Seorang pemuda berjalan begitu santai memasuki butik milik Melly, dia bertanya pada salah satu pegawai, di mana tempat yang Melly siapkan untuknya. Pegawai yang mengenali pemuda itu, dia segera menunjuk kearah sofa empuk yang memang di persiapkan untuk pemuda itu dan mamanya.
"Ayo mah." Pemuda itu berjalan menggandeng mamanya menuju tempat yang di tunjuk oleh pegawai butik tadi.
Saat sampai di dekat sofa itu, terlihat seorang gadis cantik duduk di sana sambil memijat kakinya, di samping kakinya yang satu, ada sepatu hak tinggi.
"Sepatu hak tinggi itu, indah terlihat bagi yang melihat, tapi menyiksa mereka yang memakai."
"Tapi yang memakai juga, mengapa mereka rela menyiksa diri hanya untuk sebuah penampilan, apa mama mau sepatu hak tinggi juga?"
"Dasar nakal! Buat apa mamamu ini pakai sepatu hak tinggi?" Diiringi cubitan yang mendarat di punggung lengan putranya.
"Untuk menggodaku, mah ...."
"Idih ...."
Pemuda itu kembali memandangi gadis cantik itu.
"Kamu yang ditugaskan untuk melayani kami?"
Sontak gadis itu menegakkan wajahnya. Membuat pemuda yang di depannya itu terpana saat melihat jelas bagaima garis wajah yang dimiliki gadis itu.
"Kakak ipar, kenapa di sini?"
Pertanyaan yang terdengar telinga pemuda itu, membuatnya mengalihkan pandangannya. "Kakak ipar?" Pemuda itu balik bertanya pada seorang wanita yang berdiri di sampingnya.
"Kak Fadlan, dia adalah Fidiya, istri abang."
"Kapan Ridwan menikah lagi, Mel?"
"Lagi?" sela Fidiya.
"Abang menikah sebulan yang lalu, owh maaf kak, kami tidak cerita kalau abang itu duda, tapi pernikahannya yang pertama tidak terdaftar di catatan negara, makanya status ktp abang masih perjaka."
Kini terjawab sudah pertanyaan Fidiya yang selama ini terus berputar di benaknya.
"Kakak ipar, cari tempat lain, tempat ini untuk teman aku dan mamanya," pinta melly.
"Iya Mel, maaf kaki aku pegal tidak biasa memakai sepatu hak tinggi." Fidiya segera menenteng sepatu hak tinggi yang sedari tadi dia lepaskan, dan secara sopan undur diri pada dua orang pelanggan Melly.
"Kakak ipar, yang memakai sepatu itu kakimu, bukan jemari tanganmu," tegur Melly.
"Maaf Mel, kaki kakak sakit, kakak gak pernah memakai begini."
"Ku adukan sama kak Ridwan, karena kakak ipar bikin malu aku, di depan tamu!" ancam Melly.
"Maaf, Mel, bukan bermaksud mempermalukan kamu. Baiklah, akan kakak pakai." Fidiya mencari kursi untuknya duduk memakai kembali sepatu yang menyiksa kakinya ini.
"Mbak, apa mbak keberatan kalau hanya bertelanjang kaki menemani saya mencari pakaian buat saya?" tanya Fadlan.
"Fadlan, biar aku saja menemani kamu, kakak ipar mana mengerti fashion," Melly menyela.
"Kalau dia tidak mengerti, kenapa kamu tugaskan di sini, dan menyiksanya dengan memintanya memakai sepatu itu?"
Melly terdiam, khayalannya bisa bercengkrama bersama Fadlan tinggal angan, laki-laki itu malah meminta di temani Fidiya.
"Kamu temani mamaku, biar aku wanita itu yang menemani." Fadlan melepas sepatu kulit yang dia pakai, juga melepas kaos kakinya. "Mbak, tolong mbaknya juga seperti saya, tidak memakai apapun!"
Fidiya bingung mematuhi siapa, Fidiya memandang kearah Melly, meminta jawaban pada adik iparnya tersebut. Melly meng-isyaratkan agar Fidiya mengikuti mau pelanggan laki-laki itu, Fidiya pun segera mengikuti kemana laki-laki itu melangkah.
Sebal dan kecewa, tapi Melly berusaha tersenyum melayani perempuan yang ada di depannya. "Malam ini tante Raya akan menghadiri pesta?" Melly berusaha membuka pembicaraan, mengusir rasa jenuh yang mulai menderanya.
"Iya, Fadlan selalu memintaku untuk mendampinginya kalau ada acara terbuka seperti ini." Wanita itu ters memandangi pakaian yang dia pegang.
"Kenapa kak Fadlan tidak ...." Melly bingung memakai kata yang tepat untuk menanyakan perihal pendamping Fadlan. "Em ... misal, pacar, calon istri atau apalah itu."
"Kata Fadlan, dia belum menemukan wanita yang bisa mencuri hatinya."
"Jodohkan saja tante, abang Ridwan, menikahi istrinya, itu karena kami yang meminta, kalau bukan kami, mungkin abang memilih jomblo selamanya. Karena bagi abang, kamilah dunia dia. Nah ... mungkin bagi kak Fadlan, tante adalah dunianya, tante pinta saja dia menikahi pilihan tante."
"Ah, tante juga belum menemukan perempuan yang mampu mencuri hati tante, untuk tante pilihkan jadi istri Fadlan, jadi ... biarlah seperti ini."
Melly berusaha tersenyum, walau dalam dirinya emosi karena tante Raya tidak peka, tidak juga memilih dirinya untuk jadi pendamping Fadlan.
Di sudut yang di penuhi pakaian Pria.
Fidiya hanya diam, dia membiarkan laki-laki itu memilih bajunya sendirian.
"Tuan, kenapa Anda malah meminta saya menemani Anda? Saya tidak punya pengetahuan dengan jenis fashion."
"Saya tau, saya memilih kamu karena tidak tau, pastinya kamu akan diam, dan saya suka keheningan." Tanpa menoleh pada Fidiya, Fadlan terus memilih pakaian yang ada di depannya, hingga pilihannya jatuh pada satu setelan berwarna hitam.
"Saya sudah selesai, ayo ikuti saya."
Fidiya membuang kasar napasnya, dia hanya mengikuti laki-laki itu, tapi bersama laki-laki ini, rasa sakit pada kakinya tadi hilang. Fidiya tersenyum sendiri.
"Kalau ingin berterima kasih, ucap aja jangan malu, saya tau kamu senyum-senyum," ucap Fadlan.
"Iya, terima kasih, Tuan. Karena sangat membantu saya hari ini."
"Kenapa sih mau, memakai barang menyiksa itu?"
"Mau bagaimana? Impian saya hanya jadi seorang istri yang setiap saat mengantar suami bekerja, dan menyambut suami dengan senyuman, tapi mas Ridwan tidak butuh wanita seperti itu, mas Ridwan butuh perempuan yang pinter cari duit!" Fidiya langsung membisu, merasa bersalah karena tidak sengaja berbicara lancang seperti tadi. "Maaf, Tuan." Fidiya sungguh ketakutan, dia tidak mengenal laki-laki itu, tapi dia malah berbicara melempati batas. Fidiya memilih pergi meninggalkan laki-laki itu.
"Wanita impianku," gumam Fadlan. Fadlan masih mematung pada tempatnya, tidak menyadari kalau ada seorang wanita yang tersenyum bahagia mendengar pengakuan hatinya.
Sesampai di tempat mamanya dan Melly berada, Fadlan mengedarkan pandangannya, mencari sosok Fidiya. Sayang sekali, wanita itu tidak ada di sekitar sana.
"Kakak ipar kamu mana? Tadi aku suruh kembali duluan, karena aku sudah selesai." Fadlan berusaha santai, agar Melly tidak curiga.
"Kakak ipar pergi ke toilet, mohon maaf, kalau dia sama sekali tidak membantu." sesal Melly.
"Sangat membantu, karena aku butuh pendengar, bukan pengeritik, kakak iparmu pendengar yang baik, karena dia tidak tau fashion, jadi dia hanya mengangguk saat aku tanya pendapat." Fadlan tersenyum, dia memberika setelan yang dia pilih pada Melly. "Ini punyaku, tolong langsung di total saja sama punya mama."
Pegawai yang berdiri dekat Melly, segera menerima yang Fadlan sodorkan, termasuk kartu yang Fadlan berikan untuk pembayaran. Selesai semuanya, Fadlan dan mamanya pergi meninggalkan butij itu.
Merasa lama bersembunyi, Fidiya perlahan keluar dari kamar mandi, sesampainya di luar matanya memandang kesana kemari, memastikan laki-laki itu tidak ada.
"Kenapa kak?"
Pertanyaan itu membuat Fidiya terkejut.
"Eh, Mel, bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Pelanggan kamu, yang sama aku barusan?"
"Tenang saja, dia puas sama kinerja kakak ipar." Melly menepuk pundak Fidiya.
"Huh ...." Fidiya sangat bahagia, ternyata laki-laki itu tidak mengadukan ucapannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Sikha Adhia
udh sama Fadhlan aja yaa..
2021-08-19
1
Cika🎀
ntar gelud g ya🤔
2021-07-06
1
Fatma ismail
sprti apakah kisahnya nanti ,,lanjut marathon ajh
2021-07-04
0