Fidiya sangat bahagia bisa melihat sahabatnya ada di kota ini, keduanya terus berpelukan.
"Is ...." Fidiya memberi kode agar Ismi melepaskan pelukannya.
"Maaf, sampai lupa kalau kita di tengah keramaian." Keduanya terlihat mengulum senyuman.
"Kamu sama siapa kesini?" tanya Fidiya
"Sama bu Ilma, dia ibu kost aku." Ismi menunjuk kearah wanita paruh baya yang masih memilih belanjaan.
"Kamu kost?"
"Ya iyalah, masa ikut di rumah kak Fariz." Ismi memandang kearah Susan, wanita yang dia lihat sebelumnya bersama Fidiya. "Kamu sama siapa?"
"Aku sama mbak Susan, dia asisten adik suami aku," jawab Fidiya.
"Idih horang kayah ...." ledek Ismi.
"Is, nanti kita ketemu lagi ya, kangen banget aku sama kamu, tapi kalau sekarang gak enak, kan kita sama-sama datang bareng yang lain."
"Setuju Fid."
"Nomer hp Kamu masih yang lama kan?" Fidiya memastikan.
"Masih!"
"Nanti aku telepon kamu, handphone aku ku tinggalkan dalam tas, dan tas aku masih di mobil."
"Siap yank-ku!"
Keduanya sepakat untuk berpisah. Fidiya kembali menemani Susan, begitu juga Ismi, dia kembali menemani ibu Ilma. Senyuman terus terukir di wajah Fidiya, membuat Susan juga ikut tersenyum.
"Kenapa cuma sebentar? Memang kangennya dah habis?"
"Nanti kami ketemuan lagi, kangen pasti, tapi kan kasian kamu."
Susan hanya terus tersenyum, baru mengenal Fidiya kemaren, dia sudah suka sama sosok Fidiya.
Merasa semua keperluannya selesai, melihat jam pada layar ponselnya juga satu jam sudah berlalu, tugasnya menunda mengantar Fidiya selesai. Susan segera mengajak Fidiya kembali.
Sesampainya di kediaman Ridwan, Fidiya dengan semangat melangkahkan kakinya memasuki rumah itu sambil menenteng tas yang berisi pakaiannya. Pelayan yang melihat kelakuan istri majikan mereka seperti itu hanya ikut tersenyum.
"Non, bahagia banget," sapa bi Eni.
"Iya mbok, saya bahagia." Fidiya tidak bisa berhenti tersenyum. "Yang lain mana mbok?"
"Tuan Ridwan sama Non Ara sepertinya mereka berenang, kalau Nyonya sama Non Melly, sepertinya di kamar."
"Kalau begitu saya mau ke kolam renang saja." Fidiya melangkahkab kakinya memasuki rumah itu.
"Non, kolam renang di samping kenapa Non menuju tangga?"
"Mau taruh tas dulu."
"Sini tas-nya, biar mbok saja."
"Di dalam ada handphone saya."
"Nanti mbok tarus di tempat tidur."
"Iya mbok." Fidiya berlari kecil menuju kolam renang, sosok yang ingin dia temui saat ini adalah Ridwan.
Fidiya berdiri mematung melihat sosok tampan itu bersantai di tepi kolam renang, hanya mengenakan celana renang saja. Perut kotak-kotak bagai roti sobek itu terlihat jelas.
Aku tidak tau mas, perasaanku padamu itu apa. Karena aku istrimu, yang ada dalam hati ini hanya memikirkan cara bagaimana berbakti padamu.
Fidiya menyadarkan dirinya, dia segera melanjutkan langkahnya menuju kolam renang. "hai Ra," sapa Fidiya.
"Hai kakak ipar." Ara terus berenang di kolam itu.
Fidiya berharap disapa oleh suaminya. Harapannya tidak jadi kenyataan, Ridwan hanya meliriknya sekilas, dan tidak memerdulikan keberadaannya.
"Mas." Fidiya tersenyum, dia duduk di samping Ridwan.
"Siapa yang memberi kamu izin duduk dekat-dekat aku!"
Sakit, tapi Fidiya berusaha senyum. Tekadnya sudah bulat. "Mas saja masuk ke hati aku gak izin sama aku, masa aku duduk di samping mas, harus izin."
Uwekkk! Sial siapa yang mengajari aku berkata demikian? Kenapa ini terlepas begitu saja?
Wajah Ridwan tidak bereaksi apapun. Dia terus menatap lurus kedepan.
"Mengusir aku dari sini mudah, coba aku, aku tidak bisa mengusir mas yang terlanjur masuk tanpa permisi ke hati aku."
Idih, hancur harga diriku! Fidiya mengutuki dirinya sendiri.
Tidak ada tanggapan dari Ridwan. Entah, bagaimana lagi caranya mendekati laki-laki yang ada di sampingnya ini. Fidiya memandangi wajah laki-laki itu.
"Mas, tadi aku ketemu sahabat aku dari desa, Ismi. Dia akan kerja di sini, kapan-kapan ... aku boleh ketemuan sama dia ya?"
Byur!!!
Bukan jawaban yang Fidiya dapat, nyatanya dirinya didorong Ridwan hingga masuk kedalam air kolam renang.
"Massss!" Fidiya panik, dia tidak bisa berenang.
"Dasar perempuan! Bersikap manis kalau ada yang di-mau!" Ridwan meninggalkan area kolam renang itu dengan wajah kesal.
Melihat ada yang tidak beres, Ara segera berenang kearah Fidiya. Ara sadar kakak iparnya itu mulai lemas. Secepat yang dia bisa Ara terus berenang menuju Fidiya. Kerja keras Ara berhasil, dia bisa menolong Fidiya.
"Terima kasih Ra." Fidiya bersyukur karena Ara cepat menolongnya.
"Kalau tidak bisa berenang, kenapa turun ke air?"
"Kakakmu yang dorong aku." Fidiya masih berusaha mengatur napasnya.
"Bang Ridwan tidak suka didekati, kalau dia butuh kakak, dia bisa datang sendiri. Berhenti berusaha memikat abang." Ara melanjutkan kegiatan renangnya.
********
Hari demi hari terus berlalu, Ridwan sama sekali tidak berubah, bagaimanapun sikap Fidiya padanya, tetap saja laki-laki itu seolah tak melihatnya. Setiap hari Fidiya membantu Melly di butik, tidak juga membuat Ridwan memandangnya. Fidiya terus berusaha memerhatikan mertuanya juga kedua adik iparnya, tetap saja dirinya tak terlihat.
Suasana makan malam yang begitu tenang. Hanya suara sendok dan garpu yang menyentuh perkukaan piring menjadi irama yang mengisi kesunyian ini. Semuanya menikmati makan malam mereka. Hingga makanan yang ada di piring mereka habis.
Sesekali ada perbincangan Ridwan dengan adik dan ibunya, sedang pada Fidiya tidak pernah. Padahal dalam suatu hubungan yang terpenting adalah komunikasi. Fidiya mulai terbiasa dengan keadaan ini. Dirinya ada, tapi tak terlihat.
Ridwan mulai membersihkan sisi bibirnya dengan tisu. "Bu, aku duluannya, ada beberapa berkas yang harus aku selesaikan."
Retna, Melly, dan Ara hanya menjawab Ridwan dengan anggukkan kepala saja.
"Kalau kakak ipar ingin pergi silakan," sela Melly.
Fidiya pun pamit undur diri pada semua orang yang ada di meja makan. Tujuan awal Fidiya adalah kamar, mengingat Ridwan ada di ruang kerja, bagi Fidiya ini saat yang tepat mengatakan isi hatinya.
Mas Ridwan bukan orang Kasyaf. Yang bisa mengetahui isi hati orang. Aku harus mengutarakan isi hatiku padanya.
Fidiya mempercepat langkah kakinya menuju ruang kerja Ridwan.
Tok tok tok!
Fidiya mengetukkan punggung telapak tangannya pada daun pintu itu.
"Masuk!"
Mendengar suara sahutan, Fidiya mengumpulkan keberaniannya untuk membuka pintu itu. Saat pintu berhasil di buka, terlihat pandangan mata yang begitu tegas menyorot dirinya. Fidiya berusaha santai, perlahan tangannya mengunci pintu itu, Fidiya sembunyikan kuncinya di saku baju santai yang dia kenakan. mengantisipasi, kalau-kalau Ridwan kabur.
Sebelumnya jika Fidiya berusaha mengajak laki-laki itu bicara, dirinya ditinggalkan begitu saja. Kali ini Fidiya tidak ingin hal itu terulang, pertahanan dirinya saat ini sudah sangat rapuh.
"Mau apa kamu!? Aku sibuk jangan ganggu aku!"
"Maaf mas, tapi kita harus bicara."
"Kalau kau ingin bicara berdua hanya ingin menjelekkan ibu dan kedua adikku, pergi sana!"
"Bukan mas, aku ingin bicara tentang kita."
Tatapan mata Fidiya begitu sendu, berharap laki-laki yang ada di depan matanya itu kasian padanya walau hanya sedikit saja. Lebih satu bulan menikah dengan laki-laki itu, laki-laki itu tidak pernah mau bicara padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Dewa Rana
katanya gak punya hp malanya dikasih hp sama elvina
2023-01-19
0
Sikha Adhia
salut aku sama fudya, bisa sesabar itu
2021-08-19
0
Nila Nila
aku rasa terlalu bodoh fidyah
2021-07-29
0