Fidiya masih tidak mengerti keadaan saat ini, niatnya ingin menanyakan perihal kalung yang barusan dia temukan, harus dia lupakan. Perlahan Fidiya mendekati mereka. Semua tatap mata itu ter arah padanya.
Ara melepaskan diri dari pelukan Melly, dia melangkah mendekati Fidiya. "Kak, kami tidak bohong mau memberikan salah satu yang ada dalam peti ini, asal jagan kalung berlian itu, itu hadiah terkahir dari papa." Ara menangis lagi sambil membuka kotak perhiasan yang dia arahkan pada Fidiya.
Dalam mimpi pun Fidiya tidak pernah memimpikan untuk melihat perhiasan sebanyak itu, dari kalung, gelang, giwang, dan cincin ada di sana. Dengan bermacam model.
"Apa maksud kamu?" Fidiya sungguh tidak mengerti apa maksud Ara.
"Kak, pilih yang lain saja, kami mohon ... kalung yang kakak pegang itu, adalah kenang-kenangan terakhir dari ayah buat ibu." Melly menambahi.
Fidiya menatapi satu per satu wajah yang ada di depannya. "Ini?" Fidiya memperlihatkan kalung yang dia pegang.
"Berikah pada ibu!" Suara tegas itu amat menakutkan.
"Aku saja--"
"Sudah kak, itu boleh kakak miliki, tapi setelah ibu siap melepaskan kenangan tentang ayah. Karena suatu hari nanti, perhiasan ini milik kakak, saat ini pilih yang lain dulu." Ara menyela perkataan Fidiya, dia medekatkan kotak perhiasan itu pada Fidiya.
Fidiya menatap lekat kalung yang ada di tangannya. Dia mulai memahami drama ini. "Aku tidak butuh perhiasan kalian." Fidiya meletakkan kalung yang dia pegang ke dalam kotak perhiasan yang Ara pegang.
"Terima kasih kak, coba sedari tadi kakak mau mengalah, ibu tidak akan menangis seperti ini," ucap Melly.
Wajah Ridwan semakin murka, mengetahui kalau ibunya menangis seperti ini karena Fidiya.Tatapan mata Ridwan yang tidak berhenti menatap Fidiya, sungguh menakutkan.
"Jangan merajuk kak, ayo ambil yang kakak mau, tapi jangan yang ini."
Fidiya sadar, dirinya dijebak oleh kedua adik ipar dan mertuanya. Teringat akan kalimat 'mengibarkan bendera perang' Fidiya faham, lawannya mulai menyerangnya.
Fidiya baru menyadari tatapan yang begitu mematikan dari sepasang bola mata Ridwan tertuju padanya. Fidiya balas menatap suaminya dengan tatapan sayu. "Mas, aku tidak tau apa yang terjadi, aku juga tidak tau kenapa kalung itu bisa ada di kamar kita."
"Minta maaf pada ibu!" perintah Ridwan begitu tegas.
"Minta maaf?" Fidiya tidak terima, dirinya jadi korban dirinya pula yang meminta maaf.
Retna menegakkan wajahnya sedari tadi dia menenggelamkan wajahnya di dada bidang Ridwan. "Sudahlah nak, Fidiya mau mengembalikan kalung itu, itu sudah cukup. Ibu yang salah, tadinya niat ibu mau memperlihatkan saja, ternyata istrimu terpesona hingga mengambilnya dari ibu." Retna merapikan kemeja Ridwan yang berantakkan karena memeluknya.
"Mengambil?" Fidiya tidak habis pikir, tuduhan sekeji itu mereka tuduhkan pada Fidiya.
"Minta maaf pada ibu!" Ridwan membentak Fidiya, namun yang terperanjat bukan hanya tubuh Fidiya, Ara, Melly, dan Retna juga terperanjat.
"Tidak!" sahut Fidiya lantang.
"Kau!" Rahang Ridwan mengerat geram dengan jawaban Fidiya.
"Aku tidak melakukan apapun!" Fidiya memilih kembali masuk kedalam kamarnya.
Brakkkkkk!
Pintu kamar itu Fidiya banting sekeras yang dia bisa.
"Hey!!!" Ridwan tidak menduga Fidiya seberani ini padanya.
"Sudah nak, biar saja Fidiya seperti itu, tadi malam kan sudah ibu katakan, ada firasat buruk, tapi kamu tidak mau mendengarkan ibu." Retna membujuk Ridwan.
"Ibu kembali saja ke kamar, biar wanita itu aku beri pelajaran." Ridwan langsung masuk kedalam kamarnya.
Saat punggung Ridwan menghilang dibalik pintu, ketiga wanita licik itu tersenyum bahagia, sambil menghapus air mata palsu mereka.
"Tos!" Ketiga kompak menyatukan tangan mereka, karena rencana yang mereka atur berjalan sempurna.
"Kita ke kamar ibu saja, Pak Ibra tidak akan kelayapan di sana, bahaya kalau cctv kakak mengetahui rencana kita." usul Melly.
Ketiganya langsung melangkah menuju kamar ibu mereka.
Dalam kamar yang Fidiya tempati.
Ridwan masuk ke dalam kamar dengan segala kemarahan yang menyelimuti dirinya. Dia sangat geram pada siapa saja yang membuat ibu atau adiknya menangis, tidak terkecuali siapapun, bahkan wanita yang berstatus istrinya.
Fidiya tidak mau kalah, dia balas menatap Ridwan dengan tatapan tajam, berusaha membela harga dirinya, dia tidak rela dituduh mengambil perhiasan mertuanya.
"Aku bukan siapa-siapa bagi mas, tapi satu hal! Aku tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan!"
"Minta maaf pada ibu!" Bentakkan Ridwan semakin tegas.
"Jika aku salah, aku akan minta maaf, kali ini aku tidak tau apa-apa, aku tidak akan meminta maaf!"
"Kau!" Ridwan mengangkat tanganya ke udara, ingin mendaratkan lima jari itu di pipi mulus Fidiya, tapi dia urungkan.
Fidiya tersenyum, dia terus tersenyum melihat Ridwan ingin menamparnya. "Mau main tangan?" Fidiya memasang wajahnya, siap untuk menerima tamparan itu.
"Argggg!" Ridwan geram sendiri, tidak tega melayangkan tangannya pada Fidiya.
"Kalau sampai nanti malam, kamu tidak minta maaf pada ibu, sanksinya, kau harus keluar dari rumah ini! Aku tidak suka ada orang asing yang menyakiti orang-orang yang aku cintai."
"Hei! Aku bukan orang asing. Aku istrimu yang harus kau sayangi, kau naungi dan kau lindungi! Ingat sighat takliq yang kamu ucapkan setelah ijab kabul!?"
Seperti biasa Ridwan selalu pergi, tanpa mau menyelesaikan masalah yang ada.
"Hei banci!" Teriak Fidiya.
Sontak Ridwan menghentikan langkah kakinya. Dia berbalik dengan wajah yang sama sekali tidak bersahabat.
"Waw, kau marah dikatain banci?" Fidiya tertawa lepas, walau hatinya sungguh sakit dengan keadaan ini. "Kau itu kepala keluarga, tugasmu menyelesaikan apa saja masalah yang muncul. Tapi kau? Kau selalu lari dari masalah pergi dari masalah, itu tidak akan membuat segala masalah selesai Tuan!"
"Kau lebih percaya ibumu dan adikmu, kau lebih memilih mendengarkan mereka, lalu aku ini?"
"Ayo kita selesaikan satu masalah dulu, yaitu antara kau dan aku."
Ridwan tau, jika Fidiya mulai mengajaknya bicara pasti tidak jauh dari permintaan Fidiya yang meminta sedikit kasih sayang darinya. Ridwan langsung pergi dari sana.
"Oh, pergi lagi, pergi sana bernaung di ketek ibu tirimu!" Habis sudah kesabaran Fidiya. Tidak mendapat kasih sayang, tidak mendapat tempat, sekarang tidak mendapat kepercayaan dari laki-laki yang harusnya memberi perlindungan darinya.
Fidiya menarik napasnya begitu dalam dan menghembuskannya perlahan. "Baiklah mas, aku mundur. Kau tidak pantas untuk diperjuangkan lebih keras lagi."
Fidiya melangkah menuju ruang pakaian, dia mengambil tas yang dia bawa saat datang ke rumah ini, isi tas itu tidak pernah terbongkar, selama di rumah ini, Fidiya mengenakan pakaian yang sudah disediakan. Fidiya menenteng tas-nya, dan mengambil handphone yang ada di nakas.
Saat dia membuka pintu, dia berpapasan dengan mbok Eni, pembantu senior di rumah ini. "Non mau kemana?"
"Tidak tau, yang penting keluar dari rumah ini, saya sudah tidak tahan mbok."
"Jangan Non, hanya Nona yang tulus menyayangi Tuan, kalau Tuan pergi, tidak ada lagi yang menyayangi Tuan setulus kasih sayang Anda." Sepasang mata milik wanita paruh baya itu terlihat berkaca-kaca, menghiba agar istri Tuannya tidak pergi dari rumah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Arin
bgus fidiya,pergi aja dri situ biar Ridwan tau rsa
2022-05-11
1
Yuda Hasna
weeh mantep betol si fidiya begutu berani meminta apa yg jd haknya.
salut q.👍👍👍👍👍
lnjut ceritany
2021-12-14
0
Sikha Adhia
waah.. keren kamu fidya
2021-08-19
0