Semilir angin malam membuat rambut Adam tersibak.
Dia masih berdiri di kejauhan, tertutup gelapnya malam karena posisinya cukup jauh dari sumber cahaya. Dia masih menatap gadis itu yang kemudian berjalan lunglai duduk di kursi panjang di depan warungnya, mengatup wajahnya yang terlihat sendu.
Langkah itu tidak berani maju, namun dia juga tidak bisa mundur. Dengan hati penuh tanda tanya, mengenai siapa laki-laki yang sudah memakinya tadi. Ah... Dia ingat, katanya Andini itu kan janda. Mungkinkah dia mantan suaminya? Adam memutuskan untuk kembali saja, meninggalkan Andini yang masih seperti itu. Karena mau bagaimana pun dia tidak ingin membuat gadis itu kikuk karena tiba-tiba datang lalu memesan kopi. Di samping itu waktu juga sudah semakin larut. Lagipula warung Andini juga sudah mau tutup.
Kini langkah kaki jenjangnya sudah semakin menjauh, dengan suara pijakan di dedaunan yang mengering membuat gadis itu menyadari. Baru saja ada seorang pria di sana, dia pun menoleh dan benar saja walaupun samar-samar terlihat dari punggungnya. Sepertinya pria itu salah satu pekerja proyek, lalu? Apa dia melihat dan mendengar semuanya? Sungguh memalukan sekali. Masalahnya jadi sedikit di ketahui orang, setelah dia berusaha menutupi.
Andini menghela nafas, dia pun bergegas masuk meraih keranjang anyaman yang berisikan termos dan sebagainya, menutup pintu warungnya, lalu mendekati sepeda motornya kembali kerumah orang tuanya yang tak jauh dari warung miliknya.
–––
Selama perjalanan, memecah gelapnya malam di jalan desa yang sepi. Laju motor Andini terhenti di depan bangunan rumah yang gelap tak terawat. Dimana rumput-rumput liar mulai meninggi di sekeliling, juga sampah-sampah dari daun yang berjatuhan juga sudah memenuhi pelataran.
Andini menatap dengan kesedihan, rumah sederhana itu adalah rumahnya dan sang mantan suami dulu.
Dengan keringatnya dia bisa membangun rumah itu sedikit demi sedikit dari hasilnya berdagang bumbu dapur yang ia bungkus menggunakan plastik panjang.
Lalu dia kirim ke beberapa toko sembako di pasar, kini semua sudah hancur, seperti nasib rumah tangganya. Dia tidak bisa lagi menghuni rumah itu, karena bangunan berdiri di atas tanah milik mantan mertuanya. Yang dengan angkuhnya melarang Andini untuk tinggal lagi di rumah yang ia bangun sendiri.
Sudah berbagai cara dia tempuh termasuk mencoba bernegosiasi dengan menukar sebidang tanah yang ukurannya sama bahkan lebih dari bangunan yang ia huni, namun keluarga dari pihak suaminya itu tetap keukeuh mempertahankan tanah yang terdapat bangunan tersebut.
Hingga dia pun harus merelakan rumah itu tak berpenghuni dan memilih untuk tinggal bersama orangtuanya.
Ya... Sudah dua tahun semenjak perceraian itu, rumah mereka menjadi sengketa. Dimana Andini sendiri pun tidak mengikhlaskan rumah itu di jual lalu di bagi dua. Itu sama saja kerugian untuknya.
Hinga dia memutuskan untuk diam saja, tak menanggapi ancaman, mantan suaminya itu. Yang menjadikan Fika sebagai tamengnya untuk mendapatkan uang yang sebenarnya bukan hak dia.
Andini menyeka air matanya, terdengar helaan nafas sesak. Yang dia tangisi bukanlah rumah yang terenggut dan pernikahannya yang hancur, namun putri semata wayangnya. Yang sudah mulai bersekolah di tingkat SD.
Sampai saat ini, dia tidak di izinkan untuk menemui Fika. Padahal rasa rindu sudah berkecamuk di dadanya, dia sangat ingin memeluk gadis kecilnya.
Namun bukan Dini namanya, jika dia hanya bisa menangis lalu mengalah dari pria bernama Seno. Sudah cukup dirinya dibodohi, di manfaatkan tenaganya hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka, membayar hutang-hutangnya, dan yang lebih parah, untuk memuaskan hasrat berjudinya.
sekarang dengan prinsipnya yang tidak ada niatan mentelantarkan Fika. Dia yakin kalau akan ada masa dimana dia bisa bertemu lagi dengan anaknya itu. Walaupun entah kapan.
Dia hanya terus berdoa pada Sang Maha Kuasa. Agar keadilan segera datang menyertai hidupnya yang sudah sangat merana ini.
Dini Kembali menghidupkan mesin motornya, setelah berusaha tersenyum sendiri. Tidak apa-apa... Demi Fika. Begitu pikirnya.
Motor pun kembali berjalan, dimana kabut sudah semakin tebal, menyisir jalan setapak untuk kembali ke rumah orangtuanya.
.
.
.
Di tempat lain, Adam sudah kembali. Beberapa teman-temannya yang dapat sif pagi pun sudah berada di rumah dinas mereka.
"Dam? Mana kopinya?" Tanya Toni.
"Mbak Andini sudah tutup."
"Duh... Kalau tutup kenapa lama?"
"Ke warung lain dulu... Beli yang belum jadi. Kita seduh sendiri saja." Ucap Adam mengangkat kantong kereseknya tinggi-tinggi.
"Oh... Oke lah, tapi mie instannya beli tidak?"
"Iya... Ada sepuluh bungkus nih."
"Masak sekalian Ton... Jadiin satu baskom terus kita makan sama-sama." Titah Adrian sembari terkekeh.
"Kan... Jadi saya. Itu saja si Danang?" Melempar satu bungkus mie instan ke arah Danang yang tengah asik duduk dalam posisi jongkok di atas sofa dengan tangan masih asik memegangi ponsel yang tengah di charge.
"Aku lagi sibuk Ton... Kau saja." Jawabnya tak menggubris, terlihat sesekali dia tersenyum.
Toni pun mendekati, "kadal... Nontonnya Begituan? Di kamar kek sana!! memalukan sekali sih."
"Aaahhh.... Sama-sama laki ini. Kau juga suka nonton video beginian kan? Sudah sana masak saja mie nya, ganggu kesenangan aja."
"dasar kadal buluk...!" Toni meraih mie instan yang tadi di lemparnya lalu berjalan menuju dapur. "Kopi kalian, bikin sendiri-sendiri saja ya?" Tutur Toni pada semua yang di sana.
"Iya–" saut beberapa.
Sementara Adam sendiri masuk ke dalam kamarnya hanya untuk mengambil handuk lalu mandi.
Dan setelah selesai, mie instan pakai telur pun sudah tersaji di baskom. Beberapa dari mereka mengambilnya dan memasukannya kedalam piring masing-masing, sebagian lagi sudah memakannya.
"Sayang tidak ada nasinya." Kata salah satu dari mereka.
"Yang penting buat ganjel lah..." Jawab Adrian.
Adam pun tersenyum, lalu mendekati teman-temannya. Seraya meraih piring di sana. Sedikit matanya melebar ketika sendok sayur itu terangkat. "Hei... Kok tinggal kuahnya ini. Mienya mana?" Adam protes.
"Itu salah mu, mandinya terlalu lama. Dapet jatah terakhir, ya sisa." Jawab Danang dengan piring menggunung karena mie instan. bahkan ada beberapa helai yang menjuntai keluar dari piringnya.
"Ckckck... Pantes cepet abis. Hei Nang? Kau seperti makan mie instan tiga bungkus di embat sendiri. Bagi sini!!" Adam meraih garpunya menyendok yang ada di piring Danang.
"Jangan banyak-banyak, kampret...!" Seru Danang.
"Kau yang kebangetan, jangkrik..!" Balas Adam yang berhasil mengambil hampir seperempat dari isi piringnya itu. "Tuh kalau mau nambah, kuahnya aja." Ucap Adam sembari terkekeh.
Hal yang biasa terjadi jika dalam basecamp kerja, yang terdapat para penghuni laki-laki. Berebut makanan adalah hal wajar...
Makan satu wadah bersama pun juga sering mereka lakukan. Ya, di situlah salah satu nikmat seorang perantauan, kebersamaan selalu menjadi penghangat hubungan mereka. Dan sebagian besar pria, jarang ada yang memendam ketidaksukaannya. Mereka lebih sering menyampaikannya langsung, dalam bentuk candaan dan hal positifnya tidak ada yang tersakiti. Walaupun tetap tergantung pada pribadi masing-masing sih saat menerimanya, jika terlihat kesal pria akan mudah minta maaf pada rekanya itu.
Dan yang paling penting tidak ada istilah saling bergosip antar satu sama lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Mammyy Melissa
ya Allah jadi ke pikiran ma suami..
kalo lagi proyek
2022-01-24
0
Bu Jokotri
maaf disini ceritanya Andini tuh janda tp kenapa ditulisnya "gadis itu" kenapa bukan "perempuan itu", gt ya.. 🙏
2021-11-10
1
wily andriani
Andini nikahnya umur berapa Thor??
katanya dia umur 25 THN, tau anaknya udh masuk SD
2021-11-08
1