Di tempat lain...
Langit yang tadinya terik tiba-tiba menjadi mendung. Hal yang biasa terjadi saat musim hujan tiba, padahal tadi hawa panas menyelimuti eh tahu-tahu sudah gelap saja berubah menjadi dingin karena angin yang berhembus, di tambah hujan gerimis yang mulai turun.
Nesa merenggangkan tubuhnya, setelah sedari tadi sibuk mengurus nasabahnya yang membeludak. Hari Senin memang hari yang sibuk, dimana biasanya Bank-bank akan penuh sesak. Entah mereka ingin melakukan pencairan, tarik tunai, atau setor tunai.
Seseorang menepuk bahunya. "Ayo kita makan siang mbak Nesa." Ajak salah satu teman satu kantornya.
"Yuk..." Nesa meraih ponselnya berniat hendak memasukkannya kedalam tas, namun sebelum itu dia melihat satu pesan singkat yang belum terbaca. "Mas Adam." Gumamnya dengan cepat dia membuka pesan singkat itu.
Iya... Foto sang suami di dalam kemudi excavatornya. Adam memang seperti itu, gemar sekali memotret dirinya sendiri lalu mengirimkannya pada Nesa. Nesa pun membalas pesan singkat itu.
(Tampannya suami ku...) Balas dia lalu kembali memasukkan ponselnya itu ke dalam tas, seraya berjalan keluar untuk makan siang.
Di salah satu rumah makan ayam goreng, Nesa kembali mengecek ponselnya di mana banyak panggilan telepon dari mas Adam membuatnya segera menghubungi dia balik.
"Ha?"
"Dari mana sih? Kenapa lama sekali menerima telepon ku?" Potong Adam dengan nada sedikit kesal.
"Maaf mas. tadi tuh sehabis membalas pesan mas Adam, aku dan teman ku tuh langsung jalan ke rumah makan."
"Teman siapa?" Tanya beliau.
"Riana mas."
"Terus siapa lagi?"
"Hanya Riana mas... Tidak ada siapapun lagi."
"Oh..." Nada suara Adam mulai normal membuat Nesa merasa lega, karena memang seperti itu suaminya jika telfon lama tidak di angkat maka dia akan kesal.
"Mas sudah makan siang?" Tanya Nesa.
"Ini lagi mau..."
"Makan pakai apa?" Tanya Nesa.
"Nasi sayang, tapi tidak tahu ini lauknya apa. Sedari tadi mas lebih sibuk nelfon kamu karena tidak di angkat-angkat." Tuturnya bersungut lagi.
"Maaf mas... Kalau aku lama angkat teleponnya ya harus di maklumi dong mas. Bisa jadi Nesa sedang apa gitu kan?"
"Lupa ya? Kalau ada aturan yang mas bikin, ketika kamu hendak kemana-mana? Kamu harus ijin."
"Iya mas... Nesa nggak lupa, hanya saja ku pikir tuh ke warung makan depan kan sebentar. Tidak tahu kalau mas akan menelfon ku sebanyak ini."
"Jadi tidak suka nih kalau suami mu ini nelfon terus?"
"Suka mas... Ih, jangan kesal terus sih. Lagi pula Nesa kan tidak ngapa-ngapain." Ujar Nesa. Hingga hening dari sebrang membuatnya menghela nafas. "Mas Adam?"
"Hmmmm."
"Jangan marah... Ya sudah, aku minta maaf. Aku akan ikuti aturan mas Adam untuk selalu izin ke kamu setiap kali kemana-mana, walaupun hanya sekedar ke toilet." Ucap Nesa mengalah.
"Ya sudah... Nanti kita sambung lagi. Kamu makan dulu saja."
"Ya janji jangan marah lagi."
"Iya... Mas cuma khawatir saja kok. Ya sudah selamat makan siang ya istri ku."
"Iya mas Adam." Pik... Panggilan di matikan, Nesa pun menghela nafas.
Sementara yang ada di hadapannya saat ini hanya senyum-senyum sendiri sembari memandangi Nesa.
Dengan posisi bertopang dagu, dan tangan kanannya mengaduk-aduknya jus alpukatnya.
"Enaknya kalau ada yang posesif. Gemes-gemes gimana gitu" ledek Riana.
"Enak apanya...? Yang ada lelah tahu. Dia itu kalau lagi kerja tuh gitu... Padahal mau dia sendiri yang kerjanya memakan waktu sampai berbulan-bulan."
"Hehehe... Tapi ngomong-ngomong, suka khawatir tidak sih mbak? Punya suami yang kerjanya jauh gitu?"
"Khawatir? Pasti ada lah. Tapi aku percaya sih sama mas Adam, selama ini dia tidak pernah kelihatan menyembunyikan sesuatu sih. Contohnya saja saat pulang, ponsel dia selalu diletakkan begitu saja. Tidak pernah menggunakan kunci layar lagi."
"Oh ya?" Tanya Riana. Nesa pun hanya mengangguk.
"Tapi kelihatan sih, mas Adam tuh sayang sekali sama mbak ya."
"Iya lah... Perjuangan kita sampai ke pelaminan itu kan tidak mudah." Jawab Nesa, dengan kedua tangan yang mulai bekerja menyisir daging ayam bakar di atas piring rotan yang di alasi kertas minyak.
"Seperti apa sih mbak? Kepo deh..."
"Hiiissshhh, jangan kepo jam makan siang itu cuma sebentar. Kalau aku ceritakan tidak akan cukup waktunya." Nesa terkekeh.
"Emmm iya lah... Jadi pengen ngerasain cepet-cepet nikah." Gumam Riana yang kembali fokus pada makanannya.
"Makanya, suruh calon mu itu melamar mu."
"Calon yang mana? Aku kan baru putus."
"Apa?! Ckckck... Kok bisa sih kalian tuh kalau pacaran ganti-ganti. Aku saja cuma mas Adam doang loh dari jaman SMA dulu."
"Tergantung cowoknya mbak. Kalau cowoknya pengertian kaya mas Adam mah, mungkin akan awet." Jawab Riana mendesah. Sementara Nesa hanya tersenyum tipis sembari geleng-geleng kepala.
Dia merasa bersyukur saja. Karena memang benar, mas Adam itu adalah pria yang baik hati. Walaupun tegas juga. Posesifnya dia tidak hanya saat sudah menjadi suaminya saja, namun di kala mereka masih menjadi sepasang kekasih yang belum halal.
Lebih-lebih saat satu janji suci sudah terucap, tingkat posesif dan cemburunya mas Adam bertambah, seperti saat ini. Setiap kali beliau sedang bertugas, seolah tidak ada hari tanpa telfon darinya. Bahkan tidak cukup bagi Adam menelfon dengan waktu sebentar pasti akan lama, itu saja dalam sehari lebih dari tiga kali. Dan paling sering adalah panggilan video, untuk melihat situasi yang sebenarnya di sana.
Ya itulah mas Adam. Yang mencintai Vanesa dengan segenap jiwa dan raganya.
.
.
.
(Flashback is on)
Hari itu hari dimana saat Nesa baru saja pulang sekolah, mas Adam mengantarkan Nesa yang hanya berani sampai ke gang yang masih lumayan jauh dari rumah Nesa.
Benar perbedaan usia tujuh tahun membuat mas Adam terlihat jauh lebih dewasa. Saat itu mas Adam sudah mulai masuk pendidikan sebagai operator alat berat. Tidak mudah memang namun dengan usaha keras tinggal satu tes tambahan lagi yang akan membuatnya lulus.
Di depan sebuah toko yang tutup. hujan gerimis masih mengguyur, membuat Adam meminta Nesa untuk tidak kemana-mana dulu.
Dan mengeluarkan sesuatu dari dompetnya.
"pegang ini." Ucap Adam Pada Nesa seraya mengulurkan uang seratus ribuan.
"Ini untuk apa?" Mengangkat uang itu cukup tinggi.
"Kumpulin saja. nanti setiap kali kita ketemu? Aku kasih lagi."
Nesa tersenyum. "Maksudnya, kamu mau nabung ke aku gitu?"
"Begitulah." Mengusap kepala Nesa lembut.
"Kamu percaya sama aku mas?" Tanya Nesa.
"Percaya lah, masa enggak."
"Kalau tiba-tiba ku pakai?"
"Ya nggak apa-apa... Aku nggak akan ngitung kok."
"Mau sampai kapan?" Tanya Nesa manja, dengan tangan yang masih di genggam Adam.
"Entahlah, pokoknya tabung saja."
Nesa pun hanya mengangguk, benar saja setiap kali mereka bertemu, Adam selalu memberikan uang yang nominalnya tak menentu, terkadang seratus, terkadang juga dua ratus. Tergantung adanya dia. Dan Nesa pun memberi tanda silang pada buku catatannya, untuk menandai tanggal berapa saja Adam setor tunai kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Balkis Septya Dewi
rajin si Adam ya,Thor..telpon Nesa😍
2022-03-19
0
EndRu
perjuangan Adam luar biasa 😭😭😭
2022-03-07
0
Sibad
jangan pernah pindah ke lain hati, ingat selalu dimana selalu ada kebahagiaan dngn pasangan yg halal karena yg halal insya Allah selalu di Ridhoi Allah SWT...
2022-02-26
0