Perlahan cahaya matahari mulai meredup. Aktivitas di butik yang begitu melelahkan, akhirnya selesai. Fidiya mengikuti langkah kaki Melly. Di belakangnya, Asisten Melly juga berjalan mengekori mereka, membawa beberapa gaun. Fidiya hanya diam dan terus melangkah. Tenaganya begitu terkuras melayani para pelanggan yang datang ke butik milik Melly. Langkah kaki mereka berhenti, tepat di samping mobil Melly.
"Kakak ipar duduk di depan, Susan kamu di belakang pangku semua gaun itu," perintah Melly.
"Iya, bu."
"Salon untuk merias kami malam ini, sudah kamu hubungi?"
"Sudah juga bu, nanti mereka akan datang." Susan segera masuk kedalam mobil, begitu juga Fidiya dan Melly.
Perlahan mobil itu melaju meninggalkan butik, lumayan lama mobil itu membelah jalanan, hingga akhirnya mobil itu berhenti disebuah gedung bertingkat yang terihat megah, di sana terpampang jelas logo nama sebuah hotel. Mereka di sambut para pegawai hotel.
"Kenapa ke hotel? Bukankah rumah kalian juga di kota ini?" Fidiya bingung, padahal rumah mereka juga bagus.
"Kami lelah kak kalau harus menepuh perjalanan lagi, acara malam ini di ballroom hotel ini, jadi hemat waktu kalau kita semua menginap di sini," jelas Melly.
"Kalian baru sampai?"
Pertanyaan itu membuat Melly menoleh kearah belakang, terlihat ibunya datang bersama Ara.
"Ibu ...." Melly langsung memeluk ibunya. "Butik lumayan rame, jadi telat bu."
"Bu ...." Fidiya salim pada mertuanya.
"Iya Fid." Retna mengusap lembut pucuk kepala Fidiya. "Kamu sendirian dulu di kamar hotel selama Ridwan belum datang," ucap Nyonya Retna.
Hahahaaa, ada mas Ridwan 'pun, aku tetap merasa Sendiri. Fidiya berusaha tersenyum.
"Oh, Susan, berikan baju yang aku tandai pita warna pink itu pada Kakak iparku," pinta Melly.
Susan pun segera memberikan apa yang dimaksud Melly, pada Fidiya. Fidiya segera menyambut barang yang Susan serahkan padanya.
Merasa urusan mereka selesai, mereka segera memasuki hotel itu, menuju kamar masing-masing yang sudah mereka pesan lebih dulu.
Terlihat Ara, Melly, dan Nyonya Retna masuk dalam satu kamar yang sama, sedang Susan masuk ke kamar yang tidak jauh sendirian. Fidiya 'pun masuk ke kamar yang Melly maksud seorang diri.
Fidiya segera mengunci pintu kamar, sesampai di dalam kamar, Fidiya langsung menuju kamar mandi, rasanya seluruh tubuhnya gatal, karena seharian mandi keringat.
Saat malam tiba, pintu kamar hotel yang Fidiya tempati perlahan terbuka. Terlihat sosok tampan yang berstatus suami Fidiya. Fidiya terkejut, melihat Ridwan bisa masuk begitu saja kedalam kamar hotel ini.
"Mas, pintunya aku kunci, bagaimana mas bisa masuk?" tanya Fidiya lembut.
Bukan jawaban yang Fidiya dapat, melainkan tatapan sinis, Ridwan terus berlalu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
Dia tak menyentuhku, tapi kenapa ada rasa sakit yang sangat-sangat sakit Ya Tuhan .... Tidak dapat di pungkiri, air mata Fidiya terlepas begitu saja, hingga menganak sungai mengalir di pipinya.
Ting tong!
Suara bel terdengar, Fidiya dengan cepat menghapus air matanya. Dia segera melangkah menuju pintu, saat pintu terbuka, terlihat Susan Asisten Melly. "Iya mbak Susan?"
"Kata bu Mel, Anda diminta ke kamar saya, yang lain sudah di rias, sekarang giliran Anda. Kalau bisa, pakai langsung gaun yang saya serahkan tadi sore."
"Iya mbak, selesai ganti baju saya akan segera ke kamar kamu."
Susan langsung kembali, sedang Fidiya segera menutup pintu. Fidiya melangkah cepat menuju tempat di mana dia menyimpan gaun itu, sebisa yang dia minta, Fidiya segera memakai gaun itu. Selesai memakai gaun pesta, pintu kamar mandi belum juga terbuka. Fidiya memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar mandi itu.
"Apa!"
Samar terdengar suara dari dalam.
"Mas, aku mau ke kamar Susan, Melly yang minta."
Ceklak!
Pintu terbuka, terlihat busa shampo masih menempel di kepala Ridwan.
"Jika adikku atau ibuku yang meminta, cepat lakukan! Jangan bego kayak begini! dengan menunggu izin dariku" Bukan sekedar makian, tapi ujung jari telunjuk Ridwan juga mendarat di tengah-tengah dahi Fidiya.
"Iya mas, maaf." Fidiya langsung pergi dari hadapan Ridwan. Air matanya ingin menetes lagi, tapi Fidiya tahan, dia tidak mau orang lain melihatnya menangis.
Fidiya ... sadarlah, dunia Ridwan hanya kedua adiknya dan ibunya. Berhenti bersikap manis padanya.
Fidiya berusaha menguatkan dirinya, dia juga tidak tau apa perasaannya pada Ridwan, yang dia tau hanya berusaha sopan dan menghormati Ridwan sebagai suaminya. Tapi apa yang Fidiya dapat? Hanya tatapan sinis dan ucapan yang sama sekali tak meng-enakkan bagi Fidiya.
Kakinya terus melangkah meninggalkan kamar itu, menuju kamar Susan, Sesampainya di kamar Susan, Fidiya segera di rias oleh jasa perias yang sudah Melly siapkan. Wajah-wajah manis itu kini sudah kena sulap kuas ajaib milik penata rias. Tidak bisa dipungkiri Fidiya bidadari yang paling cantik diantara bidadari-bidari ini.
"Dek, Bu. Ayok turun, acaranya sebentar lagi akan di mulai." Seorang laki-laki tiba-tiba masuk ke kamar itu.
"Abang ... bagaimana penampilanku?"
"Kamu itu cantik dari lahir, karena perempuan yang melahirkan kamu itu sangat cantik. Kalau hari ini kamu makin cantik," puji Ridwan.
"Kalau aku bang?" Melly tidak mau kalah.
"Kamu juga sangat cantik, dek."
Fidiya terdiam, Ridwan hanya memandang dirinya sekilas, dan tidak perduli dengan penampilannya. Ridwan hanya memberikan pujian-pujian manis itu pada kedua adiknya dan ibunya.
"Ayo dek kita turun." Ridwan memberikan tangannya untuk Ara dan Melly.
Kedua gadis itu segera melingkarkan tangan mereka di pergelangan tangan kakak laki-laki mereka.
Kedua mata Fidiya mulai berkaca-kaca. Tidak bisakah kamu mas, memandangku dan menyanjungku walau sedikit saja. Jerit Hati Fidiya.
"Jangan melamun aja, Fid, cepat ikuti kami, nanti kamu yang nyasar kami yang repot!" ucap Retna.
"Iya, bu." Fidiya berusaha membuang kesedihannya dan segera mempercepat langkahnya menyusul dua adik ipar, mertua dan suaminya yang berjalan di depannya.
Di depan sana, Nyonya Retna berjalan paling depan, diikuti Ridwan yang masih menggandeng kedua adiknya. Terdengar Ridwan terus memuji kedua adiknya. Hati Fidiya semakin terasa sakit. Tidak berharap diperlakukan sama. Tapi diabaikan seperti ini, sangat tersiksa.
Kuat Fidiya, bukankah kamu pernah lebih susah dari ini, dan bukan hal baru kamu tidak terlihat.
Fidiya menarik napasnya begitu dalam, menghembuskannya perlahan. Harusnya yang digandeng seorang laki-laki yang sudah ber istri itu adalah istrinya, kenyataan di depan mata, Ridwan melenggang bebas menggandeng kedua adiknya, dan meninggalkan Fidiya berjalan seorang diri. Fidiya semakin merasa asing ditempat yang asing ini.
Alunan musik mulai terdengar, perlahan Fidiya dan keluarga Ridwan melewati sebuah pintu, setelah melewati pintu itu, pemandangan yang indah langsung menyambut mata mereka. Fidiya tertegun, biasanya dia melihat pemandangan seperti ini di televisi saat pernikahan artis atau acara sebuah penghargaan.
"Jaga sifatmu! Kau itu kampungan dan udik! Jangan sampai kau mempermalukan aku, ibuku, dan kedua adikku karena sifat kampunganmu!"
Hardikkan Ridwan menghapus seketika rasa takjub Fidiya pada ruangan ini. "Iya mas." Rasanya sulit sekali untuk mengeluarkan kata-kata, rasa sakit itu seakan mencekik leher Fidiya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Zuraida Zuraida
keluarga gila
2022-12-30
1
Ima Ko
semoga kedua adik perempuannya besuk di perlakukan kayak gitu sama swami dan emak mertuanya
2022-03-20
0
guntur 1609
suruh ja ridwan kawini mama sama kedua adiknya. dasar ridwan begok
2022-03-05
0