Mobil yang Fidiya tumpangi akhirnya sampai di kediaman suaminya, Fidiya menegakkan tubuhnya, matanya terus memandangi keadaan sekitar. Rumah nuansa putih yang di kelilingi pagar yang menjulang tinggi ditangkap oleh kedua matanya. Biasanya Fidiya melihat rumah seperti ini hanya pada layar televisi dalam sebuah sinetron. Rumah Pak Adip saja, orang terkaya di desanya tidak memiliki rumah semewah ini. Pak Adip adalah utusan dari keluarga Ridwan yang melamarkan Fidiya untuk Ridwan.
Seorang gadis berjalan semakin mendekat ke mobil yang Fidiya tumpangi, dia memberi isyarat pada seseorang yang ada dalam mobil itu, yang pasti itu sopir.
Tekkk!
Pintu mobil itu terbuka, membuat Fidiya terkejut, dirinya tidak menyentuh apapun, tapi pintu mobil di dekatnya sedikit terbuka. Tiba-tiba pintu itu terbuka lebar, terlihat senyuman manis seorang gadis menyambutnya.
“Ayo kakak ipar, turun. Kita sudah sampai.”
Fidiya segera turun dari mobil itu mengikuti langkah kaki wanita yang berjalan di depannya. Di depan sana terlihat wajah yang teramat menyakitkan bagi Fidiya, seorang lelaki yang berstatus suaminya, tapi tidak bisa bersikap ramah maupun manis kepadanya, saat ini saja wajah itu terlihat angkuh.
“Mbok Eni, antar istri Tuan Ridwan ke kamar mereka,” titah seorang perempuan paruh baya itu kepada seorang perempuan yang tampak tidak muda lagi, perempuan itu memakai seragam yang sama dengan beberapa orang yang masih berdiri menyambut mereka semua.
“Baik, Nyonya besar.” Perempuan itu berjalan mendekati Fidiya. “Nona, mari ikut saya,” pintanya lembut.
“Tas saya masih di mobil itu,” sela Fidiya.
“Nanti pelayan yang lain yang mengantarkannya ke kamar, Nona.”
Fidiya diam, dia segera mengikuti langkah kaki wanita yang mengajaknya masuk. Fidiya terus memandangi keadaan rumah milik suaminya. Entah kenapa bermacam rasa, menjadi satu dalam dirinya, rasa kagum akan bagunan rumah ini, rasa sedih akan reaksi suaminya, juga rasa takut. Kenapa dirinya bagai Cinderella yang menikahi pangeran tampan, tapi ini bukan hal indah, tapi hal yang menimbulkan banyak pertanyaan dalam diri Fidiya.
“Paling ujung itu kamar Tuan Ridwan, itu kamar Nona dan Tuan.”
Ucapan itu membuat Fidiya tersentak dari lamunannya yang membuat jiwanya semakin kalut.
“Saya Fidiya, ibu siapa?” Fidiya berusaha mengenalkan diri.
“Saya Eni, Nyonya biasa memanggil saya Mbok Eni, saya pelayan paling senior di sini.”
Fidiya tertegun, ternyata pakaian yang dikenakan wanita itu adalah seragam pelayan. Akhirnya mereka sampai di kamar itu. Mbok Eni membukakan pintu kamar itu. Pemandangan baru juga kembali menyambut mata Fidiya. Ini kamar, tapi jauh lebih besar dari rumah almarhumah neneknya.
“Ayok ikut mbok, mbok bantu Nona mengenali sudut tiap kamar ini.”
Fidiya pun mengikuti langkah kaki wanita itu, sudut demi sudut Fidiya lihat, mengikuti arahan wanita itu, hingga dirinya sampai pada sebuah ruangan yang satu ruangan dengan kamar mandi, ruangan itu di penuhi pakaian laki-laki, yang pasti itu semua baju-baju milik suaminya.
Fidiya duduk di closet yang tertutup, menyaksikan wanita itu mengisi sebuah bak pemandian, bak mandi yang tidak diketahui Fidiya apa itu namanya, dia hanya sering melihat benda itu pada iklan sabun mandi.
“Nona sangat beruntung, Tuan Ridwan itu, mbok kira tidak bernafsu sama wanita. Selama ini banyak wanita yang mendekatinya, tak satupun yang berhasil."
Eni terbayang kilas masa lalu, di mana pernikahan pertama Ridwan dengan Elvina hanya bertahan sebentar saja. Pikiran Eni, Ridwan tidak normal sehingga istrinya waktu itu pergi dari rumah ini.
Kedua alis Fidiya tertaut mendengar penjelasan dari pelayan itu. “Maksud ibu?”
“Jangan panggil ibu mbok saja.”
“Iya.”
“Bagi Tuan Ridwan, dunianya, hanya ibunya dan kedua adiknya, tidak ada hal lain yang Tuan inginkan, hanya kebahagiaan untuk ibunya, dan kedua adiknya.”
“Dia normalkan Mbok?”
“Mana Mbok tau, nanti cari tau saja sendiri, apakah Tuan normal atau—” Mbok Eni memperagakan layaknya seorang yang sering bergaya kemayu.
Fidiya tersenyum melihat tingkah pelayan itu, tiba-tiba senyum Fidiya hilang, saat dia sadari setelah akad nikah hingga sebelum detik barusan, dia tidak bisa tersenyum tulus seperti saat ini.
“Ayuk mandi atuh Non, jangan melamun.”
Ucapan pembantu itu membuat Fidiya kembali tersadar. “Mandi?”
“Iya mandi. Ini airnya sudah mbok siapkan. Apa perlu mbok yang memandikan?”
“Kayaknya enggak deh mbok, tapi saya juga tidak mengerti.”
“Ya sudah, lebih baik mbok tetap di sini, kasih tau caranya nanti, tapi Non pasti risih kalau Non dimandiin.”
Fidiya hanya tersenyum. Dia segera mengikuti apa yang mbok Eni ucapkan.
Pertama dalam hidup Fidiya, mandi dilihat orang lain, mau bagaimana, Fidiya tidak mengetahui bagaimana menggunakan benda yang ada di kamar mandi itu.
Selesai mandi, mbok Eni meminta Fidiya memakai pakaian yang diberikan pelayan lain, katanya Ara dan Melly yang meminta. Selagi Fidiya memakai baju yang dia berikan, mbok Eni keluar dari kamar mandi, dan menyemprokan wewangian keseluruh baguan kamar itu, selesai tugasnya, mbok Eni segera keluar daru kamar itu.
Sedang di ruangan bawah.
“Ra, kenapa sih kamu minta abang nikah? Abang itu nggak mau durhaka sama ibu, atau sampai menelantarkan kalian karena wanita yang bukan siapa-siapa yang menjadi istri abang.”
“Bang … Fidiya mah aman, dia gak bakal buat abang lupa sama kami, atau durhaka sama ibu. Karena dia lugu dan kolot!” ucap Ara.
“Abang mah tenang, perempuan kayak gitu nggak bakal bikin abang lupa sama kami, percaya deh!” Melly menambahi.
“Percaya saja sama adik-adikmu, Wan. Adikmu perempuan tentu bisa mengenal mana perempuan aman dan perempuan berbisa.” Bu Retna menambahi.
“Iya bu. Semoga saja dia tidak seperti Elvina.”
"Tidaklah bang, kami jamin itu, kalau dia terlihat mencurigakan, kami yang akan mendepak dia dari sisi abang," ucap Ara.
“Mending abang datangi istri abang, abang itu manusia biasa, juga butuh pendamping. Ini salah satu bentuk rasa terima kasih kami pada abang, karena selama ini abang berjuang buat kami. Saatnya nikmati kehidupan rumah
tangga abang,” ucap Melly.
Melihat keadaan beberapa teman-teman kerjanya yang melupakan keluarga karena wanita yang dicintai, membuat Ridwan takut jatuh cinta lagi dan takut menikah lagi. Apalagi pengalaman saat pertama kali jatuh cinta pada seorang gadis, yang hampir membuat dirinya meninggalkan kedua adik dan ibunya Dia tidak ingin hal itu terulang lagi, tidak mau melupakan apalagi menelantarkan kedua adiknya, juga ibunya, untuk kedua kalinya, walau wanita itu hanya ibu tirinya.
Ridwan menghempaskan napasnya begitu kasar, menyadari dirinya sudah menikah dan memiliki istri lagi. “Bagaimana aku bisa mendekatinya, pembantu di rumah ini jauh lebih enak di pandang dari gadis udik itu.”
“Tenang bang, dia sedang proses, mbok Eni sudah saya kasih tugas, biar itu gadis kampung lebih enak di pandang.” Ucap Ara.
Dengan berat hati, Ridwan melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Saat dia mendekati pintu kamarnya, saat bersamaan mbok Eni juga keluar dari pintu kamar itu.
“Tuan.” Mbok Eni tetap menundukkan pandangannya.
Laki-laki itu tidak menyahut, dia berlalu begitu saja dan masuk kedalam kamarnya. Bau harum menyambut dan memanjakan hidung Ridwan saat memasuki kamar itu, matanya terpejam menikmati wewangian itu.
Ceklakkkk!
Suara pintu terbuka membuat mata Ridwan yang tadi terpejam langsung terbuka. Ridwan terdiam saat melihat wanita udik itu terlihat begitu seksi, dengan gaun malam yang begitu transparan, Ridwan bisa melihat semua lekuk tubuh wanita itu, membuat Ridwan berulang kali menelan saliva-nya. Lekuk tubuh itu, juga apa yang wanita itu miliki membuat darahnya seakan mendidih dan sangat merindukan rasa yang satu itu, yang selama ini dia tahan hanya karena rasa takut.
Fidiya masih menunduk memandangi dirinya yang memakai baju, tapi serasa tidak memakai apa-apa, karena itu rasanya bukan kain, tapi seperti kaca, dia bisa melihat apa saja yang ada di balik kain tipis itu.
“Mbok … apa baju ini nggak sall—” Saat Fidiya menegakkan wajahnya, dia tidak bisa meneruskan ucapannya, saat melihat suaminya sudah ada di depan matanya. “Maaf ….” Fidiya kembali masuk kedalam kamar mandi.
“Hey!!”
Teriakkan lantang itu membuat nyali Fidiya menciut, dia segera kembali ketempat sebelumnya. Fidiya menunduk, rasanya sangat malu, memakai pakaian kekurangan bahan juga menerawang begini di depan laki-laki asing, walau statusnya adalah suaminya.
Ridwan perlahan mendekati Fidiya yang masih mematung pada tempatnya. Perlahan Ridwan melepaskan apa yang sudah menempel pada tubuhnya.
Tanpa bicara apapun pada Fidiya, dia menggendong tubuh wanita itu menuju tempat tidur, dan melepaskan hasratnya dengan cara yang dia mau, tanpa memikirkan keadaan wanita yang berada di bawah kukungannya.
******
Bersambung.
******
Duudududuuuu Kabur ........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Ummi Na Ssya
apa laki2 rata2 suka wanita karena enak di pandang????
2023-09-01
1
Jade Meamoure
waduh lelaki pohon pisang
2022-05-09
0
Ima Ko
ya ampun jahatnya🤛🤛
2022-03-20
0