, Fidiya menelusuri taman yang ada di hotel itu. Memandangi indahnya bunga-bunga yang di tanam di sana. Suasana pagi nan sepi, membuat Fidiya bisa melepaskan expresi apa yang dia mau, tanpa harus ja'im sama pengunjung yang lainnya.
Fidiya mengangkat kedua tangannya ke udara. "Emmmmppp!" Tiba-tiba ada yang menutup mulutnya dan menariknya ke pojokkan. Hingga Fidiya berada di sebuah ruangan yang ada di bawah tanah.
"Mbak Elvina?" Fidiya terkejut, ternyata yang membuatnya terkejut adalah Elvina.
"Maaf, aku terpaksa melakukan ini." Elvina meraih sesuatu dari tasnya. "Ini handphone buatmu jangan di tolak!"
"Tat--"
"Tidak ada tapi-tapi, terima saja. Ku mohon."
Fidiya terdiam wajah Elvin memelas sepeti itu.
"Lagian mereka semua tidak sadar kan, kalau selama ini, kamu tidak punya hp?"
Fidiya menganggukkan kepalanya.
"Biarlah itu, mumpung kita bisa berdua, aku ingin cerita, kau mau dengar?"
"Iya, mbak."
"Jangan mbak panggil El saja, di hp-mu, namaku Via, kalau ada yang kepo dengan kontak di ponselmu tidak ada yang curiga."
"Iya, terus ceritanya kapan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
🤍
Next..
2021-08-04
1
Alena Anata
up
2021-07-21
0
Cika🎀
ayo bersekutu😢😢😢buat sambit ridwan😠
2021-07-07
0