Hari sudah berganti lagi. Di pukul lima pagi ini. sebelum Adam bersiap dia menekan tombol call di aplikasi chatnya. Menunggu dering Vidio call itu terbuka, di mana dia sedang terkekeh sendiri saat ini. Membayangkan wajah panik istrinya yang mungkin sedang berlari menghampiri ponselnya.
Apa yang kau bayangkan benar Mas Adam.
Karena Nesa yang tengah memasak sarapan pagi di dapur langsung berlari kecil ke kamar hanya untuk meraih ponselnya.
Dia pun menggulir ke atas layar tersebut di bagian yang berwarna hijau. Di sanalah dia langsung mengembangkan senyum saat sang suami sudah terlihat di layarnya dengan senyum manis beliau.
"Assalamualaikum mas Adam... Ya ampun, maaf tadi Nesa lagi masak." Nesa mengusap peluhnya, dengan rambut yang ia ikat asal, namun tetap terlihat cantik bagi Adam.
"Kamu masak apa?" Tanya Adam, bertopang dagu.
"Nasi goreng mas, ngabisin nasi kemarin." Nyengir.
"Hmmm... Pengen nyobain masakan kamu."
"Hehehe... Makanya pulang dong." Nesa membawa ponsel itu berjalan kembali menuju dapur lalu meletakkan di suatu tempat, yang sekiranya posisi dia yang sedang masak itu nampak. "Aku sambil masak ya mas... Tanggung soalnya."
"Iya," jawab mas Adam, dia mengamati layar ponselnya dengan perasaan rindu dan gemas, saat melihat Nesa masak menggunakan daster yang hanya sebatas lututnya. "Nes?" Panggil dia.
"Iya mas...?" Nesa meraih kecap di dekat kompor lalu menaburkannya di atas nasi yang masih putih pucat itu, secukupnya.
"Mas mau kamu, kalau di rumah sendirian tuh jangan pakai daster itu."
"Kenapa memangnya?" Nesa meraih sendok, dia masih fokus memasak tanpa menatap ke arah ponselnya, dan hanya melirik sesekali.
"Kok tanya kenapa? Tubuh mu itu cuma boleh mas Adam yang lihat lah. Kamu mau mempertontonkan ke orang lain memangnya?" Bersungut... Sementara yang di sebrang terkekeh.
"Ya Allah mas, Kan ini di pakainya tuh kalau pas tidur saja. Dan saat ini Nesa belum mandi, jadinya masih pakai daster ini mas." Mencicipi nasinya setelah di rasa pas, dia pun mematikan kompornya. Menyiapkan dua piring kosong lalu menyajikan nasi goreng itu di atas piring tersebut.
"Ya tapi tetap saja, kamu kalau nyapu keluar kan pakai daster itu."
"Walaupun Nesa keluar tetap pakai kardigan mas... nggak gini aja."
Adam terdiam sejenak. "Coba aku mau tanya, semalam ada tamu tidak?"
"Tidak ada mas... Rumah jarang ada tamu, kalau kamu tidak di rumah. kecuali mbak tetangga. itu saja hanya Negor kalau Nesa lagi di luar."
"Begitu ya? Takutnya kan... Tetangga yang biasa main tetap main saat aku tidak ada."
"Hahaha... Mas ini ya, curigaan terus."
"Wajar dong itu tanda mas sayang dan khawatir sama kamu. Apalagi kamu kan jauh dari pandangan mas."
"Ckckck... Dasar mas Adam ini ya. Aku saja tidak securigaan itu loh sama kamu."
"Wajar sih kalau kamu tidak curigaan, selama ini kamu kan tidak pernah terlihat cemburu, mas saja sampai heran. Kamu tuh mau nikah sama mas Adam karena terpaksa kayanya."
"Hahaha.... Mas ini bicara apa sih, udah ah... Nggak mau di perpanjang biasanya malah jadi ribut nanti."
"Tapi bener kan?" Tanya Adam seolah dia masih ingin membahasnya.
"Mas... Sudah." Nesa tersenyum memandang wajah bersungut suaminya. "Kangen." Berusaha mengalihkan dengan jurus jitu dia, memasang wajah seimut mungkin terus berucap dengan nada manja.
"Serius nih?" Adam mulai menyunggingkan senyum.
"Iya." Jawab Nesa semakin manja. Adam pun terkekeh.
"Kalau gitu kasih kissnya sini." Pinta Adam.
"Kasih juga percuma mas, nggak akan kerasa."
"Setidaknya suaranya kan?"
"Ibu–" panggil Qila yang sudah berdiri di depan pintu dapur, Nesa pun tersenyum. Diraihnya ponsel itu lalu di hadapankan ke arah Qila. Adam pun tersenyum...
"Anak ayah baru bangun kah?" Tanya mas Adam, yang langsung membuat Qila menunjukkan giginya nyengir. dia pun meraih ponsel yang sudah di sodorkan sang ibu. Setelahnya Nesa langsung menggendong anak itu dan membawanya duduk dalam pangkuannya.
"Yah... Ayah kapan pulang." Tanya anak itu, setiap saat memang dia selalu bertanya itu sih.
"Ayah pulangnya lebaran sayang." Jawab Adam, gemas.
"Lebaran itu kapan?"
"Emmm, masih agak lama."
"Lamanya seberapa?" Tanya anak itu lagi, membuat Nesa terkekeh, karena melihat sang suami garuk-garuk kepala.
"Ya pokoknya tunggu ada takbir di masjid dan musholla."
"Takbir itu apa? Terus kapan? Ayah naik pesawat lagi nggak? Terus beliin mainan juga kan yah buat Qila??" Aqila mulai memberondong Adam dengan beberapa pertanyaan.
"Hahaha... Aqila, ayah bingung jawabnya. Satu-satu dong kalau bertanya." Kata Adam tergelak. Anak itu memang selalu seperti itu, apa saja dia tanyakan. Ketika di jawab maka dia akan terus bertanya semakin mendetail. Bahkan jujur saja Nesa suka lelah meladeni dia berceloteh. "Memang Qila mau mainan yang seperti apa?"
"Mainan yang di telur, terus di rendam eh ada bonekanya yah... Yang kaya di hpnya ibu."
"Yang di telur, di rendam? Memang mainan apa, Bu?" Tanya Adam pada Nesa.
"Entahlah... Mainan yang seperti apa sih, sayang?" Tanya Nesa juga pada Qila
"Yang itu loh... Yang seperti telur, terus di isi banyak telur lain di dalamnya, habis itu di rendam, ada boneka perempuan." Gadis kecil itu masih berusaha menjelaskan, Sendang Nesa masih mencerna maksudnya. Hingga dia pun ingat sesuatu. Anaknya itu gemar sekali menonton video unboxing mainan.
"Ohhh... Ya ampun. Mas mungkin maksud dia L.O.L tapi jangan sih mas, itu mahal."
"Aaaaaa.... Boleh ya Yah... Boleh ya? Qila mau yang ada rumah-rumahan terus jadi mobil." Ponsel itu sudah di kuasai oleh Aqila yang tengah membujuk ayahnya.
"Ehhh... Jangan itu jutaan harganya. Kamu ini." Nesa berniat merebut ponselnya pelan.
"Memang sampai berapa, sih?" Tanya Adam.
"Bisa sampai tiga atau empat juta yah. Jangan deh..." Jawab Nesa.
"Qila yang lain saja ya. Qila kan sebentar lagi mau sekolah.... Ayah dan ibu harus menabung kan?" Ucap Adam, halus.
"Tapi Qila mau mainan itu yah... Yang telur-telur itu, yang kaya di hp ibu." Gadis itu merengek.
"Duhhh kebiasaan kamu kalau telfon sama ayah ya." Nesa sedikit kesal.
"Sssssttt Bu... Ibu, sudah ya... Carikan mainan lain saja yang sekiranya hampir mirip tapi harganya masih di bawah dua ratus lah... Nanti mas transfer ke rekening mu. Dan sisanya bisa di pakai untuk jajan sama beli pakaian atau apa terserah."
"Tidak usah yah... Pakai uang peninggalan mu saja, masih kok. Dan gaji ku juga."
"Tidak apa. Mas tetap mau transfer buat jajan kamu dan Qila." Ucap Adam.
"Iya terserah ayah saja lah." Ucap Nesa. Hingga Adam pun tersenyum, lalu berpamitan untuk bergegas mandi karena langit di luar sudah mulai terang, dimana di luar Sudah riuh suara yang lainnya seperti tengah menyambut seseorang.
–––
Dan setelah ponsel itu di matikan Adam pun keluar, dia menghampiri rekan-rekannya yang mulai menyantap gorengan dan sarapan pagi mereka.
Di sana, masih ada mbak Andini yang tengah mengangguk menyapanya. Sementara Adam hanya tersenyum lalu memberanikan diri untuk mendekat.
'sepertinya dia sudah baik-baik saja.' batin Adam yang mengingat kejadian semalam.
"Maaf mbak, di sini ATM terdekat dimana, ya?"
"Wah, harus ke jalan mas. Ke desa sebelah yang sudah agak kota." Jawab Andini.
"Jauh nggak?"
"Nggak juga sih cuma sepuluh kilometer lah. Kenapa masnya mau ke ATM?" Tanya Andini.
"Pengennya sih... Tapi kalau sejauh itu ya susah juga. Nggak mungkin jalan kaki kan?"
"Aku mau keluar kok mas, mau bareng?" Andini menawarkan. Membuat Adam terdiam. "Hanya menawarkan saja kok mas, kalau masnya nggak mau ya nggak apa-apa."
Adam melirik ke arah jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul enam pagi. "Bagaimana ya? Kalau nunggu mbaknya belanja dulu pasti waktunya nggak akan sempat. Kalau siang nanti jam istirahat makan siang juga hanya satu jam. Kalau malam? Nggak mungkin keburu ngambek Aqilanya." Gumam-gumam.
"Mas...? Bagaimana? Aku buru-buru ini."
"Ah... Anu, mbaknya lama nggak ya belanjanya?"
"Nggak lama sih mas, cuma beli kopi bubuk kiloan saja." Jawab Dini.
"Emmm ya sudah, aku ambil jaket dulu deh." Adam tersenyum, membuat Dini mengangguk.
"Saya tunggu di luar ya mas." Ucap Andini.
"Ya mbak–" seru Adam yang sudah bergegas masuk.
Sementara dia hendak keluar lagi dari kamarnya, dia pun berpapasan dengan Danang. "Mau kemana?"
"Kencan sama mbak Andini mu." Adam menjulurkan lidahnya, sengaja ngeledek.
"Hei... Seriusan?" Seru Danang.
"Pernahkah aku berbohong pada mu buluk? Hahaha." Adam melangkah cepat keluar menemui Andini.
Sementara Danang geleng-geleng kepala. "Setan alas... Yang begini nih, diam mu itu ternyata menghanyutkan ya Dam?" Runtuk Danang yang kembali meneruskan tujuannya mengambil handuk di kamarnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
adning iza
msih menikmati alur thoorrr
2023-11-03
0
AnggieYuniar
😅😅😅
2022-11-14
0
Afrida Afrida
permulaan
2022-03-23
0