Fidiya berjalan mengekori Fariz, sedang laki-laki itu berusaha bersikap se-formal mungkin. Saat ada pelayan lain berkeliaran di sekitar mereka, Faris mengenalkan apa saja yang ada di sekitar mereka. Hingga langkah kaki mereka sampai di area kolam renang.
Karena tidak ada orang yang berkeliaran di sekitar mereka. Fariz mulai buka suara seperti layaknya seorang kakak pada adiknya. "Fi, hati-hati melakukan apapun di rumah ini."
"Memangnya kenapa, kak?"
"Di rumah ini, ada mata-mata bernyawa, yang selalu menyampaikan berita pada Ridwan, dia pelayan senior di rumah ini, namanya Pak Ibra."
"Iya kak."
"Fid, bagaimana kamu bisa menikah dengan Ridwan?"
"Ceritanya panjang kak, aku hanya lelah dihujat orang desa karena terus menolak lamaran keluarga kaya itu, belum lagi paman, yang selalu mendesakku. Aku menyerah dan aku menerima lamaran ini."
"Hidup di sini lebih perih daripada hujatan warga desa, Fid." Wajah Fariz sangat putus asa. "Aku baru berhasil mencarikan pekerjaan buat Ismi di kota ini, tidak lama pagi Ismi akan datang, bekerja sebagai office girl di salah satu perusahaan temanku."
"Apakah nanti aku bisa bertemu Ismi?"
"Kita usahakan."
Senyuman terukir di wajah Fidiya. Sangat bahagia bisa satu kota dengan sahabatnya di desa. Fidiya terdiam, ingin cerita pada Fariz atau tidak tentang perlakuan suaminya padanya. Fidiya ragu, dia memilih bungkam.
"Fid, andai aku masih di desa, tidak akan aku biarkan kau menikah dengan seorang laki-laki seperti Ridwan. Ibarat memakai baju, dia hanya bisa memakai baju itu sesukanya, tanpa mau tau bagaimana cara merawat baju itu, atau memperlakukan baju itu dengan baik. Begitu juga perlakuan Ridwan pada perempuan, hanya bisa memakai cawannya tapi tidak bisa memperhatikan perasaan si punya cawan."
Ucapan Fariz benar adanya, Fidiya semakin membisu. Bingung harus berkata apa, Ridwan memang persis seperti apa yang Faris ibaratkan.
"Bagaiman kamu bisa bahagia nanti? Tadi malam, aku sangat sakit melihat gadis kesayangan nenek Salma menjadi istri Ridwan."
"Mungkin mas Ridwan malu kak, setelah kami saling mengenal, pasti perlakuannya akan semakin baik padaku."
"Hah!" Rasanya Fariz ingin sekali berteriak kalau Ridwan tidak akan berubah. "Aku lama bekerja di tempat ini, bahkan aku mengenal istri pertama Ridwan. Wanita yang Ridwan perlakukan begitu buruk!"
Mendengar kata 'Istri' Fidiya sangat terkejut, karena dalam akta nikah, tertulis kalau Ridwan itu perjaka, bukan duda.
"I--istri?"
"Sudahlah, nanti kita sambung, tour kita berkeliling rumah ini sudah selesai." Fariz memilih pergi dari sana, terlihat dari kejauhan Pak Ibra terus memandangi mereka.
Sedang Fidiya terdiam ditempat itu, dengan bermacam pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.
Tidak terasa, satu bulan sudah Fidiya tinggal di rumah besar ini. Tidak ada satupun yang berbeda sejak awal kedatangannya ke sini. Suaminya masih dingin dan suka menghinanya, tapi memakai dirinya seperti memakai jasa wanita panggilan, bukan sebagai istri.
Pertanyaannya tentang wanita yang pernah menjadi istri Ridwan juga belum terjawab. Tidak ada kesempatan untuk berbicara dengan Fariz.
Ridwan seperti biasa, dia selalu patuh dan begitu manis pada ibunya dan kedua adiknya. Semuanya sudah selesai sarapan pagi, Ridwan pun terlihat mulai merapikan jas-nya.
"Kakak ipar, kapan kakak bisa ikut aku ke butik?" tanya Melly.
"Bawa saja dia sekarang," ucap Ridwan. Ridwan memandang sinis pada Fidiya. "Buat dirimu berguna! Dasar gadis Udik dan kau sangat merepotkan, jadi buat dirimu berguna!"
Nada suara Ridwan bagi yang lain, itu biasa saja. Tapi bagi Fidiya, itu sebuah makian. "Iya, mas. Aku akan ikut Melly hari ini."
Sama saja saat awal pernikahan, Ridwan tidak perduli dengan jawaban Fidiya, dia pergi begitu saja. Fidiya merasa sesak, dia tidak pernah bicara pada suaminya, seperti suaminya bicara dengan adik-adiknya. Fidiya merasa dirinya bagai boneka pemuas nafsu bagi seorang Ridwan.
Tidak pernah memberi sentuhan lembut atau apapun, saat dia mau, dia menancapkan itu pada Fidiya, dan melepaskan begitu saja. Fidiya hanya bisa diam. Karena hanya rasa sakit yang Ridwan beri padanya.
"Tolong ganti baju kakak ipar dengan setelan ini, setelah di butik aku, malamnya kita akan ke hotel, karena ada acara kantor abang di hotel itu."
Ucapan Melly membuat Fidiya berhenti menenggelamkan diri dalam kilasan rasa sakit yang Ridwan torehkan padanya. Tanpa menjawab, Fidiya mengambil baju itu, dan segera mengganti pakaiannya
Sebulan sudah, sedikitpun semua ini tidak berubah. Fidiya sudah berusaha mematuhi mertua dan kedua adik iparnya, tapi Ridwan tidak juga bersikap manis padanya.
Selesai dengan persiapannya juga pamit pada Retna, Fidiya dan Melly segera memasuki mobil, Melly melajukan mobilnya begitu cepat, tidak butuh waktu lama, Fidiya dan melly sampai di butik Melly.
"Ini butik aku, kak. Ayo turun."
Fidiya mengikuti langkah kaki Melly memasuki butik itu, mata Fidiya menandangi segala penjuru, sangat indah, bermacan jenis setelan wanita terpajang di setiap sudut ruangan itu. Beberapa pekerj juga langsung menyambut Melly.
"Semuanya, kenalkan ini kak Fidiya, istri dari kak Ridwan, untuk hari ini dia ingin cari pengalaman di sini, tolong salah satu dari kalian bimbing dia," titah Melly.
"Baik bu." Semuanya menyahut bersamaan.
Melly meninggalkan Fidiya dengan karyawan yang lain, sedang dirinya langsung masuk ke dalam ruangan kerjanya. Dalam ruangan itu, terlihat Susan berdiri di dekat meja kerjanya.
"Ada apa Susan? Wajahmu terlihat panik." Melly berjalan begitu santai, dia langsung menghempaskan tubuhnya pada kursi kerjanya yang empuk.
"Pak Fadlan, akan datang menemani mamanya berbelanja ke sini, katanya untuk acara malam ini."
"Fadlan?" Wajah Melly bersemu merah.
"Iya, Pak Fadlan juga akan memebeli baju dari butik ini, katanya."
"Kapan mereka akan datang?" Melly semakin antusias.
"Sepertinya 30 menit lagi."
"Persiapkan salah satu sudut, hanya untuk Fadlan dan mamanya," titah Melly.
"Pastinya, bu." Susan segera melakukan pekerjaannya.
Sedang di bagian luar, Fidiya berusana belajar hal yang baru ini. Pekerjaan yang dilakukan oleh yang bukan ahlinya, pasti terasa berat. Inilah yang Fidiya rasa, sepertinya hal itu mudah terlihat, tapi tak mudah menjalaninya. Fidiya berusaha bertanya pada pegawai di sana, agar kesusahannya teratasi, jika tau solusinya.
Fidiya tidak menjahit, hanya menjamu pelanggan yang datang. Masalahnya, Fidiya tidak mengenali dunia fasion, baginya ini sangat asing. Untung ada beberapa pegawai yang sigap membantunya, menjawab segala pertanyaan atau memenuhi permintaan costumer.
Jam mulai menunjukkan jam 10 pagi, suasana butik semakin ramai, Fidiya heran dengan dirinya sendiri, biasanya dia berjemur di bawah teriknya matahari, dia tidak merasa pegal seperti ini, ini baru 30 menit, Fidiya merasakan kakinya sangat sakit mengenakan sepatu hak tinggi ini.
Melihat sudut yang kosong, Fidiya berusaha menguatkan dirinya agar kakinya bisa melangkah menuju sofa empuk itu, dengan sisa tenaga yang terkumpul, akhirnya Fidiya sampai di sofa itu.
"Huh ...." lega sekali. Bisa ber-istirahat. Fidiya melepaskan sepatu hak tinggi itu, menaruhnya di bawah, sedang tangannya langsung memijat kakinya yang terasa sangat pegal.
"Kamu yang ditugaskan untuk melayani kami?"
Pertanyaan itu membuat Fidiya terganggu menikmati nikmatnya duduk di sofa empuk ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Sikha Adhia
hmm..🤔
2021-08-19
1
Ⓤ︎Ⓝ︎Ⓨ︎Ⓘ︎Ⓛ︎
adik ridwan mau jadi perawan tua...
ih gtu amat didikan keluarganya....
itu ibu ama adek manusia...???
ngeri banget ajaran keluarganya...
kalah loh ajaran sesat 😱😱
2021-07-22
0
Cika🎀
fadlan😲
2021-07-06
0