Melly begitu santai memasuki kamar yang Fidiya tempati. "Aku boleh masuk 'kan kak?"
Fidiya segera menghapus air matanya berusaha tersenyum dan menganggukkan kepalanya santai.
"Kakak ipar menangis?" Melly memasang raut wajah sedih melihat keadaan Fidiya.
"Aku hanya rindu sahabatku, tadi baru saja kirim pesan sama dia. Dia juga ada di kota ini," Fidiya berusaha menutupi sebab kesedihannya.
"Temui saja dia."
"Aku belum bicara pada abangmu, nanti setelah dapat izin dia, akan aku atur pertemuan dengan Ismi."
"Aku pikir kakak ipar menangis karena perilaku abang selama ini, yah ... abang memang seperti itu. Kakak ipar pasti bosan mendengar, kalau dunia abang itu hanya aku, Ara, dan ibu. Kakak ipar tidak ada di dalamnya."
Hancur dan sakit mendengar ucapan Melly, apa daya memang begini kenyataannya.Dirinya memang tidak ada bagi dunia Ridwan. Fidiya tetap berusaha tersenyum.
"Tadinya kami berharap seorang gadis desa bisa membuat kak Ridwan memberikan cintanya pada seorang wanita, walau sedikit. Tapi nyatanya." Melly menggelengkan kepalanya, seolah prihatin dengan nasib Fidiya. "Jangan sia-sia kan masa muda kakak berkorban seperti ini. Kalau kakak ingin pergi dari sangkar emas ini, aku akan bantu."
Penawaran Melly sungguh mengejutkan, kemaren dia berkata kalau hanya menikahkna Ridwan semata melengkapi kebutuhan kakaknya. Fidiya terdiam, masih tidak mengerti makhluk-makhluk seperti apa yang menghuni rumah ini.
"Aku pikir kakak ipar itu pencinta kemewahan, makanya kemaren kami berkata hal yang beda. Setelah melihat bagaimana kakak ipar, ternyata kakak ipar sosok yang penyabar dan penuh cinta. Kakak berhak mendapat tempat yang lebih bagus dan dicintai pria yang lebih punya hati."
"Maksud kamu?"
"Tinggalkan saja abang, dia terlalu menyakiti kakak, sebagai perempuan, aku sedih melihat kakak seperti ini." Meneteskan air mata palsu, berharap Fidiya percaya.
Apa yang mereka inginkan? Fidiya masih bingung dengan keadaan ini.
"Maaf, Mell, kamu keberatan nggak kalau aku minta kamu keluar? Aku ngantuk Mel, aku mau tidur." Fidiya pusing mendengarkan makhluk plin-plan yang ada di depannya.
Dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, Melly langsung meninggalkan kamar Fidiya. Sial! Kenapa sih susah banget menghasut kakak ipar agar benci sama abang. Melly terus melangkah.
Fidiya memilih memejamkan matanya, lelah dengan segala hal yang ada di depannya.
*
Matahari bersinar seperti biasanya. Entah mengapa wajah-wajah cantik itu kehilangan sinarnya. Fidiya nampak pucat, Melly terlihat lesu, begitu juga Ara dan Retna. Keduanya terlihat tidak bersemangat.
Ridwan juga langsung duduk di kursinya, tidak seperti biasa, biasanya dia selalu menyapa ibu dan adiknya. Kali ini Ridwan langsung mengambil sarapannya dan segera menikmatinya.
Melihat Ridwan sudah sarapan, yang lain pun ikut sarapan, semua larut dalam lamunan masing-masing.
Tumben laki-laki ini tidak menyapa bidadari-bidadarinya. Fidiya melirik sekilas kearah Ridwan. Saat Ridwan akan menoleh kearahnya, Fidiya langsung membuang pandangannya kearah lain.
Strategi menendang Fidiya dari rumah ini harus aku percepat, kalau Ridwan terlanjur sayang sama Fidiya, bahaya impian kedua anakku akan sirna. Retna berusaha memberi senyuman manis untuk putranya.
Sial! Abang mulai berubah, bahaya ini. Ara hanya menusuk roti yang ada di piringnya dengan garpu yang dia pegang. Geram dan takut jadi satu dalam dirinya.
Sedang Melly terus menunduk memandangi makanan yang ada dalam piringnya.
"Pak Ibra, Anda ikut saya hari ini." pinta Ridwan pada pelayan laki-laki itu. Suara Ridwan langsung memecah kesunyian, semua yang ada di sana kompak membisu.
"Baik Tuan."
Yes, mata-mata abang hari ini nggak ada di rumah, jadi bisa menyusun rencana sama kak Mell dan ibu. Ara berusaha santai.
Benar saja, setelah selesai sarapan, Pak Ibra dan Ridwan langsung pegi. Sontak tiga pasang mata itu langsung menatap Fidiya.
"Kamu ikut kami!" perintah Retna.
Fidiya segera bangkit, langsung mengikuti Retna, Melly dan Ara. Hingga mereka sampai di sebuah kamar yang besar. Fidiya masih memandangi keadaan kamar itu.
"Fidiya, tanda tangani ini!" perintah Retna.
"Itu apa bu?"
"Jangan banyak tanya, cukup tanda tangan!"
"Saya mau, tapi saya harus baca dulu." Fidiya tidak mau ceroboh menanda tangani sesuatu tanpa membacanya lebih dulu.
"Tanda tangani saja!" Ara juga menekan Fidiya.
"Saya tidak mau!" Fidiya lebih memilih pergi dari ruangan itu.
"Kalau kau tidak mau tanda tangan, berarti kamu mengibarkan bendera perang pada kami."
Fidiya tidak perduli, dia tetap pergi meninggalkan ruangan itu.
Ketiga perempuan itu menatap sinis kepergian Fidiya.
"Rencana kedua!" seru ketiganya bersamaan.
*****
Cuaca terasa sangat menyengat, mentari bersinar begitu semangat diatas sana. Tiga perempuan licik itu tengah mengatur rencananya.
"Bagaimana?" Ara mengintip di sela-sela pintu kamar itu, memastikan kalau persiapan mereka selesai.
"Sebentar lagi!" jawab Melly setengah berbisik.
"Cepat bu, hari minggu ini, biasanya abang cuma keluar sebentar bersama Pak Ibra!"
"Cerewet kalian!" bisik Retna.
Terlihat Retna keluar dari kamar Fidiya. "Salah satu dari kalian pantau keadaan di luar, rencana di dalam sudah selesai, beruntung wanita udik itu tengah mandi."
Ara langsung melangkah menuju balkon yabg ada di lantai dua, memantau kedatangan kakaknya. Tidak berselang lama, Ara berlari secepat yang dia bisa, saat melihat dari atas mobil kakaknya sudah memasuki gerbang. "Abang ....." isyarat Ara berikan pada ibu dan kakaknya tanpa mengeluarkan suara.
Retna segera menetesi matanya dengan obat tetes mata. diikuti oleh Ara dan Melly. Ketiganya segera memulai drama mereka.
Saat suara langkah kaki yang menapaki anak tangga mulai terdengar, mereka langsung memulai sandiwara mereka.
"Nak ...." Retna menangis tersedu di depan pintu kamar Fidiya, sambil mengetuk pintu kamar itu. "Nak ... ibu mohon nak ... kembalikan ... jangan ambil yang itu ...." Suara permohonan yang dibuat-buat tercampur dengan sedu tangisan buaya sang aktris.
"Ibu ...." Ridwan terkejut melihat ibunya menangis di depan pintu kamarnya. Ridwan mempercepat langkah kakinya. "Bu bangun ...." Ridwan membantu ibunya untuk berdiri.
Retna menenggelamkan dirinya dalam peluka Ridwan, masih dengan isak tangis yang sama. "Nak ... bantu ibu ...."
"Bantu apa?" Ridwan baru pulang, dia tidak mengetahui apa yang terjadi.
"Istrimu ...." Retna sengaja tidak melanjutkan ucapannya, dia menangis semakin tersedu.
Ridwan berusaha menenangkan ibunya. menepuk lembut punggung ibunya. "Ra, Mell, ada apa?" Ridwan berharap mendapat jawaban dari kedua adiknya. Keduanya hanya menangis, tidak menjawab pertanyaan kakaknya. Hal itu semakin membuat Ridwa bingung.
Di dalam kamar. Fidiya selesai mandi, suasana yang panas membuat Fidiya mandi lagi. Saat memasuki kamarnya, matanya menangkap ada sesuatu diatas tempat tidur itu. Fidiya terus mendekati, hingga matanya jelas melihat kalung yang begitu indah.
seumur-umur, ini pertama kalinya Fidiya melihat kalung semewah dan sebagus ini. "Punya siapa ini?" Fidiya mengambil kalung itu dan mengagumi indahnya kelipan yang berasal dari mata-mata kalung itu.
Samar Fidiya mendengar suara tangis dan suara suaminya. Kekaguman Fidiya pada benda itu segera Fidiya sudahi. Tangan Fidiya masih memegang kalung itu, dia segera melangkah menuju pintu niatnya sekalian menanyakan kalung yang dia pegang milik siapa.
Ceklak!
Pintu terbuka, terlihat semua anggota keluarga lengkap di depan pintu. Fidiya heran melihat ibu mertuanya menangis dalam pelukan suaminya. Ara dan Melly juga menangis. Terlihat Melly tengah memeluk Ara, sedang Ara memeluk sebuah peti yang berukuran sedang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Cipika Cipiki
ceritanya ini sinetron ikan terbang banget ya 🤭 tokoh nya itu pada mudah di hasut di fitnah, yg katanya CEO tapi tidak smart , yg tertindas hanya bisa mewek 😀
2022-05-13
1
Sikha Adhia
pengen ku uyek uyek itu tiga manusia
2021-08-19
0
Ares💚
dtuduh mencuri😐😐😐
2021-07-08
0