Fidiya FOV
Apa yang dilakukan laki-laki ini? Ini sangat menyakitkan. Tuhan … Aku hanya bisa menangis, sekuat tenaga berusaha menahan suara tangis ini agar tidak terlepas. Dia terus melakukan apa yang dia mau, tempat tidur ini bergoncang begitu hebat, aku sangat sakit ya Tuhan.
Arggghhh!
Dia meleguh, terlihat dia sangat menikmati keadaan ini, apakah dia tidak bisa berbuat sedikit saja lebih manis untukku? Jangankan memandang, menoleh saja dia tidak, setelah dia menyemai benih kedalam tubuhku, setelah selesai dia pergi begitu saja.
Aku hanya bisa memadangi langit-langit kamar ini, apakah aku ini hanya seperti sebatang kayu?
Ini sangat sakit … seperti apa untuk menghilangkan semua rasa sakit ini? Menangis, hanya menangis yang aku bisa. Inikah yang dinamakan malam pengantin? Inikah yang dinamakan bercinta? Kenapa aku hanya bisa merasakan sakit, ini bukan percintaan, tapi ini penyiksaan.
Samar terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, segera ku hapus air mata ini, mencoba tersenyum padanya. Percuma, dia sama sekali tidak memandangku. Lelah, lebih baik memejamkan mata ini, daripada melihat semua ini. Berharap semua ini hanya mimpi, dan saat terbangun melihat desa yang indah.
****
Kepalaku terasa pusing, kenapa tempat tidur ini bergoncang
begitu hebat, perlahan kubuka kedua mataku. Astaga … kenapa laki-laki ini kembali menumpahkan hasratnya, dia hanya bisa memuaskan dirinya.
“Mas ….” Pekikku. Berharap dia sedikit saja iba padaku.
Dia tidak perduli, dia hanya tau memuaskan dirinya, dan masa bodoh dengan diriku, setelah menumpahkan semuanya, dia kembali tidak melihatku. Benar saja, saat dia selesai, dia pergi lagi.
“Sabar Fidiya, mungkin dia malu.” Berusaha menguatkan diri sendiri dengan bersangka baik padanya.
Saat dia selesai dari kamar mandi, aku segera masuk kamar mandi. Kami berselisihan di depan pintu kamar mandi, dia terlihat begitu tampan, dengan setelan rumahan. Wajahnya juga terlihat segar dengan rambut basahnya. Tapi, dia sama sekali tidak menghiraukanku.
Kembali berusaha kuat, segera ku pacu langkah kakiku memasuki kamar mandi, biar bisa menumpahkan air mata ini.
Apalagi yang bisa aku adukan padamu Tuhan?
Air mata ini terus menetes, melihat Ridwan sama sekali tidak menganggapku, tapi dia memakai tubuhku saat dia mau. Menangis terus juga tidak mengurangi rasa sesak di hati, juga tidak membuat mas Ridwan peka.
Cahaya matahari mulai terlihat, hawa yang tadi begitu dingin perlahan kamar ini terasa hangat. Selesai melakukan kewajiban subuh tadi, aku hanya mengurung diri di kamar, ini sangat tidak baik, jika hanya berdiam diri di kamar. Sedang mas Ridwan selesai melakukan pekerjaan subuhnya, dia sudah pergi dari kamar ini.
Segera ku langkahkan kaki menuju meja makan atau dapur, barangkali ada pekerjaan yang bisa dilakukan di sana.
Sesampai lantai bawah, terlihat pelayan yang tadi malam menemaniku. “Mbok Eni ….” Sapaku.
Mbok Eni tersenyum, dia melambaikan tangan padaku, dengan begitu semangat aku segera menghampirinya.
“Pengantin baru bisa bangun pagi-pagi,” ledek mbok Eni.
“Mbok, ada yang bisa aku kerjakan?”
“Rumah ini sudah sangat banyak pelayan, lebih baik Nona berkumpul saja dengan Nona Ara dan Nona Melly, mereka di meja makan mengobrol dengan Nyonya besar.”
“Iya mbok.” Segera ku langkahkan kaki menuju meja makan, benar saja di sana ada tiga orang.
“Selamat pagi semua.” Ku coba menyapa mereka semua.
“Pagi juga kakak ipar,” ucap Melly dan Ara bersamaan.
“Pagi juga, nak.” Sapa ibu.
Alhamdulillah, mereka masih bisa melihatku. Tidak seperti laki-laki itu.
“Ayo, sini sayang. Kita kumpul pagi, karena hanya pagi dan malam kita semua bisa berkumpul. Ara dan Melly kalau siang, mereka bekerja,” ucap ibu mertuaku.
Aku hanya menganggukkan kepala, segera duduk di kursi yang rada jauh dengan mereka. Meja makan ini besar, cukup untuk dua belas orang.
“Melly, di butik kamu perlu pegawai, kalau perlu masukan saja Fidiya di sana, aku tidak suka melihat orang yang menganggur!”
Ada rasa sakit mendengar ungkapan itu, tapi sakit kenapa? Lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum.
“Maaf kak, di keluarga kami, semuanya ibu rumah tangga+wanita karir yang sukses. Jadi … kami sangat benci jika orang yang tidak menggunakan waktunya, dan menghabiskan waktu hanya untuk rebahan atau berdiam diri.” Melly menambahi.
“Jika mas Ridwan setuju, aku tidak masalah, padahal tadinya aku hanya berharap untuk mengabdikan diriku untuk mas Ridwan, menjadi istri pada umumnya.”
“Kalau kami miskin itu tepat, tapi kami punya pembantu dan mereka lebih professional dibanding dirimu!”
Kata-kata itu terlontar dari mulut laki-laki yang berstatus suamiku. Aku berdiri untuk menyambutnya. Percuma, dia sama sekali tidak perduli.
“Maaf mas, sebagai seorang istri, aku hanya ingin membuat mas bahagia, dan kewajibanku berbakti, taat dan patuh padamu.”
“Ingin aku bahagia, cukup bahagiakan kedua adikku dan ibuku,
mereka adalah kebahagiaanku. Andai mereka tidak memintaku untuk menikahimu, tidak sudi aku tidur sekamar dengan orang lain.” Dia memandangku dengan tatapan dingin dan sinis, sangat berbeda saat dia memandang kedua adiknya dan ibunya.
Jlebbbb!
Sadis! Tidak sudi? Tapi dia menumpahkan segala keinginan
lelaki yang satu itu padaku, fix! Aku hanya pelampiasan nafsunya. Semoga engkau.tidak bosan memberi kekuatan padaku, ya Rabb.
Ridwan merubah arah pandangannya, tatapan yang begitu teduh tertuju pada ibunya. “Maaf ya bu, aku lupa menyapa ibu.”
Satu per satu pelayan mendekat, meja makan yang tadi hanya berisi buah dan satu teko air putih, perlahan di penuhi makanan. Waw, menu yang luar biasa, aku terbiasa sarapan pagi dengan nasi hangat dan sebutir telor ceplok atau dadar, bahkan sering tidak makan, kalau tidak dapat pekerjaan lagi. Tapi saat itu hati ini sangat bahagia, tidak seperti saat ini.
“Ayo makan kakak ipar,” ucap Ara.
Aku hanya tersenyum dan menganggukkan pelan kepalaku. Kami semua menikmati sarapan pagi ini. Tidak ada pembicaraan lagi, semua menikmati makanan yang ada di piring masing-masing. Terlihat mas Ridwan mulai berdiri sambil mengelap bagian mulutnya.
“Mau berangkat kerja mas?” tanyaku lembut.
“Memangnya kenapa? Kemana aku bukan urusanmu!” bentaknya.
“Maaf mas, aku hanya ingin salim sama mas.”
“Tidak perlu!” Dia pergi begitu saja meninggalkanku dengan segala rasa perih.
“Abang ….” Rengek Ara.
“Iya dek ….” Jawabnya lembut.
“Hati-hati.”
“Iya dek.” Ridwan berjalan mendekati Ara, Melly dan ibunya. Dia mengusap lembut pucuk kepala adiknya begitu penuh kasih sayang, dan mendaratkan ciuman di sana, juga salim pada ibunya, tidak lupa mencium pipi kanan ibunya. “Pamit ya bu, dek ….” Ucapnya.
“Iya, hati-hati.” Ketiga wanita itu menyahut dengan kalimat yang sama.
Ingin rasanya kutenggelamkan diri ini ke dasar bumi, sakit, malu, kecewa, menjadi satu. Kenapa dia menikahiku kalau hanya menorehkan luka pada hidupku?
“Lihat Fidiya, jangan pernah berpikir untuk menguasai anakku!” cerca wanita itu.
“Menguasai? Apa maksud ibu?”
“Biasanya seorang laki-laki kalau menikah melupakan keluarganya
dan asyik dengan istrinya, tapi kalau kakak kami tidak, lihat saja dalam
hidupnya hanya ada kami.” Melly menambahi.
Aku masih tidak mengerti. “Menguasai seperti apa yang ibu maksud?”
“Jangan pura-pura embodoh, kami sudah tau seperti apa perempuan yang menginginkan posisi Nyonya Ridwan. Tapi sebelum kamu salah jalan, patuhi kami, maka posisi kamu aman, karena seperti yang Ridwan bilang, kami bahagia dia juga bahagia,” terang ibu.
“Kalau bersama kalian mas Ridwan sudah bahagia, kenapa kalian malah meminta dia menikahiku?”
“Karena hanya seorang istri yang bisa melayani yang satu itu, kalau yang lain, tidak perlu.”
Melly dan Ara pamit pada ibu mereka, sedang aku masih mematung memahami ini semua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Ummi Na Ssya
tega banget ih....amit2
2023-09-01
1
Ummi Na Ssya
kalo di reallife ada gak laki kaya gitu?
2023-09-01
0
Dewa Rana
fidiya hanya utk pelampiasan
2023-01-18
0